• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peningkatan Produksi Dan Mutu Rimpang Benih Jahe Putih Besar Melalui Pendekatan Pola Pertumbuhan Dan Keseimbangan Hormonal Dengan Aplikasi Paclobutrazol

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peningkatan Produksi Dan Mutu Rimpang Benih Jahe Putih Besar Melalui Pendekatan Pola Pertumbuhan Dan Keseimbangan Hormonal Dengan Aplikasi Paclobutrazol"

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

PENINGKATAN PRODUKSI DAN MUTU

RIMPANG BENIH JAHE PUTIH BESAR MELALUI

PENDEKATAN POLA PERTUMBUHAN DAN

KESEIMBANGAN HORMONAL DENGAN APLIKASI

PACLOBUTRAZOL

DEVI RUSMIN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Peningkatan Produksi dan Mutu Rimpang Benih Jahe Putih Besar melalui Pendekatan Pola Pertumbuhan dan Keseimbangan Hormonal dengan Aplikasi Paclobutrazol adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2016

Devi Rusmin

(4)

RINGKASAN

DEVI RUSMIN. Peningkatan Produksi dan Mutu Rimpang Benih Jahe Putih Besar melalui Pendekatan Pola Pertumbuhan dan Keseimbangan Hormonal dengan Aplikasi Paclobutrazol. Dibimbing oleh M.RAHMAD SUHARTANTO, SATRIYAS ILYAS, DYAH MANOHARA dan ENY WIDAJATI.

Tanaman jahe saat ini hanya dapat diperbanyak dengan menggunakan organ perbanyakan vegetatif yang dikenal dengan rimpang benih. Rimpang benih bermutu sangat diperlukan dalam usaha produksi dan pengembangan tanaman jahe putih besar (JPB). Permintaan terhadap rimpang benih JPB semakin meningkat, seiring dengan berkembangnya industri obat herbal dan diversifikasi produk makanan dan minuman fungsional berbasis jahe. Permasalahan utama dalam produksi dan pengembangan tanaman JPB ini adalah sulitnya menjaga ketersediaan rimpang benih bermutu dalam jumlah yang mencukupi, pada waktu diperlukan oleh pengguna. Keterbatasan benih bermutu di pasaran menyebabkan harga benih JPB sangat tinggi, dan kenaikan harga benih tersebut sulit untuk dikendalikan. Permasalahan tersebut antara lain disebabkan oleh rendahnya mutu rimpang benih, serta bobot rimpang benih yang cepat menyusut dan mudah bertunas saat di penyimpanan.

Penelitian dengan pendekatan pola pertumbuhan dan keseimbangan hormonal selama proses produksi di lapangan telah dilakukan untuk meningkatkan produksi dan mutu rimpang benih JPB yaitu dengan mempelajari: (1) perubahan morfologi, fisiologi dan biokimia selama pembentukan dan perkembangan rimpang benih jahe putih besar, dan (2) peningkatan produksi dan mutu rimpang benih jahe putih besar dengan aplikasi paclobutrazol (PBZ). Selanjutnya percobaan dengan pendekatan perubahan fisiologi dan keseimbangan hormonal selama proses penyimpanan telah dilakukan untuk meningkatkan daya simpan rimpang benih JPB yaitu dengan mempelajari: (3) perubahan mutu fisiologis rimpang benih jahe putih besar selama penyimpanan pada umur panen berbeda, dan (4) mutu fisiologis rimpang benih jahe putih besar selama penyimpanan dengan pelapisan lilin dan aplikasi PBZ.

Penelitian bertujuan mendapatkan teknologi produksi dan penyimpanan yang tepat sehingga dapat meningkatkan produksi dan mutu rimpang benih JPB melalui pendekatan pola pertumbuhan dan keseimbangan hormonal, serta perubahan fisiologi selama penyimpanan. Penelitian ini terdiri atas empat percobaan yang tersusun secara paralel dengan tujuan yaitu: (1) menentukan umur panen rimpang benih JPB dengan mempelajari perubahan morfologi, fisiologi dan biokimia selama perkembangan rimpang benih, (2) mengetahui pengaruh waktu aplikasi dan konsentrasi PBZ dalam meningkatkan produksi dan mutu rimpang benih JPB, (3) mengetahui pengaruh umur panen terhadap daya simpan rimpang benih JPB, dengan mempelajari perubahan mutu fisiologi selama penyimpanan dan (4) mengetahui pengaruh pelapisan lilin dan aplikasi PBZ terhadap perubahan mutu fisiologis rimpang benih JPB selama penyimpanan.

(5)

atas tiga fase pertumbuhan yaitu fase lambat 1–4 bulan setelah tanam (BST), cepat (>4–6 BST), dan pemasakan (>6 BST). Berdasarkan fase pertumbuhan dan perkembangan tersebut diketahui bahwa rimpang benih JPB umur 7 BST (fase pemasakan) sudah mulai layak digunakan sebagai bahan tanaman karena mempunyai bobot kering bibit, pertumbuhan tanaman dan produksi yang sama dengan rimpang benih umur 8 dan 9 BST.

Pengontrolan keseimbangan hormon endogen oleh aplikasi PBZ dapat meningkatkan produksi dan mutu rimpang benih JPB. Aplikasi PBZ 400 ppm pada tanaman umur 4 BST merupakan konsentrasi terbaik dalam meningkatkan bobot basah (1 148 g tanaman-1 atau setara dengan dengan 10 kg petak-1 (2.55 m2) dan jumlah rimpang cabang (33 propagul tanaman-1 atau setara dengan 297 propagul petak-1 (2.55 m2), memperkecil ukuran rimpang benih JPB (34.18 g propagul-1) dibanding dengan kontrol (47.98 g propagul-1), dan meningkatkan mutu fisiologis: daya tumbuh, kecepatan tumbuh, tinggi dan bobot kering bibit, dan vigor daya simpan setelah 4 bulan disimpan dibanding tanpa PBZ. Peningkatan produksi dan mutu rimpang benih diperoleh dengan mengurangi tinggi tanaman, menghambat pertambahan panjang batang, meningkatkan jumlah anakan, jumlah tunas, jumlah daun, kandungan klorofil dan pati.

Perubahan fisiologis penting dari rimpang benih JPB selama proses penyimpanan adalah munculnya tunas (pecahnya periode dormansi). Periode dormansi rimpang benih JPB berlangsung selama 2 bulan setelah panen. Dormansi rimpang benih JPB lebih ditentukan oleh rasio ABA/sitokinin dibanding rasio ABA/GA. Rasio ABA/sitokinin yang lebih tinggi pada umur 7 BST (5.0) dan 8 BST (4.7) dibanding umur 9 BST (4.2) menyebabkan derajat dormansi yang tinggi pada umur 7 dan 8 BST sehingga rimpang benih lebih tahan disimpan.

Aplikasi PBZ untuk meningkatkan mutu rimpang benih selain diberikan ke tanaman di lapangan juga dapat diaplikasikan pada rimpang benih sebelum disimpan. Aplikasi PBZ pada rimpang benih harus dilakukan sebelum masa dormansi pecah (<2 bulan setelah simpan). Kombinasi pelapisan lilin dengan aplikasi PBZ 1000 ppm pada suhu 20–22 C˚ mampu menekan persentase rimpang bertunas (58.9%) sampai 3 bulan simpan, dan menekan laju respirasi (0.92 mg CO2 kg-1 jam-1) sampai 4 bulan. Aplikasi PBZ 1000 dan 1500 pada rimpang benih 4 bulan setelah simpan pada suhu 20–22 ˚C tidak mampu lagi mempertahankan masa dormansi rimpang benih JPB.

(6)

SUMMARY

DEVI RUSMIN. Production and Quality Improvement of Ginger Seed Rhizome Using Growth Pattern and Hormonal Balance Approaches and Paclobutrazol Application. Supervisory Commission: M. RAHMAD SUHARTANTO, SATRIYAS ILYAS, DYAH MANOHARA and ENY WIDAJATI.

Ginger plants are currently only propagated using vegetative organs known as seed rhizomes. High quality seed rhizomes are needed in the production and development of ginger plants. The demand for seed rhizomes is increasing, along with the development of herbal medicine industry and the diversification of food products and beverages based on ginger. The main problem in production and development of ginger plant is the availability of high quality seed rhizome at the time required by users. This causes the price of ginger seed rhizome is very high and difficult to control. Despite the low quality of seed rhizomes, the weight of seed rhizomes is rapidly decreased and the rhizomes easily to sprout during storage.

Two experiments were conducted in order to improve the production and quality of ginger seed rhizomes using growth pattern and hormonal balanced approaches: (1) morphological, physiological and biochemical changes for the formation and development of ginger seed rhizomes and, (2) production and quality improvement of ginger seed rhizome by paclobutrazol (PBZ) applications. Further experiments using physiological changes and hormonal balance approaches during storage were conducted to improve the storability of ginger seed rhizomes: (3) physiological quality changes of seed rhizome during storage at different harvesting time, and (4) physiological quality of seed rhizomes during storage with application of wax coating and paclobutrazol.

The aim of the experiments were: (1) to determine the harvesting time of ginger seed rhizomes by studying the physiological and biochemical changes during the development of seed rhizomes, (2) observing the effect of concentration and time of paclobutrazol (PBZ) application to improve production and quality of ginger seed rhizomes, (3) to observe the effect of harvesting time on physiological quality changes of ginger seed rhizomes during storage, and (4) to determine the effect of wax coating and PBZ application on the physiological quality changes of seed rhizomes during storage.

The results showed that in general the growth pattern of ginger canopy and rhizomes during the formation and development were classified into three phases: slow 1–4 months after planting (MAP), fast (> 4–6 MAP), senescence (> 6 MAP). Based on the phase of growth and development, ginger seed rhizome harvested at 7 MAP (senescence phase) can be used as planting material because it showed dry weight of seedling, plant growth and production similar to the ones 8 and 9 MAP.

(7)

propagule-1) and improving the physiological quality of seed rhizomes (growth ability, speed of growth, height and dry weight of seedling) and storage ability compared to without aplication of PBZ.

An Important physiological change of ginger seed rhizome during the storage process was the emergence of shoots (rupture of dormancy period). Dormancy of ginger seed rhizomes was more determined by ABA/cytokinin ratio compared to ABA/GAratio. The ABA/cytokinin ratios were higher if the seed rhizomes were harvested at 7 MAP (5.0) and 8 MAP (4.7) compared to the one harvested at 9 MAP (4.2) lead to higher levels of dormancy so that the seed rhizomes could be stored longer. Dormancy of ginger seed rhizomes harvested at 7, 8 and 9 MAP broken after 2 months in the storage. Ginger seed rhizomes harvested at 7, 8, and 9 MAP had the highest growth ability (> 95%) and uniform seedling growth after 3 months in storage.

Application of PBZ on ginger seed rhizome must be done before the breaking of dormancy (< 2 months after storage). Wax coating plus PBZ 1500 ppm at storage temperature 20–22 ˚C reduced the percentage of sprouted seed rhizome up to 3 months after storage and reduced respiration rate up to 4 months after storage. However, this treatment did not reduce loss of weight of ginger seed rhizomes up to 4 months after storage, both at the storage temperature 26– 28˚C and 20–22˚C,

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu dan Teknologi Benih

PENINGKATAN PRODUKSI DAN MUTU

RIMPANG BENIH JAHE PUTIH BESAR MELALUI

PENDEKATAN POLA PERTUMBUHAN DAN

KESEIMBANGAN HORMONAL DENGAN APLIKASI

PACLOBUTRAZOL

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(10)

Penguji pada Ujian Tertutup: Prof. Dr. Ir. Bambang Sapta Purwoko, MSc Dr. Ir. Asep Setiawan, MS

(11)
(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah dengan judul “Peningkatan Produksi dan Mutu Rimpang Benih Jahe Putih Besar melalui Pendekatan Pola Pertumbuhan dan Keseimbangan Hormonal dengan Aplikasi Paclobutrazol berhasil diselesaikan.

Selama Penulis melaksanakan penelitian dan penulisan disertasi, penulis banyak mendapatkan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan apresiasi dan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Ir. M.R. Suhartanto, MS, Ibu Prof. Dr. Ir. Satriyas Ilyas, MS, Ibu Dr. Ir. Dyah Manohara MS dan Ibu Dr. Ir. Eny Widajati, MS selaku komisi pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan sejak persiapan, pelaksanaan penelitian sampai penyusunan disertasi ini.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Sapta Purwoko, MSc, Ibu Dr. Ir. Endah Retno Palupi, Bapak Dr. Ir. Asep Setiawan, MS dan Bapak Dr. Ir. Agus Wahyudi yang telah bersedia menjadi penguji luar komisi pada Ujian Pra Kualifikasi Pogram Doktor, Ujian Tertutup dan Sidang Promosi serta memberikan masukan dan saran perbaikan untuk kesempurnaan disertasi ini.

3. Kepala Badan Litbang Pertanian, Kepala Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Ketua Kelti Pemuliaan, Plasma Nutfah dan Perbenihan, Ketua Kelti Ekofisiologi Balittro yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk melanjutkan pendidikan dan membantu dalam pendanaan penelitian.

4. Ketua Prodi ITB Ibu Dr. Ir. Endah Retno Palupi beserta staf (Ibu Mimin, Ibu Neng dan Bapak Udin).

5. Ibu Dr. Otih Rostiana, Bapak Dr. Dono Wahyuno, dan Ibu Dra. Siti Fatimah Syahid yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan.

6. Teman-teman seperjuangan dari Prodi ITB, AGH, PBT, FIT dan Forum Petugas Belajar Litbangtan yang banyak memberikan dukungan.

7. Ayahanda R Sy. Dt. Majo Besar (alm.) dan Ibunda Aminah (almh.) atas semua pengorbanan dan doa dan kasih sayangnya dalam membesarkan dan mendidik penulis. Bapak Mertua Yanuar dan Ibu Mertua Nuraya Yusuf (almh), serta kakak-kakak dan adik yang selalu mendukung dan mendoakan penulis.

8. Bapak Rokenly, SSi suami tercinta atas doa, pengorbanan, pengertian, bantuan dan kasih sayangnya yang luar biasa, juga anak-anak tersayang Zaki, Adil dan Zulfa atas segala bantuan dan pengertiannya kepada penulis.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan, sehingga diharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan disertasi ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2016

(13)

DAFTAR ISI

2 PERUBAHAN FISIOLOGI DAN BIOKIMIA SELAMA

PEMBENTUKAN RIMPANG BENIH JAHE PUTIH BESAR

7

JAHE PUTIH BESAR DENGAN APLIKASI PACLOBUTRAZOL

(14)

DAFTAR TABEL

1 Data suhu, kelembaban (RH), jumlah hari hujan di Kelurahan Kayumanis, Bogor dari bulan Oktober 2013 sampai dengan Juni 2014

13

2 Daya tumbuh, kecepatan tumbuh, tinggi bibit, dan bobot kering bibit rimpang benih JPB pada umur 7, 8, dan 9 bulan

24 3 Pengaruh masing-masing waktu aplikasi dan konsentrasi PBZ

terhadap tinggi tanaman, jumlah anakan, jumlah tunas, dan tinggi tunas pada tanaman JPB umur 7 BST

34 pada tanaman JPB umur 7 BST

35

6 Pengaruh interaksi waktu aplikasi dan konsentrasi PBZ terhadap kandungan klorofil total (mg g-1) daun JPB

36 7 Pengaruh masing-masing waktu aplikasi dan konsentrasi PBZ

terhadap produksi rimpang benih JPB

36 8 Pengaruh masing-masing waktu aplikasi dan konsentrasi PBZ

terhadap panjang dan tinggi rimpang JPB

37

terhadap viabilitas rimpang benih JPB

40 13 Pengaruh masing-masing waktu aplikasi dan konsentrasi PBZ

terhadap penyusutan bobot rimpang benih JPB

40 14 Pengaruh waktu aplikasi dan konsentrasi PBZ terhadap kadar air

dan jumlah tunas rimpang benih JPB

41 15 Pengaruh waktu aplikasi dan konsentrasi PBZ terhadap viabilitas

rimpang benih JPB setelah 4 BSS

41 16 Panjang batang semu, tinggi tanaman, jumlah anakan, dan bobot

basah rimpang benih JPB pada berbagai umur panen

61

17 Komposisi pembuatan emulsi lilin 12% 71

18 Pengaruh suhu ruang simpan dengan berbagai perlakuan penyimpanan terhadap penyusutan bobot rimpang benih selama penyimpanan

72

19 Persentase rimpang bertunas, pada masing-masing suhu ruang simpan dan perlakuan penyimpanan, selama 1 dan 4 bulan setelah simpan

73 20 Interaksi antara suhu ruang simpan dengan perlakuan penyimpanan

terhadap persentase rimpang bertunas selama 2 dan 3 bulan

(15)

21 Panjang tunas pada masing-masing suhu ruang simpan dan perlakuan penyimpanan pada 1, 2, 3 dan 4 bulan setelah simpan

74 22 Interaksi suhu ruang simpan dengan perlakuan penyimpanan terhadap

laju respirasi rimpang benih JPB selama 1, 2, 3 dan 4 bulan setelah simpan (BSS)

75

23 Interaksi antara suhu ruang simpan dengan perlakuan penyimpanan terhadap viabilitas rimpang benih JPB setelah 1 dan 4 bulan setelah simpan (BSS)

75

24 Interaksi antara suhu ruang simpan dengan perlakuan penyimpanan terhadap tinggi dan bobot kering bibit rimpang benih JPB setelah disimpan

(16)

DAFTAR GAMBAR

1 Skema kerangka pikir penelitian 5

2 Panjang batang (PB) dan tinggi tanaman (TT) JPB selama 7 bulan pertumbuhan tanaman

14 3 Jumlah anakan dan daun JPB selama 7 bulan pertumbuhan tanaman 14 4 Panjang dan lebar daun JPB selama 7 bulan pertumbuhan tanaman 15 5 Bobot basah batang (BBB), daun (BBD), bobot kering batang (BKB)

dan daun (BKD) JPB selama 7 bulan pertumbuhan tanaman

16 6 Bobot kering akar JPB selama 9 bulan pertumbuhan tanaman 16 7 Bobot basah rimpang dan jumlah rimpang cabang JPB selama 9 12 Kadar air: rimpang induk (RI), rimpang primer (RP), sekunder (RS),

tersier (RT), dan kuarter (RK)

21 13 Kandungan pati rimpang benih JPB umur 7, 8 dan 9 BST pada

rimpang sekunder (RS) dan tersier (RT)

22 14 Kandungan IAA rimpang benih JPB umur 7, 8 dan 9 BST pada

rimpang sekunder (RS) dan tersier (RT)

22 15 Kandungan GA rimpang benih JPB umur 7, 8 dan 9 BST pada

rimpang sekunder (RS) dan tersier (RT)

23 16 Kandungan ABA rimpang benih JPB umur 7, 8 dan 9 BST pada

rimpang sekunder (RS) dan tersier (RT)

23 17 Kandungan sitokinin rimpang benih JPB umur 7, 8 dan 9 BST pada

rimpang sekunder (RS) dan tersier (RT)

24 18 Rekapitulasi mutu fisiologis rimpang benih JPB pada umur 7, 8 dan 9

BST 26 Kandungan hormon endogen (GA, ABA, sitokinin dan IAA) rimpang

benih JPB pada berbagai umur panen benih pada awal simpan

(17)

27 Daya tumbuh rimpang benih JPB pada berbagai umur panen benih selama penyimpanan

59 28 Tinggi bibit JPB pada berbagai umur panen benih selama

penyimpanan

59 29 Bobot kering bibit JPB pada berbagai umur panen benih selama

penyimpanan

60 30 Pertumbuhan bibit JPB pada tiga umur panen pada 2 (A), 3 (B) dan 4

BSS (C)

66 31 Performansi bibit JPB setelah 1 bulan disimpan: suhu 26-28 ˚C, 0 ppm

(A), 26-28 ˚C, 1500 ppm (B), suhu 20-22 ˚C, 0 ppm (C), dan 20-22 ˚C, 1500 ppm (D)

81

32 Performansi bibit JPB setelah 4 bulan disimpan: suhu 26-28 ˚C, 0 ppm (A), suhu 26-28 ˚C, 1500 ppm (B), suhu 20-22 ˚C, 0 ppm (C), dan 20

-22 ˚C, 1500 ppm (D)

82

33 Grafik hipotetik pola pertumbuhan dan perkembangan rimpang benih JPB

85 34 Grafik hipotetik pola pertumbuhan dan perkembangan rimpang benih

JPB

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Prosedur kerja analisis pati 98

2 Prosedur pemurnian dan identifikasi IAA, ABA, GA dan sitokinin 99

3 Prosedur kerja analisis klorofil 100

4 Prosedur kerja analisis klorofil 101

5 Prosedur kerja analisis serat 102

6 Skema mekanisme umum peningkatan mutu dan produksi melalui pendekatan pola pertumbuhan dan keseimbangan hormonal selama proses produksi di lapangan dan pendekatan perubahan fisiologis dan keseimbangan hormonal selama proses penyimpanan

(19)

Latar Belakang

Jahe (Zingiber officinale Rosc.) merupakan salah satu jenis tanaman obat yang mempunyai banyak kegunaan baik sebagai rempah, bumbu penyedap, bahan baku industri obat tradisional, fitofarmaka, makanan dan minuman kesehatan, serta produk kosmetik dan perawatan tubuh (Ravindran dan Babu 2005; Rostiana et al. 2009). Kondisi tersebut menyebabkan jahe merupakan salah satu komoditas ekspor yang memberikan peranan cukup berarti dalam penerimaan devisa. Ekspor jahe pada tahun 2010 mencapai 4 212 ton sedangkan pada tahun 2011 turun menjadi 1 176 ton, sedangkan volume impor meningkat tajam dari 1 917 ton pada tahun 2010 menjadi 4 661 ton pada tahun 2011 (BPS 2011).

Di Indonesia dikenal tiga tipe jahe berdasarkan ukuran dan warna rimpang yaitu jahe putih besar (JPB), jahe putih kecil (JPK) dan jahe merah (JM). Permintaan terhadap JPB lebih besar dibanding kedua jenis jahe lainnya, karena kegunaan dan pengolahannya yang lebih beragam baik di pasa dalam maupun di luar negeri. Jahe putih besar digunakan dalam industri makanan dan minuman untuk penghangat tubuh, sedangkan jahe putih kecil dan jahe merah banyak digunakan untuk bahan baku obat-obatan untuk meredakan sakit perut, meningkatkan daya tahan tubuh dan melancarkan peredaran darah. Permintaan terhadap bahan tanaman bermutu meningkat, seiring dengan berkembangnya pemanfaatan rimpang jahe sebagai bahan baku obat tradisional, fitofarmaka dan industri makanan dan minuman baik di dalam maupun di luar negeri. Pribadi (2012) melaporkan bahwa penggunaan jahe pada industri besar dan sedang untuk tahun 2007 sebanyak 7 822 ton dengan nilai Rp. 16 730 985 000.

Permasalahan dalam usaha produksi dan pengembangan jahe putih besar (JPB) antara lain adalah: kebutuhan benih sangat tinggi (2–3 ton ha-1) yang disebabkan oleh ukuran rimpang yang cukup besar (40–60 g per bahan tanaman), produksi dan mutu rimpang benih yang masih rendah, serta bobot rimpang benih yang cepat menyusut dan mudah bertunas saat di penyimpanan. Hal ini menyebabkan kerugian yang cukup besar dalam usaha perbenihan, karena dapat menurunkan bobot benih 30–40% selama 3 bulan (Sukarman et al. 2008). Kekurangan ketersediaan benih bermutu dalam jumlah yang mencukupi menyebabkan harga benih jahe sangat tinggi, di luar jangkuan petani/pengguna dan kenaikan harga benih tersebut sulit untuk dikendalikan.

(20)

Peningkatan mutu dan daya simpan rimpang benih JPB juga dapat dilakukan dengan pemberian zat pengatur tumbuh (ZPT). Salah satu ZPT yang dapat digunakan untuk meningkatkan mutu dan daya simpan rimpang benih adalah melalui pemberian retardan. Ravindan dan Babu (2005) menyampaikan bahwa pemberian retardan Daminozide (penghambat aktivitas giberelin) pada pertanaman jahe dapat meningkatkan produksi rimpang.

Senyawa retardan lainnya yang umum digunakan untuk meningkatkan produksi dan mutu umbi atau rimpang adalah paclobutrazol (PBZ). Menurut Arteca (1996), PBZ merupakan salah satu jenis retardan dari golongan senyawa triazoles yang berperan dalam menghambat biosintesis giberelin. Giberelin berperan dalam mendorong pembelahan, pemanjangan sel dan pemanjangan batang (Arteca 1996; Davies 2004; Chaney 2005). Falcon et al. (2006) menyebutkan bahwa giberelin dapat menunda proses pengumbian pada tanaman kentang, sehingga pemberian zat penghambat tumbuh seperti PBZ dapat meningkatkan produksi umbi. Tekalign dan Hammes (2005) menyebutkan bahwa aplikasi PBZ dapat meningkatkan produksi kentang dengan cara mengurangi pertumbuhan tunas, meningkatkan kandungan klorofil daun, meningkatkan laju fotosintesis, dan memodifikasi partisi bahan kering ke umbi. Ravindran dan Babu (2005) menyebutkan bahwa aplikasi PBZ pada tanaman jahe, menunjukkan akumulasi pati yang lebih tinggi dibandingkan dengan Triacontanol. Rosita et al. (1993a) melaporkan bahwa tanaman kunyit yang diperlakukan dengan PBZ konsentrasi 250 ppm pada umur 4 bulan memberikan bobot kering rimpang, kadar pati, dan kadar minyak rimpang kunyit tertinggi saat umur tanaman 6 bulan.

Teknologi penyimpanan benih jahe yang baik juga merupakan salah satu alternatif dalam menjaga ketersediaan benih jahe. Penyimpanan benih bertujuan untuk mempertahankan mutu fisiologis benih sampai benih tersebut siap digunakan untuk musim tanam berikutnya. Penyimpanan juga diperlukan untuk mengatasi kemungkinan tidak tersedianya benih bermutu pada saat diperlukan dan untuk memenuhi kebutuhan benih di luar musim.

Secara umum benih akan mengalami kemunduran mutu (deterioration) selama proses penyimpanannya. Beberapa gejala penurunan yang mungkin terjadi selama proses penyimpanan rimpang benih JPB diantaranya adalah penyusutan bobot, penurunan kadar air rimpang, peningkatan respirasi, dan pertunasan. Perubahan fisiologi dan biokimia selama penyimpanan dan keterkaitannya dengan mutu rimpang benih JPB, sampai saat ini belum dipelajari.

(21)

(14–15 ºC), dapat mengurangi kehilangan air yang berlebihan, menghindari chilling injury, menunda pertunasan, dan akhirnya memperpanjang masa simpan 4–5 bulan. Penyimpanan yang tepat pada benih jahe diperlukan untuk menekan penyusutan bobot rimpang benih, menekan pertunasan dan berkembangnya patogen selama penyimpanan. Beberapa pendekatan dapat dilakukan untuk mengatasi masalah penyimpanan benih jahe, seperti pengaturan iklim mikro (suhu dan kelembaban ruang simpan), dan pemberian ZPT.

Alternatif lain yang dapat dilakukan untuk menekan penyusutan bobot rimpang dan pertunasan melalui teknik pelapisan benih. Pelapisan benih diharapkan dapat menutupi lapisan alami yang rusak akibat panen sehingga dapat mengurangi penguapan air dan menekan laju respirasi selama penyimpanan sehingga diharapkan dapat mengurangi penyusutan bobot rimpang benih jahe. Pelapisan benih juga dapat menekan serangan patogen, karena bahan pelapis dapat menutupi luka akibat panen yang menjadi sasaran patogen. Pemberian retardan PBZ sebagai penambah materi pelapisan diharapkan dapat menekan pertunasan.

Teknik pelapisan benih pada rimpang jahe untuk meningkatkan mutu benih dengan cara menekan penyusutan bobot dan pertunasan selama di penyimpanan, sampai saat ini belum dilakukan. Teknik pelapisan dengan lilin lebah pada tanaman buah-buahan dan kentang konsumsi untuk menekan laju respirasi, penurunan bobot dan menjaga penampilan agar tetap menarik selama penyimpanan sudah banyak dilakukan. Perlakuan pelapisan buah sawo manila dengan lilin lebah konsentrasi 9% (Laila 2003), 4% pada kentang (Puslitbanghort 2008) dan 5% pada buah manggis (Sugiyono et al. 2009) dapat menekan susut bobot dan meningkatkan daya simpan.

Perumusan Masalah dan Pendekatan Masalah

Tanaman jahe saat ini hanya dapat diperbanyak dengan organ vegetatif yang dikenal dengan rimpang benih. Rimpang benih bermutu sangat diperlukan dalam usaha produksi rimpang dan pengembangan tanaman. Permintaan terhadap benih JPB semakin meningkat, seiring dengan berkembangnya industri obat herbal dan diversifikasi produk makanan dan minuman fungsional berbasis bahan alami. Permasalahan utama dalam produksi rimpang benih dan pengembangan tanaman JPB ini adalah sulitnya menjaga ketersediaan rimpang benih bermutu dalam jumlah yang mencukupi, pada waktu diperlukan oleh pengguna. Keterbatasan benih bermutu di pasaran menyebabkan harga benih jahe sangat tinggi, dan kenaikan harga benih tersebut sulit untuk dikendalikan. Permasalahan tersebut antara lain disebabkan oleh: kebutuhan benih sangat tinggi (2–3 ton ha-1) yang disebabkan oleh ukuran rimpang yang cukup besar (40–60 g per bahan tanaman), produksi dan mutu rimpang benih yang masih rendah, serta bobot rimpang benih yang cepat menyusut dan mudah bertunas saat di penyimpanan.

(22)

Biokimia selama Pembentukan dan Perkembangan Rimpang Benih Jahe Putih Besar dan (2) Peningkatan Produksi dan Mutu Rimpang Benih Jahe Putih Besar dengan Aplikasi Paclobutrazol, (3) Perubahan Mutu Fisiologis Rimpang Benih Jahe Putih Besar selama Penyimpanan pada Umur Panen Berbeda, dan (4) Mutu Fisiologis Rimpang Benih Jahe Putih Besar selama Penyimpanan dengan Pelapisan Lilin dan Aplikasi Paclobutazol.

Permasalahan selama proses produksi dan penyimpanan rimpang benih jahe serta pendekatan masalah yang akan dilaksanakan dalam mencapai tujuan dan sasaran akhir, ditampilkan dalam bentuk alur pikir pada Gambar 1.

Tujuan Penelitian

Tujuan Umum:

Mendapatkan teknologi produksi dan penyimpanan yang tepat sehingga dapat meningkatkan produksi dan mutu rimpang benih JPB.

Tujuan Khusus:

1 Menentukan umur panen rimpang benih JPB dengan mempelajari perubahan morfologi, fisiologi dan biokimia selama perkembangan rimpang benih. 2 Mengetahui pengaruh waktu aplikasi dan konsentrasi PBZ dalam

meningkatkan produksi dan mutu rimpang benih JPB.

3 Mengetahui pengaruh umur panen terhadap daya simpan rimpang benih JPB, dengan mempelajari perubahan mutu fisiologi selama penyimpanan.

4 Mengetahui pengaruh pelapisan lilin dan aplikasi PBZ terhadap perubahan mutu fisiologi rimpang benih JPB selama penyimpanan.

Manfaat Penelitian

1 Memberikan informasi kepada produsen benih, dan pengguna lainnya dalam menjaga atau meningkatkan mutu benih selama produksi dan penyimpanan. 2 Membantu produsen benih, petani pengguna dalam menjaga ketersediaan

rimpang benih bermutu pada waktu dibutuhkan dalam jumlah memadai. 3 Sebagai acuan pembuatan SOP perbenihan jahe putih besar dalam bentuk

rimpang benih.

4 Memberikan informasi bagi peneliti rimpang benih JBP dalam menentukan waktu aplikasi peningkatan produksi dan mutu, serta daya simpan rimpang benih JPB.

(23)

B

Gambar 1 Skema kerangka pikir penelitian Ketersediaan benih Jahe Putih Besar

(JPB) bermutu sangat terbatas

Produksi dan mutu rimpang benih rendah, ukuran rimpang besar

Penyusutan bobot dan pertunasan cepat selama penyimpanan

Perubahan Morfologi, Fisiologi dan Biokimia selama Pembentukan Rimpang Benih JPB

.Peningkatan Produksi dan Mutu Rimpang Benih JPB

dengan Aplikasi Paclobutrazol

Mutu Fisiologis Rimpang Benih JPB selama Penyimpanan dengan Pelapisan Lilin dan

Aplikasi Paclobutazol

Peningkatan produksi dan mutu

rimpang benih dalam proses produksi Peningkatan vigor daya simpan

Teknologi produksi dan penyimpanan yang tepat sehingga dapat meningkatkan produksi dan mutu rimpang benih

JPB.

Perubahan Mutu Fisiologis Rimpang Benih JPB selama

Penyimpanan pada Umur Panen Berbeda

Permasalahan utama

Penyebab masalah

Pemecahan masalah

Output

(24)

Kebaruan Penelitian

Penelitian tentang peningkatan produksi dan mutu JPB belum banyak dilakukan oleh peneliti. Penelitian dengan pendekatan pola pertumbuhan dan keseimbangan hormonal selama proses produksi di lapangan dan pendekatan pola perubahan fisiologis dan keseimbangan hormonal selama proses penyimpanan perlu dilakukan untuk meningkatkan produksi dan mutu JPB.

Beberapa informasi baru yang diperoleh dari hasil penelitian: terdapat tiga fase pertumbuhan vegetatif penting yang dapat dijadikan sebagai dasar acuan penelitian untuk meningkatkan produksi dan mutu JPB: fase lambat 1–4 (BST), cepat (> 4–6 BST), dan pemasakan (> 6 BST). Berdasarkan fase pertumbuhan dan perkembangan tersebut diketahui bahwa rimpang benih JPB umur 7 BST (fase pemasakan) sudah mulai layak digunakan sebagai bahan tanaman karena mempunyai viabilitas, pertumbuhan tanaman dan produksi yang sama baiknya dengan rimpang benih umur 8 dan 9 BST.

(25)

SELAMA PEMBENTUKAN DAN PERKEMBANGAN RIMPANG

BENIH JAHE PUTIH BESAR

Abstrak

Perubahan morfologi, fisiologi dan biokimia selama stadia pembentukan dan perkembangan rimpang berperan dalam menentukan mutu rimpang benih jahe putih besar (JPB). Percobaan bertujuan untuk menentukan umur panen rimpang benih JPB dengan mempelajari perubahan fisiologi dan biokimia selama perkembangan rimpang benih. Pengamatan dilakukan terhadap: (1) pertumbuhan tanaman (tinggi tanaman, panjang batang semu, jumlah anakan, jumlah daun, panjang daun, lebar daun, bobot basah batang, dan daun, serta bobot kering batang, daun dan akar), (2) perubahan morfologi dan perkembangan rimpang (lebar, tinggi, bobot basah rimpang, jumlah rimpang cabang), perubahan kadar air, dan akumulasi bahan kering selama perkembangan rimpang, (3) perubahan mutu fisiologi dan biokimia selama fase pemasakan rimpang (kadar air, pati, hormon (IAA, GA, ABA, sitokinin), dan viabilitas rimpang benih (daya tumbuh, kecepatan tumbuh, tinggi bibit dan bobot kering bibit). Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum pola pertumbuhan tajuk dan rimpang JPB selama pembentukan dan perkembangannya diklasifikasikan atas tiga fase pertumbuhan yaitu: fase lambat (1–4 BST), cepat (> 4–6 BST), pemasakan (> 6 BST). Rimpang cabang primer, sekunder, dan tersier masing-masing secara berurutan terbentuk pada umur 2, 3, dan 4 BST. Rasio ABA/sitokinin (1.1) lebih rendah pada rimpang umur 7 BST dibanding 9 BST (1.5) untuk rimpang benih asal Bogor (ketinggian 200 m dpl, suhu rata-rata 26 ˚C, dan jumlah curah hujan saat produksi 389 mm/bulan). Umur panen 7 BST dapat digunakan sebagai bahan tanam karena mempunyai viabilitas: daya tumbuh (100%), kecepatan tumbuh (4.3% etmal-1), dan tinggi bibit (33.8 cm) yang lebih baik dibanding umur 8 BST (80% dan 33.7 cm) dan 9 BST (70% dan 29.4 cm).

Kata kunci: Keseimbangan hormon endogen, pola pertumbuhan, viabilitas dan

(26)

Abstract

Morphological, physiological and biochemical changes during rhizomes development are involved in determining the quality of ginger seed rhizome. The objective of the experiment was to determine the harvesting of ginger seed rhizomes by studying the morphology, physiology, and biochemical changes during development of seed rhizomes. The observations were: (1) the plant growth (plant height, pseudostem length, number of tillers, number of leaves, length of leaves, width of leaves, fresh weight of stems and leaves, and dry weight of stems, leaves and roots), (2) development of the rhizome: width and height of rhizome, fresh weight of rhizomes, the number of finger rhizome, water content and dry matter accumulation, and (3) changes of physiological and biochemical quality during senescence phase of the rhizome (water, starch, hormones IAA, GA, abscisic acid (ABA), cytokinins content, and the viability of seed rhizomes (growth ability, speed of growth, seedling height and seedling dry weight). The results showed that in general the growth pattern of the ginger canopy and rhizomes during the formation and development are classified into three phases: slow 1–4 month after planting (MAP), fast (> 4–6 MAP), senescence (> 6 MAP). Primary, secondary, and tertiary finger rhizome respectively formed at 2, 3, and 4 MAP. The ratio of ABA/cytokinins (1.1) at 7 MAP was lower than 9 MAP (1.5) caused seed rhizome of 7 MAP did not have dormancy period. Ginger seed rhizome of 7 MAP can be used as plant material because it produces the growth ability (100%), speed of growth (4.32 % etmal-1), and height of seedling (33.80 cm) was better than 8 MAP (80% dan 33.7 cm) and 9 MAP (70% dan 29.4 cm).

Key words: Balance of endogenous hormones, growth pattern, viability, Zingiber officinale

Pendahuluan

Mutu benih dipengaruhi oleh beberapa faktor selama pembentukan rimpang, prosesing dan selama penyimpanan. Faktor-faktor yang mempengaruhi mutu benih selama pembentukan rimpang antara lain kesuburan tanah, jarak tanam, kondisi air tanah, serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) dan umur panen. Umur panen sangat menentukan mutu benih jahe, hal ini berhubungan dengan kandungan cadangan makanan (kadar pati) yang terdapat dalam rimpang. Panen benih jahe yang belum cukup umur menyebabkan benih/rimpang cepat keriput dan mempunyai viabilitas yang rendah dan daya simpan yang juga rendah.

(27)

langsung. Selama perkembangan benih terutama pada saat akumulasi cadangan makanan juga terjadi perubahan terhadap kandungan kimia penting lainnya yaitu hormonal seperti auksin (IAA), giberelin (GA), sitokinin dan asam absisat (ABA) (Bewley dan Black 1994). Hormon endogen tersebut berperan dalam perkembangan benih dan kemungkinan terlibat dalam beberapa proses seperti pertumbuhan dan perkembangan benih, akumulasi cadangan makanan, pertumbuhan dan perkembangan jaringan, serta cadangan makanan untuk perkecambahan dan pertumbuhan bibit. Pada benih yang berbentuk rimpang terutama tanaman jahe, belum dipelajari perubahan-perubahan yang terjadi selama pembentukan rimpang baik perubahan secara morfologi, fisiologi dan biokomia terutama yang berhubungan dengan mutu benih.

Rimpang (rizom) merupakan batang yang terdapat di dalam tanah, bercabang-cabang, tumbuh mendatar dan dari ujungnya tumbuh tunas yang muncul di atas tanah, yang kemudian berkembang menjadi tanaman baru (Tjitrosoepomo 1985). Hal yang sama dengan rimpang yaitu umbi (tuber) juga merupakan modifikasi dari batang bawah tanah, yang digunakan sebagai organ penyimpan cadangan makanan disamping sebagai organ perbanyakan (Falcon et al. 2006).

Induksi rimpang pada tanaman jahe dimulai pada awal pertumbuhan: tunas apikal dari rimpang tumbuh dan berkembang menjadi anakan utama atau anakan induk. Ketika anakan utama ini mulai tumbuh, bagian dasar anakan membesar dan berkembang menjadi rimpang. Anakan ini awalnya berbentuk bulat dan merupakan rimpang yang pertama kali terbentuk dan sering disebut rimpang utama (rimpang induk). Dari kedua sisi rimpang induk, kemudian muncul cabang yang tumbuh menjadi anakan primer. Bagian dasar dari anakan primer membesar dan berkembang menjadi rimpang primer. Tunas pada rimpang primer berkembang dan berubah menjadi anakan sekunder, kemudian dasar anakan sekunder membesar dan berkembang menjadi rimpang sekunder. Tunas pada rimpang sekunder selanjutnya berkembang menjadi anakan tersier dan rimpang tersier (Ravindran dan Babu 2005).

Pada tanaman kentang, induksi umbi ditandai dengan perubahan secara morfologi pada tanaman, seperti daun lebih membesar, lebih tipis dan lebih hijau pucat, penuaan dipercepat bersamaan dengan fase cepat pertumbuhan umbi kentang. Giberelin terlibat dalam mengatur perkembangan umbi kentang. Penambahan giberelin (GA) eksogen akan menunda inisiasi umbi sebaliknya penambahan inhibitor biosintesis GA seperti tetcyclacis, chlorocholine klorida, paclobutrazol, atau ancymidol meningkatkan pembentukan umbi. Sitokinin berperan dalam mengontrol pembesaran dan pertumbuhan umbi, karena sitokinin aktif dalam pembelahan sel dan terlibat dalam proliferasi sel selama pertumbuhan umbi (Fernie dan Willmitzer (2001); Falcon et al. (2006). Peran ABA dalam memacu pengumbian yaitu sebagai stimulator yang disebabkan oleh pengaruh antagonis ABA terhadap giberelin (Xu et al. 1988; Falcon et al. 2006).

Pada umbi yam (Dioscorea spp.), kandungan ABA endogen meningkat selama perkembangan umbi dan mencapai maksimum saat tanaman senesen (Hamadina et al.

(28)

stadia pertumbuhan yang berbeda. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan jumlah tunas, dan meningkatnya jumlah rimpang (Hongpakdee et al. 2010).

Kandungan pati dan serat yang tinggi pada rimpang benih jahe, menyebabkan viabilitas dan daya simpan yang tinggi (Sukarman et al. 2007). Hampir sama dengan rimpang jahe, pada umbi kentang selama fase pertumbuhan, umbi mengakumulasi senyawa cadangan terutama dalam bentuk pati dan protein yang berfungsi sebagai sumber makanan bagi pertumbuhan selanjutnya (Falcon et al. 2006). Perubahan fisiologi dan biokimia ini diduga terlibat dalam menentukan mutu rimpang benih JPB selama stadia pembentukan dan perkembangan rimpang. Berdasarkan hal tersebut dilaksanakan percobaan dengan tujuan untuk menentukan umur panen rimpang benih JPB dengan mempelajari perubahan fisiologi dan biokimia selama perkembangan rimpang benih.

Bahan dan Metode

Tempat dan Waktu Penelitian

Percobaan dilaksanakan di Kelurahan Kayumanis, Kecamatan Tanah Sareal Bogor, Jawa Barat (200 m dpl), Rumah Kaca dan Laboratorium Teknologi Benih, Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor mulai bulan Oktober 2013 sampai September 2014.

Penanaman

Percobaan dilakukan dengan menanam rimpang benih JPB di polibag ukuran 60 cm x 60 cm dengan empat ulangan, masing-masing ulangan terdiri atas 50 tanaman. Jumlah total tanaman dalam percobaan ini adalah 200 tanaman. Rimpang yang digunakan dengan kriteria bernas, bobot 30–40 g dengan 2–3 mata tunas dan bebas dari serangan hama dan penyakit. Benih direndam dengan larutan fungisida dan bakterisida sebelum dilakukan penanaman.

Pemupukan dilakukan sesuai anjuran yaitu 500 kg ha-1 urea (12.5 g per tanaman), 400 kg ha-1 SP36 (10 g per tanaman) dan 400 kg ha-1 KCl (10 g per tanaman). Pupuk SP36 dan KCl diberikan pada waktu tanam, sedangkan pupuk urea diberikan 3 kali yaitu pada umur 1, 2 dan 3 bulan setelah tanam, masing-masing 1/3 dosis pada setiap pemberian. Pupuk kandang sapi yang sudah masak diberikan 2–4 minggu sebelum tanam sebanyak 1 kg per polibag (20 ton ha-1). Pada umur 4 bulan setelah tanam diberikan pupuk kandang ke dua sebanyak 1 kg per polibag.

Pengamatan

Pertumbuhan Tanaman

(29)

pangkal batang semu sampai ujung daun tertinggi, sebanyak empat ulangan. Pengamatan panjang batang semu dilakukan dengan cara mengukur mulai dari pangkal batang semu sampai ujung batang. Pengamatan jumlah anakan dilakukan dengan menghitung semua anakan yang sudah berdaun. Pengamatan panjang dan lebar daun dilakukan dengan mengukur panjang dan lebar daun ke 5. Pengamatan dilakukan setiap bulan, dimulai 1 BST sampai tanaman berumur 7 bulan, masing-masing ulangan sebanyak 2 tanaman.

Pertumbuhan Rimpang

Pengamatan dilakukan dengan melihat perubahan yang terjadi pada setiap stadia pembentukan rimpang, antara lain perubahan ukuran (lebar, tinggi, bobot basah rimpang, dan jumlah rimpang cabang per tanaman), serta perubahan kadar air dan akumulasi bahan kering selama perkembangan rimpang. Pengamatan dilakukan setiap bulan, dengan cara memanen masing-masing 2 tanaman setiap ulangan (empat ulangan), mulai umur 2 BST sampai umur 9 bulan. Data perubahan morfologi secara visual untuk setiap stadia pembentukan dan perkembangan rimpang disajikan dalam bentuk grafik dan gambar.

Pengukuran terhadap bobot bahan kering rimpang dilakukan dengan cara mengiris rimpang setebal ± 2 mm dan ditimbang sebanyak 20 g rimpang, setelah itu dimasukkan ke dalam oven pada suhu 60 ºC selama 3 x 24 jam, kemudian bobot bahan kering ditimbang.

Kadar air ditentukan dengan cara menimbang rimpang sesuai umur panen (dari 2 sampai 9 BST) sebanyak 20 g kemudian dimasukkan ke dalam oven suhu 103±2 ºC selama 17±2 jam (sampai bobot konstan), setelah itu bobot kering ditimbang dengan timbangan ketelitian dua desimal. Kadar air diukur dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

% 100

x a

b a

KA 

Keterangan:

a = bobot awal benih sebelum dioven b = bobot benih setelah dioven

Perubahan Mutu Fisiologis dan Biokimia Rimpang Benih Analisis Pati

(30)

kadar karbohidrat dilakukan dengan metode titrimetri (BSN 1992). Prosedur kerja dapat dilihat pada Lampiran 1.

Analisis Homon (auksin, giberelin, sitokinin dan ABA)

Analisis status hormonal dilakukan pada umur 7, 8 dan 9 BST pada rimpang rimpang sekunder dan rimpang tersier, masing-masing tiga ulangan. Pengamatan bertujuan untuk melihat dinamika perubahan hormonal selama pemasakan rimpang. Ekstraksi dan identifikasi hormon IAA, giberelin, sitokinin dan ABA menggunakan metode Thin Layer Chromatography (TLC) yang dimodifikasi oleh Unyayar et al

1996). Pengukuran kandungan hormon berdasarkan bahan kering dilakukan secara kuantifikasi dengan TLCscanner tipe 3-CAMAG. Prosedur kerja dapat dilihat pada Lampiran 2.

Pengujian Viabilitas

Pengujian viabilitas rimpang berdasarkan umur rimpang 7, 8 dan 9 bulan setelah tanam (BST). Pengujian dilakukan dengan menyemaikan sebanyak 30 rimpang benih pada bak persemaian, menggunakan media cocopit dengan empat ulangan. Pengamatan terhadap viabilitas rimpang benih dilakukan dengan mengamati daya tumbuh (DT), kecepatan tumbuh, tinggi tunas dan bobot kering tunas.

1 Daya Tumbuh (DT)

Pengamatan terhadap daya tumbuh dilakukan terhadap rimpang yang sudah bertunas, dengan kriteria tunas sudah muncul ke permukaan tanah (>3 cm), tunas segar dan bebas dari serangan hama dan penyakit. Pengamatan dilakukan mulai 2 minggu setelah semai dan dilanjutkan setiap hari sampai 2 bulan setelah semai. Daya tumbuh dapat dihitung dengan rumus:

DT = ∑ rimpang bertunas

∑ rimpang disemai x 100%

2 Kecepatan Tumbuh

Pengamatan dilakukan terhadap persentase bibit normal setiap hari hingga pengamatan terakhir (final count) (Sadjad 1993). Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:

tn

CT Nt

K

0 Keterangan:

t : waktu pengamatan (hari)

(31)

3 Tinggi Bibit

Pengamatan terhadap tinggi bibit dilakukan pada akhir pengamatan yaitu 2 bulan setelah semai, dengan cara mengukur tinggi semua tunas normal yang muncul dari setiap rimpang.

4 Bobot Kering Bibit

Pengamatan dilakukan pada akhir pengamatan dengan cara memisahkan tunas yang tumbuh normal dari rimpang, kemudian dimasukkan ke dalam kantong kertas dan setelah itu dikeringkan dalam oven suhu 60ºC selama 3x24 jam. Bobot kering tunas kemudian ditimbang setelah didinginkan dalam desikator selama ± 30 menit.

Data rata-rata perubahan kuantitatif dari bobot kering rimpang benih, kadar air, analisis serat, pati, viabilitas benih disajikan dalam bentuk grafik untuk tiap stadia pembentukan benih. Data iklim selama pertumbuhan dan perkembangan tanaman JPB di Kelurahan Kayumanis Bogor, dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Data suhu, kelembaban (RH), jumlah hari hujan di Kelurahan Kayumanis, Bogor dari bulan Oktober 2013 sampai dengan Juni 2014

Bulan

Keterangan: Data hasil pengamatan selama pertumbuhan di lokasi penelitian, Kayumanis, Bogor

Hasil

Pola Pertumbuhan Tanaman

(32)

umur 7 BST mencapai angka masing-masing 110.25±6.75 dan 123.75±6.70 cm. Tanaman sudah mengalami periode pemasakan setelah 7 BST.

Gambar 2 Panjang batang (PB) dan tinggi tanaman (TT) JPB selama 7 bulan pertumbuhan tanaman

Jumlah anakan meningkat sampai umur 7 BST, tetapi peningkatan yang cukup tajam terjadi saat tanaman berumur 4 sampai 6 BST. Jumlah anakan mencapai nilai rata-rata 23.4±2.8 anakan pada saat umur 7 BST. Jumlah daun JPB meningkat sampai umur 6 BST. Penambahan jumlah daun relatif lambat sampai 4 BST. Mulai 4 BST (72.6±10.3 helai per tanaman) sampai 6 BST (280.6±25.5 helai per tanaman) peningkatan penambahan jumlah daun sangat pesat. Jumlah daun berkurang setelah umur 6 BST karena sebagian daun sudah mulai luruh dan penambahan daun baru juga sudah tidak banyak (Gambar 3)

(33)

Peningkatan panjang daun (24.02±1.19 cm) dan lebar daun (2.86±0.11 cm) JPB mulai umur 1 dan sampai 4 BST relatif tidak banyak, dengan maksimal panjang dan lebar daun masing-masing sebesar 28.49±0.92 dan 3.24±0.14 cm pada umur 4 BST. Setelah umur 4 sampai 7 BST, daun yang tumbuh baru mengecil. Daun-daun yang sudah lama mulai mengering sehingga panjang dan lebar daun menyusut (Gambar 4).

Gambar 4 Panjang daun (PD) dan lebar daun (LD) JPB selama 7 bulan pertumbuhan tanaman

Bobot basah batang JPB masih meningkat sampai umur 7 BST. Mulai umur 2 sampai 4 BST peningkatan cukup besar dengan nilai rata-rata masing-masing 39.17±4.73 dan 167.13±7.56 g. Peningkatan bobot basah batang sangat tajam pada umur 4 sampai 6 BST, dari 167.13±7.56 menjadi 463.63±35.96 g, dengan bobot tertinggi sebesar 464.75±60.57 g pada 7 BST. Bobot basah daun meningkat sampai umur 6 BST, dengan peningkatan yang relatif pesat mulai umur 4 BST (64.38±7.89 g) sampai dengan 6 BST (183.88±7.33 g). Perbandingan antara bobot basah batang dengan daun lebih kurang 3:1. Setelah umur 6 BST bobot basah daun menurun karena sebagian daun mulai mengering dan luruh (Gambar 5).

Penambahan bobot kering batang dan daun JPB terlihat mempunyai pola yang sama dengan bobot basah batang (BBB) dan daun (BBD). Perbedaannya, terlihat pada grafik yang relatif (berhimpit) sama antara penambahan bobot kering batang dengan bobot kering daun sampai umur 6 BST. Bobot kering batang dan daun tertinggi masing-masing sebesar 37.10±4.42 dan 33.13±3.97 g pada umur 7 BST. Hal ini menunjukkan bahwa batang JPB mempunyai kandungan air yang cukup tinggi, sehingga dengan pengeringan bobot basah antara batang dan daun mempunyai bobot yang hampir sama (sebanding) (Gambar 5).

(34)

Gambar 5 Bobot basah batang (BBB), daun (BBD), bobot kering batang (BKB) dan daun (BKD) JPB selama 7 bulan pertumbuhan tanaman

Pola pertumbuhan akar JPB ditentukan berdasarkan bobot basah dan kering akar. Bobot basah dan kering akar JPB meningkat pesat mulai umur 3 sampai 6 BST. Peningkatan bobot basah dan kering akar JPB cenderung konstan setelah tanaman mencapai umur 6 sampai 9 BST (Gambar 6).

(35)

Pola Perkembangan Rimpang

Pola perkembangan rimpang (bobot basah dan jumlah rimpang cabang disajikan pada Gambar 7. Pada gambar terlihat peningkatan bobot basah mulai umur 2 sampai 4 BST terlihat masih relatif rendah masing-masing dengan nilai 36.42±8.95 dan 224.75±14.45 g. Bobot basah meningkat tajam dari umur 4 sampai 7 BST (979.13±109.87 g). Peningkatan bobot basah tidak menunjukkan kenaikan yang signifikan dari 7 BST sampai 9 BST (1122±251.30 g).

Gambar 7 Bobot basah rimpang (BBR) dan jumlah rimpang cabang (JRC) JPB selama 9 bulan pertumbuhan tanaman

Peningkatan jumlah rimpang cabang JPB terjadi mulai umur 2 sampai 9 BST. Kenaikan relatif tajam mulai umur 4 sampai 6 BST dengan nilai masing-masing 5.0±0.7 dan 25.9±1.3 propagul. Jumlah rimpang cabang mulai umur 6 sampai 9 BST (33.8±4.4 propagul) terlihat tidak banyak peningkatan (Gambar 7).

Pola perkembangan rimpang (panjang dan tinggi rimpang) disajikan pada Gambar 8. Pada gambar terlihat panjang rimpang meningkat pesat mulai umur 4 sampai 6 BST, dengan nilai masing-masing sebesar 6.83±0.30 dan 38.13±2.39 cm. Kenaikan panjang rimpang relatif rendah mulai umur 6 sampai umur 9 BST (46.00±2.16 cm). Tinggi rimpang mulai umur 2 sampai 9 BST terlihat bertahap konstan setiap bulannya. Tinggi rimpang mulai umur 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, dan 8 BST, berturut-turut adalah 5.38±0.78; 8.06±1.71; 11.88±1.03; 12.38±1.49; 14.88±0.75; 16.00±0.41; 17.00±1.15; dan 21.50±2.65 cm (Gambar 8).

(36)

Gambar 8 Panjang rimpang (PR) dan tinggi rimpang (TR) JPB selama 9 bulan pertumbuhan tanaman

Kadar air menurun secara bertahap selama berkembangan dan pemasakan rimpang. Penurunan kadar air relatif tajam mulai umur 2 sampai 8 BST, dengan nilai masing-masing 96.0±0.0 dan 86.2±0.9%. Kadar air cenderung stabil mulai umur 8 sampai 9 BST dengan nilai 85.9±2.3% (Gambar 9).

Gambar 9 Kadar air (KA) dan akumulasi bahan kering (ABK) rimpang benih JPB selama 9 bulan pertumbuhan tanaman

Akumulasi bahan kering meningkat selama perkembangan dan pemasakan rimpang, seiring dengan penurunan kadar air. Peningkatan bahan kering terjadi

(37)

sampai umur 9 BST, tetapi kenaikan yang signifikan terjadi mulai umur 4 sampai 8 BST dengan nilai masing-masing 5.4± 0.5% dan 13.9±0.2%. Akumulasi bahan kering cenderung stabil pada umur 8 sampai 9 BST (14.1±2.3%) (Gambar 9).

Perubahan Morfologi selama Perkembangan Rimpang

Bakal rimpang induk (mother rhizome) yaitu rimpang yang tumbuh dari mata tunas rimpang benih (seed rhizome) mulai terbentuk pada umur 1 BST. Rimpang induk pada awalnya berbentuk bulatan, dengan diamater 2.0-2.5 cm. Tonjolan bakal rimpang primer sudah mulai terlihat pada rimpang induk (Gambar 10 A).

Gambar 10 Rimpang benih JPB umur 1 BST (A), 2 (B) BST, 3 BST (C), dan 4 BST (D) Keterangan: RI = rimpang induk, RP = rimpang primer, RS = rimpang sekunder, dan RT = rimpang tersier

Rimpang primer (primary rhizome) yaitu rimpang yang muncul pada buku kedua atau buku ketiga dari rimpang induk (mother rhizome), sudah terbentuk pada umur 2 BST (Gambar 10 B). Pada buku pertama dan kedua dari dasar rimpang induk dan primer muncul akar air (fleshy roots). Rimpang mempunyai buku yang sudah terlihat jelas dengan jumlah 4-5 buku pada rimpang induk dan rimpang primer. Jarak antar buku pada rimpang induk lebih pendek (0.5–1.0 cm), dibandingkan dengan jarak antar buku rimpang primer (>1 cm). Pada buku terdapat seludang pelindung berwarna jingga. Seludang akan berubah warna menjadi cokelat, kemudian mengering dan terkelupas, dengan semakin bertambahnya umur rimpang

RI

A

RI RP

B

C

RP

P

RI RS

D RI

RP

(38)

(Gambar 10 B). Rimpang bisa berkembang dari 1 atau 2 mata tunas dari rimpang benih yang digunakan. Rimpang sekunder (secondary rhizome) yaitu rimpang yang muncul dan berkembang dari buku kedua atau ketiga dari rimpang primer sudah terbentuk pada umur 3 BST (Gambar 10 C). Selanjutnya rimpang tersier (tertiary rhizome) yaitu rimpang yang muncul pada rimpang sekunder sudah terbentuk pada umur 4 BST. Rimpang induk terlihat lebih kecil dan tidak berkembang dibanding rimpang primer, sekunder dan tersier (Gambar 10D).

Pada umur 5 BST mulai terbentuk rimpang kuarter yaitu rimpang cabang yang muncul pada rimpang tersier (Gambar 11 A). Tandan bunga mulai muncul dari ujung rimpang cabang. Pada umur 6 BST rimpang cabang sudah bertambah banyak dan sudah terbentuk rimpang kelima, yaitu rimpang dari muncul dari rimpang kuarter (Gambar 11 B).

Gambar 11 Rimpang benih JPB umur 5 BST(A), 6 BST (B), 7 BST (C), 8 BST (D), dan 9 BST (E)

A B

C D

(39)

Pada umur 7 BST sebagian batang dan daun sudah mulai mengering. Ukuran rimpang bertambah besar dan jumlah rimpang cabang juga bertambah banyak. Rata-rata jumlah rimpang cabang dalam 1 tanaman yang dipisahkan berdasarkan jenis rimpang adalah: rimpang induk (1.1), primer (2.6), sekunder (6.9), tersier (14.9) dan kuarter (7.9 propagul) (Gambar 11 C). Umur 8 dan 9 BST, sebagian besar batang dan daun sudah mengering dan luruh. Pertambahan ukuran dan jumlah rimpang cabang relatif sedikit, karena sudah memasuki proses pemasakan (Gambar 11 D dan E). Rata-rata jumlah rimpang cabang pada umur 9 BST adalah rimpang induk (1.1), primer (2.6), sekunder (8.9), tersier (18.3), dan kuarter (7.8 propagul).

Mutu Fisiologis dan Biokimia Rimpang Benih

Kadar air rimpang benih JPB pada umur 7 BST masih tinggi untuk kelima jenis rimpang (induk, primer, sekunder, tersier dan kuarter). Umur 8 dan 9 BST kadar air sudah menurun untuk semua jenis rimpang. Semakin ke ujung posisi rimpang dalam 1 tanaman, kadar air cenderung semakin tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kadar air rimpang induk < primer < sekunder < tersier < kuarter (Gambar 12).

Gambar 12 Kadar air: rimpang induk (RI), rimpang primer (RP), sekunder (RS), tersier (RT), dan kuarter (RK) pada JPB umur 7, 8 dan 9 BST

Kandungan pati rimpang benih JPB, cenderung meningkat, sejalan dengan pertambahan umur dari 7, 8, dan 9 BST. Pada 7 dan 8 BST kandungan pati cenderung lebih tinggi pada rimpang sekunder dibanding rimpang tersier. Pada 9 BST, kandungan pati sama antara kedua jenis rimpang, baik rimpang tersier maupun rimpang sekunder (Gambar 13).

74 76 78 80 82 84 86 88 90 92 94

RI RP RS RT RK

K

ad

ar

ai

r

(%

)

Jenis anak rimpang

(40)

Gambar 13 Kandungan pati rimpang benih JPB umur 7, 8 dan 9 BST pada rimpang sekunder (RS) dan tersier (RT)

Kandungan hormon IAA rimpang benih JPB terlihat lebih tinggi pada umur 8 dan 9 (BST), baik pada rimpang sekunder maupun rimpang tersier. Kandungan IAA pada rimpang sekunder lebih tinggi dibanding rimpang tersier, terutama pada umur 8 dan 9 BST (Gambar 14).

Gambar 14 Kandungan IAA rimpang benih JPB umur 7, 8 dan 9 BST pada rimpang sekunder (RS) dan tersier (RT)

(41)

terlihat paling rendah pada umur 9 BST, baik pada rimpang sekunder maupun rimpang tersier (Gambar 15).

Gambar 15 Kandungan GA rimpang benih JPB umur 7, 8 dan 9 BST pada rimpang sekunder (RS) dan tersier (RT)

Kandungan ABA rimpang benih JPB semakin menurun dengan pertambahan umur rimpang mulai dari umur 7, 8 dan 9, BST. Rimpang sekunder mempunyai kandungan ABA yang lebih tinggi dibanding rimpang tersier, baik pada umur 7, 8 maupun 9 BST (Gambar 16).

Gambar 16 Kandungan ABA rimpang benih JPB umur 7, 8 dan 9 BST pada rimpang sekunder (RS) dan tersier (RT)

Kandungan sitokinin rimpang benih JPB cenderung menurun, sejalan dengan pertambahan umur mulai dari 7, 8, dan 9 BST baik pada rimpang sekunder maupun

(42)

rimpang tersier. Kandungan sitokinin cenderung lebih tinggi pada rimpang sekunder dibanding rimpang tersier untuk ketiga umur 7, 8, dan 9 BST (Gambar 17).

Gambar 17 Kandungan sitokinin rimpang benih JPB umur 7, 8 dan 9 BST pada rimpang sekunder (RS) dan tersier (RT)

Viabilitas rimpang benih JPB (daya tumbuh, kecepatan tumbuh, tinggi bibit dan bobot kering bibit) dapat dilihat pada Tabel 2. Daya tumbuh dan kecepatan tumbuh rimpang benih JPB, cenderung lebih tinggi pada umur 7 BST dibanding dengan umur 8 dan 9 BST. Tinggi bibit JPB cenderung terlihat lebih tinggi pada umur 7 dan 8 BST, dibanding umur 9 BST. Bobot kering bibit JPB terlihat sama untuk ketiga umur 7, 8, an 9 BST.

Tabel 2 Daya tumbuh, kecepatan tumbuh, tinggi bibit, dan bobot kering bibit rimpang benih JPB pada umur 7, 8, dan 9 bulan

(43)

Gambar 18 Rekapitulasi mutu fisiologis rimpang benih JPB pada umur 7, 8 dan 9 BST

Pembahasan

Pertumbuhan tajuk (batang dan daun) tanaman JPB berlangsung sampai umur 7 BST. Pertumbuhan tajuk terdiri atas tiga fase pertumbuhan: lambat, cepat, dan pemasakan (senesen). Masing-masing fase pertumbuhan berbeda-beda sesuai dengan masing-masing bagian tanaman.

Panjang batang dan tinggi tanaman mengalami fase pertumbuhan cepat dari umur 3 sampai 5 BST, kemudian pertumbuhan relatif stabil mulai umur 5 sampai 7 BST. Tanaman memasuki fase pemasakan setelah umur 7 BST (Gambar 2). Pertambahan jumlah anakan memasuki fase cepat saat umur 4 sampai 6 BST (Gambar 3).

Pertumbuhan daun (jumlah dan bobot basah daun) berlangsung cepat saat umur 4 sampai 6 BST (fase cepat), setelah umur 6 BST jumlah dan bobot basah daun menurun karena sebagian daun sudah mulai mengering dan luruh (memasuki fase pemasakan) (Gambar 3 dan 5). Bobot basah dan bobot kering tajuk meningkat pesat pada umur 4 sampai 6 BST. Hal ini menunjukkan bahwa melewati umur 6 BST pertumbuhan batang dan daun sudah konstan dan mulai memasuki fase pemasakan.

Menurut Ravindran dan Babu (2005) pola pertumbuhan jahe dalam kondisi optimal secara umum dibagi atas 3 periode yang berbeda: fase pertumbuhan aktif (3–4 BST), fase pertumbuhan vegetatif lambat (4–6 BST) dan fase senesen (>6 BST). Pola perkembangan rimpang mengikuti kecenderungan yang sama dengan pola pertumbuhan tajuk, tetapi perkembangan rimpang masih berlangsung sampai panen. Serapan hara (NPK) meningkat secara progresif dengan meningkatnya periode pertumbuhan. Pengambilan nutrisi oleh daun dan batang semu masih meningkat sampai umur 6 BST. Policegoudra et al. (2007) membagi empat fase pertumbuhan dan perkembangan rimpang temu mangga: fase pertumbuhan

0 200 400 600 800 1000

GA3 ABA SITOKININ IAA PATI DT

KCTX10 7 BST

8 BST

(44)

vegetatif 1–60 hari setelah tanam (HST), pertumbuhan dan inisiasi (60–150 HST), pemasakan (150–180 HST) dan senesen (180-240 HST).

Pertumbuhan akar (bobot basah dan kering akar ) JPB memasuki periode cepat saat umur 3 dan 6 BST. Setelah 7 BST pertumbuhan akar stabil dan akar mulai mengering (Gambar 6). Menurut Ravindran dan Babu (2005), akar jahe terdiri dari dua jenis yaitu akar serabut (fibrous) dan akar air (fleshy). Akar serabut muncul dari dasar tunas dengan pertumbuhan indefinite. Jumlah akar meningkat seiring dengan meningkatnya pertumbuhan anakan yang masing-masing memiliki banyak akar lateral berukuran kecil. Akar serabut memiliki ukuran lebih tipis, memiliki rambut akar, dan fungsi utama dalam penyerapan air dan nutrisi. Selanjutnya pada buku rimpang induk atau rimpang primer paling bawah, muncul akar air. Akar air mempunyai ukuran lebih tebal (0.5 cm), panjang 10-25 cm, berwarna putih susu, dengan sedikit rambut akar, tidak mempunyai akar lateral dan berfungsi membantu penyerapan dan membantu menyokong tanaman.

Pertumbuhan rimpang (bobot basah) memasuki periode cepat saat umur 4 sampai 7 BST. Umur 7 sampai 9 BST pertambahan bobot basah relatif tidak banyak karena sudah memasuki periode pemasakan. Pertambahan jumlah rimpang cabang pesat saat umur 4 sampai 6 BST (Gambar 7).

Peningkatan jumlah daun pada fase pertumbuhan cepat (4 sampai 6 BST) menyebabkan peningkatan aktivitas fotosintesis sehingga asimilat akan dimanfaatkan untuk pertumbuhan tanaman selanjutnya, dan sebagian disimpan sebagai cadangan dalam organ penyimpan, seperti rimpang. Akumulasi asimilat pada rimpang akan meningkatkan bobot akumulasi bahan kering, dan menurunkan kadar air rimpang.

Kadar air rimpang stabil mulai umur 8 sampai 9 BST, sebaliknya akumulasi bahan kering, meningkat sejalan dengan penurunan kadar air (Gambar 9). Pada saat kadar air rimpang rendah dan bobot bahan kering tertinggi menunjukkan bahwa rimpang sudah mencapai masak fisiologis (8 BST). Musim kemarau pada saat memasuki periode pemasakan (umur 7, 8 dan 9 BST) menghasilkan rimpang dengan kadar air yang rendah (<80%), sebaliknya musim hujan saat memasuki periode pemasakan menghasilkan kadar air rimpang >85% karena rimpang bersifat higroskopis. Untuk mendapatkan mutu rimpang benih yang baik sebaiknya dengan mengatur waktu tanam sehingga panen dapat dilakukan pada musim kemarau. Kadar air masing-masing jenis rimpang juga berbeda-beda. Makin ke ujung posisi rimpang (rimpang induk, primer, sekunder, tersier dan kuarter), semakin tinggi kadar airnya. Hal ini berhubungan dengan tingkat ketuaan rimpang. Rimpang yang paling ujung merupakan rimpang yang paling akhir terbentuk, sehingga lebih muda dibanding rimpang lainnya (Gambar 12).

(45)

semakin meningkat pada umur 5 sampai 6 BST, seiring dengan pertambahan ukuran sehingga panjang, lebar dan bobot basah rimpang semakin meningkat (Gambar 10 dan 11).

Pada saat umur memasuki fase pemasakan (7, 8 dan 9 BST) jumlah rimpang cabang semakin meningkat. Pada kondisi tersebut jumlah rimpang tersier lebih banyak dibanding jenis rimpang lainnya. Rata-rata jumlah rimpang cabang pada umur 9 BST adalah rimpang induk (1.1), primer (2.6), sekunder (8.9), tersier (18.3), dan kuarter (7.8 propagul).

Kandungan pati meningkat sejalan dengan pertambahan umur rimpang baik pada rimpang sekunder maupun tersier, dengan peningkatan relatif tidak banyak perbedaan. Kandungan pati rimpang sekunder pada saat umur 7, 8 dan 9 BST masing-masing: 44.9±4.7, 47.1±0.5 dan 49.9±1.3%. Kandungan pati rimpang tersier pada umur 7, 8 dan 9 BST masing-masing: 41.1±0.4, 46.2±1.2 dan 49.8±0.9%. Rimpang sekunder mempunyai kandungan pati relatif tinggi dibanding rimpang tersier, karena perbedaan tingkat ketuaan (Gambar 13). Hasanah (2004) melaporkan bahwa salah satu persyaratan rimpang benih bermutu mempunyai kandungan pati yang tinggi (>43%). Hal ini menunjukkan bahwa rimpang umur 7 BST sudah mulai layak digunakan sebagai bahan tanaman, karena mempunyai kandungan pati 44% (sudah memenuhi persyaratan rimpang benih bermutu).

Produksi dan mutu rimpang benih JPB sangat ditentukan oleh peran hormon endogen (IAA, ABA, GA dan sitokinin) selama pembentukan dan perkembangan rimpang. Kandungan hormon IAA rimpang benih JPB lebih tinggi pada umur 8 dan 9 BST dibanding dengan 7 BST, baik pada rimpang sekunder maupun rimpang tersier (Gambar 14). IAA berperan dalam pembesaran dan pemanjangan sel. Kandungan IAA yang tinggi selama pembentukan rimpang, menyebabkan rimpang berperan sebagai sink yang kuat dalam menarik asimilat. Kandungan IAA pada rimpang sekunder lebih tinggi dibanding rimpang tersier, terutama pada umur 8 dan 9 BST. Hal ini duga karena adanya transfer IAA dari bagian apikal (rimpang paling ujung) ke rimpang di bawahnya.

Kandungan GA rimpang benih JPB terlihat lebih tinggi pada rimpang tersier dibanding dengan rimpang sekunder, pada umur 7 dan 8 BST. Kandungan GA menurun dengan pertambahan umur dari 7 sampai dengan 9 BST. Kandungan GA terlihat paling rendah pada umur 9 BST, baik pada rimpang sekunder maupun rimpang tersier (Gambar 15). Menurut Fernie dan Willmitzer (2001); Falcon et al. (2006) giberelin terlibat dalam mengatur perkembangan umbi kentang.

Gambar

Tabel 1  Data suhu, kelembaban (RH), jumlah hari hujan di Kelurahan Kayumanis,
Gambar 5   Bobot basah batang (BBB), daun (BBD), bobot kering batang (BKB)
Gambar 8. Pada gambar terlihat panjang rimpang meningkat pesat mulai umur 4
Gambar 8   Panjang rimpang (PR) dan tinggi  rimpang (TR) JPB selama 9 bulan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh penerapan modifikasi alat bantu pembelajaran terhadap peningkatan kemampuan lompat tinggi gaya

Penyidik pejabat pegawai negeri sipil berwenang melakukan pemeriksaan atas kebe- naran laporan atau keterangan berkenaan de- ngan tindak pidana menyangkut hutan, Kawa- san

tidak seperti sekolah unggulan lain yang hanya menerima calon siswa yang pandai, SLTPN 4 Mendoyo memiliki sistem penerimaan siswa baru yang tidak berdasarkan NEM yang

Pada pengolahan menggunakan tanah gambut dan tanaman air memiliki kualitas yang lebih baik dari pada pengolahan lainnya dan sudah memenuhi standar baku mutu air limbah domestik

informasinya karena informasi yang di dapat lambat dan tidak ada kejelasan datangnya informasi, hal ini karena adanya tebang pilih dalam mengikut sertakan pelaku

Analisis Pendapatan &amp; Biaya Pemeliharan Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) Menganalisis kondisi pemeliharaan dilihat dari aspek pendapatan yang diterima beserta aspek

Oleh karena skor rata-rata kemampuan berpikir tingkat tinggi kelas eksperimen lebih tinggi dari kelas kontrol, maka dapat disimpulkan bahwa, kemampuan berpikir

Ciri yang disebutkan oleh Chang merupakan salah satu indikator yang digunakan oleh peneliti optimisme dalam explanatory stlye , sedangkan penelitian yang mengkaji mengenai