• Tidak ada hasil yang ditemukan

BERBEDA

*)

Abstrak

Salah satu faktor yang menentukan daya simpan benih jahe putih besar (JPB) adalah mutu. Mutu rimpang benih sangat ditentukan oleh tingkat kemasakan rimpang. Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh umur panen terhadap daya simpan rimpang benih JPB, dengan mempelajari perubahan mutu fisiologis selama penyimpanan. Penelitian dilaksanakan di Rumah Kaca dan Laboratorium Teknologi Benih, Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat serta Laboratorium Pascapanen IPB Bogor, mulai bulan Juli 2012 sampai dengan Februari 2013. Rancangan yang digunakan adalah acak lengkap (RAL) dengan lima ulangan. Perlakuan yang diuji adalah tiga tingkat umur panen benih 7, 8, dan 9 bulan setelah tanam (BST). Pengamatan dilakukan terhadap perubahan fisiologis (penyusutan bobot, persentase rimpang bertunas, tunas, kadar air, dan laju respirasi), serta viabilitas rimpang benih (daya tumbuh, tinggi, dan bobot kering bibit) selama penyimpanan. Hasil penelitian menunjukkan rimpang benih umur 7 dan 8 BST mempunyai daya simpan terbaik karena menghasilkan masing-masing angka penyusutan bobot lebih rendah (24.7 dan 25.3%) dan tunas lebih pendek (0.30 dan 1.08 cm) dibandingkan dengan umur panen 9 BST (27.1% dan 1.6 cm) selama 4 bulan disimpan. Rasio ABA/sitokinin lebih tinggi pada umur 7 BST (5.0) dan 8 BST (4.7) dibanding umur 9 BST (4.2) pada rimpang benih JPB asal Nagrak. Masa dormansi rimpang benih JPB (umur 7, 8 dan 9 BST) mulai pecah setelah mengalami periode simpan 2 bulan. Rimpang benih umur 7 dan 8 BST sudah dapat digunakan sebagai bahan tanaman, karena mempunyai pertumbuhan dan produksi rimpang benih yang sama dengan 9 BST. Kata kunci: Dormansi, pertunasan, respirasi, viabilitas, dan Zingiber officinale

____________________________________________________________________ *) sudah dipublikasi di Jurnal Penelitian Tanaman Industri 21(1) Maret 2015:17-24

Abstract

One of the factors that determine the storability of seed rhizome of ginger is quality initial. The quality of seed rhizome influenced by the maturity levels of rhizome. The aim of the experiment was to observe the effect of harvesting time on physiological quality changes of ginger seed rhizomes during the storage. The experiment was conducted at Green House and Seed Technology Laboratory of Indonesian Spice and Medicinal Crops Research Institute, Bogor and Postharvest Laboratory, IPB, from July 2012 to February 2013. The experiment was arranged in a completely randomized design with five replications. The treatments tested were three levels of ginger seed rhizome harvested at 7, 8, and 9 month after planting (MAP). Variables observed were physiological changes of seed rhizomes during the storage i.e. weight loss, sprouting percentage, shoot height, respiration rate, and moisture content and viability of seed rhizome i.e. growth ability, height, and dry weight of the seedling. The results showed that seed rhizomes harvested at 7 and 8 had the best storability, since it produced weight loss was lower, and shoots was shorter than 9 MAP, for 4 months in the storage. The ABA/cytokinins ratio of seed rhezome harvested at 7 MAP and 8 MAP was higher compared to 9 MAP lead to higher levels of dormancy so that it could be storage for longer periode. Dormancy of ginger seed rhizomes harvested at 7, 8 and 9 MAP was broken after 2 months in the storage. Ginger seed rhizome harvested 7 and 8 MAP can be used as plant material because it has the same growth and production with 9 MAP.

Key words: Dormancy, respiration, sprouting, viability, and Zingiber officinale

Pendahuluan

Salah satu faktor yang menentukan daya simpan rimpang benih jahe putih besar (JPB) adalah mutu rimpang benih sebelum disimpan. Mutu rimpang benih berkaitan dengan kandungan pati dan serat pada rimpang. Kandungan pati dan serat yang tinggi pada JPB menghasilkan rimpang lebih bernas, sehingga diharapkan mempunyai daya simpan yang lebih lama.

Kandungan pati dan serat sangat erat kaitannya dengan umur panen benih. Hasil penelitian pada Percobaan 1 membuktikan bahwa rimpang umur 7 BST mempunyai viabilitas yang sama dengan umur 8 dan 9 BST. Selama ini petani menetapkan umur panen rimpang benih JPB setelah mencapai umur 9–10 bulan setelah tanam. Tanaman jahe yang siap dipanen ditandai dengan luruhnya daun dan batang sekitar 80–90% dari pertanaman. Luruhnya sebagian besar batang dan daun menandakan telah berhentinya transfer fotosintat dari daun ke organ penyimpanan seperti rimpang. Penundaan panen yang terlalu lama setelah daun luruh menyebabkan mutu benih turun karena serangan hama penyakit tanaman, rimpang akan bertunas kembali kalau terkena siraman air hujan dan terjadinya penyusutan bobot rimpang karena adanya aktifitas fisiologis.

Perubahan iklim atau pemanasan global saat ini berdampak pada pertanaman jahe. Musim kemarau yang terlalu lama dengan suhu udara rata-rata siang hari yang cukup tinggi (33–35 ˚C) menyebabkan tanaman sudah luruh saat umur 7 BST (Syahid 2013). Pada umumnya petani penangkar, menjual rimpang yang dipanen umur 7 BST tersebut dengan harga lebih murah, karena beranggapan rimpang belum layak atau belum cukup umur untuk dijadikan benih maupun untuk disimpan. Hal ini tentu sangat merugikan usaha produksi benih jahe putih besar baik di tingkat petani penangkar, maupun produsen benih.

Secara umum benih akan mengalami penurunan mutu (deterioration) selama proses penyimpanannya. Pada umbi kentang terjadi beberapa gejala penurunan yang terjadi selama proses penyimpanan antara lain adalah kerusakan fisik/stabilitas membran sel yang dicirikan dengan kebocoran ion (Haq et al. 2007), peningkatan respirasi, penyusutan bobot, penurunan kadar air, perubahan warna (greening), dormansi dan pertunasan (Pringle et al. 2009) serta perubahan hormon endogen (Suttle 2004). Pada rimpang temu mangga (Curcuma amada Roxb.) terjadi perubahan fisiologis dan biokimia selama penyimpanan yaitu: penurunan kadar air, penurunan bobot, pertunasan, peningkatan senyawa fenol, penurunan aktivitas antioksidan, dan penurunan kandungan protein (Policegoudra dan Aradhya 2007).

Respirasi meningkat dengan semakin tingginya suhu ruang simpan. Peningkatan aktivitas respirasi pada benih kentang menyebabkan penurunan bobot umbi. Pringle et al.( 2009) menyebutkan bahwa pada umbi kentang, laju respirasi tinggi pada waktu panen, kemudian menurun dengan kondisi simpan atau pada saat dorman dan kembali meningkat pada saat pertunasan atau dormansi pecah.

Penyimpanan umbi kentang pada suhu yang rendah dapat menyebabkan terjadinya dormansi tunas (Voss et al. 2011). Abscisic acid (ABA) berperan dalam menginduksi dan mempertahankan dormansi pada umbi kentang mini (Suttle dan Hultstrand 1994). Dormansi pada umbi kentang akan hilang secara bertahap selama penyimpanan. Pecahnya dormansi umbi disertai dengan perubahan-perubahan biokimia. Peningkatan kandungan dan sensitivitas sitokinin merupakan faktor utama penyebab pecahnya dormansi pada umbi kentang. Selanjutnya perubahan kandungan auksin (IAA) dan giberelin (GA) endogen berperan untuk perumbuhan tunas selanjutnya (Suttle 2004).

Pada rimpang benih JPB belum ada informasi tentang hubungan antara umur panen dengan daya simpan benih, serta perubahan-perubahan fisiologis yang terjadi selama penyimpanan. Penentuan umur panen yang optimal, dan perubahan fisiologis dan kimia selama penyimpanan diharapkan dapat menentukan teknik penyimpanan yang tepat, sehingga dapat mempertahankan mutu benih sampai tanam berikutnya. Berdasarkan permasalahan tersebut, dilaksanakan percobaan yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh umur panen terhadap daya simpan rimpang benih JPB, dengan mempelajari perubahan mutu fisiologis selama penyimpanan.

Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian

Percobaan dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Benih, Rumah Kaca Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat dan Laboratorium Pascapanen IPB, mulai bulan Juli 2012 sampai Juni 2013.

Rancangan Percobaan

Rancangan yang digunakan dalam percobaan ini adalah rancangan acak lengkap (RAL), satu faktor dengan lima ulangan. Faktor yang diuji adalah umur panen benih: 1) tujuh, 2) delapan dan 3) sembilan bulan setelah tanam (BST) sehingga diperoleh 15 satuan percobaan. Setiap satuan percobaan terdiri atas 40 kg lot rimpang benih JPB.

Persiapan Rimpang Benih

Rimpang benih JPB yang digunakan berasal dari Kebun Petani Penangkar di Desa Nagrak Selatan, Kecamatan Nagrak, Sukabumi. Rimpang benih JPB yang sudah dipanen sesuai perlakuan: tujuh, delapan dan sembilan BST dibersihkan dari tanah yang menempel. Rimpang benih kemudian disortasi, rimpang benih yang menunjukkan gejala serangan hama penyakit dibuang. Rimpang benih yang sehat dan bersih kemudian dikeringanginkan, selama 2 - 3 hari, sampai kulit benih tidak lembab. Rimpang benih jahe yang dibutuhkan untuk setiap umur panen dengan lima ulangan sebanyak 200 kg (40 kg setiap satuan atau unit percobaan), sehingga total rimpang benih yang digunakan sebanyak 600 kg. Jumlah rimpang benih yang dibutuhkan, cukup besar karena ukuran rimpang yang voluminous dan kurang seragam. Rimpang benih disiapkan untuk 15 satuan percobaan yang diuji daya simpannya setiap bulan yaitu pada 0, 1, 2, 3, dan 4 bulan setelah simpan (5 kali pengujian). Pengujian dilakukan terhadap perubahan fisiologis dan viabilitas selama penyimpanan.

Perlakuan Penyimpanan

Rimpang benih yang sudah bersih dipisahkan berdasarkan umur panen, kemudian dipersiapkan untuk perlakuan penyimpanan. Penyimpanan dilakukan pada ruang penyimpanan suhu 20–22 ºC (ruang AC), dengan RH ruangan (70–80 %), dengan cara meletakkan benih pada rak-rak penyimpanan. Perubahan kelembaban ruang simpan dicatat setiap hari selama penyimpanan (4 bulan).

Pengamatan

Perubahan Fisiologis Rimpang Benih Penyusutan Bobot Rimpang

Pengamatan terhadap penyusutan bobot rimpang dilaksanakan setiap bulan sampai 4 bulan penyimpanan dengan cara menimbang bobot rimpang yang sama setiap bulan. Penghitungan penyusutan bobot rimpang (PBR) dilakukan dengan menggunakan rumus:

PBR = bobot rimpang awal – bobot rimpang akhir

bobot rimpang awal x 100%

Persentase Rimpang Bertunas

Pengamatan terhadap persentase rimpang bertunas, dilakukan dengan menghitung persentase rimpang bertunas setiap bulan sampai 4 bulan penyimpanan. Panjang Tunas

Pengamatan terhadap panjang tunas dilaksanakan setiap bulan mulai dari awal simpan sampai 4 bulan penyimpanan. Pengamatan dilakukan dengan cara mengukur panjang tunas terpanjang yang muncul pada rimpang.

Kadar Air

Pengamatan terhadap kadar air benih dilaksanakan setiap bulan sampai 4 bulan penyimpanan. Pengamatan dilakukan dengan menimbang sebanyak ±20 g benih rimpang, kemudian dioven pada suhu pada suhu 103±2 ºC selama 17±2 jam (sampai konstan), setelah itu bobot kering benih ditimbang. Kadar air diukur dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

% 100 x a b a KA  Keterangan:

a = bobot awal benih sebelum dioven b = bobot benih setelah dioven Laju Respirasi

Pengukuran laju respirasi dilakukan dengan menggunakan alat kosmotektor. Pengukuran laju respirasi dilakukan berdasarkan produksi gas CO2 per kg bahan per jam (Lampiran 4).

Kadar Pati

Pengamatan kadar pati dilaksanakan pada awal simpan. Pengamatan bertujuan untuk melihat pengaruh umur panen terhadap kandungan pati rimpang benih dan hubungannya dengan daya simpan benih. Pengukuran kadar pati berdasarkan kadar karbohidrat dilakukan dengan metode titrimetri (BSN 1992) (Lampiran 1).

Kadar Serat

Pengamatan kadar serat dilaksanakan pada awal simpan. Pengamatan bertujuan untuk melihat pengaruh umur panen terhadap kandungan serat rimpang benih dan hubungannya dengan daya simpan benih. Pengukuran kadar serat dilakukan dengan metode grafimetri (BSN 1992) (Lampiran 5).

Kandungan Hormon (auksin, sitokinin, giberelin dan ABA)

Pengamatan dilakukan pada awal penyimpanan. Analisis dilakukan pada rimpang yang telah dikeringkan kemudian diaduk supaya homogen. Ekstraksi dan identifikasi hormon IAA, GA, sitokinin dan ABA menggunakan metode Thin Layer Chromatography (TLC) yang dimodifikasi oleh Unyayar et al 1996). Pengukuran kadar hormon berdasarkan bahan kering dilakukan secara kuantifikasi dengan TLC

scanner tipe 3-CAMAG. Prosedur kerja dapat dilihat pada Lampiran (Lampiran 2). Viabilitas Rimpang Benih

Pengujian viabilitas rimpang benih berdasarkan umur panen rimpang (7, 8 dan 9 BST) dilaksanakan setiap bulan yaitu pada 0, 1, 2, 3 dan 4 bulan setelah simpan (BSS). Pengujian viabilitas dilakukan dengan menyemaikan sebanyak 30 rimpang benih pada bak persemaian dengan menggunakan media cocopit dengan lima ulangan. Pengamatan terhadap viabilitas rimpang benih dilakukan dengan mengamati daya tumbuh, tinggi tunas dan berat kering tunas.

Daya Tumbuh (DT)

Pengamatan terhadap daya tumbuh dilakukan terhadap rimpang yang sudah bertunas, dengan kriteria tunas sudah muncul ke permukaan tanah (> 3 cm), tunas segar dan bebas dari serangan hama dan penyakit. Pengamatan dilakukan mulai 2 minggu setelah semai dan dilanjutkan setiap hari sampai 2 bulan setelah semai.

Daya tumbuh dapat dihitung dengan rumus:

DT = ∑ rimpang bertunas

Tinggi Bibit

Pengamatan terhadap tinggi bibit dilakukan pada akhir pengamatan yaitu 2 bulan setelah semai, dengan cara mengukur tinggi bibit normal tertinggi yang muncul dari setiap rimpang.

Bobot Kering Bibit

Pengamatan dilakukan pada akhir pengamatan dengan cara memisahkan tunas yang tumbuh normal dari rimpang, kemudian dimasukkan ke dalam kantong kertas dan setelah itu dikeringkan dalam oven suhu 60 ºC selama 3 x 24 jam. Bobot kering tunas kemudian ditimbang setelah didinginkan dalam desikator selama ± 30 menit.

Pertumbuhan Tanaman dan Produksi Rimpang

Pengujian terhadap pertumbuhan dan produksi rimpang benih umur 7, 8 dan 9 BST hanya dilakukan pada rimpang benih yang telah disimpan selama 4 bulan (akhir penyimpanan). Pengujian bertujuan untuk melihat pertumbuhan dan produksi JPB pada umur panen berbeda setelah disimpan selama 4 bulan. Penanaman dilakukan dalam polibag ukuran 60 cm x 60 cm, di Rumah Kaca Teknologi Benih, Balittro. Pengamatan pertumbuhan tanaman (tinggi tanaman, panjang batang semu dan jumlah anakan) dilakukan mulai tanaman 3 bulan, yang dilakukan setiap bulan sampai umur 7 bulan. Pengamatan terhadap produksi rimpang dilaksanakan setelah tanaman dipanen pada umur 9 bulan setelah tanam.

Hasil

Perubahan Fisiologis Rimpang Benih selama Penyimpanan Penyusutan Bobot Rimpang Benih JPB

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa umur panen tidak berpengaruh nyata terhadap penyusutan bobot rimpang benih JPB selama penyimpanan, kecuali pada 4 bulan setelah simpan (BSS). Penyusunan bobot rimpang menurun sampai 3 BSS pada setiap umur panen, kemudian pada 4 BSS terjadi peningkatan kembali penyusutan bobot rimpang benih (Gambar 20).

Penyusutan bobot rimpang relatif tinggi pada berbagai umur panen pada 1 BSS, berkisar antara 8.2 dan 9.5%. Penyusutan bobot rimpang benih mengalami penurunan yang cukup tajam pada 3 BSS berkisar antara 2.9–4.2%, dengan tingkat penurunan yang tidak berbeda antar umur panen. Sebaliknya pada 4 BSS, penyusutan bobot rimpang benih mengalami peningkatan yang signifikan antar umur panen. Peningkatan penyusutan bobot rimpang benih tertinggi didapatkan pada umur panen 9 BST (Gambar 20).

Gambar 20 Penyusutan bobot rimpang benih JPB pada berbagai umur panen benih selama penyimpanan

Ket: Huruf yang sama pada masing-masing diagram tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%

Persentase Rimpang Bertunas

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa umur panen tidak berpengaruh nyata terhadap persentase rimpang benih bertunas selama penyimpanan, kecuali pada 3 BSS. Selama penyimpanan terjadi peningkatan persentase rimpang benih bertunas pada setiap umur panen (Gambar 21).

Gambar 21 Persentase rimpang benih JPB bertunas pada berbagai umur panen benih selama penyimpanan

Ket: Huruf yang sama pada masing-masing diagram tidak berbeda nyata menurut uji DMRT taraf 5%

b b a 0 2 4 6 8 10 12 1 2 3 4 P e n yu su tan b o b o t (% )

Lama simpan (bulan)

umur panen 7 BST umur panen 8 BST umur panen 9 BST ab b a 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 1 2 3 4 R im p an g b e r tu n as (% )

Lama simpan (bulan) umur panen 7 BST

umur panen 8 BST umur panen 9 BST

Pada Gambar 21 terlihat rimpang benih JPB belum ada yang bertunas sampai 1 BSS. Rimpang benih JPB sudah mulai bertunas pada 2 BSS, tetapi tidak berbeda nyata antar umur panen (58–68%). Umur panen mulai berpengaruh terhadap persentase rimpang bertunas pada 3 BSS. Persentase rimpang benih bertunas tertinggi diperoleh pada umur panen 9 BST (93%), tapi tidak berbeda nyata dengan 8 BST (89%). Pada 4 BSS, persentase rimpang benih bertunas, meningkat mencapai 89–94%, tetapi tidak terdapat perbedaan yang nyata antar umur panen.

Panjang Tunas

Hasil sidik ragam memperlihatkan bahwa umur panen berpengaruh nyata terhadap panjang tunas JPB selama di gudang penyimpanan. Selama penyimpanan sampai 4 BSS terjadi peningkatan panjang tunas pada setiap umur panen rimpang benih (Gambar 22). Rimpang benih sudah mulai bertunas pada 2 BSS, dengan panjang tunas berkisar antara 0.06 dan 0.15 cm. Panjang tunas tertinggi diperoleh pada umur panen 9 BST (0.15 cm) dan panjang tunas terpendek, diperoleh pada umur panen 7 BST (0.06 cm).

Gambar 22 Panjang tunas rimpang benih JPB pada berbagai umur panen benih selama penyimpanan

Ket: Huruf yang sama pada masing-masing diagram tidak berbeda nyata menurut uji DMRT taraf 5%

Pada 3 BSS, panjang tunas meningkat, dengan nilai tertinggi diperoleh pada umur panen 9 BSS (0.76 cm), diikuti 8 BSS (0.59 cm) dan 7 BSS (0.43 cm). Pada 4 BSS, panjang tunas meningkat mencapai 0.94–1.62 cm. Panjang tunas tertinggi diperoleh pada umur panen 9 BST (1.62 cm), sedangkan panjang tunas terendah diperoleh pada umur panen 7 BST (0.94 cm).

c c b b b b a a a 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 1.4 1.6 1.8 0 1 2 3 4 P an jan g tu n as (c m )

Lama simpan (bulan) umur panen 7 BST

umu panenr 8 BST umur panen 9 BST

Kadar Air

Hasil sidik ragam memperlihatkan bahwa umur panen tidak berpengaruh terhadap kadar air rimpang benih pada 0, 1 dan 4 BSS, tetapi berpengaruh nyata pada 2 dan 3 BSS. Kadar air rimpang benih relatif stabil selama penyimpanan, kecuali pada umur panen 9 BST, terjadi penurunan yang cukup tajam pada 2 dan 3 BSS. Kadar air rimpang benih JPB relatif tinggi (> 86%) sampai 1 BSS. Pada 2 BSS, terjadi penurunan kadar air benih yang cukup tajam pada umur panen 9 BST (84.2%), dan berbeda nyata dengan 7 (87.0%) dan 8 BST (87.5%). Pada 3 BSS, masih terdapat penurunan kadar air rimpang benih pada umur panen 9 BST (83.2%), dan sangat berbeda nyata dengan umur panen 7 (86.8%) dan umur 8 BST (86.7%). Pada 4 BSS, terjadi peningkatan kadar air rimpang benih kembali pada umur panen 9 BST (87%), dan tidak berbeda nyata dengan umur panen 7 (87.8%) dan umur 8 BST (87.3%) (Gambar 23).

Gambar 23 Kadar air rimpang benih JPB pada berbagai umur panen benih selama penyimpanan

Ket: Huruf yang sama pada masing-masing diagram tidak berbeda nyata menurut uji DMRT taraf 5%

Laju Respirasi

Hasil analisis sidik ragam memperlihatkan bahwa umur panen tidak berpengaruh nyata terhadap laju respirasi rimpang benih JPB pada awal penyimpanan, akan tetapi berpengaruh nyata pada penyimpanan 1, 2 dan 4 bulan. Pada awal simpan laju respirasi benih relatif tinggi, berkisar antara 0.94 dan 0.96 mg CO2 kg-1 jam-1 (Gambar 24).

Respirasi menurun tajam untuk semua umur panen setelah benih mengalami penyimpanan selama 1 bulan. Respirasi tertinggi diperoleh pada umur panen 9 BST (0.30 mg CO2 kg-1jam-1), kemudian diikuti oleh umur panen 8 BST (0.25 mg CO2 kg-1 jam-1), yang tidak berbeda dengan umur panen 7 BST (0.21 mg CO2 kg-1 jam-1). Pada 2 BSS terjadi peningkatan respirasi yang cukup tajam pada umur panen 9 BST,

aa aa b b 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 0 1 2 3 4 K ad ar ai r (% )

Lama simpan (bulan)

umur panen 7 BST umur panen 8 BST umur panen 9 BST

mencapai 0.56 mg CO2 kg-1 jam-1, dan berbeda sangat nyata dengan umur panen 8 (0.23 mg CO2 kg-1 jam-1) dan 7 BST (0.23 mg CO2 kg-1 jam-1). Pada 3 BSS terjadi kembali peningkatan respirasi, dan tidak berbeda antar umur panen (Gambar 24).

Gambar 24 Laju respirasi rimpang benih JPB pada berbagai umur panen benih selama penyimpanan

Ket: Huruf yang sama pada masing-masing diagram tidak berbeda nyata menurut uji DMRT taraf 5%

Kandungan Serat dan Pati

Kandungan serat rimpang benih JPB terlihat tidak berbeda antar umur panen. Kandungan serat masing-masing untuk umur 7, 8, dan 9 BST adalah: 16.1±0.1; 16.9±0.1; dan 17.5±0.1%. Kandungan pati pada umur 7 BST (47.0±1.0%) lebih rendah dibanding umur 8 (50.9±0.4%) dan 9 BST (51.4±0.6%) (Gambar 25).

Gambar 25 Kadar serat dan pati rimpang benih JPB pada berbagai umur panen benih pada awal simpan

b b a b b a a a b 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 0 1 2 3 4 Laju r e sp ir as i (m g C O2 kg -1 jam -1)

Lama simpan (bulan)

umur panen 7 BST umur panen 8 BST umur panen 9 BST 0 10 20 30 40 50 60 7 8 9 K a d a r se ra t d a n p a ti (% )

Umur panen benih (BST)

Serat Pati

Rimpang sebagai organ perbanyakan vegetatif, juga merupakan organ penyimpan dari fotosintat dalam bentuk pati. Akumulasi pati akan meningkat sesuai perkembangan rimpang sampai tanaman mengalami senesen. Akumulasi pati selama pembentukan dan perkembangan tersebut digunakan untuk pertunasan dan pertumbuhan berikutnya. Selama penyimpanan rimpang benih mengalami perubahan fisiologis dan biokimia yang mendorong inisiasi tunas dan pertumbuhan tunas, dengan memanfaatkan zat pati sebagai cadangan makanan.

Kandungan Hormon (ABA, GA, Sitokinin dan IAA)

Kandungan hormon ABA rimpang benih JPB pada umur 7, 8 dan 9 BST (1838±314, 1770±87 dan 1729±298 nmol g-1 bahan kering) terlihat lebih tinggi dibanding dengan hormon GA (343±98, 332±29 dan 228±29 nmol g-1 bahan kering), sitokinin (372±28, 381±28 dan 409±51 nmol g-1 bahan kering), dan IAA (828±251, 742±80 dan 519±51 nmol g-1 bahan kering). Hormon GA, ABA dan IAA, menurun dengan bertambahnya umur benih. Sebaliknya sitokinin meningkat dengan bertambahnya umur benih (Gambar 26).

Gambar 26 Kandungan hormon endogen (GA, ABA, sitokinin dan IAA) rimpang benih JPB pada berbagai umur panen benih pada awal simpan

Perubahan Viabilitas selama Penyimpanan Daya Tumbuh

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa umur panen berpengaruh nyata terhadap daya tumbuh pada 0, 1 dan 2 BSS, akan tetapi tidak berpengaruh nyata pada penyimpanan 3 dan 4 BSS. Pada awal penyimpanan (0 bulan) daya tumbuh masih relatif rendah, terutama untuk umur panen 7 dan 8 BST, masing-masing sebesar 22.7% dan 24.0%, dan berbeda sangat nyata dengan 9 BST, yaitu sebesar 46.7%. Daya tumbuh mulai meningkat pada setiap umur panen pada 1 BSS, berkisar antara 58.7–68.7%. Selanjutnya daya tumbuh meningkat cukup tajam pada 2 BSS terutama

0 500 1000 1500 2000 2500

ABA GA SITOKININ IAA

K an d u n gan h o r m o n (n m o l g -1 b ah an k ae r in g) umur panen 7 BST umur panen 8 BST umur panen 9 BST

pada umur panen 9 BST (95.3%). Daya tumbuh sudah mulai serempak dan tinggi untuk semua umur panen (94–100%) pada 3 dan 4 BSS (Gambar 27).

Gambar 27 Daya tumbuh rimpang benih JPB pada berbagai umur panen benih selama penyimpanan

Ket: Huruf yang sama pada masing-masing diagram tidak berbeda nyata menurut uji DMRT taraf 5%

Tinggi Bibit

Sidik ragam menunjukkan bahwa umur panen berpengaruh nyata terhadap tinggi bibit JPB setelah mengalami penyimpanan, kecuali pada 3 BSS. Tinggi bibit JPB secara keseluruhan terlihat meningkat dengan semakin lama penyimpanan. Bibit JPB tertinggi diperoleh pada umur 9 BST sampai 2 bulan setelah disimpan dengan nilai 21.78 cm. Pada 3 BSS, tinggi bibit JPB meningkat tajam untuk semua umur panen dengan pertumbuhan yang serempak (Gambar 28).

Gambar 28 Tinggi bibit JPB pada berbagai umur panen benih selama penyimpanan Ket: Huruf yang sama pada masing-masing diagram tidak berbeda nyata menurut uji DMRT taraf 5%

b ab b b b b a a a 0 20 40 60 80 100 0 1 2 3 4 D aya Tu m b u h (% )

Umur simpan (bulan)

umur panen 7 BST umur panen 8 BST umur panen 9 BST c c c a b b b b a a a b 0 5 10 15 20 25 30 35 40 0 1 2 3 4 Ti n ggi b ib it (c m )

Umur simpan (bulan) umur panen 7 BST

umur panen 8 BST umur panen 9 BST

Bobot Kering Bibit

Sidik ragam menunjukkan bahwa umur panen berpengaruh nyata terhadap bobot kering bibit JPB selama penyimpanan, kecuali pada penyimpanan 0 bulan.

Dokumen terkait