• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian terhadap tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan APL– BM di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dan faktor–faktor yang mempengaruhinya serta hubungannya dengan sikap masyarakat terhadap praktek pengelolaan yang diterapkan saat ini digambarkan dalam bentuk diagram lintasan pada Gambar 13.

Chi- Square = 152,00, df = 78, p–value = 0,032, RMSEA = 0,069, CFI = 0,99, GFI = 0,91 Keterangan :

X3 = Kualitas Program Pengelolaan APL–BM X31 = Pendekatan Komunikasi Program X33 = Kesesuaian Konsep Program X34 = Intensitas Peran Penyuluhan X4 = Kemampuan Organisasi Masyarakat X41 = Kemampuan Teknis X42 = Kemampuan Manajerial X43 = Kemampuan Sosial

X5 = Motivasi Masyarakat X51 = Motivasi Meningkatkan Pendapatan X52 = Motivasi Mendapatkan Pengakuan X51 = Motivasi Melestarikan Sumberdaya Y1 = Partisipasi Masyarakat Y12 = Partisipasi Merencanakan Kegiatan Y12 = Partisipasi melaksanakan Kegiatan Y13 = Partisipasi Menikmati Hasil Kegiatan Y12 = Partisipasi Mengevaluasi Kegiatan Y2 = Sikap masyarakat Saat Ini

Y21 = Sikap terhadap Status Sumberdaya Y22 = Sikap terhadap Konsep Pengelolaan Saat ini

Gambar 13. Model Struktural Partisipasi dan Sikap Masyarakat dalam Pengelolaan APL–BM di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu (Standardized).

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh informasi obyektif bahwa tingkat partisipasi masyarakat tergolong rendah dan pasif pada setiap tahapan kegiatan pengelolaan APL–BM. Terdapat pandangan yang berkembang di kelompok pemanfaat sumberdaya bahwa keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan APL– BM di Kepulauan Seribu cenderung bersifat semu dan merupakan upaya untuk meraih legitimasi simbolik pada program pengelolaan sumberdaya yang berparadigma kolaboratif. Fenomena ini juga dikenal sebagai permasalahan

tokenisme dalam partisipasi, yaitu situasi di mana telah dilakukan cukup banyak upaya untuk mendorong partisipasi masyarakat dengan membagikan informasi dan melakukan konsultasi untuk mengambil suatu keputusan, tetapi sebenarnya masyarakat hanya memiliki sedikit kekuasaan untuk mempengaruhi keputusan tersebut.

Pada kasus pengelolaan program APL–BM di wilayah Kepulauan Seribu, jika kemudian pertemuan publik tersebut menghasilkan kesepakatan–kesepakatan yang memuat aspirasi para kelompok pemanfaat, pada tahapan selanjutnya kesepakatan tersebut tidak dikuatkan dengan proses legalisasi untuk mendapatkan kekuatan hukum yang mengikat di antara para pihak yang menyepakatinya. Kesepakatan yang memuat aspirasi masyarakat tersebut juga belum diakomodasi dalam rencana pembangunan yang disusun oleh pemerintah daerah sehingga tidak mendapatkan dukungan anggaran dan fasilitas kerja yang memadai.

Integrasi masyarakat dalam ko–manajemen merupakan hal yang penting mengingat masyarakat adalah pemangku kepentingan utama dalam proses impelementasinya. Untuk dapat menjalankan perannya dengan tepat dalam ko– manajemen perikanan, masyarakat perlu diorganisasikan sehingga dapat berperan secara efektif. Proses mengorganisasikan masyarakat bukan hanya mendirikan organisasi semata, tetapi di dalamnya harus mencakup proses penguatan dan pengembangan sistem nilai dan perilaku yang mengakomodasi berbagai kepentingan di antara kelompok–kelompok pemanfaat sumberdaya dalam kerangka hubungan kemitraan yang bermartabat dan berkeadilan.

Hasil penelitian menunjukkan kemampuan organisasi masyarakat adalah faktor paling penting yang berperan membentuk pola dan intensitas partisipasi masyarakat dalam pengelolaan APL–BM di wilayah Kepulauan Seribu. Masyarakat mempersepsikan kemampuan organisasi masyarakat sebagai refleksi dari kesungguhan kerjasama dari pemerintah, pemangku kepentingan lain yang terkait serta di antara kelompok–kelompok pemanfaat sendiri dalam upaya memperbaiki kualitas sumberdaya perikanan–kelautan berbasis ekosistem terumbu karang di Kepulauan Seribu.

Dua indikator kemampuan organisasi masyarakat yang paling banyak mendapatkan sorotan dari kelompok pemanfaat adalah kemampuan manajerial dan sosial. Pada kenyataannya, organisasi masyarakat masih berada dalam kategori kemampuan manajerial yang rendah dalam menjalankan perannya sebagai fasilitator utama program APL–BM. Permasalahan utama terkait dengan kemampuan manajerial organisasi tersebut adalah tidak adanya dasar hukum, Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga dan sistem administrasi yang menjadi pedoman dasar tata kelola organisasi. Organisasi masyarakat juga belum didukung dengan fasilitas kerja dan konsep pembiayaan kerja yang memadai. Berbagai hambatan dan keterbatasan tersebut membuat organisasi masyarakat kesulitan dalam memfasilitasi pelaksanaan program dalam jangka pendek dan mengembangkan kapasitas kemandiriannya dalam jangka panjang.

Pemerintah daerah dan beberapa pemangku kepentingan yang lain telah melakukan beberapa upaya pendukung untuk meningkatkan kemampuan manajerial organisasi masyarakat dalam menjalankan perannya sebagai fasilitator program APL–BM dengan menyelenggarakan pelatihan dan pendampingan. Namun pada kenyataannya berbagai pelatihan dan pendampingan yang diberikan belum mampu memberikan dampak perubahan kemampuan sesuai yang

117

diharapkan. Permasalahan yang dihadapi terutama adalah pelatihan dan pendampingan yang diberikan belum mampu memfasilitasi perubahan sikap dan ketrampilan yang dibutuhkan karena tidak disusun dalam kurikulum belajar yang berjenjang, berkelanjutan dan menyeluruh. Frekwensi, daya tampung, durasi dan metode pelatihan juga terbatas sehingga belum mampu mendukung proses penguasaan ketrampilan manajerial organisasi masyarakat.

Indikator kemampuan sosial juga berpengaruh penting dalam membentuk kemampuan fasilitasi program yang dijalankan organisasi masyarakat. Indikator kemampuan sosial organisasi terutama berkaitan dengan kemampuan untuk membangun berinteraksi positif di dalam masyarakat maupun dengan pemangku kepentingan dari luar masyarakat. Kemampuan kemampuan sosial organisasi masyarakat belum mampu berperan sebagai unsur ”perekat” yang mendorong kelompok–kelompok pemanfaat dengan kepentingan yang berbeda di masyarakat berpartisipasi secara sukarela dan sinergis di lingkungan sosialnya maupun dalam konteks pengelolaan sumberdaya.

Hasil penelitian menunjukkan indikator kemampuan sosial organisasi masyarakat dalam pengelolaan APL–BM berada dalam kategori rendah yang disebabkan oleh dua hal. Pertama; proses pemilihan pengurus tidak terselenggara dengan baik sehingga formatur kepengurusan tidak mewakili kepentingan kelompok–kelompok pemanfaat yang ada di masyarakat. Dampak selanjutnya, formasi pengurus organisasi tidak memiliki legitimasi yang kuat dalam sistem sosialnya. Kedua; kemampuan sosial sumberdaya manusia pengurus organisasi masyarakat tidak dikembangkan dengan baik sehingga seringkali tidak mampu merespon dinamika sosial yang berkembang semakin kompleks di lapangan.

Penelusuran lebih lanjut menunjukkan bahwa kemampuan organisasi masyarakat dalam menjalankan perannya sangat dipengaruhi oleh kualitas program APL–BM yang meliputi indikator pendekatan komunikasi program, kesesuaian konsep program dan intensitas peran penyuluhan. Indikator kualitas program yang paling berpengaruh terhadap kemampuan organisasi dan motivasi masyarakat untuk berpartisipasi adalah kesesuaian konsep program APL–BM. Secara mendasar, masyarakat menghendaki konsep program mampu diterjemahkan menjadi langkah–langkah praktis pengelolaan sumberdaya dan memenuhi rasa keadilan dalam mendistribusikan beban dan manfaat program. Isu pemenuhan rasa keadilan tersebut sangat berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat secara umum. Berbagai pelanggaran yang terjadi di dalam areal inti perlindungan yang terjadi merupakan ekspresi ketidakpuasan yang berkembang di antara kelompok–kelompok pemanfaat terhadap penerapan konsep pengelolaan APL–BM yang diterapkan saat ini.

Di sisi lain, masyarakat juga menghendaki tindakan proteksi terhadap kawasan tertentu juga diikuti dengan upaya khusus meningkatkan produktivitas sumberdaya pada kawasan lain yang berstatus sebagai areal pemanfaatan. Dengan mempertimbangkan sikap antroposentris yang dianut oleh hampir keseluruhan masyarakat, upaya yang dapat dilakukan untuk mengakomodasi kebutuhan masyarakat tersebut adalah dengan memberikan hak kelola terbatas pada fish shelter di areal pemanfaatan secara bersama–sama sebagai mekanisme imbal balik dari kesediaan mentaati aturan pembatasan akses pemanfaatan pada areal inti perlindungan. Pemberian wewenang kelola produksi pada fish shelter ini diharapkan dapat dinilai masyarakat sebagai dukungan nyata untuk memenuhi

kebutuhan hidupnya selama menunggu masa pulih produktivitas sumberdaya dan sebagai proses belajar sosial yang integratif bagi masyarakat untuk mengelola sumberdaya sehingga pada tahapan selanjutnya diharapkan akan meningkatkan motivasi masyarakat untuk berpartisipasi.

Indikator kualitas program pengelolaan berikutnya yang berpengaruh terhadap kemampuan organisasi masyarakat adalah pendekatan komunikasi program. Kualitas pendekatan komunikasi pada program pengelolaan APL tergolong dalam kategori rendah dan belum dijalankan dalam bentuk komunikasi dua arah yang dialogis sehingga tidak tersedia ruang diskusi yang memadai untuk membahas dinamika lapangan yang terus berkembang menjadi semakin kompleks. Keterbatasan–keterbatasan ini menyebabkan organisasi masyarakat mengalami kesulitan dalam menjalankan tugasnya dalam meraih dukungan masyarakat, menegakkan aturan, membangun kerjasama dan mengantisipasi potensi konflik kepentingan di tingkat akar rumput. Secara umum, pendekatan komunikasi program belum mampu menyediakan situasi komunikasi yang ideal di mana para pemangku kepentingan dapat saling berdialog tanpa tekanan dan memiliki peluang yang sama untuk diterima pendapatnya.

Indikator kualitas program berikutnya yang mempengaruhi kemampuan organisasi masyarakat dalam adalah intensitas peran penyuluhan sebagai fasilitator, edukator dan advokator program atau kepentingan masyarakat secara luas. Masyarakat mengenali penyuluh sebagai aparat pemerintah yang paling mudah ditemui di lapangan untuk mendiskusikan permasalahan mereka hadapi. Penyuluh juga melakukan penguatan kemampuan terhadap organisasi masyarakat serta mendampingi masyarakat pada pertemuan–pertemuan yang membahas berbagai permasalahan pengelolaan sumberdaya. Kendala yang dihadapi penyuluh adalah status kelembagaan unit kerja penyuluhan yang belum menjadi bagian permanen dari struktur organisasi pemerintahan daerah sehingga kegiatan penyuluhan belum mendapatkan dukungan anggaran dan fasilitas kegiatan yang memadai serta belum memiliki konsep pengembangan sumberdaya penyuluh yang terencana dengan baik.

Secara umum, masyarakat menunjukkan sikap dengan persetujuan yang rendah terkait dengan penilaian terhadap perbaikan status sumberdaya sebagai dampak diberlakukannya program APL–BM dan konsep pengelolaan yang diterapkan saat ini. Masyarakat menganggap bahwa masih banyak ditemukan aktivitas pemanfaatan sumberdaya perikanan–kelautan yang bersifat merusak dan melanggar peraturan yang berlaku. Terkait dengan konsep pengelolaan saat ini, masyarakat terutama menunjukkan ketidaksetujuan terhadap tindakan yang membiarkan masuknya aktivitas–aktivitas ekstraktif pada areal inti perlindungan.

Berdasarkan berbagai permasalahan tersebut, langkah–langkah strategis yang dapat dilakukan untuk mengembangkan partisipasi masyarakat adalah dengan merevitalisasi peraturan terkait sistem zonasi dan aktivitas pemanfaatan yang diijinkan di dalamnya sehingga memenuhi rasa keadilan di antara kelompok–kelompok pemanfaat yang ada dan memperkuat aspek legalitas kewenangan organisasi masyarakat pengelola APL–BM berupa pengesahan otoritas pengelolaan pada organisasi masyarakat dan. Strategi lain yang juga perlu dilakukan adalah meningkatkan koordinasi perencanaan dan pembangunan wilayah di antara pemangku otoritas konservasi pada Balai Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu dan otoritas pembangunan secara administratif pada Pemerintah

119

Daerah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu sehingga proses pembangunan dapat berjalan efektif dan tidak mengalami tumpang tindih.

Pada aspek pendekatan komunikasi program, strategi yang perlu dilakukan adalah membangun iklim komunikasi dua arah yang menyediakan situasi komunikasi ideal dengan ciri tersedia ruang argumentasi yang memadai dan tanpa tekanan. Pada ruang argumentasi tersebut, individu dan kelompok pemanfaat sumberdaya di dalam masyarakat dapat membentuk opini dan memberikan ekspresi langsung terhadap kebutuhan/kepentingan mereka untuk kemudian mempengaruhi proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan sumberdaya secara berimbang.

Terkait dengan upaya meningkatkan intensitas layanan penyuluhan, langkah strategis yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan penguatan status kelembagaan penyuluhan perikanan–kelautan secara fungsional dan struktural pada organisasi pemerintahan daerah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Selain itu juga perlu dilakukan upaya pengembangan kemampuan penyuluh perikanan–kelautan, meliputi kemampuan untuk memfasilitasi organisasi masyarakat dalam membangun konsensus, mengembangkan dinamika kelompok serta memanfaatkan sumberdaya alam dan sosial yang dimiliki masyarakat.

Langkah strategis lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan APL–BM di Kepulauan Seribu adalah dengan memberikan hak kelola terbatas pada kawasan produksi fish shelter. Pemberian hak kelola terbatas pada fish shelter berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam jangka pendek dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama pada masa menunggu pulihnya kualitas lingkungan. Strategi pemberian hak kelola terbatas ini juga berfungsi sebagai media belajar sosial yang integratif bagi masyarakat untuk terus mengembangkan kemampuannya sebagai mitra handal bagi pemangku kepentingan yang lain dalam mengelola sumberdaya.

121

BAB VII. SIMPULAN DAN SARAN