• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kualitas bibit sangat menentukan keberhasilan dalam budidaya pertanian terutama tanaman tahunan seperti kakao. Oleh karena itu untuk mendapatkan bibit yang berkualitas baik diperlukan penanganan sejak awal pembibitan. Penanganan pembibitan meliputi penggunaan benih unggul, pemupukan, maupun menginokulasikan agen hayati yang menguntungkan sehingga apabila bibit ditanam dan dipelihara di lapangan dapat tumbuh, berkembang, dan berproduksi dengan baik. Dalam penelitian ini beberapa jenis pupuk yang digunakan meliputi Urea, SP36, KCl, dan fosfat alam sedangkan agen hayati yang diinokulasikan adalah fungi mikoriza arbuskula (FMA) dan bakteri pelarut fosfat (BPF), dan juga aplikasi asam humat.

Pemupukan berarti menambahkan unsur hara ke dalam rizosfer untuk meningkatkan ketersediaannya dengan harapan akar dapat menyerap untuk proses metabolisme dan pertumbuhan. Di dalam larutan tanah P tidak aktif dan bergerak mendekati permukaan akar melalui proses difusi (Taiz & Zeiger 2002). Perbedaan tingkat konsentrasi P di dalam larutan tanah terjadi sebagai akibat pengurasan di rizosfer (Marschner 1995).

Inokulasi FMA dilakukan terutama untuk membantu akar bibit menyerap unsur P dari larutan tanah dan mendetoksi logam-logam yang beracun (Smith et al. 2003). Bakteri pelarut fosfat dengan sejumlah asam organik yang dihasilkan bertujuan meningkatkan kelarutan P yang terdapat di tanah maupun pupuk sehingga tersedia bagi bibit (Mikanová & Naváková 2002). Menurut Mayhew (2004) aplikasi asam humat dapat meningkatkan kelarutan P. Asam humat juga diketahui mampu mengkelat logam-logam pengikat P di dalam rizosfer. Di samping itu asam humat juga

142 mendorong pertumbuhan akar baru (Lulakis & Petsas 1995), sehingga lebih cepat terbentuk koloni dan simbiosis akar dengan FMA (Sieverding 1991).

Fosfat alam Ayamaru dengan mineral krandalit merupakan salah satu sumber pupuk P alternatif (Schroo 1963). Secara kimia fosfat alam dengan mineral krandalit lebih sulit larut daripada fosfat alam dengan mineral apatit. Perlakuan-perlakuan yang diberikan adalah untuk mengubah kondisi rizosfer sehingga lebih baik untuk pertumbuhan bibit. Fenomena dalam rizosfer yang sesuai diharapkan dapat mendorong pertumbuhan bibit yang lebih baik (Gambar 31).

Metabolisme dan Pertumbuhan

Gambar 31 Fenomena rizosfer akibat perlakuan pemberian fosfat alam Ayamaru (FA), asam humat, inokulasi fungi mikoriza arbuskula (FMA), dan bakteri pelarut fosfat (BPF). [Rangkuman dari Sieverding (1991); Mikanová & Naváková (2002); Smith et al. (2003); dan Mayhew (2004)].

143 Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan fosfat alam Ayamaru sebagai pupuk P alternatif dapat ditingkatkan dengan aplikasi asam humat, inokulasi FMA dan BPF. Goenadi et al. (2000) dan Archan & Schneider (2006) menyatakan bahwa fosfat alam lokal dinilai berpotensi sebagai alternatif pupuk P karena penggunaan pupuk konvensional sering dibatasi oleh masalah kelangkaan dan biaya. Menurut Notohadiprawiro (1989) beberapa keuntungan penggunaan FA secara langsung, yaitu FA yang bermutu rendahpun dapat digunakan dan lebih murah. Pada tanah tropis dengan kandungan Al dan Fe tinggi serta pH rendah fosfat alam lebih efektif daripada TSP.

Inokulasi FMA meningkatkan kelarutan FA sehingga meningkatkan kadar P tersedia (Tabel 4, Gambar 8b). Peningkatan kadar P tersedia juga diperoleh pada perlakuan inokulasi BPF (Tabel 9, Gambar 17b), asam humat (Tabel 12, Gambar 21a), dan perlakuan kombinasi FMA, BPF, dan asam humat (Tabel 17, Gambar 30a). Meningkatnya kadar P tersedia oleh inokulasi FMA adalah karena meningkatnya aktivitas fosfatase asam akar. Tarafdar & Claaessen (2001) menyatakan bahwa meningkatkan aktivitas fosfatase asam akar bermikoriza tiga kali lebih besar daripada akar yang tidak berkoloni dengan FMA. Hasil percobaan menunjukkan bahwa aktivitas fosfatase asam pada akar yang dikoloni FMA 1.2 – 2.5 kali lebih tinggi daripada akar tanpa inokulasi FMA (Tabel 5, Gambar 10 b,c). Fosfatase asam terutama berperan dalam mineralisasi P organik tetapi juga dapat juga melarutkan P dari tanah atau fosfat alam. Menurut Saito (1995) fosfatase asam ditemukan baik pada arbuskula, hifa ekstraradikal (van Aarle et al. 2001), maupun hifa intraradikal (Ingrid et al. 2002).

144 Inokulasi BPF pada bibit kakao yang diberi FA menunjukkan pengaruh positif terhadap peningkatan kadar P tersedia. Isolat FT.3.2 memberikan pengaruh yang lebih baik daripada isolat RJM.30.2. Pada semua tingkat dosis FA baik isolat RJM.30.2 maupun FT.3.2 meningkatkan kadar P tersedia 1.04 - 1.27 kali lebih tinggi daripada kontrol (Tabel 9, Gambar 17b). Menurut Omer (1998) kemampuan asam organik melarutkan FA terjadi melalui mekanisme pengasaman, khelating, dan perubahan reaksi. Pelarutan fosfat alam melalui mekanisme pengasaman adalah melalui perubahan keseimbangan oleh karena adanya H+ yang menyebabkan pemutusan ikatan P sehingga melepaskan P ke dalam larutan tanah. Asam organik menyangga pH larutan dan akan terus bertindak sebagai proton yang diperlukan untuk reaksi pemutusan (Welch et al. 2002).

Eksudat asam organik oleh BPF maupun akar diketahui mampu mengkhelat logam dalam rizosfer. Jones (1998) dan Kucey et al. (1989) menyatakan bahwa anion asam organik yang mengandung hidroksil dan gugus karboksil mempunyai kemampuan membentuk kompleks yang stabil dengan kation seperti Ca2+, Fe2+, Fe3+, dan Al3+. Kation-karion tersebut dalam keadaan bebas dapat berikatan dengan P sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Welch et al. (2002) menyatakan bahwa anion asam organik terus mengubah keseimbangan reaksi pemutusan melalui kompleksi dengan kation dalam larutan tanah. Asam-asam organik dengan gugus karboksil yang lebih banyak lebih efektif melarutkan fosfat alam (Xu et al. 2004). Gerke et al. (2000) menunjukkan bahwa dari percobaan empat variasi pH tanah, CaCO3 dan kadar C organik mendapatkan bahwa P dari semua tanah dimobilisasi apabila ditambahkan sitrat dibandingkan dengan apabila tanah diberi selang pH. Hal ini menunjukkan bahwa P dimobilisasi karena pertukaran ligan antara sitrat dan fosfat yang tertikat

145 pada Fe atau Al. Ma (2000) menyatakan bahwa asam organik dengan kemampuannya mengkelat Al berperanan penting dalam detoksik Al. Perbandingan kemampuan pengkelatan antara asam organik adalah satu molar asam sitrat dapat mendetoksifikasi satu Al, tetapi dengan jumlah Al yang sama diperlukan tiga kali lebih banyak asam oksalat, 6-8 kali lebih banyak asam malat (Minocha & Long 2004). Isolat FT.3.2 mengeksudat lebih banyak asam sitrat dari pada isolat RJM.30.2 (Tabel 6). Oleh karena itu isolat FT.3.2 menurunkan lebih banyak Aldd media (Tabel 9, Gambar 17d).

Hasil percobaan juga menunjukkan bahwa aplikasi asam humat meningkatkan kadar P tersedia (Tabel 12, Gambar 21a). Peningkatan P tersedia terjadi karena pengikat P dalam larutan tanah seperti Al dan Fe dikhelat oleh asam humat. Asam humat juga membentuk ikatan fosfohumat yang mudah diserap oleh akar bibit. Senyawa humat juga dapat memperbaiki keefektifan fosfat alam melalui pelepasan PO43- dan Ca2+ dari fosfat alam yang sulit larut (Lobartini et al. 1994).

Perlakuan kombinasi di antara inokulum FMA Mycofer (M), BPF isolat FT.3.2 (B), dan 3.10-3 mL asam humat/bibit (H) pada bibit kakao yang diberi FA menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan kadar P tersedia (Tabel 17, Gambar 30a). Semua perlakuan kombinasi yang melibatkan inokulasi FMA memberikan pengaruh yang lebih baik dari pada perlakuan BH, tetapi pengaruh terbaik diperoleh pada perlakuan kombinasi MBH. Hal ini menunjukkan adanya sinergisme di antara FMA, BPF, dan asam humat.

Kemampuan inokulum FMA, isolat BPF, dan asam humat maupun kombinasinya dalam meningkatkan kadar P tersedia berhubungan dengan kemampuannya dalam mengkhelat Al, sehingga kadar Aldd dalam rizosfer menurun. Inokulasi FMA menurunkan kadar Aldd media bibit kakao pada tanah Ultisol yang

146 diberi fosfat alam Ayamaru (Tabel 4, Gambar 9c). Perlakuan kombinasi di antara inokulum FMA Mycofer (M), BPF isolat FT.3.2 (B), dan 3.10-3 mL asam humat/bibit (H) pada bibit kakao yang diberi FA menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap penurunan kadar Aldd media. Perlakuan kombinasi yang melibatkan inokulasi FMA menurunkan lebih banyak Aldd media (Tabel 17, Gambar 30d). Di samping kemampuan FMA dalam melarutkan P, keistimewaan FMA yang lainnya adalah dihasilkannya glomalin yang berperan penting dalam pengkhelatan Al dalam larutan tanam (Gonzales-Chavez et al. 2004) dan meningkatkan kemampuan tanaman dalam menyerap P (Smith et al. 2003). Menurut Jentschke & Godbold (2000) FMA dapat melindungi akar dari cekaman Al dengan cara menyerap Al ke dalam seludang hifa dan hifa eksternal.

Perlakuan kombinasi di antara inokulum FMA Mycofer (M), BPF isolat FT.3.2 (B), dan 3.10-3 mL asam humat/bibit (H) pada bibit kakao yang diberi FA menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan akar dan serapan P tajuk. Pada semua perlakuan kombinasi yang melibatkan inokulasi FMA memberikan pertumbuhan akar yang lebih baik (Tabel 14, Gambar 27b), meningkatkan kadar P tersedia (Tabel 17, Gambar 31a), serapan P tajuk dan pertumbuhan bobot kering tajuk (Tabel 15, Gambar 30 a,b). Apabila dibandingkan dengan perlakuan kombinasi BH, maka perlakuan kombinasi MBH meningkatkan kadar P tersedia 22.02%, serapan P tajuk 154.84%, dan bobot kering tajuk 104.29%. Kadar P tersedia dan serapan P tajuk pada bibit kakao yang diinokulasi FMA masing-masing adalah 1.11 - 1.22 dan 1.97 - 2.52 lebih tinggi daripada bibit tanpa FMA. Terhadap pertumbuhan bobot kering tajuk pada bibit kakao yang diinokulasi adalah 1.96 – 2.04 kali lebih tinggi daripada tanpa inokulasi FMA. Baik FMA, BPF, maupun asam humat memiliki

147 kemampuan dan peran yang berbeda tetapi terbentuk hubungan sinergisme terutama dalam pelarutan FA dan membantu tanaman dalam penyerapan P. Peranan FMA dalam tanggap pertumbuhan bobot kering tajuk lebih tinggi (104.29%), sedangkan BPF 4.24% dan asam humat 4.38% (Tabel 16).

Oleh karena itu serapan P tajuk bibit kakao yang tinggi akan meningkatkan metabolisme bibit sehingga meningkatkan pertumbuhan bobot kering bibit kakao (Tabel 3, Gambar 7b). Fotosintesis dan bobot kering tanaman bermikoriza lebih tinggi karena mampu menyerap lebih banyak P dari larutan tanah daripada tanaman tanpa mikoriza (Raj et al. 1980; Bago et al. 2000; Prasad 2005).

VIII

Dokumen terkait