• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pembangunan Politik

Menurut salah seorang sarjana terkemuka dalam bidang teori pembangunan politik, Pye menguraikan dengan jelas berbagai pandangan mengenai pembangunan politik. Berdasarkan hasil penelahaan atas teori yang berkembang, menurut Muhaimin dan Andrews dalam Pye menyatakan sepuluh defenisi dan hakikat pembangunan politik yakni: (1) Pembangunan politik sebagai prasyarat politik bagi pembangunan ekonomi. (2) Pembangunan politik sebagai ciri khas kehidupan politik masyarakat industri. (3) Pembangunan politik sebagai modernisasi politik. (4) Pembangunan politik sebagai operasi negara-negara. (5) Pembangunan politik sebagai pembangunan administrasi dan hukum. (6) Pembangunan politik sebagai mobilisasi dan partisipasi massa. (7)

Pembangunan politik sebagai pembinaan demokrasi. (8) Pembangunan politik sebagai stabilitas dan perubahan teratur. (9) Pembangunan politik sebagai mobilisasi dan kekuasaan. (10) Pembangunan politik sebagai satu segi proses perubahan sosial yang multidimensi. (Muhaimin dan Andrews, 1991:5-15)

Untuk lebih meneliti berbagai definisi pembangunan politik Pye menjelaskan ciri-ciri pembangunan politik yang paling dapat diterima umum dan fundamental dalam pemikiran umum mengenai masalah-masalah pembangunan politik. Pye menyatakan tiga ciri pokok pembangunan politik yakni:

Pertama, semangat dan sikap umum terhadap persamaan (equality). Pye menjelaskan equality berkenaan dengan pertama masalah partisipasi massa. Partisipasi yang dimaksud mungkin berujud mobilisasi demokratis atau totaliter, tetapi yang penting adalah bahwa semua orang harus menjadi warga negara yang aktif. Kedua berkenaan dengan hukum juga harus bersifat universal yang dapat diterapkan pada semua orang dan pelaksanaanya kurang lebih bersifat impersonal. Hal ini menyangkut pembinaan sistem hukum, dengan kodifikasi hukum dan prosedur-prosedur hukum yang jelas. Dengan kata lain semua orang berkedudukan yang sama terhadap hukum tampa diskriminasi. Ketiga berkenaan dengan rekrutmen jabatan politik harus mencerminkan kecakapan berdasarkan prestasi dan bukan pertimbangan status berdasarkan sistem sosial tradisionil. Dengan asumsi bahwa dalam sistem politik yang sudah maju orang harus menunjukkan jasa yang cukup untuk menduduki jabatan pemerintahan dan harus lulus ujian kecakapan yang kompetitif.

Ciri pokok yang kedua adalah kapasitas atau kesanggupan dari suatu sistem politik. Kapasitas berkaitan dengan output sistem politik dan seberapa jauh sistem politik dapat mempengaruhi sistem sosial dan sistem ekonomi. Kapasitas juga berhubungan dengan prestasi pemerintah dan keadaan yang mempengaruhi prestasi tersebut. Pye menjabarkan kapasitas dalam tiga hal, pertama kapasitas melihat masalah besarnya, ruang lingkup dan skala prestasi politik dan pemerintahan. Sistem yang telah maju dianggap bisa berbuat lebih banyak dan dapat mencakap berbagai kehidupan sosial yang lebih luas dari pada sistem yang belum maju. Kedua, kapasitas berarti efektif dan efisien dalam pelaksanaan kebijaksanaan umum. Sistem yang sudah maju dianggap tidak hanya dapat berbuat lebih banyak dari sistem yang belum maju, tetapi juga dapat bekerja lebih cepat dan teliti. Hal ini berhubungan dengan profesionalisme pemerintah. Sehingga dengan efisiensi dan efektifitas menghasilkan prestasi yang diakui secara universal. Ketiga, diferensial dan spesialisasi. Hal ini berlaku khususnya dalam analisa lembaga dan struktur. Jabatan dan struktur pemerintah masing-masing memiliki fungsi tersendiri, terbatas dan ada pembagian kerja didalam pemerintahan. (Muhaimin dan Andrews, 1991:17)

Dengan tiga ciri pembangunan politik tersebut yakni persamaan (equality), kapasitas dan diferensiasi sebagai inti proses pembangunan Pye mencatat bahwa menurut sejarah biasanya terjadi ketegangan yang akut antara tuntutan akan persamaan, kebutuhan kapasitas dan proses diferensiasi yang lebih besar. Penekanan yang lebih besar atas masalah persamaan dapat menganggu kapasitas dari suatu sistem, dan deferensiasi dapat

mengurangi kadar persamaan karena deferensiasi mementingkan kwalitas dan pengetahuan spesialis.

Jadi Pye pola-pola pembangunan dapat dibedakan berdasarkan sistem yang ditempuh masyarakat dalam usaha menangani masalah yang berlain dari gejala pembangunan (development syndrome) sehingga dalam pengertian ini pembangunan bukan proses yang unilinear (searah dan menaik) bukan pula proses yang diatur berdasarkan tahap yang berbeda tegas, tetapi ditentukan oleh luasnya cakupan masalah yang timbul baik secara terpisah maupun bersamaan.

Dalam usaha untuk mencari pola dari proses pembangunan yang berbeda ini perlu diperhatikan tiga hal yakni pertama, masalah persamaan biasaanya berkaitan erat dengan budaya politik, keterikatan dan keabsahan terhadap sistem. Kedua masalah kapasitas berkaitan dengan prestasi dari struktur pemerintahan yang memiliki wewenang resmi (authoritative) dan ketiga, masalah diferensiasi berkaitan dengan prestasi struktur yang tidak memiliki weweng resmi (nonauthoritative) dan dengan proses politik dalam masyarakat, sehingga menurut Pye akhirnya masalah pembangunan politik akan berkisar pada masalah hubungan antara budaya politik, struktur-struktur yang berwewenang dan proses politik umumnya.

Chicote (2003:368) pembangunan politik menekankan percabangan politik dari pembangunan dan memisahkan pembangunan politik dari pembangunan ekonomi. Ada tiga tipe kelompok menurut Ronald yaitu (pertama) berasosiasi dengan gagasan demokrasi (kedua) fokus pada aspek pembangunan dan perubahan politik (ketiga) menguji krisis dan konsekuensi-konsekuensi pembangunan politik. Untuk melengkapi

teori diatas, maka perlu dipahami makna dan hakekat dari modernisasi politik yang berhubungan dengan pembangunan politik.

Menurut Welch (Muhaimin dan Andrews, 1991:34-35) proses modernisasi politik memiliki tiga ciri pokok, pertama peningkatan pemusatan kekuasaan pada negara dibarengi dengan melemahnya sumber-sumber wewenang kekuatan tradisionil, kedua diferensiasi dan spesialisasi lembaga-lembaga politik, ketiga peningkatan partisipasi rakyat dalam politik dan kesediaan individu-individu untuk mengidentifikasi diri dalam sistem politik sebagai satu keseluruhan. Jadi modernisasi politik pertama-tama menyangkut pengalihan kekuasaan secara dramatis pusat wewenang kekuasaan.Sistem politik yang sudah dimodernisasikan menjadi rumit sekali karena modernisasi melipat gandakan volume, ruang lingkup dan efisiensi dari keputusan-keputusan resmi. Organ- organ pemerintah harus mengembangkan tingkat diferensiasi strukturil dan meningkatkan spesialisasi fungsionalnya.

Aspek ketiga dari modernisasi merupakan yang paling sulit dicapai sikap-sikap rakyat harus dirubah, sifat partisipasi politik harus diganti. Kesadaran yang meluas akan partisipasi dalam politik nasional merupakan ciri masyarakat moderen. Partisipasi timbul dari meningkatnya partai politik dan kelompok kepentingan. Jadi pola moderenisasi politik yang teratur mensyaratkan adanya transformasi sikap-sikap yaitu perubahan secara dramatis dari praktek-praktek sosial dan tradisionil ke modernisasi politik.

Pembangunan politik mengandung tiga dimensi yang satu dengan yang lain saling berkaitan yakni yang pertama dimensi preventif (pencegahan), dimensi pencegahan

dimaksud untuk mencegah hal yang meyimpang dan berlawanan dengan cita-cita semula, contohnya pada masa orde baru ideologi komunis dilarang.

Selanjutnya adalah dimensi pemeliharaan, dimana dalam hak ini meperhatikan atau memelihara apa-apa yang sudah ada dan merupakan bagian yang integral dari sistem politik yang ingin dibangun. Perhatian utama dari pemeliharaan adalah bagaimana lembaga-lembaga politik yang ada bisa terpelihara dan berfungsi sebagaimana mestinya. Contohnya pada masa orde baru adalah Partai Golkar dan pemilu yang diselenggarakan secara teratur.

Yang ketiga adalah dimensi pengembangan, melihat masalah pembangunan politik pada kebutuhan untuk mengembangkan kapasitas dan kapabilitas suatu sistem politik sehingga mampu menyelesaikan secara memuaskan beban-beban berat yang berasal dari dinamika perkembangan masyarakat. Perubahan yang terjadi didalam masyarakat melahirkan berbagai persoalan dan tantangan yang perlu dijawab oleh sistem politik yang berlaku. Meningkatnya aspirasi dengan sendirinya menghendaki pengembangan kapasitas dan kapabilitas sistem politik.

Sementara itu Ramlan Surbakti (Ramlan, 1992:238-239) menilai adanya hubungan yang erat antara pembangunan politik, modernisasi politik dan perubahan politik. Pembangunan dan modernisasi politik merupakan perubahan politik tetapi tidak sebaliknya. Menurutnya dalam konsep pembangunan sedikit banyaknya terkandung adanya upaya yang disengaja, relatif terencan, memiliki sasaran yang jelas, proses yang evolusioner dan tidak mengandung kekerasan. Pembangunan politik dilihat dari implikasi politik dari pembangunan, sasaran yang hendak dicapai dengan pembangunan politik

tidak hanya sistem politik demokrasi tetapi juga kemampuan-kemampuan lain yang dianggap penting untuk suatu sistem politik agar dapat lestari.

Sedangkan Rauf (1994) berpandangan bahwa pembangunan politik tidak lain sebagai demokratisasi kehidupan politik dengan tujuan yang ingin dicapai, terbentuknya sebuah sistem politik yang demokratis dimana suara rakyat merupakan pedoman bagi pemerintah dalam menjalankan tugasnya dan rakyat memiliki kebebasan termasuk kebebasan menjalankan pengawasan terhadap pemerintah.

Dokumen terkait