• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Pengertian Partisipasi Politik

Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik. Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional.

Dalam kamus Litre mendefenisikan politik sebagai ilmu memerintah dan mengatur Negara sementara konsep lain mengatakan bahwa politik adalah cara dan upaya menangani masalah-masalah rakyat dengan seperangkat undang-undang untuk mewujudkan kemaslahatan dan mencegah hal-hal yang merugikan bagi kepentingan manusia (Hamid, 2001:3)

Disamping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:

1. Politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles).

2. Politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara. 3. Politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan

kekuasaan di masyarakat.

4. Politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.

Kata partisipasi merupakan hal tentang turut berperan serta dalam suatu kegiatan, keikutsertaan atau berperan serta. Peran politik terkait erat dengan aktivitas-aktivitas politik mulai dari peranan para politikus profesional, pemberian suara, aktivitas partai sampai demonstrasi. Secara umum apa-apa saja yang menjadi indikator bagi peran atau partisipasi politik adalah menarik apa yang diawarkan Rush dan Althoff mengenai hierarki peran atau partisipasi politik.

Anggota masyarakat suatu negara mempunyai hak-hak tertentu yang juga harus diperhatikan oleh negara melalui aktifitas pemerintahannya. Dalam hubungannya dengan hak-hak ini, Jellienk membagi hak-hak ini berdasarkan dua tolak ukur yaitu perbedaan antara hak aktif dan hak pasif, serta hak positif dan negatif. Dengan hak aktif seorang warga masyarakat memperoleh kesempatan untuk ikut secara aktif bail langsung maupun tidak langsung dalam mengatur dan menyelenggarakan negara, sedangkan dengan hak pasif seorang warga masyarakat bisa dipilih, ditunjuk, diangkat untuk melaksanakan

tugas-tugas kenegaraan. Sementara hak positif yang melekat padanya, warga masyarakat akan menerima sesuatu dari negara dan pemerintah, sedangkan hak negatif seorang warga masyarakat harus rela mengorbankan sesuatu untuk negara dan pemerintahnya. Salah satu hak dan kewajiban warga masyarakat yang erat hubungannya dengan hak aktif adalah partisipasi politik.

Lebih jauh lagi Locke menyatakan bahwa yang disebut hak-hak politik rakyat adalah hak-hak yang mencakup hak atas hidup, kebebasan serta hak milik. Sedangkan Montesquie mencoba menyusun suatu system yang dapat menjamin hak-hak politik itu yang dikenal dengan trias politikal. Lebih lanjut Jellinek menjelaskan bahwa partisipasi politik diartikan sebagai suatu usaha terorganisir dari para warga negara untuk mempengaruhi bentuk dan jalannya kebijaksanaan umum.

Dalam konteks Negara, partisipasi politik rakyat adalah keterlibatan rakyat secara perseorangan (privat citizen) untuk mengerti, menyadari, mengkaji, melobi dan memprotes suatu kebijakan yang ditelurkan oleh pemerintah dengan tujuan mempengaruhi kebijakan agar aspiratif terhadap kepentingan mereka. Dari ilustrasi di atas, partisipasi rakyat bisa dipahami sebagai keterlibatan rakyat dalam pengertian politik secara sempit hubungan Negara dan masyarakat (dalam bingkai governance) dan juga politik secara luas semua bentuk keterlibatan masyarakat dalam proses berhimpun untuk mempengaruhi ataupun melakukan perubahan terhadap keputusan yang diambil partisipasi politik rakyat sebetulnya adalah tema sentral dari proses demokratisasi.

Dalam kerangka inilah masyarakat bisa berperan sebagai Partisipasi secara harfiah dimaknai sebagai pengambilan bagian atau pengikutsertaan (Echols, 1996:419).

Rousseau dalam bukunya The Social Contrac mengatakan, partisipasi sangat penting bagi pembagunan diri dan kemandirian warga negara. Melalui partisipasi individu menjadi warga publik, mampu membedakan persoalan pribadi dengan persoalan masyarakat. Hal ini ditegaskan Mill, bahwa tanpa partisipasi nyaris semua orang akan ditelan oleh kepentingan pribadi dan pemuasan kebutuhan pribadi mereka yang berkuasa. Di sini partisipasi dalam kata lain menjadi ukuran adanya kemandirian dan kedewasaan individu (warga) dalam melihat batasan antara kepentingan privat dan publik. Urusan publik memiliki hukum dan nilainnya sendiri yang tidak bisa dicampur adukkan dengan urusan privat. Maka dari itu, penggunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau golongan dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang karena melukai partisipasi dan melanggar hukum publik. Dalam konteks ini, partisipasi menjadi fungsi demokrasi, agar kekuasaan selalu berorientasi pada publik. Tiada demokrasi tanpa partisipasi politik warga, sebab partisipasi merupakan esensi dari demokrasi. Bila suatu negara membatasi akses dan keterlibatan warganya dalam setiap pengambilan keputusan, maka demokrasinya belum dapat dikatakan berkembang secara baik. Adanya kebebasan rakyat dalam menjalankan partisipasi politik menjadi ukuran elementer, untuk melihat eksistensi demokrasi dalam suatu negara.

Demokrasi sebagai suatu sistem politik berupaya untuk memberikan wadah seluas-luasnya kepada rakyat untuk turut berpartisipasi atau ikut serta secara politik dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kekuasaan yang otoriter, fasis dan anti demokrasi biasanya menenggelamkan adanya partisipasi politik warga. Urusan kekuasaan disederhanakan hanya sebatas milik para elite politik. Sedangkan rakyat dikondisikan

kearah apatisme. Dalam pemikiran Abrahamsen, apatisme sebenarnya merupakan produk sosial, ekonomi dan pengaturan politik tertentu. Seperti di masa orde baru, berbagai regulasi digunakan untuk membungkam partisipasi politik rakyat. Rakyat tidak bebas berekspresi, berorganisasi. Adanya perbedaan pendapat, kritik dan protes massa dikendalikan dengan teror, kekerasan dan bentuk-bentuk represi lainnya.

Menurut Huntington dan Nelson (1994: 6) partisipasi politik adalah kegiatan warga (private citizen) yang bertindak sebagai pribadi-pribadi yang bertujuan mempengaruhi keputusan oleh pemerintah. Partisipasi ini dapat bersifat idividual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap sporaadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif. Partisipasi mencakup kegiatan- kegiatan tidak mencakup sikap-sikap. Sementara para ahli lain mendefenisikan Partisipasi politik mencakup orientasi-orientasi para warga negara terhadap politik, serta prilaku politik mereka yang nyata. Hal ini dapat terwujud dalam pengetahuan tentang politik, minat terhadap politik, perasaan-perasaan terhadap kompetisi, dan keefektifan politik, persepsi-persepsi tentang relevansi politik yang semua ini berkaitan dengan tindakan politik. Partisipasi politik adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan termasuk juga peluang untuk ikut serta dalam pelaksanan keputusan serta merupakan kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalm kehidupan politik yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah.

Menurut Rush dan Althoff (1993:23) partisipasi politik adalah keterlibatan individu sampai pada bermacam-macam tingkatan di dalam sistem politik. Menurut Surbakti (1984:140) bahwa partisipasi politik adalah keikutsertaan warga negara biasa dalam menentukan segala keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi kehidupannya.

Budiarjo (1998:9) mengartikan partisipasi politik sebagai kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut secara aktif dalam kehidupan politik yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup pemberian suara lewat pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan (conctracting) dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen dan sebagainya.

Sementarara Milbrath dan Goel membedakan partisipasi menjadi beberapa teori. Pertama adalah apatis, yaitu orang yang menarik diri dari proses politik. Kedua adalah spektator yakni orang yang setidak-tidaknya pernah ikut dalam pemilihan umum. Ketiga gladiator yaitu orang-orang yang secara aktif terlibat dalam proses politik yakni sebagai komunikator dengan tugas khusus mengadakan kontak tatap muka, aktivis partai dan pekerja kampanye serta aktivis masyarakat. Keempat pengkritik yaitu orang yang berpartisipasi dalam bentuk yang tidak konvensional.(Sastroatmodjo, 1995:74-75)

Goel dan Olsen dalam buku Sastroatmodjo (1995:77) memandang partisipasi sebagai dimensi utama kehidupan stratifikasi sosial. Menurut mereka partisipasi dibagi dalam enam lapisan yakni pemimpin politik, aktivitas politik, komunikator (orang yang

menerima dan menyampaikan ide-ide, sikap dan informasi politik lainnya pada orang lain), warga negara marjinal (orang yang sedikit melakukan kontak dengan sistem politik) dan orang-orang yang terisolasi (orang yang jarang melakukan partisipasi politik). Partisipasi berdasarkan sifatnya dibedakan menjadi pertama, partisipasi yang bersifat sukarela (otonom). Kedua, atas desakan orang lain (mobilisasi). Hal ini senada dengan Nelson yang menyatakan dua sifat partisipasi yakni autonomous partisipation (partisipasi otonom) dan mobilized partisipation (partisipasi yang dimobilisasi).

Menurut Sastroatmojo (1995:68) pengertian partisipasi dibatasi oleh beberapa hal. Pertama, partisipasi politik hanyalah mencakup kegiatan-kegiatan dan bukan sikap-sikap. Kedua, yang dimaksud dalam partisipasi politik itu adalah warga negara biasa bukan pejabat pemerintah. Ketiga, kegiatan partisipasi politik itu hanyalah kegiatan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah terlepas apakah tindakan-tindakan tersebut legal atau tidak. Keempat, partisipsi politik juga mencakup semua kegiatan yang mempengaruhi pemerintah terlepas dari kegiatan tersebut efektif atau tidak, berhasil atau gagal. Kelima, partisipasi berupa kegiatan mmempengaruhi pemerintah yang dilakukan langsung atau tidak langsung, maksudnya apakah pelaku tersebut langsung berhubungan dengan pemerintah atau melalui perantara dalam menyampaikan aspirasinya.

Menurut Hasyim di antara peran politik perempuan yang dimaksud adalah: peran memberikan suara pada pemilihan, peran untuk menjadi anggota legislatif/ parlemen dan peran menjadi pemimpin tertinggi dalam suatu pemerintahan atau Presiden. Sementara menurut Fanin peran perempuan dalam politik dapat dikelompokkan kepada tiga peran,

peran normative, peran memilih atau dipilih dalam suatu proses Pemilihan Umum, perempuan memperoleh hak-hak politiknya untuk memilih atau dipilih setelah kemerdekaan yaitu dalam Pemilu 1955. Peran aktif, sebagai fungsionaris partai politik atau sebagai anggota legislatif dan peran pasif, turut berpartisipasi dalam mengontrol jalannya pembangunan.

Partisipasi merupakan salah satu aspek penting dalam sistim demokrasi, bahkan yang mendasari demokrasi adalah nilai-nilai partisipasi. Karena partisipasi adalah keikutsertaan warga negara biasa dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. (Surbakti, 1992:141) Partisipasi politik adalah kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa baik secara langsung atau tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum. Hungtington, dan Nelson (1994:6) berpendapat bahwa: partisipasi politik merupakan kegiatan warga Negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi dengan maksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan pemerintah, dan partisipasi dapat bersifat individual atau kelompok. Wiener dalam Huntigton (1994:10) menekankan sifat sukarela dari partisipasi dan mengemukakan menjadi anggota organisasi atau menghadiri rapat umum atas perintah pemerintah, tidak termasuk (partisipasi politik).

Dari berbagai defenisi yang diberikan para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa konsep partisipasi politik mengacu pada kegiatan warga Negara pada dua hal pokok yaitu pada proses pemilihan penguasa (pemerintah) dan pengawasan pada aktifitas penguasa yang terpilih. Aktifitas kedua ini berupa kegiatan mempengaruhi proses pengambilan keputusan (kebijakan).

Setelah mengetahui konsep partisipasi politik maka partisipasi bukanlah hal yang susah bahkan partisipasi politik tampak sederhana dan mudah dilakukan, maka partisipasi dalam bentuk apapun yang dilakukan oleh para aktivis perempuan pada hakekatnya adalah usaha menggali dan memberdayakan potensi-potensi yang dimiliki oleh perempuan. Secara umum partisipasi tidak hanya pada bidang politik akan tetapi dalam segala bidang kehidupan perempuan mempunyai hak dan kewajibannya untuk ikut serta atau berpartisipasi aktif, hanya saja karena selama ini terjadi kesenjangan antara kaum laki-laki dan perempuan yang diakibatkan oleh produk-produk kebijakan yang bias gender. Sehingga dibutuhkan perjuangan keras dan holistic dari segenap perempuan dalam segala lini, terlebih pada lini politik, karena sangat berpengaruh terhadap produk kebijakan. Menurut Lester dalam bukunya Political Participation, menyebutkan adanya dua orientasi dalam partisipasi politik berhubungan dengan proses politik yaitu : partisipasi politik yang berhubungan pada output proses politik (disebut partisipasi pasif) dan pada input proses politik (disebut partisipasi aktif), dimana aktivitas individu atau kelompok yang berkenaan dengan masukan-masukan proses pembuatan kebijakan. Dalam partisipasi politik berlaku proses-proses politik yang harus difahami dan diikuti, baik laki-laki atau pun perempuan. Yang dikatakan oleh Easton, proses politik adalah merupakan interaksi diantara lembaga-lembaga pemerintahan kelompok-kelompok sosial. Hal ini menunjukkan tidak hanya aktivitas yang ada pada tingkat elit tetapi melihat sudut pandang yang lebih pluralistic yang menyertakan analisis pada aktivitas-aktivitas berbagai kelompok yang terorganisir di luar pemerintahan dengan memberikan penekanan pada individu-individu, kepentingan-kepentingan bersama dan nilai normatif.

Sehinga berpartisipasi tidak sekedar ikut – ikutan tanpa tujuan dan arah yang jelas bagi setiap anggota akan tetapi dalam proses partisipasi keterlibatan secara aktif mental, emosi dan prilaku untuk memperoleh sesuatu yang diharapkan menjadi bagian yang penting.

Partisipasi politik perempuan saat ini semakin dibutuhkan dalam upaya pengintegrasian kebutuhan gender dalam berbagai kebijakan publik dan menggolkan instrumen hukum yang sensitif gender yang selama ini terabaikan dan banyak menghambat kemajuan perempuan di berbagai sektor kehidupan. Partisipasi politik menurut Closky merupakan kegiatan sukarela dari warga negara melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa secara langsung atau tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum (Budiarjo, 1998:2).

Ditegaskan oleh Moore (1988) bahwa salah satu ciri yang penting dari kedudukan perempuan dalam masyarakat ialah mereka adakalanya mempunyai kekuasaan politik tetapi tidak mempunyai kekuatan, legitimasi, dan otoritas. Dalam banyak sistem politik di dunia sekarang ini, perempuan mempunyai kekuasaan politik, misalnya mereka mempunyai hak suara. Akan tetapi, mereka kurang memiliki otoritas yang nyata dalam menjalankan kekuasaan tersebut (Moore, 1988:134). Berdasarkan definisi partisipasi politik diatas, maka penyusun dapat menarik satu definisi tentang partisipasi politik, yaitu keterlibatan warga negara dalam jabatan politik khususnya dalam legeslatif dan struktur partai.

Dokumen terkait