PANDANGAN PKS PAKPAK BHARAT TERHADAP
PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN
TESIS
OLEH :
AMPE SAHRIANITA BOANGMANALU
077024002/SP
PROGRAM MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PANDANGAN PKS PAKPAK BHARAT TERHADAP PARTISIPASI
POLITIK PEREMPUAN
T E S I S
Diajukan sebagai salah satu syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Studi Pembangunan (MSP) dalam Program Studi Magister Studi Pembangunan pada
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
Oleh
AMPE SAHRIANITA BOANGMANALU
077024002/SP
PROGRAM STUDI MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Telah diuji pada
Tanggal 27 Agustus 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Drs. Heri Kusmanto, MA Anggota : 1. Warjio, MA
2. Drs. Zakaria, MSP
PERNYATAAN
PANDANGAN PKS PAKPAK BHARAT TERHADAP PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu perguruan tinggi dan sepanjang sepengetahuan juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Agustus 2009
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui pandangan DPD PKS Pakpak Bharat terhadap partisipasi politik perempuan khususnya dalam jabatan politik di Kabupaten Pakpak Bharat pada Tahun 2006-2009. (2) untuk mengetahui upaya apa yang dilakukan PKS Pakpak Bharat untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan di Kabupaten Pakpak Bharat.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskripsi dengan pendekatan kualitatif. Informan yang diteliti adalah pengurus DPD PKS Pakpak Bharat dan anggota legeslatif perempuan DPRD Kabupaten Pakpak Bharat. Tehnik pengumpulan data berupa wawancara dengan seluruh informan dan studi kepustakaan.
Dari hasil penelitian ini diketahui bahwanya DPD PKS Pakpak Bharat memberikan ruang kepada perempuan untuk berkiprah dalam dunia politik di karenakan laki-laki dan perempuan memiliki persamaan dan kesetaraan dalam mengemban amanah sebagai khalifah dimuka bumi. Dukungan PKS untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan tertuang pada misi utama bidang kewanitaan yakni wanita keadilan harus mampu menjadi pelopor, fasilitator dan dinamisator bagi upaya perwujudan partisipasi politik perempuan yang dalam aktifitasnya harus disesuaikan dengan kaidah-kaidah syar’i.
Hambatan dan kendala yang dihadapi perempuan di Kabupaten Pakpak Bharat untuk masuk kedalam dunia politik (1) adanya perspektif masyarakat khususnya perempuan bahwa politik kotor dan licik sehingga perempuan enggan berkiprah didalam politik. (2) budaya maskulin dan sistem kerja politik. (3) rendahnya kesadaran politik perempuan dan masyarakat Pakpak Bharat. (4) kultur masyarakat Pakpak Bharat bersifat patrialis.
DPD PKS Pakpak Bharat berupaya menjalankan berbagai kegiatan guna meningkatkan partisipasi politik perempuan antara lain (a) membangun sistem dukungan keluarga, organisasi perempuan dan partai politik. (b) melakukan sosialisasi dan pendidikan politik bagi masyarakat khususnya perempuan agar tahu akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara.
ABSTRACT
The objective of this paper is (1) to know their basic view as DPD PKS Pakpak Bharat Board Committee against the women political participation particularly to provide a specific position for Pakpak Bharat scope in district of 2004-2009. (2) to know what valuable efforts as made to their capacity as PKS Pakpak Bharat mainly in their way to got women political participation.
The method of research adopted to this study well known a descriptive method with a qualitative approach. The information to evaluate are those committee members DPD PKS Pakpak Bharat and women legislative members on DPRD Kab. Pakpak Bharat. In collecting the data, it has been done by interview to all informant and also with library research.
On this study found that DPD PKS Pakpak Bharat openly give the opportunity to those women to take part actively and also hold equally treated in taking part in mandatory as khalifah on the world. In this case, the management of PKS seen to encourage the women political participation is declared in the political mission mainly in women society with the basic theme is own capability as the initiator, facilitator and dynamic actor primary in the efforts to realize the women political participation with the activity it must be adjusted to the syar’i principles.
The barriers and obstacles as to be faced by those women on Pakpak Bharat District is mainly their way to enter political atmosphere with the condition as following (1) it is found a society perspective particularly those women feel that there is always practiced a bad political issues and shy practices resulting in the women hesitate to take part in political atmosphere (2) for hold a masculine tradition treated mainly in political practices system and (3) due to a bad awareness in politic by those women and public and (4) social culture as held locally in Pakpak Bharat people with partial done.
The management of DPD PKS Pakpak Bharat always hold and try to give contribution to encourage public to give their best for the improvement as particularly to the women hold with politic in the following steps : (a) to develop a familiar supporting system involved women dominantly in politic, (b) perform socialization and give their way to encourage them also with education, to complete them with awareness and other right as daily activities.
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum WarohmatullahiWabarokatuh
Tiada daya dan upaya melainkan atas kehendak Allah SWT. Syukur terbaik
hanyalah Kepunyaan-Nya, penguasa atas segala yang ada dibumi dan dilangit. Puji
terbesar hanyalah milik-Nya, pemilik segala karunia yang melingkupi segenap makhluk
diseluruh alam semesta. Atas setitik ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan Tesis ini.
Tesis ini berjudul “Pandangan PKS Pakpak Bharat terhadap Partisipasi
Politik Perempuan”. Disusun guna memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan
pendidikan di Program Studi Magister Studi Pembangunan, Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.
Peneliti menyadari bahwa dalam proses penyusunan Tesis ini melibatkan berbagai
pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih sedalam-dalamnya dan
penghargaan yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang telah memberi bantuan dan
dukungan, baik moril maupun materil dalam bentuk dorongan semangat maupun
sumbangan pemikiran, informasi, data dan lain-lain. Semoga Allah SWT membalas
kebaikannya, Amin.
Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terimakasih
yang setulusnya terutama kepada :
1. Prof. Chairuddin P. Lubis DTM&H Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera
2. Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Sumatera Utara;
3. Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA, selaku Ketua Program Studi Magister Studi
Pembangunan, Universitas Sumatera Utara;
4. Drs. Heri Kusmanto, MA, selaku Pembimbing Pertama yang penuh kesabaran
meluangkan waktu untuk senantiasa memberikan motifasi, bimbingan serta
pencerahan intelektual yang sangat berkesan bagi penulis, sejak proses awal
penyusunan proposal sampai penulisan tesis ini selesai;
5. Drs. Warjio, MA, selaku Pembimbing Kedua yang telah banyak memberikan
dorongan dan saran serta dukungan moril dan upaya pencerahan intelektual, sejak
proses awal penyusunan proposal sampai penulisan tesis ini selesai;
6. Drs. Zakaria, MSP dan Muryanto Amin, S.Sos, M.Si selaku dosen pembanding dalam
ujian tesis yang telah memberikan masukan dan koreksinya demi penyempurnaan
penyusunan tesis ini;
7. Seluruh Dosen dan Staf di Program Studi Magister Studi Pembangunan, Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara yang telah banyak
membantu baik dibidang Akademik maupun Administratif;
8. Drs. H. Makmur Berasa, selaku Bupati Pakpak Bharat yang telah memberikan izin
tugas belajar kepada penulis untuk mengikuti pendidikan di Program Studi Magister
Studi Pembangunan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera
9. Terimakasih khusus penulis sampaikan kepada Ayahanda Ismail Boangmanalu, S.Ag
dan Ibunda Taryah Berampu atas cinta dan kasih sayang yang begitu tulus.
10.Rangkaian terimakasih kepada saudara-saudara penulis yakni Yaumil Salim
Boangmanalu dan Hernawaty Kudadiri, AMK, Pinta Malem Boangmanalu, S.S, S.Pd,
Eva Anawinta Boangmanalu, S.Pd, Umar Yakup Boangmanalu, S.Ag. Mereka semua
tidak pernah bosan memberikan dorongan semangat sekaligus mendoakan penulis
agar menyelesaikan pendidikan di Program Studi Magister Studi Pembangunan,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara;
11.Seluruh rekan-rekan seperjuangan angkatan XII MSP, terkhusus kepada Marly
Helena S.Sos, Siti Erna Latifi S.SIt, Dina Anggita S.Sos terimakasih atas dukungan
dan kerjasamanya mudah-mudahan kita semua menjadi sukses, amin;
12.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang sedikit banyak
memberikan bantuan dan peluang untuk penyelesaian penulisan tesis ini, baik
langsung maupun tidak langsung.
Akhirnya, penulis berharap semoga Tesis ini dapat bermanfaat. Atas segala
kekurangan Tesis ini, penulis mohon maaf. Terimakasih.
Wassalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh
Medan, Agustus 2009
Penulis
RIWAYAT HIDUP
I. DATA PRIBADI
1. Nama : Ampe Sahrianita Boangmanalu
2. Tempat/Tgl Lahir : Barisan Nauli, 15 Maret 1980
3. Jenis Kelamin : Perempuan
4. Agama : Islam
5. Golongan Darah :O
6. Nama Orang Tua
Ayah : Ismail Boangmanalu,S.Ag
Ibu : Taryah Berampu
7. Alamat : Jl. Pemuda No. 12 Sidikalang
No. Telp (0627) 22289
II. DATA PENDIDIKAN
1. TK. Aisyah Sidikalang : Tamat Tahun 1986
2. SD Negeri 030281 Sidikalang : Tamat Tahun 1993
3. SMP Negeri 1 Sidikalang : Tamat Tahun 1995
4. MAN 1 Sidikalang : Tamat Tahun 1998
5. Universitas Riau : Tamat Tahun 2003
6. Magister Studi Pembangunan
Sekolah Pascasarjana USU Medan : Tamat Tahun 2009
III.DATA PENGALAMAN KERJA
1. 2003-2007 Pegawai Bagian Ekbang Setda Kab.Pakpak Bharat.
2. 2007- Sekarang Plt. Kasubbag Kesra Bagian Ekbang Setda Kab.Pakpak
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR... iii
RIWAYAT HIDUP... vi
DAFTAR ISI... vii
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR... x
DAFTAR LAMPIRAN... xi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang Masalah ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 22
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 23
1.4. Kerangka Pemikiran ... 24
BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 26
2.1. Pembangunan Politik ... 26
2.2. Pengertian Partisipasi Politik ... 33
2.3. Bentuk dan Klasifikasi Partisipasi Politik... 43
2.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Politik... 52
2.5. Peluang Perempuan Berpartisipasi dalam Politik ... 64
BAB III METODE PENELITIAN... 66
3.1. Jenis / Desain Penelitian ... 66
3.3. Informan... 67
3.4. Teknik Pengumpulan Data... 68
3.5. Lokasi Penelitian... 69
3.6. Metode Analisis Data... 69
3.7. Jadwal Pelaksanaan... 69
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 70
4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 70
4.1.1. Kondisi Geografis ... 70
4.1.2. Kondisi Demografis ... 71
4.2. Dinamika Politik Lokal... 72
4.3. Sejarah Singkat Partai Keadilan Sejahtera... 75
4.4. Struktur Kepengurusan DPD PKS Pakpak Bharat... 78
4.5. Pandangan PKS Pakpak Bharat Terhadap Partisipasi ... Politik Perempuan Khususnya Dalam Jabatan Politik ... 80
4.6. Upaya Yang Dilakukan DPD PKS Pakpak Bharat untuk Meningkatkan Partisipasi Politik Perempuan ... 98
BAB V PENUTUP... 114
5.1. Kesimpulan ... 114
5.2. Saran ... 116
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
1 Jumlah anggota DPR RI hasil pemilu 2004 ... 13 2
Representasi Perempuan di DPR RI pada Tahun 1950-2004 ... 14
3 Data Pemenuhan Kuota 30 % Caleg Perempuan Partai Politik untuk DPRRI... 16 4
Partai Politik Islam Peserta Pemilu 2004... 17
5 Bentuk- Bentuk Partisipasi Politik... 45
6 Informan Penelitian... 68
7 Perolehan Kursi di Kabupaten Pakpak Bharat 2004-2009 ... 75
8 Komposisi Kepengurusan DPD PKS Pakpak Bharat Periode 2006-2009 ... 79
9 Keanggotaan DPRD Kab. Pakpak Bharat hasil Pemilu 2004... 92
10 Jenjang Keanggotaan PKS... 95
11 Komposisi caleg PKS Pakpak Bharat pada pemilu 2004 ... 96
12 Program Kerja Bidang Kewanitaan DPD PKS Pakpak Bharat Periode 2006-2009 ... 111
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
1 Kerangka Pemikiran Pandangan PKS Pakpak Bharat
Terhadap Partispasi Politik Perempuan ... 25
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1 Surat Permohonan Izin Penelitian... 121
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Persoalan politik merupakan persoalan yang amat penting dalam pengaturan
kehidupan manusia, perdebatan tentang relasi agama dan politik juga muncul dalam
Islam. Setidaknya ada tiga aliran utama dalam wacana intelektual muslim dalam melihat
Islam dan politik. Pertama, aliran yang menganggap Islam dan politik tidak bisa
dipisahkan sama sekali, karena Islam tidak mengenal pemisahan antara kekuasaan negara
dan agama. Aliran ini terkenal dengan konsep al-Islamu al-din waal-daulah (Islam
adalah agama dan negara). Sebagai konsekuensi logis dari paham ini, mereka
berpandangan bahwa menjadi kewajiban orang seluruh muslim untuk menegakkan
negara berdasarkan sistem politik Islam. Mereka mengusung beragam konsep sistem
politik, dari sistem negara Madinah hingga sistem khilafah (Rizwan, 2001). Kedua,
kalangan yang berpandangan bahwa doktrin-doktrin tentang negara Islam tidak
disebutkan secara detail dan tuntas dalam Islam, Islam hanya memperkenalkan beberapa
konsep tentang nilai dan etika bernegara. Akibatnya, kalangan ini berpendapat bahwa
sebuah negara menjadikan Islam atau bukan Islam sebagai dasar negara, bukanlah hal
yang penting. Yang utama adalah terpenuhinya nilai-nilai dan etika yang dianjurkan
dalam Islam. Kelompok ini termasuk kelompok yang menganjurkan gerakan Islam
kultural dan menolak Islam politik. Ketiga, kelompok yang secara keras mengatakan
mengatur persoalan ketatanegaraan. Islam sebagai agama harus dijauhkan dari politik.
Pandangan ini berada di gerbong sekularisme yang memang menganut doktrin pemisahan
antara agama dan negara.
Konsekuensi dari varian pandangan tersebut sangat mempengaruhi konsepsi
kekuasaan politik dalam wacana Islam politik sendiri. Dalam konteks Islam, kata politik
sering diidentikkan dengan perkataan al-Siyasah. Kata ini terdiri huruf Sin, Wau dan Sin
dengan makna pokok "kerusakan sesuatu" dan "tabiat atau sifat dasar". Dari makna
pertama terbentuk kata kerja sasa-yasusu-siyasatan yang berarti " mengurus kepentingan
seseorang", dan dalam kamus al-muhith dikatakan sustu ar-ra’iyatan siyasatan yang
berarti saya memerintah dan melarangnya. Dengan pengertian ini Ahmad Athiyan
menyatakan bahwa politik bermakna memelihara dan memerhatikan urusan rakyat. Lebih
jelas Hasan al-banna menyatakan bahwa politik adalah memerhatikan urusan umat, luar
dan dalam negeri, internal dan eksternal, secara individu dan masyarakat keseluruhannya;
bukan terbatas pada kepentingan golongan semata. Beliau juga berpendapat politik tidak
hanya menyangkut penyelenggaraan pemerintahan tetapi juga mencakup upaya
menciptakan sistem yang bersih dan berkeadilan dimana mekanisme kontrol berperan
besar. (Saidah dan Khatimah,2001:134) Abdul Qadim Zallum dalam bukunya Al-Afkar
as-Siyasiyah mendefenisikan politik adalah mengatur urusan umat, dengan negara
sebagai institusi yang mengatur urusan tersebut secara praktis, sedangkan umat
mengoreksi terhadap pemerintah dalam melakukan tugasnya.
Makna "memimpin masyarakat" ditemukan dalam hadist Rasulullah SAW yang
tentang kepemimpinan atas Bani Isra`il. Kepemimpinan para nabi atas Bani Isra`il
bertujuan untuk mengusahakan agar Bani Isra`il kembali hidup sesuai dengan ajaran
agama Tauhid. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa konsep yang terkandung dalam
istilah siyasah adalah politik yang bermakna politik rehabilitatif (pemulihan) dari
kesesatan kepada ajaran-ajaran dan praktik keagamaan yang benar (Muin, 2002). Dengan
demikian, dalam konteks ini, politik atau siyasah dalam literatur profetik merupakan
sebuah proses penataan dan rehabilitasi kehidupan manusia yang sudah menyimpang dari
ajaran-ajaran tauhid. Politik sama sekali tidak dimaksudkan sebagai sebuah proses
perebutan kekuasaan untuk tujuan-tujuan duniawi. Oleh sebab itulah, tugas seorang
pemimpin dalam Islam adalah himayat al-din wasiyasatu al-dunya (melindungi agama
dan memelihara ketertiban sosial politik).
Dalam Islam, pembicaraan tentang kedudukan wanita dan peran politiknya
merupakan polemik dalam jangka waktu yang relatif lama, banyak didominasi oleh
perhitungan-perhitungan historis dari prinsip-prinsip Islam. Salah seorang pemimpin
gerakan fundamentalis Syekh Abbas al-Madany menyatakan bahwa perempuan
hendaknya dikurung untuk mengurus hal-hal yang bersifat domestik. Kaum
fundamentalis rmemandang ketidaksejajaran (inequality) antara laki-laki dan wanita
sudah merupakan takdir Tuhan. Di lain pihak ada yang berpendapat bahwa Islam secara
intrinsik memang berwatak patriarki dan menentang hak-hak wanita. (Fatima Mernissi,
2001:182). Pandangan minor demikian ini tentunya kurang menguntungkan bagi Islam.
Mohsin Araki dalam buku Membela Perempuan, menakar feminisme dengan nalar
keyakinan umatnya sebagai konstruksi agama yang komplit dan sempurna. Segala
sesuatu telah diatur secara proporsional, termasuk yang menyangkut posisi wanita dalam
kehidupan keluarga, masyarakat dan negara. Islam mengakui hak dan kewajiban dengan
demikian umat yang beragama Islam harus terikat oleh dua hal tersebut.
Berbicara tentang peran politik perempuan khususnya dalam dunia Islam, ada dua
pendapat yakni pertama mereka yang tidak mendukung peran politik perempuan muslim.
Kelompok ini mempunyai pandangan bahwa perempuan ditugaskan untuk mengurus
hal-hal domestik, seperti mengurus rumah tangga, mendidik anak, dan lain-lain. Dunia publik
adalah wilayah laki-laki. Kelompok ini merujuk pada teks-teks Al-Quran dalam surah
Annisa’ 34, Al-Baqarah 228, ditafsirkan Ibnu Katsir bahwa laki-laki memiliki kelebihan
untuk menangani urusan publik terutama urusan politik. Dan surat Al-Ahzab ayat 34,
dipahami sebagian ahli tafsir sebagai ayat yang mengharuskan perempuan untuk diam di
dalam rumah. (Fatima Mernissi, 2001) Kelompok kedua, mendukung peran politik
perempuan. Perempuan adalah makhluk Tuhan seperti juga laki-laki. Sebagai hamba
Tuhan ia juga memiliki tanggungjawab kemanusiaan, memakmurkan bumi dan
mensejahterakan manusia. Tuhan memberikan kepada mereka laki-laki dan perempuan,
potensi-potensi dan al ahliyyah atau kemampuan-ksemampuan untuk bertindak secara
otonom yang diperlukan bagi tanggungjawab menunaikan amanah tersebut. Tidak sedikit
teks-teks suci menegaskan keharusan kerjasama laki-laki dan perempuan untuk
tugas-tugas pengaturan dunia ini. Laki-laki dan perempuan beriman, menurut al Qur-an saling
bekerjasama untuk tugas keagamaan menyerukan kebaikan dan menghapuskan
balasan yang sama antara laki-laki dan perempuan bagi pekerjaan-pekerjaan politik
tersebut.(Baca antara lain: Q.S. Ali Imran 195, al Nahl 97, al Taubah 71). Beberapa ayat
al Qur-an ini dan masih ada ayat yang lain cukup menjadi dasar legitimasi betapa
partisipasi politik perempuan tidak dibedakan dari laki-laki. Partisipasi mereka
menjangkau seluruh dimensi kehidupan. Diktum-diktum Islam telah memberikan ruang
pilihan bagi perempuan juga laki-laki untuk menjalani peran-peran politik domestik
maupun publik, untuk menjadi cerdas dan terampil. Sejarah kenabian mencatat sejumlah
besar perempuan yang ikut memainkan peran-peran ini bersama kaum laki-laki.
Khadijah, Aisyah, Umm Salamah, dan para isteri nabi yang lain, Fathimah (anak), Zainab
(cucu) Sukainah (cicit) adalah perempuan-perempuan terkemuka yang cerdas. Mereka
sering terlibat dalam diskusi-diskusi tentang tema-tema sosial dan politik bahkan
mengkritik kebijakan-kebijakan domestik maupun publik yang patriarkis. Partisipasi
perempuan juga muncul dalam sejumlah baiat (perjanjian, kontrak) untuk kesetiaan dan
loyalitas kepada pemerintah. Sejumlah perempuan sahabat nabi seperti Nusaibah bint
Ka&rsquob, Ummu Athiyyah al Anshariyyah dan Rabi&rsquo bint alMursquo awwadz
ikut bersama laki-laki dalam perjuangan bersenjata melawan penindasan dan
ketidakadilan. Umar bin Khattab juga pernah mengangkat al Syifa, seorang perempuan
cerdas dan terpercaya, untuk jabatan manager pasar di Madinah (Khamenei, 2005:74).
Peran politik yang dimaksud lebih praktis, seperti menjadi eksekutif, legislatif dan
yudikatif. Kelompok ini menganggap kaum perempuan diizinkan memangku jabatan
politik seberat yang dipangku laki-laki. Secara normatif, kelompok ini juga mendasarkan
At-Taubah ayat 71 mereka menganggap sebagai ayat yang menyetarakan laki-laki dan
perempuan dalam hak dan kesempatan dalam politik.
Membahas tentang peran politik perempuan maka secara khusus hak politik
perempuan tertuang dalam Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan (The Unconvention on the Elimination of all Forms of
Discrimination against Women - CEDAW) disahkan dan diterima oleh Dewan Umum
PBB pada tahun 1979. Dalam pasal tujuh disebutkan negara-negara Pihak harus
mengambil semua langkah perlu untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan
dalam kehidupan politik, kehidupan kemasyarakatan negaranya, dan khususnya
menjamin bagi perempuan, atas dasar persamaan dengan laki-laki, hak sebagai berikut:
1. Untuk memberikan suara dalam semua pemilihan dan referendum publik, dan untuk
dipilih pada semua badan-badan yang secara umum dipilih;
2. Untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah dan pelaksanaannya,
serta memegang jabatan publik dan melaksanakan segala fungsi publik di semua
tingkat pemerintahan;
3. Untuk berpartisipasi dalam organisasi-organisasi dan perkumpulan-perkumpulan
Non-Pemerintah yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan politik negara.
Pasal 7 tentang Persamaan dalam Kehidupan Politik dan Kemasyarakatan pada
Tingkat Nasional menghendaki Negara-negara Pihak untuk melakukan dua tahapan
kegiatan, untuk menciptakan persamaan dalam kehidupan politik dan kemasyarakatan
bagi perempuan. Pertama, Negara-negara harus menyebarluaskan hak yang telah dijamin
jaminan terhadap perempuan untuk memberikan suara pada setiap pemilihan umum dan
referendum. Masalah penting bagi perempuan adalah hak untuk memberikan suara secara
rahasia. Perempuan yang tidak diijinkan memberikan suara secara rahasia sering dipaksa
untuk memberikan suara yang sama dengan suami mereka, dan karenanya menghalangi
mereka untuk mengungkapkan pendapatnya sendiri. Kedua, Pasal 7 mengakui bahwa
walaupun hal ini penting, hak untuk memilih saja tidaklah cukup untuk menjamin
partisipasi yang nyata dan efektif bagi perempuan dalam proses politik. Oleh sebab itu
Pasal ini menghendaki Negara untuk memastikan bahwa perempuan mempunyai hak
untuk dipilih dalam badan-badan publik dan untuk memegang jabatan publik lainnya dan
kedudukan dalam organisasi non-pemerintah. Kewajiban-kewajiban ini dapat
dilaksanakan dengan memasukkan perempuan dalam daftar calon pemerintah, affirmative
action dan kuota, dengan menghapus pembatasan berdasarkan gender pada posisi
tertentu, meningkatkan tingkat kenaikan jabatan bagi perempuan, dan mengembangkan
program pemerintah untuk menarik lebih banyak perempuan ke dalam peran
kepemimpinan politik yang punya arti penting.
Dewasa ini, lebih dari dua puluh tahun sejak ditanda tanganinya konvensi itu, lebih
dari 170 negara telah meratifikasinya. Konvensi itu dapat dijadikan dasar untuk
mewujudkan kesetaraan perempuan dan laki-laki dengan membuka akses dan peluang
yang sama di arena politik dan kehidupan publik, termasuk hak memberi suara dan
mencalonkan diri. Pemerintah telah bertekad untuk menempuh semua langkah yang
diperlukan, termasuk legislasi dan tindakan-tindakan khusus yang bersifat sementara,
mereka. Akan tetapi masih banyak negara yang belum menerapkan langkah-langkah di
atas. Negara Indonesia meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak-Hak Politik Perempuan
pada masa Pemerintahan mantan Presiden Soeharto di tahun 1968. CEDAW diratifikasi
pada tahun 1984. Pemerintah Habibie kemudian meratifikasi Protokol Opsi yang
merupakan bagian dari Konvensi Perempuan. Belakangan ini pemerintah Indonesia
bahkan telah mengambil beberapa langkah untuk melakukan berbagai tindakan yang
ditujukan untuk menyempurnakan kebijakan yang menyangkut jender, terutama masalah
gender mainstreaming, yang merupakan sebuah strategi penting yang termuat dalam
Platform Aksi Beijing (Bejing Platform for Action).
Hak politik perempuan dalam DUHAM (Deklarasi Universalitas Hak Asasi
Manusia) tertuang dalam pasal 2: “setiap orang berhak atas semua hak dan
kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam Deklarasi ini tanpa perkecualian apapun, seperti ras,
warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat yang berlainan, asal
mula kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran, ataupun kedudukan lain.”
Hak politik perempuan dinyatakan pula secara lebih rinci dalam Konvenan Internasional
Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik pasal 25 dan 26. Konvenan ini telah diratifikasi
pemerintah Indonesia melalui UU Nomor 12 Tahun 2005. Pemenuhan hak politik
perempuan di Indonesia, di samping mengacu kepada instrumen internasional mengenai
HAM juga harus mengacu kepada Pancasila sebagai ideologi negara, konstitusi
(khususnya UUD 1945 hasil amandemen kedua, pada pasal-pasal 28 A sampai J tentang
Hak Asasi Manusia), dan sejumlah undang-undang lainnya yang berkaitan dengan
Dalam konteks nasional, Indonesia memandang perlu untuk meningkatkan kualitas
kehidupan dan peran perempuan serta kesejahteraan dan perlindungan dalam kerangka
dan agenda besar guna menciptakan Indonesia yang adil dan demokratis. Konteks
Indonesia, permasalahan-permasalahan yang menimpa kaum perempuan seperti di bidang
politik dengan rendahnya peran dan partisipasi politik perempuan, ditandai dengan
rendahnya keterwakilan perempuan dan akses politik kaum perempuan. Semua
merupakan akibat dari kuatnya budaya patriarki yang menyebabkan adanya bias gender
dalam tatanan kehidupan masyarakat. (RPJMN 2004-2009 Bab 12)
Sepanjang tahun, perdebatan tentang representasi dan partisipasi politik perempuan
semakin meningkat dan mendominasi agenda politik, berkat gigihnya
organsisasi-organisasi dan para aktivis masyarakat madani yang vokal menyuarakan isu ini. Salah
satu isu terpenting yang mereka serukan adalah penerapan kuota 30% bagi perempuan
dalam proses pemilu. Ada banyak alasan yang menjadikan isu ini sebagai topik
perdebatan yang kian menghangat di Indonesia. Pertama, keterwakilan politik perempuan
Indonesia pada hasil pemilu Tahun 1999-2004 (baik di tingkat nasional maupun lokal)
masih sangat rendah, yakni sekitar 9% kursi di DPR pusat, 5,2% kursi di DPRD, dan di
DPD partai-partai politik bahkan lebih rendah lagi. Data tahun 2000 menunjukkan
keterwakilam perempuan di MPR 8,06%, DPR 9 %, MA 14,89%, BPK 0%, DPA 4,44%
(Sumber: Data dirumuskan oleh Divisi Perempuan dan Pemilihan Umum, CETRO, 2001)
Alasan kedua berkaitan dengan alotnya proses transisi demokrasi di Indonesia. Transisi
tersebut memberikan peluang untuk meningkatkan keterwakilan perempuan. Banyak
kesadaran politik kaum perempuan. Oleh karenanya, kini lembaga-lembaga politik di
Indonesia mendapat tekanan yang kuat untuk menjadikan isu jender itu sebagai unsur
yang penting di dalam proses demokratisasi. Masalah-masalah seperti, penerapan kuota
untuk perempuan diberbagai tingkatan dan berbagai lembaga politik, masalah dampak
sistem pemilu untuk perempuan serta implikasi peningkatan keterwakilan perempuan
bagi partai politik menjadi isu penting yang banyak didiskusikan.
Merupakan fenomena baru dan menyegarkan dalam perkembangan sistem
demokrasi di Indonesia, meskipun dalam tataran yang relatif kecil dan sederhana, tetapi
masih banyak harapan dan peluang yang bisa dilalui oleh para aktivis perempuan partai
dalam partisipasinya untuk mensosialisasikan dan mengimplementasikan undang-undang
tersebut sekaligus sebagai penghargaan terhadap pengorbanan dan perjuangan perempuan
yang selama terpinggirkan oleh sistem. Karena pada kesempatan kali ini publik akan
memberikan penilaian langsung terhadap partai-partai politik peserta pemilu yang
mempunyai kepedulian terhadap perjuangan serta potensi-potensi perempuan, bahkan ada
semacam kecaman dari berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau
organisasi-organisasi kemasyarakatan perempuan lainnya, untuk tidak memilih gambar partai yang
tidak memperhatikan kepentingan perempuan atau dengan tidak merealisasikan
undang-undang tentang keterwakilan perempuan. Keterwakilan perempuan menjadi penting
karena jumlah perempuan dalam panggung politik masih sangat rendah, berada dibawa
standar, sehingga posisi dan peran perempuan dalam lembaga–lembaga legislatif, terlebih
keberadaan perempuan masih belum diperhitungkan, meskipun menurut data BPS tahun
2000 jumlah perempuan lebih besar dari jumlah laki–laki berkisar 52%:48%.
Partisipasi politik perempuan dapat dilihat dalam tiga aspek yaitu akses, kontrol,
dan suara perempuan dalam proses pembuatan kebijakan (policy making process).
Realitas menunjukkan bahwa dalam tiga aspek di atas keterlibatan perempuan Indonesia
sangat kurang. Hal ini dapat dilihat bahwa hingga saat ini keterwakilan perempuan dalam
arena politik sangat minim. Pusat Pemberdayaan Perempuan dalam Politik bekerjasama
dengan Pusat Penelitian Politik LIPI tahun 2006 menyimpulkan bahwa rendahnya
keterwakilan perempuan dalam ruang publik terutama disebabkan oleh ketimpangan
struktural dan sosiokultural masyarakat dalam bentuk pembatasan, pembedaan, dan
pengucilan yang dilakukan terhadap perempuan secara terus-menerus, baik formal
maupun non-formal, baik dalam lingkup publik maupun lingkup privat (keluarga). Di
samping itu, secara internal rendahnya keterwakilan perempuan dalam jabatan politik
juga disebabkan tidak banyak perempuan tertarik pada dunia politik disebabkan
masyarakat masih menganut pemilihan yang tegas antara ruang publik dan ruang
domestik.
Bila dicermati kancah perpolitikan perempuan di Indonesia dari segi keterwakilan
perempuan baik ditataran eksekutif, yudikatif, maupun legislatif sebagai badan yang
memegang peran kunci menetapkan kebijakan publik, pengambil keputusan, dan
menyusun berbagai piranti hukum, perempuan masih jauh tertinggal bila dibandingkan
Tabel 1. Jumlah anggota DPR RI hasil pemilu 2004
No Partai politik Perempuan Persentase Laki-laki Persentase Jumlah
1 Golkar 18 14 110 86 128
2 PDIP 12 11 97 89 109
3 PPP 3 5,17 55 94,82 58
4 Demokrat 6 10,52 49 89,47 55
5 PKB 7 13,46 45 86,53 52
6 PAN 7 13,46 46 86,53 57
7 PKS 3 6,66 42 93,33 45
8 PBR 2 15,38 12 84,61 14
9 PBB 0 0 11 100 11
10 PDS 3 25 9 75 13
11 PDK 0 0 4 100 4
12 PKPB 0 0 2 100 2
13 Partai Pelopor 1 33 2 66 3
14 PKP
Indonesia 0 0 1 100 1
15 PNI
Marhaenis 0 0 1 100 1
16 PPDI 0 0 1 100 1
Jumlah 62 11,27 487 88,73 550
Sumber : DPR RI 2004
Pada tahun 1999-2004 representasi perempuan hanya memperoleh 9% persen dari
jumlah total wakil-wakil di DPR-RI. Ini adalah angka terendah jumlah wakil perempuan
Tabel 2. Representasi Perempuan di DPR-RI pada tahun 1950-2004
Pemilu Tahun
Perempuan Persentase Laki-laki Persentase
1950-1955 9 3,8 236 96,2
*Berdasarkan Pemilu 1955 anggota DPR RI berjumlah 272 orang, tetapi presiden Soekarno membentuk Dewan Konstituante untuk merevisi konstitusi. Dewan Konstituante dibubarkan oleh Presiden pada tahun 1959 karena terjadi pertentangan yang tajam. Pembubaran konstituante dilakukan melalui dekrit presiden, 5 Juli 1959.
Sumber: Sekretariat DPR, 2001. Data dirumuskan ulang oleh Divisi Perempuan dan Pemilihan Umum, CETRO, 2002. Dengan tingkat representasi seperti ini, IPU menempatkan Indonesia pada posisi ke-83 dalam bidang Representasi Perempuan di Parlemen (Maret 2002).
Dengan disahkannya Undang-undang pemilu 2004 yang menyertakan aspirasi
kaum perempuan pada pasal 65 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003,
tercantum “setiap partai politik dapat mengajukan calon anggota DPR baik DPRRI, DPR
propinsi, dan DPR Kabupaten/kota untuk setiap daerah Pemilihan dengan
Banyak kalangan yang optimis dan bersemangat. Sebagaimana juga banyak yang
pesimis dan bahkan justru merasa ini adalah sebuah perlakuan diskriminatif. Mereka
yang optimis memandang bahwa ini adalah salah satu bentuk affirmative policy untuk
mendukung peningkatan partisipasi politik perempuan. Sedangkan pandangan
diskriminatif berawal dari penolakan pandangan bahwa perempuan hanya dinilai dari
sekedar jumlah (kuantitatif) dan maka dari itu berhak memperoleh kuota. Mereka juga
menegaskan agar perempuan dinilai dari sudut pandang kualitas, bukan kuantitas.
Untuk memenuhi amanah dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 harus
diakui, daftar caleg perempuan yang diajukan PKS dalam pemilu 2004 untuk DPR RI
Tabel 3. Data Pemenuhan kouta 30% Caleg Perempuan Partai Politik untuk
Peserta Pemilu 2004 diikuti oleh 24 Partai Politik, 5 diantaranya adalah Partai
2004 yang awalnya adalah Partai Keadilan di Pemilu 1999 namun dikarenakan tidak bisa
meraih dukungan 2 % (electoral thereshold) maka untuk mengikuti Pemilu 2004 Partai
Keadilan melakukan fusi dengan PKS pada tahun 2002.
Tabel 4. Partai Politik Islam Peserta Pemilu 2004
No Nama Partai Politik Singkatan
1 Partai Persatuan Pembangunan PPP
2 Partai Keadilan Sejahtera PKS
3 Partai Bintang Reformasi PBR
4 Partai Bulan Bintang PBB
5 Partai Persatuan Nahdatul Ummah Indonesia PPNUI
Sumber : Komisi Pemilihan Umum Tahun 2004
PKS adalah salah satu bintang pada pemilu 2004. Tiga peneliti dari Reform
Institute yakni Yudi Latif, Aay M Furkan dan Edwin Arifin mencoba menelaah fenomena
PKS sebagai salah satu partai politik Islam yang tidak berkaitan dengan parpol Islam
selama orde baru. Pengamatan selama lima bulan itu mereka rangkum dalam laporanya
Rethingking Islam, Reinventing Democracy. Para peneliti menilai aktivis PKS merupakan
generasi baru dari sebuah pergerakan Islam yang termarjinalkan oleh orde baru. Ditengah
marjinal itu generasi ini mampu berkonsolidasi, melakukan kaderisasi dan
memanifestasikan diri dengan coraknya yang khas. Meski terpingirkan mereka tidak
gagap politik, hal ini terlihat dari penampilan PKS yang elegan dalam dua kali pemilu.
Direktur Eksekutif Reform Institude, Yudi Latif, mengatakan PKS tampak ideal.
Tidak heran katanya bila Francois Raillon (2004) dari CNRS, Belgia menganggap
diawali dan disebabkan oleh partai politik Islam lain. PKS menurutnya adalah righteous
redeemer (ratu adil saleh) yang muncul sebagai alternatif politik menawarkan citra,
disiplin, pemikiran murni, bebas korupsi dan bermoral bersih.(Republika, senin 13 Juni
2005)
Partai Keadilan Sejahtera salah satu partai politik yang memainkan peranan yang
khas selaku partai yang berasaskan Islam. (www.pks.go.id). Partai ini menarik untuk
diangkat karena banyak pemberitaan media, seperti pada harian Seputar Indonesia, 3
Juni 2008, Hajriyanto Y Thohari, seorang pengamat kenegaraan, menulis bahwa Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) adalah partai primus inter minus malum, yakni partai yang
secara organisasional dan kedisiplinan paling baik di antara semua partai-partai lain yang
rata-rata buruk. PKS berhasil membuktikan diri sebagai satu-satunya partai politik yang
solid, hidup, dan kuat. Salah satu karakteristik dari partai dengan genre ini adalah apa
kata partai, itulah kata anggotanya. Sementara dalam partai-partai politik lain, mulai ada
problem solidaritas dan soliditas: apa kata partai, tidak selalu paralel dengan apa kata
anggota. Jadi keunggulan PKS adalah keunggulan komparatif karena partai-partai yang
lain buruk. (www.okezone.com)
Pada Januari 2004 polling dilakukan Liputan 6 SCTV dengan hasil yang
spektakuler. PKS muncul sebagai "partai yang disukai pemirsa" dengan 45,16% dari
keseluruhan pemilih, jauh mengungguli PDIP 6,47%) dan Golkar 5,59%. Sementara
Ketua Umum PKS Dr. Hidayat Nur Wahid, sebagai calon presiden pilihan responden
mengalahkan Ketua Umum PAN Prof. Dr. Amien Rais (23,63%) dan Ketua Umum PDIP
Megawati Taufik Kiemas (3,76%).
Meski diragukan tingkat validitasnya, namun hasil itu, karena disiarkan terus
menerus, tak urung mempengaruhi peta dukungan masyarakat terhadap PKS. PKS dan
Hidayat menjadi pembicaraan dimana-mana. Tak cuma di kota-kota besar, juga di
desa-desa. Sebuah radio swasta terkemuka di Jakarta saat membincangkan kemenangan PKS.
PKS dan Hidayat menjadi buah bibir di kampungnya. Dan sehari setelah SCTV
menayangkan keunggulan PKS, sekelompok pelajar SLTA yang merupakan pemilih
pemula mendatangi kantor DPP PKS untuk menggali informasi ihwal partai yang jadi
pilihan pemirsa itu. Poling SMS itu sendiri menimbulkan pro dan kontra. Lemahnya
metodologi pada poling SMS di televisi itu tak urung menuai kritik dan kecaman. Dalam
hal ini suara keras datang Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Dr. Denny
JA. Menurut Denny, hasil poling itu tak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan
menyesatkan masyarakat. Denny menekankan agar pihak media yang mengadakan poling
semacam itu memberikan keterangan yang menyolok mata bahwa itu hiburan
belaka.(www.dudung.net)
Keberadaan PKS kian disorot publik. Tidak hanya ditanah air tapi juga di dunia
internasional. Salah satunya yang menjadi pusat perhatian adalah ideologi partai yang
sarat dengan nilai-nilai Islam, disamping para kadernya dari pusat hingga ranting
memiliki integritas terhadap agama. Mungkin itulah sebabnya, Dr. Ken Miichi, guru
besar dan pengamat internasional dari Universutas Kyoto, Jepang, saat diwawancarai
different from fundamentalist. Demonstrations by Partai Keadilan Sejahtera are very
Peaceful and about half of the demonstrations are women. So this is a significant
movement, and very different form past islamicmovement. (Jakarta Post, 21 September
2002).
Atau Komentar Greg Burton, Dosen senior Universitas Deakin, Australia, yang
dikutip Media Indonesia, 19 Februari 2004. Greg mengatakan PKS kelihatan bersih,
sederhana, canggih dalam khazanah pemikiran dan metode pendekatan. Yang lebih
penting lagi, PKS Setelah tumbuh pola perekrutan kader berasaskan kepemimpinan yang
didasarkan atas prestasi, bukan jenis kelamin maupun keterikatan etnis dan politis.
Antara lain dengan kesempatan yang diberikan PKS kepada kaum muda lebih banyak
tampil membuktikan diri. Itu belum terjadi dipartai-partai lain. Ini salah satu kelebihan
PKS.
Djony Edward dalam kata penghantar bagi bukunya Efek Bola salju Partai
Keadilan Sejahtera menyatakan bahwa PKS hadir sebagai sebuah partai politik yang
tampilannya berbeda dibandingkan dengan partai politik yang ada. Mengingat PKS
sebagai parpol tidak hanya mengedepankan aspek politis dalam sepak terjangnya, tapi
juga menjadikan moral agama sebagai basis gerakannya. Sehingga tidak jarang PKS
dijuluki sebagai parpol dakwah atau parpol yang tampilannya labih dirasakan sebagai
gerakan dakwah.
Data menunjukkan, Partai Keadilan Sejahtera berhasil meningkatkan suara secara
signifikan dari 1,4% dalam Pemilu 1999 menjadi 7,3% popular vote dalam Pemilu 2004.
Tifatul Sembiring Presiden PKS, partainya memiliki 8,3 juta konstituen dan 500 ribu
kader aktif di seluruh nusantara (Republika, 17 Nopember 2004). Sedangkan, menurut
Hidayat Nurwahid, mantan Presiden PKS, 57% dari kader aktif PKS adalah perempuan.
Partisipasi politik kader perempuan PKS jelas tidak bisa dipungkiri, mengingat
mereka tidak saja aktif di hari H pencoblosan, tapi juga berkampanye secara massif untuk
menarik pemilih baru sesuai target yang ditentukan. Meminjam bahasa Nursanita
Nasution, anggota parlemen perempuan dari PKS, setiap kader perempuan sadar betapa
krusialnya waktu lima menit di dalam bilik suara, dan karenanya mereka diniscayakan
untuk mempengaruhi masyarakat agar memilih partai dakwah ini (Media Indonesia, 5
Februari 2004).
Dari fenomena yang telah penulis kemukakan diatas maka penulis berkeinginan
kuat untuk melakukan riset tentang pandangan PKS tentang partisipasi politik perempuan
di Kabupaten Pakpak Bharat, dengan pertimbangan bahwa Kabupaten Pakpak Bharat
adalah Kabupaten pemekaran dari Kabupaten Dairi yang sesuai dengan Undang-undang
Nomor 9 Tahun 2003. Pemilihan Umum pada Tahun 2004 adalah pemilihan legeslatif
yang pertama dilaksanakan dengan sistem pemilu langsung. Hal ini merupakan
pengalaman pertama bagi masyarakat Kabupaten Pakpak Bharat yang baru lepas dari
Kabupaten induknya (Dairi).
Riset ini akan mencoba melihat bagaimana pandangan PKS Pakpak Bharat
terhadap partisipasi politik perempuan khususnya terhadap perempuan yang duduk
dijabatan politik. Disamping itu, akan juga meneliti upaya apa yang dilakukan PKS untuk
menghasilkan rekomendasi guna peningkatan kualitas partisipasi politik perempuan di
Kabupaten Pakpak Bharat pada masa yang akan datang.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah diatas, maka penulis merumuskan
masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pandangan PKS Pakpak Bharat terhadap partisipasi politik perempuan
khususnya dalam jabatan politik di Kabupaten Pakpak Bharat pada tahun 2006-2009
?
2. Upaya apa yang dilakukan PKS Pakpak Bharat untuk meningkatkan partisipai politik
perempuan pada tahun 2006-2009 ?
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang diajukan, maka peneliltian ini bertujuan sebagai
berikut :
1. Untuk mengetahui pandangan PKS Pakpak Bharat terhadap partisipasi politik
perempuan khususnya dalam jabatan politik di Kabupaten Pakpak Bharat pada tahun
2006-2009.
2. Untuk mengetahui upaya apa yang dilakukan PKS Pakpak Bharat untuk
meningkatkan partisipasi politik perempuan di Kabupaten Pakpak Bharat pada tahun
2006-2009.
1. Bagi penulis, penelitian ini merupakan usaha untuk meningkatkan kemampuan
berfikir melalui penulisan karya ilmiah dan untuk menerapkan teori-teori yang
penulis peroleh selama perkuliahan di Magister Studi Pembangunan Sekolah Pasca
Sarjana Universitas Sumatera Utara.
2. Bagi pemerintah atau bagi pengambil kebijakan dalam merumuskan dan merancang
strategi untuk memberdayakan dan mencerdaskan perempuan dalam bidang politik.
3. Bagi masyarakat sebagai informasi dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dan
dalam melakukan pendidikan politik bagi perempuan.
4. Bagi Program Studi Pembangunan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera
Utara, diharapkan dapat menambah ragam penelitian yang ada dan tambahan
literature untuk penelitian-penelitian dimasa yang akan datang.
1.4. Kerangka Pemikiran
Peneliti mencoba melihat bagaimana pandangan PKS Pakpak Bharat terhadap
partisipasi politik perrempuan khususnya perempuan yang duduk dalam jabatan politik.
Peneliti juga memperdalam penelitian dengan melihat hambatan perempuan Pakpak
Bharat untuk masuk dalam dunia politik dan menganalisis upaya yang dilakukan PKS
PANDANGAN PKS PAKPAK BHARAT TERHADAP PARTISIPASI POLITIK
PEREMPUAN
JABATAN POLITIK KHUSUSNYA LEGESLATIF
HAMBATAN PEREMPUAN
PAKPAK BHARAT MASUK KEDUNIA POLITIK
UPAYA MENINGKATKAN
PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Sebagaimana dipahami, bahwa dalam studi ini ditemukan setidaknya dua tema
utama, yakni partisipasi politik perempuan dan Partai Keadilan Sejahtera. Oleh karena
itu, dalam kesempatan ini akan digali sejumlah teori dan beberapa bahan atau informasi
yang penting menyangkut kedua tema diatas. Kedua tema tersebut, khususnya studi ini
harus diletakkan dalam konteks studi pembangunan. Oleh karena itu, studi tentang
partisipasi politik perempuan akan dicari titik temunya dengan pembangunan politik,
yang dianggap segmen yang paling dekat dalam konteks studi pembangunan. Dalam
kerangka teori akan diuraikan juga pengertian dan hakikat dari pembangunan politik.
2.1. Pembangunan Politik
Menurut salah seorang sarjana terkemuka dalam bidang teori pembangunan
politik, Pye menguraikan dengan jelas berbagai pandangan mengenai pembangunan
politik. Berdasarkan hasil penelahaan atas teori yang berkembang, menurut Muhaimin
dan Andrews dalam Pye menyatakan sepuluh defenisi dan hakikat pembangunan politik
yakni: (1) Pembangunan politik sebagai prasyarat politik bagi pembangunan ekonomi. (2)
Pembangunan politik sebagai ciri khas kehidupan politik masyarakat industri. (3)
Pembangunan politik sebagai modernisasi politik. (4) Pembangunan politik sebagai
operasi negara-negara. (5) Pembangunan politik sebagai pembangunan administrasi dan
Pembangunan politik sebagai pembinaan demokrasi. (8) Pembangunan politik sebagai
stabilitas dan perubahan teratur. (9) Pembangunan politik sebagai mobilisasi dan
kekuasaan. (10) Pembangunan politik sebagai satu segi proses perubahan sosial yang
multidimensi. (Muhaimin dan Andrews, 1991:5-15)
Untuk lebih meneliti berbagai definisi pembangunan politik Pye menjelaskan
ciri-ciri pembangunan politik yang paling dapat diterima umum dan fundamental dalam
pemikiran umum mengenai masalah-masalah pembangunan politik. Pye menyatakan tiga
ciri pokok pembangunan politik yakni:
Pertama, semangat dan sikap umum terhadap persamaan (equality). Pye
menjelaskan equality berkenaan dengan pertama masalah partisipasi massa. Partisipasi
yang dimaksud mungkin berujud mobilisasi demokratis atau totaliter, tetapi yang penting
adalah bahwa semua orang harus menjadi warga negara yang aktif. Kedua berkenaan
dengan hukum juga harus bersifat universal yang dapat diterapkan pada semua orang dan
pelaksanaanya kurang lebih bersifat impersonal. Hal ini menyangkut pembinaan sistem
hukum, dengan kodifikasi hukum dan prosedur-prosedur hukum yang jelas. Dengan kata
lain semua orang berkedudukan yang sama terhadap hukum tampa diskriminasi. Ketiga
berkenaan dengan rekrutmen jabatan politik harus mencerminkan kecakapan berdasarkan
prestasi dan bukan pertimbangan status berdasarkan sistem sosial tradisionil. Dengan
asumsi bahwa dalam sistem politik yang sudah maju orang harus menunjukkan jasa yang
cukup untuk menduduki jabatan pemerintahan dan harus lulus ujian kecakapan yang
Ciri pokok yang kedua adalah kapasitas atau kesanggupan dari suatu sistem
politik. Kapasitas berkaitan dengan output sistem politik dan seberapa jauh sistem politik
dapat mempengaruhi sistem sosial dan sistem ekonomi. Kapasitas juga berhubungan
dengan prestasi pemerintah dan keadaan yang mempengaruhi prestasi tersebut. Pye
menjabarkan kapasitas dalam tiga hal, pertama kapasitas melihat masalah besarnya, ruang
lingkup dan skala prestasi politik dan pemerintahan. Sistem yang telah maju dianggap
bisa berbuat lebih banyak dan dapat mencakap berbagai kehidupan sosial yang lebih luas
dari pada sistem yang belum maju. Kedua, kapasitas berarti efektif dan efisien dalam
pelaksanaan kebijaksanaan umum. Sistem yang sudah maju dianggap tidak hanya dapat
berbuat lebih banyak dari sistem yang belum maju, tetapi juga dapat bekerja lebih cepat
dan teliti. Hal ini berhubungan dengan profesionalisme pemerintah. Sehingga dengan
efisiensi dan efektifitas menghasilkan prestasi yang diakui secara universal. Ketiga,
diferensial dan spesialisasi. Hal ini berlaku khususnya dalam analisa lembaga dan
struktur. Jabatan dan struktur pemerintah masing-masing memiliki fungsi tersendiri,
terbatas dan ada pembagian kerja didalam pemerintahan. (Muhaimin dan Andrews,
1991:17)
Dengan tiga ciri pembangunan politik tersebut yakni persamaan (equality),
kapasitas dan diferensiasi sebagai inti proses pembangunan Pye mencatat bahwa menurut
sejarah biasanya terjadi ketegangan yang akut antara tuntutan akan persamaan, kebutuhan
kapasitas dan proses diferensiasi yang lebih besar. Penekanan yang lebih besar atas
mengurangi kadar persamaan karena deferensiasi mementingkan kwalitas dan
pengetahuan spesialis.
Jadi Pye pola-pola pembangunan dapat dibedakan berdasarkan sistem yang
ditempuh masyarakat dalam usaha menangani masalah yang berlain dari gejala
pembangunan (development syndrome) sehingga dalam pengertian ini pembangunan
bukan proses yang unilinear (searah dan menaik) bukan pula proses yang diatur
berdasarkan tahap yang berbeda tegas, tetapi ditentukan oleh luasnya cakupan masalah
yang timbul baik secara terpisah maupun bersamaan.
Dalam usaha untuk mencari pola dari proses pembangunan yang berbeda ini perlu
diperhatikan tiga hal yakni pertama, masalah persamaan biasaanya berkaitan erat dengan
budaya politik, keterikatan dan keabsahan terhadap sistem. Kedua masalah kapasitas
berkaitan dengan prestasi dari struktur pemerintahan yang memiliki wewenang resmi
(authoritative) dan ketiga, masalah diferensiasi berkaitan dengan prestasi struktur yang
tidak memiliki weweng resmi (nonauthoritative) dan dengan proses politik dalam
masyarakat, sehingga menurut Pye akhirnya masalah pembangunan politik akan berkisar
pada masalah hubungan antara budaya politik, struktur-struktur yang berwewenang dan
proses politik umumnya.
Chicote (2003:368) pembangunan politik menekankan percabangan politik dari
pembangunan dan memisahkan pembangunan politik dari pembangunan ekonomi. Ada
tiga tipe kelompok menurut Ronald yaitu (pertama) berasosiasi dengan gagasan
demokrasi (kedua) fokus pada aspek pembangunan dan perubahan politik (ketiga)
teori diatas, maka perlu dipahami makna dan hakekat dari modernisasi politik yang
berhubungan dengan pembangunan politik.
Menurut Welch (Muhaimin dan Andrews, 1991:34-35) proses modernisasi politik
memiliki tiga ciri pokok, pertama peningkatan pemusatan kekuasaan pada negara
dibarengi dengan melemahnya sumber-sumber wewenang kekuatan tradisionil, kedua
diferensiasi dan spesialisasi lembaga-lembaga politik, ketiga peningkatan partisipasi
rakyat dalam politik dan kesediaan individu-individu untuk mengidentifikasi diri dalam
sistem politik sebagai satu keseluruhan. Jadi modernisasi politik pertama-tama
menyangkut pengalihan kekuasaan secara dramatis pusat wewenang kekuasaan.Sistem
politik yang sudah dimodernisasikan menjadi rumit sekali karena modernisasi melipat
gandakan volume, ruang lingkup dan efisiensi dari keputusan-keputusan resmi.
Organ-organ pemerintah harus mengembangkan tingkat diferensiasi strukturil dan meningkatkan
spesialisasi fungsionalnya.
Aspek ketiga dari modernisasi merupakan yang paling sulit dicapai sikap-sikap
rakyat harus dirubah, sifat partisipasi politik harus diganti. Kesadaran yang meluas akan
partisipasi dalam politik nasional merupakan ciri masyarakat moderen. Partisipasi timbul
dari meningkatnya partai politik dan kelompok kepentingan. Jadi pola moderenisasi
politik yang teratur mensyaratkan adanya transformasi sikap-sikap yaitu perubahan
secara dramatis dari praktek-praktek sosial dan tradisionil ke modernisasi politik.
Pembangunan politik mengandung tiga dimensi yang satu dengan yang lain saling
dimaksud untuk mencegah hal yang meyimpang dan berlawanan dengan cita-cita semula,
contohnya pada masa orde baru ideologi komunis dilarang.
Selanjutnya adalah dimensi pemeliharaan, dimana dalam hak ini meperhatikan atau
memelihara apa-apa yang sudah ada dan merupakan bagian yang integral dari sistem
politik yang ingin dibangun. Perhatian utama dari pemeliharaan adalah bagaimana
lembaga-lembaga politik yang ada bisa terpelihara dan berfungsi sebagaimana mestinya.
Contohnya pada masa orde baru adalah Partai Golkar dan pemilu yang diselenggarakan
secara teratur.
Yang ketiga adalah dimensi pengembangan, melihat masalah pembangunan politik
pada kebutuhan untuk mengembangkan kapasitas dan kapabilitas suatu sistem politik
sehingga mampu menyelesaikan secara memuaskan beban-beban berat yang berasal dari
dinamika perkembangan masyarakat. Perubahan yang terjadi didalam masyarakat
melahirkan berbagai persoalan dan tantangan yang perlu dijawab oleh sistem politik yang
berlaku. Meningkatnya aspirasi dengan sendirinya menghendaki pengembangan kapasitas
dan kapabilitas sistem politik.
Sementara itu Ramlan Surbakti (Ramlan, 1992:238-239) menilai adanya hubungan
yang erat antara pembangunan politik, modernisasi politik dan perubahan politik.
Pembangunan dan modernisasi politik merupakan perubahan politik tetapi tidak
sebaliknya. Menurutnya dalam konsep pembangunan sedikit banyaknya terkandung
adanya upaya yang disengaja, relatif terencan, memiliki sasaran yang jelas, proses yang
evolusioner dan tidak mengandung kekerasan. Pembangunan politik dilihat dari implikasi
tidak hanya sistem politik demokrasi tetapi juga kemampuan-kemampuan lain yang
dianggap penting untuk suatu sistem politik agar dapat lestari.
Sedangkan Rauf (1994) berpandangan bahwa pembangunan politik tidak lain
sebagai demokratisasi kehidupan politik dengan tujuan yang ingin dicapai, terbentuknya
sebuah sistem politik yang demokratis dimana suara rakyat merupakan pedoman bagi
pemerintah dalam menjalankan tugasnya dan rakyat memiliki kebebasan termasuk
kebebasan menjalankan pengawasan terhadap pemerintah.
2.2. Pengertian Partisipasi Politik
Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat
yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara.
Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda
mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik. Politik adalah seni dan ilmu
untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional.
Dalam kamus Litre mendefenisikan politik sebagai ilmu memerintah dan mengatur
Negara sementara konsep lain mengatakan bahwa politik adalah cara dan upaya
menangani masalah-masalah rakyat dengan seperangkat undang-undang untuk
mewujudkan kemaslahatan dan mencegah hal-hal yang merugikan bagi kepentingan
Disamping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara
lain:
1. Politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan
bersama (teori klasik Aristoteles).
2. Politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara.
3. Politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan
kekuasaan di masyarakat.
4. Politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan
publik.
Kata partisipasi merupakan hal tentang turut berperan serta dalam suatu kegiatan,
keikutsertaan atau berperan serta. Peran politik terkait erat dengan aktivitas-aktivitas
politik mulai dari peranan para politikus profesional, pemberian suara, aktivitas partai
sampai demonstrasi. Secara umum apa-apa saja yang menjadi indikator bagi peran atau
partisipasi politik adalah menarik apa yang diawarkan Rush dan Althoff mengenai
hierarki peran atau partisipasi politik.
Anggota masyarakat suatu negara mempunyai hak-hak tertentu yang juga harus
diperhatikan oleh negara melalui aktifitas pemerintahannya. Dalam hubungannya dengan
hak-hak ini, Jellienk membagi hak-hak ini berdasarkan dua tolak ukur yaitu perbedaan
antara hak aktif dan hak pasif, serta hak positif dan negatif. Dengan hak aktif seorang
warga masyarakat memperoleh kesempatan untuk ikut secara aktif bail langsung maupun
tidak langsung dalam mengatur dan menyelenggarakan negara, sedangkan dengan hak
tugas-tugas kenegaraan. Sementara hak positif yang melekat padanya, warga masyarakat
akan menerima sesuatu dari negara dan pemerintah, sedangkan hak negatif seorang warga
masyarakat harus rela mengorbankan sesuatu untuk negara dan pemerintahnya. Salah
satu hak dan kewajiban warga masyarakat yang erat hubungannya dengan hak aktif
adalah partisipasi politik.
Lebih jauh lagi Locke menyatakan bahwa yang disebut hak-hak politik rakyat
adalah hak-hak yang mencakup hak atas hidup, kebebasan serta hak milik. Sedangkan
Montesquie mencoba menyusun suatu system yang dapat menjamin hak-hak politik itu
yang dikenal dengan trias politikal. Lebih lanjut Jellinek menjelaskan bahwa partisipasi
politik diartikan sebagai suatu usaha terorganisir dari para warga negara untuk
mempengaruhi bentuk dan jalannya kebijaksanaan umum.
Dalam konteks Negara, partisipasi politik rakyat adalah keterlibatan rakyat secara
perseorangan (privat citizen) untuk mengerti, menyadari, mengkaji, melobi dan
memprotes suatu kebijakan yang ditelurkan oleh pemerintah dengan tujuan
mempengaruhi kebijakan agar aspiratif terhadap kepentingan mereka. Dari ilustrasi di
atas, partisipasi rakyat bisa dipahami sebagai keterlibatan rakyat dalam pengertian politik
secara sempit hubungan Negara dan masyarakat (dalam bingkai governance) dan juga
politik secara luas semua bentuk keterlibatan masyarakat dalam proses berhimpun untuk
mempengaruhi ataupun melakukan perubahan terhadap keputusan yang diambil
partisipasi politik rakyat sebetulnya adalah tema sentral dari proses demokratisasi.
Dalam kerangka inilah masyarakat bisa berperan sebagai Partisipasi secara
Rousseau dalam bukunya The Social Contrac mengatakan, partisipasi sangat penting bagi
pembagunan diri dan kemandirian warga negara. Melalui partisipasi individu menjadi
warga publik, mampu membedakan persoalan pribadi dengan persoalan masyarakat. Hal
ini ditegaskan Mill, bahwa tanpa partisipasi nyaris semua orang akan ditelan oleh
kepentingan pribadi dan pemuasan kebutuhan pribadi mereka yang berkuasa. Di sini
partisipasi dalam kata lain menjadi ukuran adanya kemandirian dan kedewasaan individu
(warga) dalam melihat batasan antara kepentingan privat dan publik. Urusan publik
memiliki hukum dan nilainnya sendiri yang tidak bisa dicampur adukkan dengan urusan
privat. Maka dari itu, penggunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau golongan
dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang karena melukai partisipasi dan melanggar
hukum publik. Dalam konteks ini, partisipasi menjadi fungsi demokrasi, agar kekuasaan
selalu berorientasi pada publik. Tiada demokrasi tanpa partisipasi politik warga, sebab
partisipasi merupakan esensi dari demokrasi. Bila suatu negara membatasi akses dan
keterlibatan warganya dalam setiap pengambilan keputusan, maka demokrasinya belum
dapat dikatakan berkembang secara baik. Adanya kebebasan rakyat dalam menjalankan
partisipasi politik menjadi ukuran elementer, untuk melihat eksistensi demokrasi dalam
suatu negara.
Demokrasi sebagai suatu sistem politik berupaya untuk memberikan wadah
seluas-luasnya kepada rakyat untuk turut berpartisipasi atau ikut serta secara politik
dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kekuasaan yang otoriter, fasis dan anti demokrasi
biasanya menenggelamkan adanya partisipasi politik warga. Urusan kekuasaan
kearah apatisme. Dalam pemikiran Abrahamsen, apatisme sebenarnya merupakan
produk sosial, ekonomi dan pengaturan politik tertentu. Seperti di masa orde baru,
berbagai regulasi digunakan untuk membungkam partisipasi politik rakyat. Rakyat tidak
bebas berekspresi, berorganisasi. Adanya perbedaan pendapat, kritik dan protes massa
dikendalikan dengan teror, kekerasan dan bentuk-bentuk represi lainnya.
Menurut Huntington dan Nelson (1994: 6) partisipasi politik adalah kegiatan
warga (private citizen) yang bertindak sebagai pribadi-pribadi yang bertujuan
mempengaruhi keputusan oleh pemerintah. Partisipasi ini dapat bersifat idividual atau
kolektif, terorganisir atau spontan, mantap sporaadis, secara damai atau dengan
kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif. Partisipasi mencakup
kegiatan-kegiatan tidak mencakup sikap-sikap. Sementara para ahli lain mendefenisikan Partisipasi
politik mencakup orientasi-orientasi para warga negara terhadap politik, serta prilaku
politik mereka yang nyata. Hal ini dapat terwujud dalam pengetahuan tentang politik,
minat terhadap politik, perasaan-perasaan terhadap kompetisi, dan keefektifan politik,
persepsi-persepsi tentang relevansi politik yang semua ini berkaitan dengan tindakan
politik. Partisipasi politik adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan,
mulai dari pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan termasuk juga
peluang untuk ikut serta dalam pelaksanan keputusan serta merupakan kegiatan seseorang
atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalm kehidupan politik yaitu dengan
jalan memilih pimpinan negara secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi
Menurut Rush dan Althoff (1993:23) partisipasi politik adalah keterlibatan
individu sampai pada bermacam-macam tingkatan di dalam sistem politik. Menurut
Surbakti (1984:140) bahwa partisipasi politik adalah keikutsertaan warga negara biasa
dalam menentukan segala keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi
kehidupannya.
Budiarjo (1998:9) mengartikan partisipasi politik sebagai kegiatan seseorang atau
sekelompok orang untuk ikut secara aktif dalam kehidupan politik yaitu dengan jalan
memilih pimpinan negara dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi
kebijakan pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup pemberian suara lewat
pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok
kepentingan, mengadakan hubungan (conctracting) dengan pejabat pemerintah atau
anggota parlemen dan sebagainya.
Sementarara Milbrath dan Goel membedakan partisipasi menjadi beberapa teori.
Pertama adalah apatis, yaitu orang yang menarik diri dari proses politik. Kedua adalah
spektator yakni orang yang setidak-tidaknya pernah ikut dalam pemilihan umum. Ketiga
gladiator yaitu orang-orang yang secara aktif terlibat dalam proses politik yakni sebagai
komunikator dengan tugas khusus mengadakan kontak tatap muka, aktivis partai dan
pekerja kampanye serta aktivis masyarakat. Keempat pengkritik yaitu orang yang
berpartisipasi dalam bentuk yang tidak konvensional.(Sastroatmodjo, 1995:74-75)
Goel dan Olsen dalam buku Sastroatmodjo (1995:77) memandang partisipasi
sebagai dimensi utama kehidupan stratifikasi sosial. Menurut mereka partisipasi dibagi
menerima dan menyampaikan ide-ide, sikap dan informasi politik lainnya pada orang
lain), warga negara marjinal (orang yang sedikit melakukan kontak dengan sistem politik)
dan orang-orang yang terisolasi (orang yang jarang melakukan partisipasi politik).
Partisipasi berdasarkan sifatnya dibedakan menjadi pertama, partisipasi yang bersifat
sukarela (otonom). Kedua, atas desakan orang lain (mobilisasi). Hal ini senada dengan
Nelson yang menyatakan dua sifat partisipasi yakni autonomous partisipation (partisipasi
otonom) dan mobilized partisipation (partisipasi yang dimobilisasi).
Menurut Sastroatmojo (1995:68) pengertian partisipasi dibatasi oleh beberapa hal.
Pertama, partisipasi politik hanyalah mencakup kegiatan-kegiatan dan bukan sikap-sikap.
Kedua, yang dimaksud dalam partisipasi politik itu adalah warga negara biasa bukan
pejabat pemerintah. Ketiga, kegiatan partisipasi politik itu hanyalah kegiatan yang
dimaksudkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah terlepas apakah
tindakan-tindakan tersebut legal atau tidak. Keempat, partisipsi politik juga mencakup
semua kegiatan yang mempengaruhi pemerintah terlepas dari kegiatan tersebut efektif
atau tidak, berhasil atau gagal. Kelima, partisipasi berupa kegiatan mmempengaruhi
pemerintah yang dilakukan langsung atau tidak langsung, maksudnya apakah pelaku
tersebut langsung berhubungan dengan pemerintah atau melalui perantara dalam
menyampaikan aspirasinya.
Menurut Hasyim di antara peran politik perempuan yang dimaksud adalah: peran
memberikan suara pada pemilihan, peran untuk menjadi anggota legislatif/ parlemen dan
peran menjadi pemimpin tertinggi dalam suatu pemerintahan atau Presiden. Sementara
peran normative, peran memilih atau dipilih dalam suatu proses Pemilihan Umum,
perempuan memperoleh hak-hak politiknya untuk memilih atau dipilih setelah
kemerdekaan yaitu dalam Pemilu 1955. Peran aktif, sebagai fungsionaris partai politik
atau sebagai anggota legislatif dan peran pasif, turut berpartisipasi dalam mengontrol
jalannya pembangunan.
Partisipasi merupakan salah satu aspek penting dalam sistim demokrasi, bahkan
yang mendasari demokrasi adalah nilai-nilai partisipasi. Karena partisipasi adalah
keikutsertaan warga negara biasa dalam mempengaruhi proses pembuatan dan
pelaksanaan keputusan politik. (Surbakti, 1992:141) Partisipasi politik adalah kegiatan
sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses
pemilihan penguasa baik secara langsung atau tidak langsung dalam proses pembentukan
kebijakan umum. Hungtington, dan Nelson (1994:6) berpendapat bahwa: partisipasi
politik merupakan kegiatan warga Negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi dengan
maksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan pemerintah, dan partisipasi dapat
bersifat individual atau kelompok. Wiener dalam Huntigton (1994:10) menekankan sifat
sukarela dari partisipasi dan mengemukakan menjadi anggota organisasi atau menghadiri
rapat umum atas perintah pemerintah, tidak termasuk (partisipasi politik).
Dari berbagai defenisi yang diberikan para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa
konsep partisipasi politik mengacu pada kegiatan warga Negara pada dua hal pokok
yaitu pada proses pemilihan penguasa (pemerintah) dan pengawasan pada aktifitas
penguasa yang terpilih. Aktifitas kedua ini berupa kegiatan mempengaruhi proses