• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Menurut The Hague Rules

4. Pembatasan Tanggung Jawab Pengangkut

The Hague Rules mengatur pula beberapa klausula yang

membatasi tanggung jawab pengangkut:

1. Dalam Artikel III (1) mengenai due diligence clause. Yaitu apabila terbukti pengangkut telah menyelenggarakan dengan wajar agar kapal yang dipergunakan di dalam dinas pelayarannya layak melaut, kapal telah diawaki secukupnya, dan membawa bahan keperluan kapal secukupnya untuk menempuh pelayaran yang direncanakan, serta untuk keperluan muatan, semua palka, kamar pendingin dan lain-lain telah siap untuk menerima muatan, memadatkannya dengan baik, serta mengangkutnya sampai ke tempat tujuan dengan aman dan selamat, maka dia dapat membebaskan diri dari tuntutan ganti kerugian yang mungkin diajukan kepadanya.

2. Dalam Artikel III (4) mengenai prima facie evidence. Dengan adanya syarat-syarat ini dalam suatu perjanjian pengangkutan, pengangkut menyatakan bahwa dia menyanggupi untuk mengangkut sejumlah muatan berdasarkan penilaian atas barang sebagaimana keadaan itu tampak dari luar. Artinya, pengangkut dapat menolak tuntutan ganti kerugian apabila sebuah peti yang keadaannya baik, akan tetapi pada waktu dibuka kedapatan isinya rusak atau kurang. Alasan penolakannya ialah bahwa pengangkut menerima barang dalam keadaan baik dan barang yang sama diserahkan kepada consignee juga dalam keadaan baik, sama seperti keadaan waktu untuk di kapal.

3. Dalam Artikel IV (2a) mengenai negligence clause. Dalam hal ini, ditetapkan bahwa baik pengangkut maupun kapal tidak bertanggung jawab atas kerugian atau kerusakan yang terjadi karena atau diakibatkan oleh tindakan, ketidakwaspadaan atau

kelalaian nakhoda, anak buah kapal, pandu atau orang-orang lain yang bekerja dalam dinas pengangkut, dalam hal navigasi dan manajemen kapal. Dengan adanya ketentuan ini, apabila terjadi kerugian atau kerusakan karena kesalahan navigasi atau manajemen, hal itu semata-mata merupakan tanggung jawab nakhoda atau orang-orang lain yang dimaksud. Latar belakang pemikiran ketentuan ini ialah bahwa nakhoda serta orang-orang lain itu menjalankan pekerjaan yang menjadi keahliannya, dan merekapun mempunyai sertifikat (ijazah) yang mengatakan kecakapan serta hak masing-masing untuk menjalankan pekerjaan itu dengan bebas tanpa kata perintah oleh siapapun. Pemilik kapal yang telah mempekerjakan mereka dalam jabatannya masing-masing, tidak dapat memberi instruksi dalam menjalankan navigasi dan manajemen kapal.

4. Dalam Artikel IV (4) mengenai deviation clause. Apabila diperhatikan setiap lembaran bill of lading, maka akan selalu ditemui ketentuan-ketentuan yang menetapkan bahwa kapal tidak diharuskan untuk berlayar melalui jalur yang biasanya dilayari atau yang sudah diumumkan akan dilayari. Mengenai ketentuan itu, berikut salah satu contoh dari deviation clause yang dimuat dalam suatu konosemen (bill of lading) yang dikeluarkan oleh sebuah perusahaan pelayaran, yang berbunyi:

“The carrier does not contract to proceed by the shortest or by she geographical or customary or advertised route (if any) and the ship or other method of conveyance may for any purpose what so ever whether on the current voyage or on a prior or subsequent voyage or whether connected with the joint adventure or not and whether before the beginning or at any time or stage of the voyage proceed by any course or route what so ever although in contrary direction to or out of or beyond the direct or geographical or customary or advertised route to the place of delivery once or more often in any order back wards without notice to shippers or consignees and for any purpose may all and/or remain or omit to call and/or remain at any port or ports place what so ever and may carry the goods back to the

port of loading or to any port or place whether beyond the port of delivery or not and may make any delay what so ever at or in sailing from the port of lading or any port or place as aforesaid”. Untuk dapat menetapkan kepada siapakah risiko

penyimpangan arah itu dibebankan telah ditegaskan pula dalam

The Hague Rules mengenai penyimpangan yang dianggap sah

dan penyimpangan yang dianggap tidak sah.

Penyimpangan-penyimpangan yang dianggap sah ialah jika penyimpangan arah itu dilakukan dalam rangka usaha untuk:

a. Menyelamatkan atau berusaha menyelamatkan nyawa dan harta benda di laut.

b. Menjaga kepentingan pengangkut dan para pemilik muatan, misalnya kapal berlindung dalam pelabuhan yang tidak termasuk dalam rencana perjalanan sebagai usaha untuk menghindari topan yang sedang lewat di daerah jalur pelayaran kapal yang bersangkutan.

Ini berarti, segala kerugian dan kerusakan yang terjadi sebagai akibat dari penyimpangan arah seperti yang disebutkan di atas berada di luar tanggung jawab pengangkut, sehingga pengangkut tidak dapat dituntut untuk mengganti kerugian dan kerusakan yang terjadi.

5. Dalam Artikel III (3) mengenai un-acquaintance clause. Dalam hal pengangkut akan membawa barang-barang muatan yang terdiri dari barang kecil, maka akan dibuatkan un-acquaintance

clause ini. Pengangkut menyatakan, bahwa dia menerima barang

untuk dikapalkan dalam bungkusan-bungkusan, tetapi tidak menghitung isi atau jumlah barang-barang yang terdapat dalam tiap-tiap bungkusan itu. Hal seperti ini juga terjadi dalam pengiriman barang-barang yang terdiri dari biji-bijian, seperti jagung atau beras, di mana pengangkut menyatakan tidak mengetahui timbangan muatan itu dengan tepat. Yang menjadi pegangan bagi pengangkut ialah jumlah timbangan yang diberitahukan kepadanya oleh pengirim barang. Dalam konosemen (bill of lading) yang dikeluarkan untuk pengangkutan barang kecil-kecil seperti itu biasanya ketentuan

yang menjadi pegangan bagi pengangkut dinyatakan sebagai berikut (contoh):

50 casses Bicycle Spokes. Said to contain: 10.000 pieces. 500 bags of rice. Said to weight: 50.000 Kgs.

Kemudian, mengenai paramount clause. Paramount clause atau

basic contract ialah klausula yang menyebutkan hukum apa yang

digunakan sebagai dasar perjanjian pengangkutan. Klausula ini penting sebagai pedoman apabila terjadi sengketa antara pihak-pihak yang mengadakan perjanjian pengangkutan, yaitu antara pengangkut dan pengirim barang.

Misalnya, apabila di dalam bill of lading ditetapkan bahwa The

Hague Rules 1924 sebagai paramount clause, maka jika timbul

perselisihan akan digunakan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam

The Hague Rules 1924 itu untuk proses penyelesaian sengketa.

Ketentuan ini dibuat juga untuk memberikan batas pasti yang dapat dipikul oleh pengangkut, yang artinya erat pula kaitannya dengan masalah tanggung jawab maksimum dalam pemberian ganti kerugian oleh pengangkut.

Dalam hubungannya dengan pembatasan tanggung jawab pengangkut, telah ditegaskan pada Artikel III (8) bahwa setiap klausula, janji atau persetujuan dalam kontrak pengangkutan yang meringankan tanggung jawab pengangkut atau kapal terhadap kerugian atau kerusakan atau dalam hubungannya dengan barang-barang yang timbul dari kelalaian, kesalahan atau kegagalan dalam tugas dan kewajibannya sebagaimana yang telah ditetapkan atau mengurangi tanggung jawab secara lain dari apa yang ditetapkan adalah batal dan tidak berlaku.

Namun untuk pengangkutan-pengangkutan yang bersifat khusus, pengangkut diberi kebebasan untuk melepaskan seluruh atau sebagian hak serta kekebalan atau kebebasannya itu, atau menambah sesuatu kewajiban atau tanggung jawab di luar ketentuan-ketentuan yang diatur dalam The Hague Rules ini, sepanjang ketentuan-ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan ketertiban umum. Misalnya, pengangkut dapat menyatakan dalam surat perjanjian pengangkutan, bahwa dia menyetujui untuk mengurus penyerahan barang sampai gudang pemilik

muatan di pelabuhan tujuannya (system door to door service). Tentang penyerahan seperti itu harus dinyatakan di dalam bill of lading.

Tetapi selain hal tersebut, juga secara tegas, The Hague Rules dalam Artikel IV telah mengatur tentang hak-hak dan kekebalan dari pengangkut. Ditegaskan dalam Artikel IV (2), bahwa baik pengangkut maupun kapal tidak bertanggung jawab terhadap kerugian atau kerusakan yang timbul atau sebagai akibat dari:

1. Perbuatan, kelalaian atau kegagalan nakhoda, pelaut, pandu atau buruh-buruh dari pengangkut bidang navigasi atau pengurusan kapal.

2. Api, kecuali diakibatkan oleh kesalahan yang sesungguhnya atau kesalahan pribadi pengangkut.

3. Bencana, bahaya dan kecelakaan laut atau diperairan yang dapat dilayari lainnya.

4. Takdir Tuhan. 5. Tindakan perang.

6. Musuh masyarakat/negara.

7. Penangkapan atau penahanan oleh raja, pemerintahan atau rakyat, atau penyita menurut hukum.

8. Pembatasan-pembatasan karantina.

9. Perbuatan atau kealpaan pengiriman atau pemilik barang-barang, agennya atau perwakilan.

10. Pemogokan atau penutupan perusahaan, penghentian atau perintangan pekerjaan dengan alasan apapun, apakah sebagian atau seluruhnya.

11. Kerusuhan dan pemberontakan.

12. Penyelamatan atau usaha menyelamatkan jiwa manusia atau harta benda di lautan.

13. Penyusutan dalam jumlah atau berat atau setiap kerugian atau kerusakan lain yang timbul dari cacat yang melekat kualitas atau sifat buruk dari barang-barang.

14. Pengepakan yang tidak baik.

15. Merk-merk yang tidak cukup jelas atau tahan lama. 16. Cacat tersembunyi yang tidak dapat ditemukan.

17. Setiap sebab lain yang timbul tanpa kesalahan nyata dan pribadi dari pengangkut dan tanpa kesalahan atau kelalaian dari agen atau buruhnya pengangkut.

Jadi, The Hague Rules sudah memberikan suatu pedoman yang jelas dalam hal mana pengangkut tidak dapat dibebani tanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan yang timbul.

Suatu hal penting yang mempunyai kaitan dengan tanggung jawab pengangkut menurut The Hague Rules ialah tentang konosemen

(bill of lading). Perlu kembali diingat, bahwa The Hague Rules hanya

berlaku bagi pengangkutan melalui laut yang dilindungi konosemen. Artikel III (7) menjelaskan bahwa “After the goods are loaded,

the bill of lading to be issued by the carrier, master or agent of the carrier to the shipper shall, if the shipper so demands, be a “shipped” bill of lading…”. Maksudnya ialah bahwa setelah menerima

barang-barang dalam kekuasaannya pengangkut berkewajiban mengeluarkan konosemen (bill of lading) atas permintaan pengirim barang, yang memuat antara lain:

1. Merk-merk utama yang diperlukan sebagai tanda pengenal atas barang-barang seperti yang telah disiapkan oleh pengirim secara tertulis sebelum pemuatan barang-barang itu dimulai. Merk tersebut dapat dicap atau dengan cara lain, yang dapat nampak jelas pada barang-barang jika tidak tertutup atau jika ditaruh dalam peti atau dalam bungkusan, sedemikian rupa sehingga dalam keadaan biasa merk-merk itu tetap dapat dibaca sampai akhir perjalanan.

2. Jumlah koli atau potong barang, begitu juga banyaknya atau beratnya, bagaimanapun keadaannya, sama seperti yang telah diberitahukan pengirim secara tertulis.

3. Keadaan barang-barang tersebut seperti yang kelihatan dari luar.

Demikianlah, jadi dapat dipahami bahwa konosemen tersebut merupakan bukti penting penerimaan barang oleh pengangkut. Begitu juga dalam kaitannya dengan tanggung jawab pengangkut, dikeluarkannya sebuah konosemen merupakan suatu hal yang penting pula. Hal ini disebabkan oleh karena dengan adanya klausula-klausula

yang tercantum dalam konosemen akan ikut mempengaruhi sampai seberapa jauh dan berapa besarnya tanggung jawab pengangkut.

Dengan perkataan lain, bahwa di samping adanya kewajiban-kewajiban utama sebagaimana yang telah dijelaskan, The Hague Rules ternyata juga telah memberikan kemungkinan bagi pengangkut untuk membatasi tanggung jawabnya dengan (melalui) klausula-klausula yang dimuat dalam konosemen.

5. Batas Ganti Kerugian

Dari uraian tersebut di atas telah diketahui bahwa pengangkut dapat membatasi tanggung jawabnya dengan mengadakan klausula-klausula yang bisa dicantumkan dalam bill of lading. Di samping hal itu, The Hague Rules menetapkan pula batas ganti kerugian maksimum yang harus dibayar oleh pengangkut apabila muatan yang diangkutnya mengalami kerusakan atau kerugian yang menjadi tanggung jawabnya. Ketentuan tentang maximum liability (ganti kerugian maksimum) ini akan berlaku dalam hal si pengirim barang tidak menerangkan sifat dan nilai barang (keterangannya tidak tercantum di dalam bill of lading).

Mengenai penetapan maximum liability dari pihak pengangkut terdapat perbedaan antara yang diatur dalam The Hague Rules 1924 dan

The Hague Visby Rules 1968.

Di dalam The Hague Rules 1924 ditetapkan maximum liability tersebut adalah sebesar £ 100 per package atau unit (per collo muatan). Artinya, pengangkut hanya bertanggung jawab sebesar £ 100 per collo muatan, apabila muatan yang diangkutnya mengalami kerusakan atau kerugian yang menjadi tanggung jawabnya. Hal ini berarti pula bahwa

The Hague Rules tidak mengatur tentang penggantian kerugian terhadap

muatan curah dan pengangkutan barang dengan memakai kontainer. Ketentuan yang terdapat dalam The Hague Rules 1924 yang membatasi tanggung jawab pengangkut hanya sampai pada jumlah 100 pound sterling untuk setiap bungkus/koli atau unit barang menimbulkan ketidakpuasan bagi pihak negara-negara shipper. Ketidakpuasan terhadap ketentuan yang membatasi penggantian kerugian itu menjadi salah satu alasan bagi negara-negara shipper untuk mengadakan perubahan terhadap The Hague Rules 1924.

Selain ketidakpuasan terkait dengan masalah pembatasan ganti kerugian tersebut, terdapat juga beberapa masalah lain yang mendorong proses perubahan The Hague Rules 1924, antara lain, yaitu:

1. Beberapa negara peserta konvensi menginginkan agar ketentuan-ketentuan dalam konvensi hendaknya dimasukkan ke dalam surat muatan (bill of lading) dari negara-negara yang menyelenggarakan pengangkutan barang-barang. Jadi, maksudnya agar ketentuan-ketentuan dalam konvensi tidak hanya berlaku bagi negara-negara peserta konvensi saja.

2. Batas ganti kerugian maksimum £ 100 per package atau unit, sebagai akibat adanya devaluasi dari pound sterling, tidak lagi memuaskan pihak shipper.

3. Di tahun-tahun terakhir, sebagian besar pengangkut laut telah menunjukkan kemajuan (perkembangan) dengan menggunakan kontainer.

Sehubungan dengan hal-hal tersebut, mulai tahun 1968, di Brussel, diadakan suatu protokol untuk menyempurnakan Artikel IV (5) dari The Hague Rules. Nama lengkap protokol itu ialah Protocol to

Amend the International Convention for the Unification of Certain Rules Relating to Bill of Lading. Hasil final protokol ditandatangani

pada tanggal 23 Februari 1968, di Visby, sehingga protokol tersebut kemudian juga dikenal dengan sebutan The Hague Visby Rules.

Protokol tersebut membawa perubahan terhadap maximum

liability dari pengangkut dan ruang lingkup berlakunya

ketentuan-ketentuan konvensi. Protokol itu telah menambahkan suatu sistem yang berdasarkan berat di samping per package atau unit. Sehingga, shipper dapat memperoleh dalam jumlah yang pasti, berdasarkan per package atau unit atau atas jumlah kilo (berat) dari barang yang rusak, terserah mana yang lebih tinggi.

Maximum liability menurut protokol baru (The Hague Visby Rules) tersebut ialah 10.000,- franc per koli atau 30 franc per kilo dari

berat kotor barang yang hilang atau rusak, mana saja yang lebih tinggi, sebagaimana ditentukan dalam Artikel IV (5a) yang berbunyi: “Unless

the nature and value of such goods have been declared by the shipper before shipment and inserted in the Bill of Lading, neither the carrier

nor the ship shall in any event be or become liable for any loss or damage to or in connexion with the goods in amount exceeding the equivalent of franc 10.000,- per package or unit or franc 30 per kilo of gross weight of the goods lost or damage, whichever is the higher”.

Selanjutnya, dijelaskan pula dalam Artikel III (5a), bahwa “A

Franc means a unit consisting of 65,5 milligrams of gold of millesimal fineness 900’. The date of conversion of the sum awarded in national currencies shall be governed by the law of the court seized of the case”.

Maksudnya ialah bahwa 1 (satu) franc berarti 1 (satu) satuan uang yang bernilai 65,6 miligram emas dari campuran 900’ per seribu. Tanggal penukaran jumlah uang tersebut dengan uang nasional diatur oleh hukum pengadilan mengenai perkara itu.

Selain menegaskan jumlah tersebut di atas, ditentukan pula baik pengangkut maupun kapal tidak akan berhak untuk memanfaatkan pembatasan tanggung jawab yang diberikan, apabila dapat dibuktikan bahwa kerusakan itu akibat dari suatu tindakan atau kelalaian yang dilakukan oleh pengangkut dengan maksud untuk menimbulkan kerusakan atau secara tidak hati-hati dan dengan kesadaran bahwa perbuatan itu dapat menimbulkan kerusakan.

Dengan perkataan lain, kepada pengangkut tetap diberikan kewajiban untuk menyelenggarakan pelayaran yang layak dan aman untuk mengangkut barang sampai ke tujuan.

Kemudian, walaupun telah ditentukan jumlah maksimum tadi,

The Hague Rules tetap memberikan kemungkinan kepada pengangkut,

nakhoda, atau agen pengangkut untuk mengadakan persetujuan dengan pengirim untuk lebih menetapkan jumlah maksimum yang lain, asalkan lebih dari jumlah maksimum yang telah ditetapkan.

Selanjutnya, pengangkut tidak akan bertanggung jawab terhadap setiap peristiwa kerugian atau kerusakan pada atau yang berkaitan dengan barang-barang, jika sifat atau nilai dengan sengaja telah ditulis secara tidak benar oleh pengirim dalam konosemen.

Selain menentukan liability dari pengangkut, The Hague Rules mengatur pula mengenai tenggang waktu untuk mengajukan tuntutan ganti kerugian. Dinyatakan, bahwa untuk mengajukan tuntutan ganti kerugian harus secara tertulis. Apabila kerusakan itu segera dapat

diketahui oleh penerima barang, maka harus dilakukannya sebelum atau setelah penyerahan barang, yang ditujukan kepada pengangkut atau kepada agennya di tempat pelabuhan pembongkaran.

Tetapi, kalau kerusakan itu tidak segera dapat diketahui, maka tenggang waktu untuk mengajukan tuntutan ganti kerugian adalah 3 (tiga) hari setelah penyerahan barang, sebagaimana diatur dalam Artikel III (6): “If the loss or damage is not apparent the notice must be given

within three days of the delivery”.

Selanjutnya, dinyatakan pula dalam Artikel III (6), bahwa pengangkut dan kapal dalam setiap peristiwa dibebaskan dari semua tanggung jawab apapun terhadap barang-barang, kecuali jika ada gugatan jangka waktu 1 (satu) tahun sesudah penyerahan atau sejak barang-barang itu sedianya diserahkan. Jangka waktu tersebut dapat diperpanjang atas kesepakatan kedua belah pihak. Pihak pengangkut juga dapat menolak gugatan (tuntutan) ganti kerugian yang diajukan kepadanya, akan tetapi harus sesuai dengan alasan-alasan yang telah ditegaskan oleh konvensi ini.

Dokumen terkait