• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II): TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT, ASURANSI, DAN INCOTERM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II): TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT, ASURANSI, DAN INCOTERM"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II): TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT,

ASURANSI, DAN INCOTERM

Dr. H. Djafar Al Bram, S.H.,S.E.,M.H.,M.M.,Bc.KN.,CPM.,M.AP.

Pusat Kajian Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila

(3)

PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II): TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT,

ASURANSI, DAN INCOTERM

Penulis:

Dr. H. Djafar Al Bram, S.H.,S.E.,M.H.,M.M.,Bc.KN.,CPM.,M.AP.

Editor: Endra Wijaya

Deni Bram

Hak cipta yang dilindungi oleh undang-undang pada penulis. Hak penerbit pada Pusat Kajian Ilmu Hukum

Fakultas Hukum Universitas Pancasila (PKIH FHUP).

Alamat PKIH FHUP:

Gedung Fakultas Hukum Universitas Pancasila, lantai 2, Jln. Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan, 12640.

Cetakan ke-1: Oktober 2011.

ISBN: 978 – 602 – 99279 – 2 – 4 (No. Jil. Lengkap) ISBN: 978 – 602 – 99279 – 4 – 8 (Jil. II)

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Sebagian atau seluruh isi buku ini dilarang untuk diperbanyak dalam bentuk atau dengan cara apapun

tanpa izin tertulis dari penerbit, kecuali untuk keperluan pengutipan untuk membuat karya tulis ilmiah dengan

(4)

Seiring mengucapkan Alhamdulillahi Rabil Alamin, segala kemuliaan, ilmu pengetahuan, dan kebenaran berpikir serta bertindak hanyalah milik Allah Subhanahu Wa’ala, sedangkan milik penulis hanyalah kekeliruan dan kesalahan. Oleh sebab itu, perkenankanlah permohonan penulis bila terdapat kekeliruan dan kesalahan dalam buku yang diberi judul Pengantar Hukum Pengangkutan Laut (Buku II):

Tanggung Jawab Pengangkut, Asuransi, dan Incoterm yang sangat

sederhana ini kiranya dimaafkan sepenuh hati oleh pembaca yang berbahagia.

Buku Pengantar Hukum Pengangkutan Laut (Buku II):

Tanggung Jawab Pengangkut, Asuransi, dan Incoterm ialah suatu

kajian teoretis tentang hukum dalam praktik pengangkutan laut, yang juga merupakan kelanjutan dari penjelasan yang telah diberikan melalui buku Pengantar Hukum Pengangkutan Laut (Buku I): Pengertian,

Asas-Asas, Hak dan Kewajiban Para Pihak.

Hal terpenting ialah perpaduan antara praktisi dan akademisi yang dimiliki penulis sebagai dosen di berbagai Akademi Ilmu Pelayaran, seperti Akademi Maritim Indonsia (AMI), Bitung, Medan, dan Makassar, serta Politeknik Ilmu Pelayaran dan Transportasi Laut Kementerian Perhubungan Makassar, dan Jakarta.

Penulis menyadari bahwa keberhasilan yang diperoleh ialah atas berkat bantuan dan dukungan dari berbagai fihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini izinkan penulis mengucapkan penghargaan dan ucapan terima kasih yang kepada:

1. Yang amat terpelajar Bapak Prof. Dr. Chairuddin P. Lubis DTM, S.H., Sp.A. (K), Rektor Universitas Sumatera Utara (USU), Medan.

(5)

Medan.

3. Yang amat terpelajar Bapak Prof. Dr. Amiruddin A. Wahab, S.H. dkk. selaku pembimbing.

4. Yang amat terpelajar Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H.,M.H. dkk. selalu pembimbing.

5. Juga kepada Adinda Deni Bram yang berkenaan untuk merampungkan naskah yang ada, serta kepada Pusat Kajian Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila (PKIH FHUP) sebagai lembaga penerbit dan wadah diskusi selama ini.

Merupakan suatu ekspektasi dan kehormatan penulis, jika buku ini akan dipergunakan oleh para mahasiswa fakultas hukum yang mendalami masalah pengangkutan laut, lain dari itu juga oleh para

stakeholder penguna jasa pengangkutan laut, agen pelayaran, penguna

jasa kepabeanan, serta pelaku bisnis pelayaran, perdagangan internasional, ekspor impor, maupun masyarakat pada umumnya yang ingin memahami permasalahan yang berkaitan dengan pengangkutan laut.

Akhir kata, penulis berharap agar buku ini dapat memberi manfaat nilai tambah positif bagi para pembaca. Selain itu, kritik dan saran sangat diharapkan bagi kesempurnaan penulisan berikutnya.

Jakarta, Oktober 2011

(6)

KATA PENGANTAR iii

DAFTAR ISI v

BAB I TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT DALAM

PENGANGKUTAN BARANG MELALUI LAUT 1 A. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Dagang 1 1. Periode Tanggung Jawab Pengangkut 1 2. Dasar Tanggung Jawab Pengangkut 3 3. Pembatasan Tanggung Jawab Pengangkut 12

4. Batas Ganti Kerugian 17

B. Menurut The Hague Rules 23

1. Memahami Konosemen menurut

The Hague Rules 25

2. Periode Tanggung Jawab Pengangkut 27 3. Dasar Tanggung Jawab Pengangkut 29 4. Pembatasan Tanggung Jawab Pengangkut 32

5. Batas Ganti Kerugian 38

C. Menurut The Hamburg Rules 41

1. Periode Tanggung Jawab 44

2. Dasar Tanggung Jawab Pengangkut 46 3. Pembatasan Tanggung Jawab Pengangkut 51 4. Penyelesaian Tuntutan Ganti Kerugian 53 BAB II PRINSIP TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT 56

A. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan atas

(7)

.Asas Praduga 57 C. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak 58 D. Prinsip Limitation of Liability 58 BAB III ASURANSI LAUT DALAM KAITANNYA

DENGAN TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT 60 BAB IV INCOTERM DALAM PENGANGKUTAN BARANG 65

A. Tujuan Incoterm 65

B. Pencantuman Incoterm ke dalam

.Kontrak Penjualan 66

C. Penyampaian Risiko dan Ongkos Berkaitan

.dengan Barang 66

D. Cost Insurance and Freight 67

E. Kewajiban Penjual 68

F. Kewajiban Pembeli 70

(8)

BAB I

TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT DALAM PENGANGKUTAN BARANG MELALUI LAUT

A. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Dagang

Perjanjian pengangkutan merupakan perjanjian timbal balik. Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut, yang dalam hal ini ialah pengangkut dan pengirim barang. Di satu pihak, pengangkut ingin memikul tanggung jawab yang sekecil-kecilnya, sedangkan di lain pihak, pengirim barang mengharapkan pertanggungjawaban yang besar-besarnya dari pengangkut. Oleh karena itulah, baik dalam undang-undang nasional maupun konvensi internasional telah diatur ketentuan-ketentuan mengenai tanggung jawab dalam proses pengangkutan.

1. Periode Tanggung Jawab Pengangkut

Sebagaimana dinyatakan pada Pasal 468 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), bahwa kewajiban pengangkut yang utama ialah menyelenggarakan pengangkutan dan menjaga keselamatan barang yang diangkut mulai diterimanya dari pengirim sampai diserahkannya kepada penerima barang. Hal itu berarti, periode (jangka waktu) mulai dan berakhirnya tanggung jawab pengangkut tergantung kepada saat penerimaan dan saat penyerahan barang.

Sehubungan dengan adanya ketentuan tersebut di atas, dengan adanya istilah “saat diterima” dan “saat diserahkannya”, maka hal itu dapat menimbulkan suatu masalah, yaitu saat kapankah dianggap telah terjadi penerimaan oleh pengangkut? Dan selanjutnya, kapankah saat terjadinya penyerahan oleh pengangkut?

Perlu diketahui, bahwa barang-barang yang diangkut dapat diterima pengangkut melalui gudang, di samping kapal, atau bahkan di

(9)

suatu tempat lain. Oleh karena ketentuan KUHD sebagaimana yang telah disebutkan di atas tidak memberikan kejelasan yang rinci, maka untuk itu perlu di dalam surat perjanjian pengangkutan ditegaskan tentang:

1. Cara penerimaan barang dari pengirim barang kepada pengangkut, serta;

2. Cara penyerahan barang dari pengangkut kepada penerima barang.

Apabila ditentukan penerimaan barang melalui gudang, hal ini berarti barang-barang yang akan diangkut diserahterimakan oleh pengirim barang kepada pengangkut di luar gudang pelabuhan pemuatan atau gudang lini I. Maka, mulai dari pintu luar gudang pemuatan barang-barang tersebut menjadi tanggung jawab pengangkut sampai barang diangkut serta diserahkan di pelabuhan tujuan.

Dengan demikian, apabila telah diperjanjikan, bahwa selama barang itu masih di gudang, maka dia masih menjadi tanggung jawab pengirim barang, pengangkut barulah mulai bertanggung jawab sejak barang tadi dikeluarkan dari gudang untuk diangkut.

Demikian pula, jika penyerahan barang melalui gudang, maka pengangkut bertanggung jawab sampai barang itu diserahkan kepada penerima di pintu luar gudang pelabuhan atau gudang lini I. Selama berada dalam gudang, maka pengangkut masih bertanggung jawab atas barang tersebut.

Ketidakjelasan pengaturan oleh KUHD mengenai periode tanggung jawab ini dalam praktiknya cukup mendapatkan perhatian. Berkaitan dengan hal itu, maka perlu pula kiranya diperhatikan suatu Peraturan Pemerintah (PP) yang pada saat ini sudah dinyatakan tidak berlaku lagi, yaitu PP Nomor 2 Tahun 1969 tentang Pengusahaan dan Penyelenggaraan Angkutan Laut, yang di dalam Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2)-nya menjelaskan bahwa:

(1) Perusahaan pelayaran bertanggung jawab sebagai pengangkut barang kepada pemilik barang sejak saat menerima barang dari pengirim sampai menyerahkan barang yang diangkutnya kepada penerima sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku atau syarat-syarat perjanjian

(10)

pengangkutan dan kelaziman yang berlaku dalam bidang pelayaran.

(2) Dalam suatu perusahaan pelayaran menguasai gudang laut seperti dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) dan (3), perusahaan pelayaran yang bersangkutan bertanggung jawab atas kehilangan dan kerusakan barang selama barang-barang tersebut berada dalam gudang laut.

Bunyi Pasal 14 ayat (1) tersebut dinyatakan lebih jelas dan tegas dari bunyi pengaturan pada Pasal 468 ayat (1) KUHD. Masih terkait dengan masalah penentuan secara pasti periode tanggung jawab, apabila tidak ada pengaturannya dalam perundang-undangan, tidak diatur secara jelas tentang periode tanggung jawab pengangkut, maka hal itu dapat dilihat dari syarat perjanjian pengangkutan dan kelaziman yang berlaku dalam bidang pelayaran.

Jika dalam perjanjian pengangkutan ada mengatur mengenai periode tersebut secara jelas, maka dengan sendirinya masalah pada saat kapan barang dianggap telah diterima dan diserahkan oleh pengangkut tidak lagi menjadi persoalan antara pengangkut dengan pengirim barang.

Pertanggungjawaban yang dipikul oleh pengangkut merupakan suatu kenyataan (fakta) yang timbul akibat adanya pelaksanaan perjanjian pengangkutan. Pengangkut dalam perjanjian pengangkutan itu ialah pihak yang telah mengikatkan dirinya untuk memberikan suatu jasa kepada pihak lain (pihak pengirim dan penerima barang).

2. Dasar Tanggung Jawab Pengangkut

Dasar tanggung jawab pengangkut ialah kewajiban yang timbul dari perjanjian pengangkutan. Sehubungan dengan itu perlu diperhatikan ketentuan Pasal 1 KUHD yang menyatakan bahwa “Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, seberapa jauh dari padanya dalam kitab ini tidak khusus diadakan penyimpangan-penyimpangan, berlaku juga terhadap hal-hal yang dibicarakan dalam kitab ini”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 KUHD tersebut, maka ketentuan umum mengenai perjanjian yang terdapat dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) berlaku pula bagi

(11)

perjanjian pengangkutan laut kecuali ada ketentuan yang bersifat khusus. Untuk itu perlu diperhatikan (dikutip) Pasal 1235 sampai dengan Pasal 1238 KUHPerdata.

Pasal 1235 ayat (1) KUHPerdata menjelaskan bahwa “Dalam tiap-tiap perikatan untuk memberikan sesuatu adalah termaktub kewajiban si berhutang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik, sampai pada saat penyerahan”.

Selanjutnya, Pasal 1236 menjelaskan bahwa “Si berhutang adalah berwajib memberikan ganti biaya, rugi dan bunga kepada si berpiutang, apabila ia telah membawa dirinya dalam keadaan tak mampu untuk menyerahkan kebendaannya, atau telah tidak merawatnya sepatutnya guna menyelamatkannya”.

Kemudian, Pasal 1237 menjelaskan bahwa “Dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu, kebendaan itu semenjak perikatan dilahirkan, adalah atas tanggungan si berpiutang. Jika si berhutang lalai akan menyerahkannya, maka semenjak saat kelalaian, kebendaan adalah atas tanggungannya”.

Dan lebih lanjut Pasal 1238 menjelaskan bahwa “Si berhutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berhutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.

Di samping pasal-pasal tersebut di atas, Pasal 1706 dan Pasal 1707 mengenai penitipan kiranya dapat pula diperlakukan sebagai dasar pertanggungjawaban pihak pengangkutan. Pasal 1706 KUHPerdata menjelaskan bahwa “Si penerima titipan diwajibkan mengenai perawatan barang yang dipercayakan padanya, memeliharanya dengan minat yang sama seperti ia memelihara barang-barangnya sendiri”.

Selanjutnya, Pasal 1707 KUHPerdata menjelaskan bahwa “Ketentuan pasal yang lalu harus dilakukan lebih keras:

1. Jika si penerima titipan telah menawarkan dirinya untuk menyimpan barangnya;

2. Jika ia telah meminta diperjanjikannya sesuatu upah yang menyimpan itu;

(12)

3. Jika penitipan telah terjadi sedikit banyak untuk kepentingan si penerima titipan;

4. Jika telah diperjanjikan bahwa si penerima titipan akan menanggung segala macam kelalaian”.

Kemudian, menurut Pasal 468 ayat (3) KUHD, tanggung jawab pengangkut juga meliputi segala perbuatan mereka yang dipekerjakan bagi kepentingan pengangkutan itu dan segala barang (alat-alat) yang dipakainya untuk menyelenggarakan pengangkutan itu.

Jadi, tanggung jawab pengangkut meliputi:

1. Perbuatan orang-orang yang dipekerjakan untuk pengangkutan ini. Hal itu adalah wajar, karena orang-orang tersebut bekerja untuk kepentingan pengangkut, bukan untuk orang lain. Orang-orang yang dimaksud tadi termasuk juga nakhoda kapal, anak buah kapal, serta cabang atau agen-agen dari pengangkut.

Mengenai hal di atas, ialah sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 321 KUHD, yang menjelaskan bahwa “Pengusaha adalah terikat oleh segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh mereka, yang bekerja tetap atau sementara pada kapalnya, di dalam jabatan mereka dalam lingkungan kekuasaan mereka. Dia adalah bertanggung jawab untuk segala kerugian yang diterbitkan pada pihak ke tiga, oleh sesuatu perbuatan melanggar hukum dari mereka yang bekerja tetap atau sementara pada kapalnya atau yang melakukan sesuatu pekerjaan di kapal guna kepentingan kapal atau muatannya, asal perbuatan melanggar hukum tadi dilakukan dalam jabatan mereka atau pada waktu mereka itu sedang melakukan pekerjaan mereka”.

Ketentuan tersebut setidaknya memiliki arti bahwa ada 2 (dua) macam tanggung jawab pengusaha kapal/pengangkut, yaitu:

a. Bertanggung jawab atas perbuatan hukum yang dilakukan oleh orang-orang pekerja dari kapal dalam lingkungan kewenangannya.

b. Bertanggung jawab terhadap kerugian yang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum dari mereka yang dalam

(13)

melakukan pekerjaan untuk kapal atau muatannya, dengan syarat perbuatan itu dilakukan dalam lingkungan pekerjaannya.

Pertanggungjawaban dalam hal yang pertama ialah suatu hakekat hukum yang sudah termuat dalam Pasal 1792 KUHPerdata mengenai pemberian kuasa (lastgeving). Hakekat hukum ini menurut Wirjono Prodjodikoro ialah “Bahwa apabila seseorang memberi kuasa kepada orang lain guna melakukan sesuatu untuk si pemberi kuasa, maka kini terselip suatu perwakilan langsung dari si pemberi kuasa seolah-olah melakukan sendiri perbuatan hukum itu”.1 Oleh karena itu, sudah semestinya bahwa tanggung jawab pengangkut terhadap orang-orang yang dia pekerjakan itu dibatasi hanya dalam lingkungan kewenangan untuk melakukan pekerjaan masing-masing.

2. Penyelenggaraan atas kapalnya (to make the ship sea worthy) dan penyelenggaraan ruang-ruang muatan, serta penempatan barang yang untuk selanjutnya diangkut ke pelabuhan tujuan

(cargo worthiness of the ship).

Jadi, dalam hal ini kapal yang digunakan untuk melakukan pengangkutan itu harus layak melaut. Jika kapal secara teknis cukup layak melaut, namun ternyata ruangan muatan tidak cukup wajar untuk barang yang diangkut, maka kapal tersebut menjadi tidak layak melaut.

Pengangkut yang melaksanakan pengangkutan tidak dengan sewajarnya sehingga menimbulkan kerusakan atau kehilangan barang-barang, maka pengangkut itu harus bertanggung jawab untuk mengganti kerugian atas kerusakan atau kehilangan karena kelalaian atau kesalahannya tadi.

Pasal 468 ayat (2) KUHD mewajibkan kepada pengangkut untuk mengganti kerugian pengirim apabila barang yang diangkutnya tidak dapat diserahkannya atau mengalami kerusakan, kecuali jika tidak dapat diserahkannya atau rusaknya barang itu disebabkan oleh:

1. Suatu melapetaka yang tidak dapat dihindarkan terjadinya.

1

(14)

2. Sifat, keadaan, atau cacat dari barang itu sendiri. 3. Suatu kelalaian atau kesalahan si pengirim sendiri.

Mengenai hal tersebut di atas, maka terlihat adanya kesamaan dengan Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUHPerdata. Perbedaannya hanya terletak dalam perumusan keadaan memaksa. Untuk itu, sebaiknya perlu disimak isi kedua pasal tersebut.

Pasal 1244 KUHPerdata menjelaskan bahwa “Jika ada alasan untuk itu, si berhutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tidak dapat membuktikan, bahwa hal itu tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan karena suatu hal yang tak terduga, pun tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itupun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya”.

Kemudian, Pasal 1245 KUHPerdata menjelaskan bahwa “Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tidak disengaja si berhutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang”.

Pasal 1244 KUHPerdata menggunakan kata-kata “Suatu hal yang tak terduga, pun tidak dapat dipertanggungjawabakan”, sedangkan Pasal 1245 KUHPerdata menggunakan “keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tidak disengaja”, dan Pasal 468 KUHD menggunakan “Suatu melapetaka yang selayaknya tidak dapat dicegah maupun dihindarkannya”.

Ketentuan Pasal 468 ayat (2) ini dapat memberikan pengertian yang kabur, karena tidak jelas melapetaka yang mana dan yang berupa apa yang tidak selayaknya dapat dicegah atau dihindarkan. Hal tersebut tidak juga dijelaskan dalam pasal-pasal selanjutnya. Dengan adanya ketentuan yang demikian, sering dalam praktiknya pengangkut berdalih bahwa telah terjadi force majeur untuk menolak tuntutan ganti kerugian pemilik/penerima barang.

Namun sebenarnya peristiwa yang berupa force majeur tersebut tidaklah membebaskan sama sekali pengangkut dari kewajiban melakukan dengan sewajarnya untuk menghindarkan atau memperkecil

(15)

kehilangan atau kerusakan barang yang diangkut. Jadi, meskipun dalam konosemen telah ditegaskan mengenai pembebasan tanggung jawab dari kehilangan atau kerusakan barang yang disebabkan oleh force majeur, pengangkut harus tetap membuktikan bahwa dia telah berusaha menghindarkan atau mengurangi akibat dari force majeur itu secara wajar. Misalnya, dalam hal terjadinya angin topan, maka harus tetap dibuktikan apakah si pengangkut telah mengikat dengan sebaik-baiknya (dengan erat) barang-barang yang diangkutnya. Jika pengangkut tidak dapat membuktikan usahanya untuk mengikat dengan baik itu, maka pengangkut harus tetap memberi ganti kerugian.

Selain itu, undang-undang memperbolehkan pengangkut untuk tidak mengganti kerugian atas kerusakan atau kehilangan barang-barang yang diangkut yang disebabkan oleh sifat dan cacat barang itu sendiri atau karena kesalahan pengirim. Misalnya, barang rusak karena akibat pembungkusan yang tidak sempurna, atau apabila barang yang dikirimkannya memang sudah terlalu matang, sedangkan jarak yang akan ditempuh oleh kapal sangat jauh, sehingga menurut sifatnya barang itu dapat menjadi busuk sesampainya di tempat consignee. Maka, jika si pengangkut dapat membuktikan kesalahan si pengirim dalam pembungkusan barang atau cacat barang tersebut ialah karena faktor sifatnya, pengangkut dapat dibebaskan dari tanggung jawab mengganti kerugian itu.

Pasal 469 KUHD menjelaskan bahwa “Untuk dicurinya atau hilangnya emas, perak, permata dan lain-lain barang berharga, uang dan surat-surat berharga yang mudah mendapat kerusakan, tidaklah si pengangkut bertanggung jawab, melainkan apabila tentang sifat dan harga barang-barang tersebut, diberitahukan kepadanya, sebelum atau sewaktu barang-barang tadi diterimanya”.

Dengan demikian, kalau orang mengirim barang berharga maka dia harus memberitahukan kepada pengangkut, bahwa barang itu ialah emas dan harus pula memberitahukan harganya. Apabila si pengirim tidak memberitahukan sebelum barang itu diserahkannya untuk diangkut, atau pada saat barang itu akan diangkut, maka jika barang itu hilang atau rusak di dalam perjalanan, ini merupakan suatu hal yang wajar saja kalau akhirnya si pengangkut tidak mau bertanggung jawab.

(16)

Apabila telah diberitahukan sifat dan harga barang yang menjadi objek pengangkutan, maka barulah si pengangkut diwajibkan untuk memberi ganti kerugian jika terjadi kerusakan atau kehilangan atas barang tadi.

Dengan adanya pemberitahuan kepada pengangkut, dia dapat menentukan suatu tempat yang aman di dalam kapal untuk barang-barang berharga tersebut. Demikian pula, dia dapat menentukan biaya angkutannya (uang tambang). Dari sudut tuntutan ganti kerugian, pengirim barang juga mempunyai kepentingan untuk memberitahukan adanya barang berharga tersebut. Apabila tidak diberitahukan harganya, jika barang berharga itu hilang, maka pengangkut hanya mengganti kerugian berdasarkan harga barang-barang biasa saja. Sebaliknya, jika diberitahukan harganya, maka penggantian kerugian didasarkan kepada harga yang sebenarnya dari barang-barang berharga tersebut.

Dalam praktik, saat penyerahan barang-barang yang akan diangkut dari pengirim kepada pengangkut, barang-barang itu telah dikemas dalam koli-koli2 dan diberi tanda merek atau tanda pengenal lainnya. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya kerugian karena kerusakan atau kehilangan barang dalam pengangkutan.

Merek atau tanda pengenal tersebut sangat penting bagi pengangkut sebagai pedoman dalam menyelenggarakan pengangkutan barang. Mengenai kebenaran dari merek atau tanda pengenal sebagaimana telah diberitahukan kepada pengangkut ialah menjadi tanggung jawab pengirim barang.

Demikian juga tentang isi dan berat koli barang menjadi tanggung jawab pengirim barang. Pengangkut hanya berpegang pada keterangan dari pengirim barang, karena barang sudah dikemas dalam koli. Oleh karena itu, pada konosemen dicantumkan perkataan “said to

weight” untuk berat koli dan “said to contain” untuk isi koli. Hal ini

berarti bahwa pengangkut tidak bertanggung jawab atas isi dan berat koli jika ternyata isi dan berat koli berkurang atau mengalami kerusakan, asalkan koli barang diserahkan kepada penerima barang dalam keadaan seperti ketika diterimanya dari pengirim barang.

Sebaliknya, jika pengangkut menerima barang dari pengirim barang dalam keadaan utuh tetapi ketika menyerahkannya kepada

2

(17)

penerima barang dalam keadaan rusak atau berkurang jumlahnya, maka pengangkut harus bertanggung jawab untuk mengganti kerugian.

Di samping hal tersebut di atas, dalam Pasal 477 KUHD ditetapkan bahwa pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang dialami oleh pemilik barang jika pengangkut terlambat menyerahkan barang-barang kepada penerima, kecuali pengangkut dapat membuktikan bahwa keterlambatan tadi disebabkan oleh kejadian yang menurut kepantasan tidak dapat dihindari atau dicegah oleh pengangkut. Kejadian yang dapat memperlambat penyerahan barang kepada penerima yang bisa dianggap sebagai force majeur ialah dalam hal-hal sebagai berikut:3

1. Mesin atau baling-baling rusak sehingga terpaksa pelayaran ditunda untuk memperbaiki kerusakan tersebut. Bagian-bagian kapal yang rusak yang dapat diperbaiki sampai kapal berlayar tidak termasuk dalam kategori ini.

2. Kapal melakukan penyimpangan dari rute yang seharusnya dilayari untuk menghindari topan.

3. Kapal menolong orang yang berada dalam keadaan bahaya di lautan, misalnya penumpang kapal yang tenggelam.

4. Kapal terpaksa memasuki suatu pelabuhan yang bukan pelabuhan yang akan disinggahi untuk meminta pertolongan dokter atau untuk menurunkan penumpang atau awal kapal yang perlu segera mendapatkan pertolongan dari dokter untuk menyelamatkan jiwanya.

5. Kapal dihadang oleh kapal bajak laut, tetapi berhasil melepaskan diri melalui perjuangan dan perlawanan yang berat.

Kejadian-kejadian yang dialami kapal seperti yang disebutkan di atas harus dibuktikan oleh nakhoda agar pengangkut dapat bebas dari tanggung jawab untuk mengganti kerugian.

Selanjutnya, dalam Pasal 478 dan Pasal 479 KUHD ditetapkan hak pengangkut atas tuntutan ganti kerugian terhadap pemilik barang dalam hal pengangkut menderita kerugian:

3

Radiks Purba, Angkutan Muatan Laut, Jilid III (Jakarta: Bharata Karya Ahsna, 1982), hal. 143.

(18)

1. Karena surat-surat yang perlu untuk pengangkutan barang-barang tidak diberikan kepadanya sebagaimana mestinya. Surat-surat tersebut ialah surat-surat yang harus disediakan oleh pengirim barang. Misalnya, tembusan surat pemberitahuan ekspor barang tidak diberikan, sehingga kapal tertunda meninggalkan pelabuhan muat yang berarti ada tambahan biaya bagi kapal untuk berlabuh.

2. Karena kepadanya tidak diberitahukan dengan sebenarnya keadaan wujud dan sifat-sifat barang oleh pemilik barang. Atas kerugian yang diderita oleh pengangkut, yaitu sebesar tambahan biaya tersebut, pengangkut berhak memperoleh penggantian dari pengirim barang.

Dalam hal ini pengangkut juga berhak memusnahkan atau membuang barang-barang yang membahayakan barang-barang lain atau membahayakan kapal, barang selundupan, tanpa mengganti kerugian kepada pemilik barang. Barang-barang yang dapat membahayakan kapal dan muatan kapal terdiri dari barang-barang bahaya seperti dinamit, serta barang-barang yang mudah terbakar, misalnya korek api, dan mesiu.

Pemilik barang harus memberitahukan kepada pengangkut dengan lengkap dan sebenarnya mengenai keadaan wujud dan sifat-sifat dari barang-barang tersebut. Jika dia tidak memberitahukan secara lengkap dan sebenarnya kepada pengangkut, maka apabila pengangkut menderita kerugian disebabkan barang-barang itu, pemilik barang wajib mengganti kerugian yang diderita oleh pengangkut.

Pemberitahuan tersebut diperlukan agar pengangkut dapat mengatur pemadatannya di dalam palka kapalnya sedemikian rupa, sehingga barang-barang itu dan kapal pengangkutnya sendiri dapat terhindar dari kerusakan. Hal yang demikian tentunya sesuai dengan prinsip pada proses pengangkutan barang, yaitu bahwa tujuan terakhir dari pengangkutan barang-barang ialah penyerahan barang-barang yang diangkut oleh pengangkut kepada penerima barang di pelabuhan tujuan dapat dilakukan dengan selamat.

Pasal 480 KUHD mengatur cara-cara penyerahan barang-barang oleh pengangkut kepada penerima di pelabuhan tujuan (pembongkaran)

(19)

atau di suatu tempat yang berdekatan dengan pelabuhan tujuan, yaitu tempat di mana kapal bisa dengan mudah, aman, dan tepat dalam keadaan terapung melakukan pembongkaran. Jika penerima barang menerima barang-barangnya di samping kapal, maka dia akan menerimanya di dermaga atau dengan menggunakan perahu-perahu.

Dengan diserahkannya barang-barang oleh pengangkut kepada penerima (consignee), maka menurut ketentuan Pasal 468 KUHD, berakhir pula tanggung jawab pengangkut terhadap barang-barang tersebut. Namun sebenarnya pengangkut masih belum lepas sama sekali dari tanggung jawabnya. Atas permintaan penerima barang, maka pengangkut dapat mengadakan pemeriksaan, pengukuran atau penimbangan barang yang diserahkan oleh pengangkut kepada penerima barang, atau mengawasi perhitungan, pengukuran atau penimbangan barang-barang yang diserahkan itu.

Dalam Pasal 481 ayat (2) KUHD, ditetapkan bahwa perhitungan, pengukuran atau penimbangan mengikat pengangkut dan penerima barang, kecuali kalau dapat dibuktikan ketidakbenarannya. Hal tersebut dapat terjadi apabila salah satu pihak, baik pihak penerima barang maupun pengangkut merasa tidak puas dengan hasil survei, maka yang berkeberatan harus dapat membuktikan ketidakbenarannya. Biaya yang timbul untuk pelaksanaan survei itu dipikul bersama, artinya oleh pengangkut dan penerima barang. Akan tetapi, jika pemeriksaan barang itu diminta oleh penerima barang saja, maka biayanya menjadi beban penerima barang.

Namun demikian, berdasarkan Pasal 482 KUHD, nakhoda dapat menolak diadakannya survei dengan alasan akan menghambat keberangkatan kapalnya. Hal ini tentunya merupakan suatu hal yang sangat penting dalam penyelenggaraan pengangkutan laut, yaitu terkait dengan kecepatan dalam melakukan pemuatan, pelayaran, dan pembongkaran.

3. Pembatasan Tanggung Jawab Pengangkut

Apabila diperhatikan pasal-pasal di dalam KUHD, maka dapat dibedakan 3 (tiga) macam pertanggungjawaban pengangkut:

(20)

1. Pengangkut wajib untuk menjaga keselamatan barang yang harus diangkutnya, dan menjadi tanggung jawabnya apabila barang itu seluruhnya atau sebagian tidak dapat diserahkan atau menjadi rusak (Pasal 468 ayat (1) dan (2) KUHD). Dalam hal ini, ada beberapa kemungkinan yang dapat terjadi. Kemungkinan tersebut ialah sebagai berikut:

a. Dia bertanggung jawab apabila barang seluruhnya atau sebagian tidak dapat diserahkan.

b. Dia bertanggung jawab apabila barang seluruhnya atau sebagian menjadi rusak.

c. Dia bertanggung jawab apabila dia terlambat menyerahkan barang yang diangkutnya.

Jika ketiga hal tersebut di atas terjadi berarti si pengangkut diwajibkan membayar ganti kerugian.

2. Pengangkut bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena terlambat diserahkannya barang yang diangkutnya (Pasal 477 KUHD).

3. Pengangkut bertanggung jawab untuk perbuatan dari orang-orang yang dipekerjakannya, dan untuk segala benda yang dipakainya dalam menyelenggarakan pengangkutan.

Periode yang ditetapkan dalam undang-undang kepada pengangkut untuk bertanggung jawab adalah cukup panjang, yaitu mulai saat penerimaan sampai pada saat penyerahan barang. Berarti, tanggung jawabnya tidak hanya selama barang di dalam kapal saja, tetapi juga sebelum dimuat serta sesudah dibongkar ke dan dari kapal, asal barang itu masih berada dalam kekuasaannya, baik di lapangan terbuka maupun di dalam gudang, tetapi menjadi tanggung jawabnya.

Segala peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam jangka waktu tersebut yang menyebabkan dia tidak dapat menyerahkan seluruh atau sebagian barang, seluruh atau sebagian barang menjadi rusak karenanya, serta yang mengakibatkan dia terlambat menyerahkan barang yang diangkutnya, ialah merupakan tanggung jawabnya. Tentu saja hal ini merupakan suatu hal yang berat bagi si pengangkut. Namun demikian, dalam Pasal 468 ayat (2) KUHD juga dinyatakan bahwa pengangkut dibebaskan dari kewajiban untuk memberikan ganti kerugian apabila dia

(21)

dapat membuktikan bahwa kewajibannya tidak dapat dilakukan sebagai akibat dari:

1. Suatu peristiwa yang selayaknya tidak dapat dicegah maupun dihindarkannya, atau;

2. Cacat dari barang itu sendiri, atau; 3. Oleh karena kesalahan dari pengirim.

Sebagai contoh, misalnya terjadi suatu peristiwa yang menyebabkan kapal tenggelam, sehingga si pengangkut menderita kerugian yang besar, maka dia harus tetap mengumpulkan bukti-bukti. Bukti-bukti ini ialah agar dia dapat membuktikan bahwa dia tidak bersalah, sehingga bisa dibebaskan dari kewajiban membayar ganti kerugian kepada pengirim barang. Dia (pengangkut) harus dapat membuktikan bahwa tidak diserahkannya barang atau rusaknya barang tadi ialah karena suatu malapetaka yang selayaknya tidak dapat dicegah ataupun dihindarkannya.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, penafsiran terhadap kalimat “malapetaka yang selayaknya tidak dapat dicegah” dapat bermacam-macam, sehingga dapat mengundang pengertian yang kabur (menimbulkan keragu-raguan). Tidak ada satu pasalpun di dalam KUHD yang memberikan kejelasan tentang kalimat tersebut. Namun, jika kerugian yang timbul itu terjadi sebagai akibat perbuatan dari orang yang dipekerjakannya (pihak yang disuruh olehnya untuk melakukan pekerjaan pengangkutan) dan diakibatkan penggunaan peralatan yang tidak semestinya dalam menyelenggarakan pengangkutan tadi, maka pengangkut tidaklah bebas dari pertanggungjawaban.

Mengingat beratnya tanggung jawab yang dipikul oleh pengangkut, maka diadakan pula ketentuan-ketentuan yang memperkenankan pengangkut untuk membatasi tanggung jawabnya. Hal ini dapat dimengerti, sebab jika pengangkut sama sekali tidak diperkenankan membatasi tanggung jawabnya, maka ada kemungkinan akan sangat kecil atau bahkan tidak ada pihak yang mau menyediakan diri sebagai pengangkut. Akibat ketiadaan pihak pengangkut dalam pengangkutan laut justru akan menimbulkan dampak yang sangat luas bagi kehidupan negara pada umumnya, atau pada negara-negara maritim khususnya.

(22)

KUHD mengadakan pembatasan pertanggungjawaban pengangkut dalam beberapa pasalnya. Pasal 469 KUHD menetapkan bahwa untuk dicurinya atau hilangnya emas, perak, permata dan lain-lain barang berharga, uang dan surat-surat berharga, begitupun untuk kerusakan pada barang-barang berharga yang mudah mendapat kerusakan, tidaklah si pengangkut bertanggung jawab, melainkan apabila tentang sifat dan harga barang-barang tersebut, diberitahukan kepadanya, sebelum atau sewaktu barang-barang tadi diterimanya.

Kemudian, Pasal 470 ayat (1) KUHD menjelaskan bahwa tidak diperbolehkan kepada si pengangkut untuk minta diperjanjikan, bahwa dia tidak bertanggung jawab atau tidak selamanya sampai suatu harga yang terbatas untuk kerugian yang disebabkan karena kurang diusahakannya akan pemeliharaan, perlengkapan alat pengangkutannya, ataupun kurang diusahakannya kesanggupan alat pengangkut itu untuk dipakai menyelenggarakan pengangkutan menurut persetujuan, ataupun yang disebabkan karena salah memperlakukannya atau kurang penjagaannya terhadap barang yang diangkut. Janji-janji yang bermaksud demikian ialah batal.

Salah memperlakukan barang dalam Pasal 470 ayat (1) tersebut maksudnya ialah sebagai perlakuan yang salah atau keliru terhadap barang itu sendiri, misalnya meletakkan atau menumpukkan berjenis-jenis barang dalam satu tempat, yang menurut sifatnya sebenarnya tidak boleh disatukan. Contohnya, seperti barang-barang besi yang disatukan serta ditumpukkan pada barang-barang pecah belah. Demikian juga dengan pemeliharaan yang kurang baik terhadap mesin pendingin, sehingga menyebabkan buah-buahan yang diangkut menjadi busuk, hal ini termasuk pula dalam perlakukan yang salah terhadap barang.

Dari pasal tersebut ditegaskan bahwa segala apa yang terjadi, si pengangkut tidak dapat melepaskan kewajibannya yang utama, yaitu:

1. Untuk mengusahakan pemeliharaan, perlengkapan atau peranakbuahan alat pengangkutannya.

2. Untuk mengusahakan kesanggupan atau pengangkutan itu untuk dipakai menyelenggarakan pengangkutan menurut persetujuan.

(23)

3. Untuk memperlakukan dan menjaga barang yang diangkut dengan baik.

Perjanjian yang bertujuan untuk melepaskan diri dari kewajiban-kewajiban tersebut di atas tidaklah diperkenankan. Bahkan ditegaskan lagi oleh Pasal 517b, bahwa semua konosemen yang isinya bertentangan dengan ketentuan Pasal 470 KUHD tidak boleh diberikan untuk melakukan pengangkutan dari pelabuhan-pelabuhan Indonesia.

Selanjutnya, disebutkan pula bahwa pengangkut diperkenankan untuk menjanjikan bahwa dia untuk suatu potong barang masing-masing yang diangkut hanya bertanggung jawab untuk mengganti kerugian tidak boleh ditetapkan kurang dari Rp. 600,- (enam ratus rupiah) kecuali apabila sebelum barang diserahkan kepadanya dia diberitahu tentang sifat dan harga dari barang tersebut.

Tentang jumlah tertentu yang disebutkan tidak boleh kurang dari Rp. 600,- (enam ratus rupiah) sebenarnya tidaklah tepat, karena kata “rupiah” itu diterjemahkan dari kata “gulden”, sedangkan nilai gulden tidaklah sama dengan nilai rupiah. Terlihat bahwa ketentuan tersebut sudah ditinggalkan di dalam praktik, karena tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Demikian pula ketentuan tersebut sudah tentu tidak berlaku bagi muatan curah, misalnya minyak atau terigu, yang dimuatkan di kapal tidak dalam unit-unit yang kecil, seperti kaleng minyak, melainkan seluruh muatan tadi dicurahkan dalam ruangan muatan kapal.

Kepada pengangkut diperkenankan pula untuk memperjanjikan, bahwa dia tidak akan memberikan sesuatu ganti kerugian, apabila sifat dan harga barang dengan sengaja diberitahukan secara keliru. Ketentuan ini ada hubungannya dengan asas pendaftaran yang mengatakan bahwa apabila pengangkut telah diberitahu tentang sifat dan harga barang muatan, maka pengangkut menerima tanggung jawab yang lebih besar terhadap barang muatan tersebut dan akibatnya dia berhak menuntut uang angkutan lebih tinggi. Dari pihak pengirim sendiri jika dia memberitahukan secara khusus sifat dan harga barang muatan berarti dia menginginkan pemeliharaan dan perhatian istimewa pula dari pengangkut, sehingga dia pun akan merasa berkewajiban untuk membayar uang angkutan yang lebih tinggi.

(24)

Selanjutnya, Pasal 470a KUHD menentukan pula bahwa sejauh manapun pertanggungjawaban pengangkut dibatasi dalam suatu perjanjian pengangkut, pengangkut harus selalu membuktikan dia sudah secara cukup agar alat-alat pengangkutannya dipelihara dan dilengkapi secara baik serta agar alat-alat itu dapat digunakan sesuai dengan perjanjian pengangkutan, apabila ternyata kerugian yang timbul itu diakibatkan oleh sesuatu catatan dari alat pengangkut itu.

Ketentuan tersebut merupakan peraturan mutlak (dwingend

recht), artinya tidak dapat dikesampingkan walaupun dibuat dalam

perjanjian pengangkutan. Begitupun dalam Pasal 471, dikatakan bahwa pengangkut selalu bertanggung jawab apabila dapat dibuktikan, bahwa dari pihak pengangkut atau dari orang-orang suruhannya ada kesalahan atau kelalaian dalam melakukan tugas.

Menurut Wirjono Prodjodikoro, istilah “kesalahan dan kelalaian” (schuld and nalatigheid) ini diartikan dalam tantangan dengan kesengajaan dan kesalahan yang agak besar, opzet atau culpa

(grove schuld). Dengan demikian, harus disimpulkan, bahwa tidak

diperbolehkan pengangkut menjanjikan bebas dari pertanggungjawaban, apabila dari pihaknya ada kesengajaan atas kelalaian yang agak besar

(culpa).4

4. Batas Ganti Kerugian

Seperti yang telah dijelaskan di atas, KUHD dalam beberapa pasalnya telah memberikan kesempatan kepada pengangkut untuk membatasi tanggung jawabnya dengan membuat ketentuan-ketentuan khusus dalam perjanjian pengangkutan yang diadakan. Di samping pembatasan-pembatasan itu, undang-undang juga telah memberikan kemungkinan kepada pengangkut untuk membatasi tanggung jawabnya dalam jumlah uang. Dalam Pasal 472 KUHD diatur tentang besarnya ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pengangkut dalam hal barang yang diangkutnya tidak sampai, baik seluruhnya ataupun untuk sebagian.

Apabila pengangkut tidak dapat menyerahkan barang seluruhnya atau sebagian, maka ganti kerugian itu harus dihitung menurut harga

4

(25)

barang serta jenis dan keadaan yang sama di tempat penyerahan, pada saat barang tersebut seharusnya diserahkan. Jumlah itu kemudian dipotong dengan apa yang telah ditentukan dalam soal bea, biaya, dan upah pengangkutan.

Sedangkan apabila terjadi kerusakan atas barang, ditetapkan oleh Pasal 473 KUHD, bahwa jumlah yang harus diganti yaitu berdasarkan harga barang sejenis, seharga dan seperti keadaan pada saat barang itu seharusnya diserahkan, dikurangi dengan harga barang yang rusak itu, serta selanjutnya dikurangi lagi dengan biaya lain, yaitu bea, uang angkutan dan lain-lain, yang seharusnya dikeluarkan oleh penerima, seandainya barang-barang itu telah diterima dengan utuh.

Contoh:

Harga barang seluruhnya jika sampai tidak rusak : Rp. 50.000.000,- Harga barang yang sampai .: Rp. 40.000.000,-

Hilang/rusak : Rp. 10.000.000,-

Upah angkut, bea dan cukai untuk seluruh barang: Rp. 1.000.000,- Upah angkut, bea dan cukai untuk

barang yang sampai/tidak rusak . : Rp. 700.000,- Upah angkut, bea dan cukai untuk

barang yang tidak sampai/rusak . : Rp. 300.000,- Jadi, yang harus diganti ialah:

Rp. 10.000.000,- - Rp. 300.000,- = Rp. 9.700.000,-5

Ketentuan tersebut di atas merupakan suatu peraturan yang bersifat khusus dari peraturan-peraturan umum tentang hukum perjanjian mengenai wanprestasi yang diatur dalam KUHPerdata, seperti yang ditegaskan dalam Pasal 1246 KUHPerdata, bahwa biaya

5

Sapto Sardjono, Hukum Dagang Laut bagi Indonesia (Jakarta: CV. Simplex, 1985), hal. 86.

(26)

rugi dan bunga yang oleh si berpiutang boleh dituntut akan penggantiannya, terdiri pada umumnya atas yang telah dideritakannya dan untung yang sedianya harus dapat dinikmatinya.

Namun, sesuai dengan sifat yang tidak memaksa dari peraturan mengenai hukum perjanjian pada umumnya, maka lazim besarnya ganti kerugian terhadap tidak diserahkannya/kehilangan barang-barang yang diangkut ditentukan berdasarkan hasil perundingan/negosiasi antara pengangkut dengan penerima/pemilik barang. Artinya, untuk penentuan jumlah penggantian kerugian, para pihak dapat membuat ketentuan-ketentuan yang mereka sepakati bersama.

Sebelum menetapkan besarnya kerugian tersebut, maka atas permintaan pengangkut atau penerima dapat menunjuk beberapa orang ahli untuk menetapkan keadaan barang pada waktu sampai di pelabuhan. Hasil pemeriksaannya, bagi hakim pada acara pemeriksaan di muka persidangan, hanya dapat dibantah dengan membuktikan kekeliruannya. Jika tidak diadakan pemeriksaan yang demikian, maka barang-barang yang diserahkan kepada penerima dianggap sudah sesuai dengan keadaan pada waktu mulai diangkut.

Apabila ada kekurangan atau cacat yang kelihatan dari luar pada barangnya, penerima sebelum atau pada saat itu memberitahukan kepada pengangkut atau wakilnya dan apabila kekurangan atau cacat barang itu tidak kelihatan dari luar, diberitahukan dalam jangka waktu 3 (tiga) hari sesudah dia menerima barangnya. Dalam hal ini, penerima ada kemungkinan mendapatkan ganti kerugian dari pengangkut. Menurut Pasal 487 KUHD, gugatan untuk mendapatkan ganti kerugian tersebut hanya dapat diajukan dalam waktu 1 (satu) tahun setelah barangnya diserahkan atau seharusnya diserahkan kepada si penerima.

Dalam Pasal 474 KUHD ditetapkan bahwa tanggung jawab pengangkut yang sekaligus sebagai pemilik kapal terhadap kerugian yang ditimbulkan pada barang-barang yang diangkutnya dengan kapal yang bersangkutan terbatas sejumlah Rp. 50,- (lima puluh rupiah) per meter kubik, isi bersih kapal tersebut ditambah dengan isi ruangan mesin. Jadi, dalam hal ini dibedakan antara:

1. Pengangkut sebagai pemilik kapal. 2. Pengangkut bukan sebagai pemilik kapal.

(27)

Pasal 474 KUHD hanya berlaku jika pengusaha kapal ialah selaku pengangkut, dan oleh karena itu, dia bertanggung jawab atas semua barang yang diangkutnya dengan kapal tersebut.

Pengangkut tidak selalu merupakan pemilik kapal. Sebagai pengangkut dia hanya mengangkut sebagian muatan kapal atau beberapa potong darinya. Oleh karena itu, pertanggungjawaban pada kemampuan kapal untuk memuat, tetapi dihubungkan dengan hak tuntutannya kepada pemilik kapal. Dengan adanya ketentuan pembatasan jumlah ganti kerugian yang demikian, maka pengangkut yang pemilik kapal itu sejak semula sudah dapat memperhitungkan risiko yang menjadi bebannya. Pemilik kapal tersebut dapat mengasuransikan jumlah risiko tadi pada perusahaan asuransi yang cukup bonafide.

Suatu dokumen yang sangat penting dalam pengangkutan barang-barang melalui laut ialah apa yang dikenal dengan konosemen. Mengenai hal itu, lazim juga dipergunakan nama lain seperti bill of

lading atau surat muatan. KUHD mengatur konosemen ini mulai dari

Pasal 504 sampai dengan Pasal 517d. Melihat cukup banyaknya pasal yang memuat pengaturan tentang konosemen, kiranya dapat menunjukkan pentingnya masalah konosemen ini.

Fungsi konosemen mempunyai kaitan dengan masalah tanggung jawab pengangkut. Pertama-tama perlu diperhatikan ketentuan Pasal 504 KUHD yang menyatakan bahwa pengirim barang dapat meminta suatu konosemen dengan menukarkannya dengan recu. Hal ini menunjukkan bahwa penerbitan konosemen oleh pengangkut tidaklah merupakan suatu keharusan.

Namun di dalam praktik pengangkutan laut, tidak dapat disangkal lagi, konosemen senantiasa dipergunakan. Adapun yang dimaksud dengan konosemen adalah suatu surat yang bertanggal dalam mana si pengangkut menerangkan bahwa dia telah menerima barang tersebut untuk diangkutnya ke suatu tempat tertentu dan menyerahkannya di situ kepada seorang tertentu, begitu pula menerangkan dengan syarat-syarat apakah barang itu akan diserahkannya. Orang ini boleh disebutkan namanya, boleh disebutkan sebagai si yang ditunjuk oleh si pengirim maupun seorang ke tiga, dan

(28)

boleh pula disebutkan sebagai pembawa, baik dengan, baik tanpa penyebutan seorang tertentu di sampingnya.

Perkataan “atas tunjuk” saja harus dianggap sebagai bermaksud atas penunjukan si pengirim. Apabila konosemen diberikannya setelah barang-barang dimasukkan ke dalam kapal, maka haruslah di situ atas permintaan pengirim disebutkan nama kapal tersebut. Apabila konosemen diberikan sebelum barang-barang dimuat dalam kapal, tanpa penyebutan nama kapal dalam mana barang-barang tadi akan dimuatkannya, maka bolehlah pengirim meminta supaya dalam konosemen tadi masih juga oleh pengangkut dituliskan nama kapal itu dan hari dimuatnya barang-barang, segera setelah itu dilakukan.

Jadi, konosemen tersebut juga dapat memuat penetapan kepada siapa barang-barang yang disebut dalam konosemen itu harus diserahkan oleh pengangkut. Hal itu dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:

1. Atas nama, dalam hal ini nama si penerima (op naam) disebut dengan jelas dalam konosemen.

2. Kepada pembawa (aan loonder), dalam hal ini nama si penerima tidak disebut dalam konosemen, atau meskipun disebut satu nama di belakangnya ditambah dengan kata-kata “atau pembawa”.

3. Kepada pengganti (aan order), artinya merupakan order dari pengirim barang (orang yang akan ditunjuk oleh pengirim). Berdasarkan Pasal 510 KUHD, setiap pemegang konosemen berhak menuntut penyerahan barang yang tersebut di dalamnya di tempat tujuan kecuali jika konosemen itu diperoleh berlawanan dengan hukum. Surat-surat yang oleh si pemegang konosemen telah diberikannya kepada orang-orang ke tiga untuk dipakai menerima sebagian dari barang-barang yang tersebut dalam konosemen, tidak memberikan suatu hak tersendiri kepada para pemegangnya untuk menuntut penyerahan barang-barangnya dari si pengangkut.

Konosemen tersebut dikeluarkan dalam 2 (dua) lembaran yang dapat diperdagangkan. Lembaran-lembaran itu berlaku kesemuanya untuk 1 (satu) dan 1 (satu) untuk kesemuanya. Artinya, apabila yang 1 (satu) sudah digunakan untuk mengambil barang, maka yang lain tidak

(29)

berlaku lagi. Hal ini mempunyai hubungan dengan periode tanggung jawab pengangkut, yang berakhir jika barang tersebut telah diserahkan kepada si penerima.

Pengangkut tidak bertanggung jawab lagi atas apa yang terjadi terhadap barang-barang yang pernah diangkutnya sejak konosemen itu telah kembali kepadanya. Dikatakan dalam Pasal 509 KUHD, bahwa penyerahan barang hanya dilakukan dengan mengembalikan semua lembaran dari konosemen yang dapat dipergunakan atau apabila tidak dapat dikembalikan seluruhnya, harus dibuat surat jaminan untuk menanggung kerugian jika timbul akibat karena tidak diserahkannya konosemen tersebut.

Ditegaskan lagi dalam Pasal 515 KUHD, bahwa setiap pemegang konosemen yang telah melaporkan diri untuk menerima barang-barang yang tersebut di dalamnya, apabila barang-barang ini telah diserahkan kepadanya dalam keadaan baik, wajiblah dia memberikan konosemen tadi setelah dibubuhi tanda penerimaan.

Selanjutnya, dalam konosemen itu dapat pula dicantumkan hal-hal yang membatasi tanggung jawab pengangkut. Misalnya, apabila dalam konosemen dicantumkan perkataan mengenai isi, keadaan, jumlah atau ukuran tertentu, maka segala penyebutan tentang isi, keadaan, jumlah atau ukuran barang-barang yang dituliskan dalam konosemen itu tidak akan mengikat pengangkut. Kecuali, apabila pengangkut mengetahuinya atau dia mengadakan perhitungan, penimbangan di depan pengangkut. Demikian pula apabila konosemen tidak menyebutkan keadaan barangnya, maka selama tidak dibuktikan sebaliknya, dianggap pengangkut telah menerima barang tersebut dalam keadaan baik sekedar itu nampak dari luar. Dalam praktik hal ini disebut dengan klausula the apparent order and condition of goods.

Dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan yang telah diuraikan tersebut di atas, maka terlihat bahwa konosemen itu mempunyai 3 (tiga) fungsi, yaitu:

1. Sebagai tanda bukti penerimaan, baik penerimaan di atas kapal maupun penerimaan untuk dikapalkan.

(30)

3. Sebagai suatu surat berharga (document of title), yaitu dapat diperdagangkan dengan cara mengalihkan hak pengambilan barang orang lain, dengan menandatangani di bagian belakang dari konosemen (di-endosir).

Ketentuan yang juga penting untuk diperhatikan mengenai konosemen ini ialah bahwa semua konosemen yang isinya bertentangan dengan ketentuan Pasal 470 tidak boleh diberikan untuk melakukan pengangkutan dari pelabuhan Indonesia (Pasal 517b). Maksudnya ialah, bahwa si pengangkut tidak boleh memuat dalam konosemen ketentuan-ketentuan (klausula) yang menyatakan bahwa dia sama sekali tidak bertanggung jawab (bebas sepenuhnya dari tanggung jawab sebagai pengangkut).

B. Menurut The Hague Rules

Dalam perkembangannya, peraturan-peraturan mengenai pengangkutan laut yang diadakan oleh masing-masing negara secara nasional tidak mampu menampung masalah-masalah internasional yang timbul terkait praktik pengangkutan laut. Dalam perjanjian pengangkutan laut, yang selalu menjadi permasalahan sejak dulu ialah tentang tanggung jawab pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian pengangkutan itu.

Di satu pihak, pengangkut berupaya untuk memikul tanggung jawab sekecil-kecilnya, sedangkan di lain pihak, pengirim berkeinginan agar pengangkut mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap barang-barang yang diangkutnya. Oleh karena itu, dibentuklah peraturan di tingkat internasional (konvensi internasional), antara lain, yaitu: International Convention for the Unification of Certain Rules

Relating to Bills of Lading, yang kemudian terkenal dengan nama The Hague Rules.

The Hague Rules merupakan konvensi yang berisikan

peraturan-peraturan yang diciptakan untuk menyeragamkan ketentuan dalam pengangkutan di laut. The Hague Rules dibuat atas usaha International

Law Association pada tahun 1921 di Den Haag, yang kemudian

disempurnakan lagi di Brussel pada tahun 1924. Jadi, The Hague Rules itu sebenarnya merupakan hasil dari pertemuan para ahli hukum

(31)

internasional. Terhadap adanya The Hague Rules, dianjurkan agar negara-negara yang ikut serta menyelenggarakan perdagangan internasional juga menggunakan (mengadopsi) ketentuan ini.

The Hague Rules terdiri dari 16 (enam belas) artikel, yaitu:

Artikel I sampai dengan Artikel VIII mengatur tentang pengangkutan laut yang dilindungi oleh konosemen (bill of lading), dan tentang tanggung jawab pengangkut serta pembatasannya.

Artikel IX mengatur tentang mata uang seperti yang tersebut dalam artikel IV (5), harus didasarkan pada nilai emas.

Artikel X sampai dengan Artikel XVI mengatur agar The Hague

Rules diterima sebagai undang-undang negara dan cara pengesahannya,

cara pengumumannya serta cara mengadakan amandemen terhadap artikel-artikelnya.

Bagi Indonesia, Pasal 517c KUHD dapat dianggap telah memberi kebebasan kepada The Hague Rules untuk diberlakukan di Indonesia bagi barang-barang yang dimasukkan ke wilayah Indonesia. Karena Indonesia tidak meratifikasi The Hague Rules, maka pasal-pasal dalam KUHD yang mengatur tentang pembatasan pertanggungjawaban pengangkut dalam pengangkutan laut, sampai saat ini masih dianggap berlaku. Walaupun demikian, oleh perusahaan pelayaran Indonesia yang melakukan pelayaran ke dan dari luar negeri digunakan ketentuan-ketentuan dari The Hague Rules tersebut dengan maksud untuk mempermudah dan memperlancar hubungan perdagangan dengan negara-negara lain.

Berkenaan dengan perjanjian pengangkutan laut, The Hague

Rules memberikan pengertian tentang “pengangkut”, “perjanjian

pengangkutan barang”, dan “kapal pengangkut barang”.

Pengangkut adalah pemilik kapal atau pencarter kapal yang mengadakan perjanjian dengan pengirim barang. Dalam pengertian ini, maka pengangkut tidak harus merupakan seorang pemilik kapal, cukup apabila dia ialah seorang pencarter kapal.

Yang dimaksud dengan perjanjian pengangkutan hanya mengenai kontrak pengangkutan yang dilindungi oleh konosemen (bill

of lading) atau dokumen sejenis sepanjang dokumen tersebut mengenai

(32)

atau setiap dokumen sejenis itu yang diterbitkan berdasarkan charter

party, sejak waktu mana konosemen atau dokumen sejenis itu mengatur

hubungan antara pengangkut dan pemegang konosemen.

Pengertian barang termasuk pula barang-barang buatan pabrik, barang dagangan dan alat-alat setiap jenis apa saja, kecuali binatang hidup dan barang muatan, yang menurut kontrak pengangkutan dinyatakan sebagai barang yang diangkut di atas geladak dan memang diangkut demikian.

Kemudian, kapal berarti adalah setiap kapal yang digunakan untuk mengangkut barang-barang melalui laut. Sedangkan yang dimaksud dengan pengangkut barang-barang meliputi suatu jangka waktu sejak barang-barang mulai dimuat sampai pada waktu dibongkar dari kapal.

1. Memahami Konosemen menurut The Hague Rules

Dalam The Hague Rules tidak ditemukan suatu pengertian (definisi) tentang apa yang dimaksud dengan konosemen (bill of

lading). Tetapi secara sepintas istilah bill of lading itu telah disebutkan

dalam ketentuan-ketentuan berikut:

1. Artikel I (b): “Contract of carriage applies only to contract of

carriage covered by a bill of lading or any similar document of title, in so far as such document relates to the carriage of goods by sea, including any bill of lading or any similar document as aforesaid issued under a pursuant to a charter-party from the moment at which such bill of lading or similar document of title regulates the relations between a carrier and a holder of the same”.

2. Artikel III (3): “After receiving the goods into his charge the

carrier or the master or agent of the carrier shall on demand of the shipper issue to the shipper a bill of lading showing among other things:

(a) The leading marks necessary for identification of the goods as the same are furnished in writing by the shipper before loading of such goods starts, provided such marks are stamped or otherwise shown clearly upon the goods

(33)

if uncovered, or on the case or coverings in which such a manner as should ordinarily remain legible until the end of the voyage.

(b) Either the number of packages or pieces or the quantity or weight, as the case may be, as furnished in writing by the shipper.

(c) The apparent order and condition of the goods. Provided that to carrier, master or agent of the carrier shall be bound to state or show in the bill of lading any marks, number, quantity or weight which he has reasonable ground for suspecting not accurately to represent the goods actually received, or which he has no reasonable means of checking.

3. Artikel III (4): “Such a bill of lading shall be prima facie

evidence of the receipt by the carrier of the goods as here in described in accordance with paragraphs (3a), (3b), and (3c). However, proof to the contrary shall not be admissible when the bill of lading has been transferred to a third party acting in good faith”.

Mengingat pentingnya fungsi bill of lading, maka di berbagai negara telah diadakan peraturan perundang-undangan tersendiri mengenai bill of lading. Sebagai contoh, di Amerika Serikat terdapat

Federal Bill of Lading Act 1916, yang kemudian dituangkan lagi dalam Carriage of Goods by Sea Act 1936.

Kemudian, apakah fungsi dari konosemen (bill of lading) tersebut? Walaupun The Hague Rules tidak memberikan batasan yang tegas tentang apa yang dimaksud dengan konosemen, namun dari bunyi ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalamnya, dapat disimpulkan tentang fungsi dari konosemen. Konosemen sebagai suatu dokumen perkapalan mempunyai 3 (tiga) macam fungsi, yaitu:

1. Sebagai tanda bukti penerimaan, baik penerimaan di atas kapal maupun penerimaan untuk dikapalkan, sebagaimana yang tercantum dalam Artikel III (3) dan Artikel III (7).

2. Sebagai surat persetujuan pengangkutan, sebagaimana dinyatakan dalam Artikel I (b).

(34)

3. Sebagai suatu surat berharga yang mungkin untuk dialihkan kepada pihak ke tiga yang beritikad baik, seperti yang dinyatakan dalam Artikel III (4).

Selain ketiga fungsi tersebut di atas, dalam kaitannya dengan tanggung jawab pengangkut, dikeluarkannya konosemen juga akan ikut mempengaruhi sampai seberapa jauh dan berapa besarnya tanggung jawab pengangkut. Dengan demikian, berdasarkan The Hague Rules, konosemen juga dapat memberikan peluang bagi pengangkut untuk membatasi tanggung jawabnya dalam proses pengangkutan barang melalui klausula-klausula yang dimuat dalam konosemen.

Berdasarkan Artikel III (7), konosemen dapat dibagi atas:

1. Konosemen to be shipped yang berarti pengangkut telah menerima barang-barang dari pengirim untuk diangkut dengan kapal tertentu dan pada waktu tertentu. Namun dalam hal ini, barang tersebut belum dimuat di kapal. Jika barang-barang telah dimuat di atas kapal, maka konosemen to be

shipped diubah menjadi konosemen shipped.

2. Konosemen shipped, yaitu mengandung pengakuan pengangkut bahwa barang-barang seperti yang dicantumkan dalam konosemen itu benar-benar telah dimuat di atas kapal yang disebutkan namanya dan yang akan berangkat pada tanggal tertentu.

2. Periode Tanggung Jawab Pengangkut

The Hague Rules menempatkan tentang periode tanggung jawab

pengangkut di dalam Artikel I (e) yang berbunyi sebagai berikut:

“Carriage of goods covers the period from the time when the goods are loaded on to the time when they are discharged from the ship”.

Jadi, pertanggungjawaban pengangkut tersebut ialah sejak saat barang dimuat sampai barang itu dibongkar. Pertanggungjawaban pada muatan tidak akan dibebankan kepada pengangkut sebelum pemuatan dan sesudahnya pembongkaran muatan.

The Hague Rules memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada

(35)

mengangkut barang pada saat sebelum pemuatan dan sesudah pembongkaran. Alasan-alasan untuk hal itu ialah:

1. Risiko-risiko di tengah laut lebih besar daripada di darat, dan oleh karena itu prinsip-prinsip tanggung jawab harus berbeda. 2. Karena prosedur penanganan barang terkadang berbeda di

berbagai negara, sehingga sebaiknya dalam menentukan periode sebelum pemuatan dan sesudah pembongkaran diserahkan kepada ketentuan hukum dari masing-masing negara yang berkontrak.

3. Kapal pengangkut menolak setiap usaha untuk menambah tanggung jawab mereka atas kejadian-kejadian yang tidak dapat mereka kuasai, misalnya hal-hal yang terjadi sesudah pembongkaran dan sebelum pengiriman kepada alamat si penerima.

Pada pokoknya, periode tanggung jawab pengangkut dimulai sejak barang dimuat di kapal, selama barang dalam pelayaran, dan berakhir sampai barang itu selesai dibongkar dari kapal. Sehubungan dengan periode yang telah ditentukan tersebut, timbul masalah yang berasal dari definisi tentang kapal yang diberikan The Hague Rules.

Konvensi ini menyatakan bahwa “Ship means any vessel used

for the carriage of goods by sea”. Apabila 1 (satu) tongkang membawa

barang-barang untuk dimuat di atas kapal, maka bagaimana tanggung jawab atas muatan yang diangkut oleh tongkang tersebut?

Pengapalan tersebut merupakan bagian pemuatan yang telah tercakup dalam periode tanggung jawab menurut The Hague Rules. Sedangkan tongkang tidak termasuk dalam pengertian kapal, karena tongkang tidak membawa barang di laut. Hal itu menimbulkan rasa kurang puas terhadap periode tanggung jawab yang ditentukan oleh The

Hague Rules.

Pengertian kapal, menurut The Hague Rules, berarti setiap kapal yang digunakan untuk mengangkut barang-barang melalui laut. Kesulitan (kerancuan arti) yang demikian tidak akan ditemui dalam pengaturan The Hamburg Rules, karena begitu carrier mengambil alih barang-barang dia akan bertanggung jawab atas operasi/pelaksanaan pemuatan dengan tongkang, sampan dan lain-lain.

(36)

Dalam praktik, batas tanggung jawab pengangkut menurut The

Hague Rules lazim disebut dengan from end of the tackle to end of the tackle atau sering disingkat from tackle to tackle. Artinya, batas

tanggung jawab pengangkut meliputi sejak saat barang dikaitkan pada

sling kemudian lepas dari dermaga pelabuhan pemuatan, selama

pengangkutan, dan terakhir sampai pada saat barang menyentuh permukaan dermaga pelabuhan pembongkaran serta lepas dari sling. Di luar batas tanggung jawab pengangkut itu barang-barang menjadi tanggung jawab pengirim atau penerima barang.

Selama periode from end of the tackle to end of the tackle barang dilindungi oleh surat muatan menurut The Hague Rules dengan syarat bahwa dalam surat muatan dicantumkan berlakunya The Hague Rules untuk perjanjian pengangkutan yang bersangkutan. Sehingga apabila timbul masalah kehilangan atau kerusakan barang, akan diselesaikan menurut The Hague Rules.

3. Dasar Tanggung Jawab Pengangkut

Dalam Artikel III (1) The Hague Rules ditentukan bahwa sebelum atau pada waktu dimulainya pelayaran, pengangkut berkewajiban melaksanakan dengan sewajarnya atau to exercise due

diligence untuk:

1. Menjadi kapal layak laut (sea worthy). Layak laut artinya kondisi kapal harus memenuhi syarat-syarat untuk menyelenggarakan pengangkutan di laut secara baik dan aman. 2. Mencukupkan anak buah, perlengkapan dan perbekalan kapal. Dalam hal ini kapal diawaki dengan anak buah kapal, dilengkapi dan diberi persediaan sebagaimana mestinya untuk melakukan pelayaran.

3. Menyiapkan dan membereskan semua ruangan kapal tempat pemadatan barang-barang agar barang-barang dapat disimpan di dalamnya dan diangkut dalam keadaan aman (cargo

worthy).

Kewajiban-kewajiban tersebut juga menjadi tanggung jawab perwakilan-perwakilan agen dan semua pegawai pengangkut yang pada hakekatnya disuruh pengangkut sehubungan dengan pelaksanaan

(37)

pengangkutan termasuk nakhoda. Apabila pengangkut menyerahkan barang yang diangkut kepada pengangkut lain, maka pemenuhan kewajiban tersebut menjadi tanggung jawab pengangkut lain itu juga.

Dari ketentuan di atas terlihat bahwa kewajiban pertama (yang utama) pihak pengangkut ialah melakukan penyelenggaraan atas kapalnya sehubungan dengan proses pengangkutan barang dengan sebaik-baiknya (to make the ship sea worthy, properly man, equip and

supply the ship).

Sedangkan kewajiban ke dua pengangkut ialah penyelenggaraan ruang-ruang muatan, di mana muatan akan ditempatkan dan untuk selanjutnya akan dibawa ke pelabuhan tujuannya. Walaupun kapal itu sendiri secara teknis telah cukup memenuhi persyaratan untuk berlayar, namun jika ruang muatannya ternyata tidak siap sewajarnya, maka kapal itu dapat dinyatakan tidak layak melaut. Berarti segala akibatnya pun harus ditanggung oleh pengangkut.

Apabila terjadi suatu bencana atas kapal yang menyebabkan timbulnya kerugian atau kerusakan pada muatan, maka hal pertama yang akan dinilai ialah apakah pengangkut sudah berusaha dengan layak untuk memenuhi kewajibannya tersebut? Jika dia lalai atau tidak berusaha dengan layak untuk memenuhi kewajibannya, maka dia harus bertanggung jawab atas semua kerugian atau kerusakan yang terjadi akibat kelalaiannya itu. Sebaliknya, kalau terbukti bahwa si pengangkut sudah berusaha dengan wajar, dia dapat membebaskan diri dari tuntutan ganti kerugian yang diajukan kepadanya.

Berkaitan dengan tanggung jawab pengangkut atas kapal ini, perlu diperhatikan bunyi Artikel III (1) yang memuat kata-kata “before

and at the beginning of the voyage”, yang justru dapat menimbulkan

keragu-raguan. Jangka waktu manakah yang dimaksud dengan perkataan “sebelum dan pada permulaan pelayaran” itu?

Untuk masalah tersebut di atas, selanjutnya perlu pula memperhatikan kutipan dalam perkara Maxine Footwear Co. Ltd. v.

Canadian Government Merchant Marine Ltd. (1959), yaitu “When the cargo had been loaded on a vessel, she was destroyed by fire before she sailed on her voyage. The fire had been caused by negligence when some scupper pipes had been thawed out by an employee of an

(38)

independent contractor on the authority of the master of the ship. The bill of lading incorporated The Hague Rules. The shippers claimed to recover damages for non delivery of the goods. But the ship owners contended that they had exercised due diligence to make the ship seaworthy “before and at the beginning of the voyage” within the meaning of art. III. r.1, since the ship was sea worthy at the time of loading, and the moment of the beginning of the voyage was never reached. Held, by the Judicial committee of the Privy Council, that the obligation to exercise due diligence was a condition one which the ship owners had not fulfilled since the negligence had occurred during the relevant period”.6

Dari kutipan pengadilan pada perkara tersebut, ternyata diperoleh simpulan bahwa “Under The Rules the words “before and the

beginning of the voyage” mean the periode form at least the beginning of lading until the vessel starts on her voyage”.

Selanjutnya, Artikel III (2) The Hague Rules menegaskan bahwa

“The carrier shall properly and carefully load, handle, stow, carry, keep, care for and discharge the goods carried”. Dengan demikian,

artikel itu menekankan bahwa pihak pengangkut hendaknya memuat dengan pantas dan berhati-hati, dalam menangani, memadati, mengangkut, menyimpan, menjaga, serta membongkar barang-barang yang diangkutnya itu.

Secara lebih rinci, pihak pengangkut bertanggung jawab atas keselamatan dan keutuhan barang, yaitu saat:

1. Pada waktu pemuatan sejak barang-barang dikaitkan pada derek (end of tackle) di pelabuhan pemuatan.

2. Dalam pemadatannya di palka-palka kapal.

3. Selama pengangkutan mulai dari pelabuhan pemuatan hingga di pelabuhan pembongkaran.

4. Pada waktu pembongkaran sampai barang-barang berada di atas dermaga atau perahu-perahu dalam posisi masih terkait pada derek (end of tackle) di pelabuhan pembongkaran.

6

E.R. Hardy Ivamy, Case Book on Carriage by Sea (London: Lloyds of London Press Ltd., 1985), hal. 101.

(39)

Selain hal tersebut di atas, pengangkut juga mempunyai kewajiban untuk mengeluarkan bill of lading. Artikel III (3) The Hague

Rules menentukan bahwa “After receiving the goods into his charge the carrier or the master or agent of the carrier shall on demand of the shipper issue to the shipper a Bill of Lading”.

4. Pembatasan Tanggung Jawab Pengangkut

The Hague Rules mengatur pula beberapa klausula yang

membatasi tanggung jawab pengangkut:

1. Dalam Artikel III (1) mengenai due diligence clause. Yaitu apabila terbukti pengangkut telah menyelenggarakan dengan wajar agar kapal yang dipergunakan di dalam dinas pelayarannya layak melaut, kapal telah diawaki secukupnya, dan membawa bahan keperluan kapal secukupnya untuk menempuh pelayaran yang direncanakan, serta untuk keperluan muatan, semua palka, kamar pendingin dan lain-lain telah siap untuk menerima muatan, memadatkannya dengan baik, serta mengangkutnya sampai ke tempat tujuan dengan aman dan selamat, maka dia dapat membebaskan diri dari tuntutan ganti kerugian yang mungkin diajukan kepadanya.

2. Dalam Artikel III (4) mengenai prima facie evidence. Dengan adanya syarat-syarat ini dalam suatu perjanjian pengangkutan, pengangkut menyatakan bahwa dia menyanggupi untuk mengangkut sejumlah muatan berdasarkan penilaian atas barang sebagaimana keadaan itu tampak dari luar. Artinya, pengangkut dapat menolak tuntutan ganti kerugian apabila sebuah peti yang keadaannya baik, akan tetapi pada waktu dibuka kedapatan isinya rusak atau kurang. Alasan penolakannya ialah bahwa pengangkut menerima barang dalam keadaan baik dan barang yang sama diserahkan kepada consignee juga dalam keadaan baik, sama seperti keadaan waktu untuk di kapal.

3. Dalam Artikel IV (2a) mengenai negligence clause. Dalam hal ini, ditetapkan bahwa baik pengangkut maupun kapal tidak bertanggung jawab atas kerugian atau kerusakan yang terjadi karena atau diakibatkan oleh tindakan, ketidakwaspadaan atau

(40)

kelalaian nakhoda, anak buah kapal, pandu atau orang-orang lain yang bekerja dalam dinas pengangkut, dalam hal navigasi dan manajemen kapal. Dengan adanya ketentuan ini, apabila terjadi kerugian atau kerusakan karena kesalahan navigasi atau manajemen, hal itu semata-mata merupakan tanggung jawab nakhoda atau orang-orang lain yang dimaksud. Latar belakang pemikiran ketentuan ini ialah bahwa nakhoda serta orang-orang lain itu menjalankan pekerjaan yang menjadi keahliannya, dan merekapun mempunyai sertifikat (ijazah) yang mengatakan kecakapan serta hak masing-masing untuk menjalankan pekerjaan itu dengan bebas tanpa kata perintah oleh siapapun. Pemilik kapal yang telah mempekerjakan mereka dalam jabatannya masing-masing, tidak dapat memberi instruksi dalam menjalankan navigasi dan manajemen kapal.

4. Dalam Artikel IV (4) mengenai deviation clause. Apabila diperhatikan setiap lembaran bill of lading, maka akan selalu ditemui ketentuan-ketentuan yang menetapkan bahwa kapal tidak diharuskan untuk berlayar melalui jalur yang biasanya dilayari atau yang sudah diumumkan akan dilayari. Mengenai ketentuan itu, berikut salah satu contoh dari deviation clause yang dimuat dalam suatu konosemen (bill of lading) yang dikeluarkan oleh sebuah perusahaan pelayaran, yang berbunyi:

“The carrier does not contract to proceed by the shortest or by she geographical or customary or advertised route (if any) and the ship or other method of conveyance may for any purpose what so ever whether on the current voyage or on a prior or subsequent voyage or whether connected with the joint adventure or not and whether before the beginning or at any time or stage of the voyage proceed by any course or route what so ever although in contrary direction to or out of or beyond the direct or geographical or customary or advertised route to the place of delivery once or more often in any order back wards without notice to shippers or consignees and for any purpose may all and/or remain or omit to call and/or remain at any port or ports place what so ever and may carry the goods back to the

Referensi

Dokumen terkait

Keterlambatan barang atau bagasi penumpang pada dasarnya juga merupakan tanggung jawab dari pengangkut. Ketentuan mengenai hal ini sama seperti tanggung jawab pengangkut

Tanggung jawab pengangkut dalam pengangkutan di jalan ditur dalam Pasal 45 ayat (1) Undang – undang Nomor 14 tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang berbunyi

Berdasarkan uraian tersebut di atas, tanggung jawab penanggung dalam asuransi tanggung jawab hukum adalah apabila tertanggung melakukan wanprestasi atau perbuatan melanggar hukum

Mengenai pendapat narasumber yang dipaparkan tentang perusahaan pengangkutan, perusahaan pengangkutan mempunyai tanggung jawab atas muatan kapal yang

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul: TANGGUNG JAWAB HUKUM PENGANGKUT TERHADAP AWAK PESAWAT KETIKA TERJADI KETERLAMBATAN PENERBANGAN

Tanggung Jawab Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Dalam Melakukan Pengawasan Serta Pencegahan Kecelakaan Dalam Pengangkutan Laut Berdasarkan pedoman dan kebijakan

Masalah: bagaimanakah bentuk pengaturan pengangkutan penumpang umum yang menurunkan penumpang tidak sesuai dengan ijin trayek?dan bagaimanakah tanggung jawab pengangkut dalam

Perizinan mengenai pengangkutan laut diatur dalam Pasal 27 UU Pelayaran, namun pada tahun 2020 Pemerintah mengesahkan Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta