• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI

D. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

Pendidikan secara luas, merupakan pembentukan kepribadian, kemajuan

ilmu, kemajuan teknologi, dan kemajuan kehidupan sosial pada umumnya.60

Proses pendidikan dapat berlangsung karena adanya sarana yang mendukung dan menjadi ajang berlangsungnya pendidikan Yang dimaksud sarana dan ajang tersebut adalah masyarakat, baik masyarakat mikro seperti keluarga ataupun masyarakat makro seperti sekolah dan lingkungan.

Pendidikan sering diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Dalam perkembanganya, istilah pendidikan berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa.       

58

Semi, Op. Cit, h. 35.

59

Ibid, h. 36.

60

Pembelajaran merupakan bagian dari proses pendidikan. Rahmanto dalam Metode Pengajaran Sastra mengemukakan bahwa pembelajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupannya meliputi empat manfaat, yaitu membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya,

mengembangkan cipta dan rasa, dan menunjang pembentukan watak.61

Pembelajaran yang baik dan tepat akan mewujudkan cita-cita pendidikan yang luhur sebagaimana tertuang dalam Bab II, Pasal 3 UU RI No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, yang berbunyi: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.

Dalam dunia pendidikan para pengajar terus berupaya meningkatkan keberhasilan dalam pengajaran bahasa dan sastra Indonesia. Menurut Basennang Saliwangi, pengajaran berbahasa berupaya untuk melatih siswa menemukan konsep-konsep yang berkaitan dengan semantik, pemahaman arti kata, kalimat, isi paragraf, dan isi secara keseluruhan, juga prinsip tentang bahasa yang

digunakan.62 Sedangkan menurut Wahyudi Siswanto, melalui pengajaran sastra

siswa diajak untuk langsung membaca, memahami, menganalisis, dan menikmati karya sastra secara langsung.63

Mengutip Henry Guntur Tarigan dalam kurikulum di sekolah keterampilan berbahasa (atau language arts, language skills) biasanya mencakup empat aspek, yaitu: “(1) keterampilan menyimak/mendengar (listening skills), (2) keterampilan       

61

B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanius, 1988), h. 16.

62

Basennang Saliwangi, Pengantar Strategi Belajar-Mengajar Bahasa Indonesia, (Malang: IKIP, 1989), hlm. 23.

63

berbicara (speaking skills), (3) keterampilan membaca (reading skills) dan keterampilan menulis (writing skills).”64

Dalam pembelajaran sastra menurut Wahyudi Siswanto keempat keterampilan tersebut meliputi: (1) keterampilan mendengar meliputi: mendengar, memahami, mengapresiasi ragam karya sastra baik asli, saduran atau terjemahan sesuai kemampuan siswa. (2) keterampilan berbicara meliputi: membahas dan mendiskusikan ragam karya sastra sesuai dengan isi konteks lingkungan dan budaya. (3) keterampilan membaca meliputi: membaca dan memahami ragam karya sastra, serta mampu melakukan apresiasi secara tepat. (4) keterampilan menulis meliputi: mengekspresikan karya sastra yang diminati dalam bentuk sastra tulis yang kreatif, serta dapat menulis kritik dan esai sastra berdasarkan

ragam sastra yang telah dibaca.65 Keempat aspek tersebut terdapat dalam

pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia sesuai dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).Pembelajaran sastra adalah pembelajaran yang mencoba untuk mengembangkan kompetensi apresiasi sastra, kritik sastra, dan proses kreatif sastra. Kompetensi apresiasi sastra yang diasah dalam pendidikan ini adalah kemampuan menikmati dan menghargai karya sastra. Melalui pendidikan semacam ini, peserta didik diajak untuk langsung membaca, memahami, dan menganalisis karya sastra secara langsung. Mereka diajak berkenalan dengan sastra, tidak melalui hapalan nama-nama judul karya sastra atau sinopsisnya saja, tetapi langsung berhadapan dengan karya sastranya.66

M. Atar Semi berpendapat bahwa pengajaran sastra di sekolah menengah pada dasarnya bertujuan agar siswa memiliki rasa peka terhadap karya sastra sehingga dapat terdorong dan tertarik untuk membacanya. Dengan demikian, diharapkan siswa memperoleh pengetahuan tentang manusia dan kemanusiaan       

64

Henry Guntur Tarigan, Membaca Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa, (Bandung: Angkasa, 2008), hlm. 1.

65

Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra,(Jakarta: Grasindo, 2008), h. 171.

66

sebagai suatu respon sastra, mengenal nilai-nilai dan mendapat ide-ide baru. 67 Karya sastra lahir dari penggabungan antara fakta dan imajinasi dengan bahasa sebagai medianya, sehingga diharapkan siswa mempunyai bekal untuk merespon kehidupan ini dengan imajinatif.

Manfaat membaca dan mempelajari sastra yakni untuk menunjang keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan sosial budaya,

mengembangkan rasa karsa dan pembentukan watak.68 Dengan manfaat ini,

kemampuan siswa dapat lebih diasah melalui pembelajaran sastra.Studi sastra dalam hubungannya dengan pengajaran sastra telah melahirkan berbagai macam pendekatan, yakni:

1. Pendekatan kesejarahan

Pendekatan kesejarahan adalah pendekatan pengajaran yang memusatkan perhatian kepada aspek sejarah kehadiran sastra. Periodisasi sastra, dan ciri-ciri khas yang menandai perkembangan sastra dari zaman ke zaman. Dengan pendekatan ini siswa memperoleh pengetahuan mengenai: (1) proses kejadian suatu karya sastra; (2) latar belakang yang mewarnai karya sastra tersebut; (3) perkembangan sastra dari masa ke masa; dan (4) latar belakang yang mendorong perkembangan sastra atau yang menjadi fenomena yang menonjol pada suatu periode tertentu.

2. Pendekatan sosiopsikologis

Pendekatan yang memusatkan perhatian kepada masalah kejiwaan dan kemasyarakatan yang ada di dalam karya sastra. Dengan pendekatan ini diharapkan siswa memahami sastra dalam konteks kemasyarakatan tempat sastra tersebut dilahirkan.

      

67

M. Atar Semi, Rancangan Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, (Bandung: Angkasa, 1990), hlm. 152-153. 

68

3. Pendekatan emotif

Pendekatan ini dalam pengajaran sastra berupa upaya guru memanipulasi emosi siswa tanpa memberi kesempatan kepada mereka untuk menentukan sendiri atau menikmati sendiri karya tersebut. Setelah itu guru memberikan tugas kepada siswanya untuk membaca karya sastra. Dengan begitu siswa membaca dengan menggunakan sikap emosi tertentu.

4. Pendekatan analisis

Pendekatan ini memusatkan perhatian kepada aspek pendidikan dan moral yang terdapat dalam suatu karya sastra.

5. Pendekatan didaktis

Pendekatan analisis yaitu pendekatan yang memusatkan perhatian kepada analisis segi-segi intrinsik karya sastra. Dengan pendekatan ini guru cenderung untuk menunjukan komponen-komponen yang terdapat dalam suatu karya sastra.

Pendekatan yang disebutkan di atas memiliki kelemahan-kelemahan di samping adanya kekuatan, sehingga guru dapat mengambil unsur-unsur yang positifnya. Di dalam pemilihan pendekatan perlu mempertimbangkan beberapa masalah, yaitu: a) tujuan pengajaran; b) kebutuhan siswa menurut perkembangan jiwa dan lingkungan ekologis; c) hakikat sastra sebagai karya seni; d) memperhatikan perbedaan individual siswa seperti watak dan minat; e) pendekatan yang dipilih hendaknya memungkinkan siswa mendapat peluang seluas-luasnya mengapresiasi karya sastra; dan f) pendekatan yang dipilih hendaknya menjamin pengertian yang benar tentang sastra secara utuh dan memperhatikan fungsi sastra dalam kehidupan.69

      

69

E. Penelitian yang Relevan

Suatu penelitian maupun hasil penelitian adalah bagian yang tidak terpisahkan dari unsur-unsur lainnya, baik yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan permasalahan yang sedang dibahas oleh seorang peneliti atau penulis. Sebuah karya ilmiah mutlak membutuhkan referensi sebagai acuan suatu penelitian yang sedang dikerjakannya. Tinjauan pustaka dapat bersumber dari makalah, skripsi, jurnal, internet atau yang lainnya. Sejauh yang penulis ketahui, belum ditemukan penelitian mengenai “Kritik Sosial Dalam Naskah Drama Cannibalogy dan Implikasinya Pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia” di jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta serta di universitas lain, namun terdapat beberapa tulisan yang berkaitan dengan skripsi yang penulis buat. Selanjutnya akan penulis paparkan judul serta masalah yang dibahas :

1. Akhyar Makaf dengan tesis yang berjudul “Proses Kreatif Penciptaan

“Pertja” Karya Benny Yohanes” yang disusun oleh untuk memenuhi persyaratan mencapai derajat magister dalam bidang seni, Minat Utama Seni Teater di Program Penciptaan dan Pengkajian di Pascasarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta tahun 2014. Adapun pembahasan dalam tesis ini ialah mengenai proses kreatif Benjon dalam menciptakan karya drama dan pertunjukan “Pertja” yang berhubungan dengan pengalaman masa lalunya dengan menggunakan teori kreativitas dalam perspektif psikoanalisis Sigmund Freud dan Jacques Lacan.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa Benjon didorong oleh perasaan keterasingan yang justru membuatnya menemukan momen kreatif. Ia mengeksplorasi pengalaman masa lalunya tentang kekerasan dan erotisme, kisah unik dari orang yang pernah ditemuinya,serta realita kehidupan masyarakat perkotaan ke dalam karya yang diciptakannya.

Relevansi penelitian ini dengan penelitian di atas ialah sama-sama menganalisis karya sastra berupa naskah drama karya Benny Yohanes. Perbedaannya. jika dalam penelitian di atas meneliti naskah dan pementasan Pertja dari sudut pandang proses kreatif Benjon dalm menciptakan karya,

penelitian ini menggunakan naskah Cannibalogy sebagai objek penelitian

dengan sudut pandang kritik sosial yang terkandung di dalamnya.

2. Ilmi Fadilah mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia fakultas Pendidikan

Bahasa dan Seni UPI Bandung 2013 dengan judul Skripsi “Representasi Ketidakadilan Gender dalam Naskah Drama Pertja Karya Benny Yohanes (Kajian Feminis)” yang dikaji dengan metode deskriptif analitik, penelitian ini menggunakan teori feminis secara umum, khususnya mengenai ketidakadilan gender. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya ketidakadilan gender pada tokoh-tokoh perempuan dalam naskah Pertja karya Benjon.

Relevansi penelitian ini dengan penelitian di atas ialah sama-sama menganalisis karya sastra berupa naskah drama karya Benny Yohanes serta membahas permasalahan sosial. Perbedaannya terletak pada judul naskah yang diteliti serta teori yang digunakan. Teori yang digunakan dalam penelitian di atas ialah teori feminis yang mengkaji ketidak adilan gender sedangkan teori yang digunakan dalam penelitian ini ialah teori sosiologi sastra yang mengkaji permasalahan sosial yang terkandung dalam naskah drama Cannibalogy.

44  A. Biografi Benny Yohanes

Benny Yohanes lahir di kota Bandung, 15 Februari 1962. Pemilik nama panggung Benjon ini menyelesaikan pendidikan sebagai Sarjana Muda Teater di Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung pada tahun 19891, menyelesaikan S2 dengan menyandang gelar M.Hum di Universitas Indonesia pada tahun 2000, serta menyelesaikan S3 dengan menyandang gelar Dr. di Universitas Padjadjaran pada tahun 2013.2

Dengan perjalanan pendidikan yang telah ditempuh oleh suami dari Soeko Sri Setiati ini, maka kreativitasnya dibidang keteateran tak dapat di ragukan. Benjon merupakan seorang teaterawan yang serba bisa, bahkan dapat dikatakan pemborong segala pekerjaan bidang keteateran.

Benjon merupakan pendiri teater Re-publik, sutradara, aktor, penulis naskah, kritikus, pengamat seni pertunjukan, anggota pengawas Federasi Teater Indonesia sejak 2008 dan anggota International Federation of Theatre Research sejak 2005, selain itu ia turut pula dalam pekerjaan produksi keteateran, mulai dari membuat proposal, mendesain poster, skeneri, lampu, kostum, properti, merias, memilih dan belanja material pentas, menjahit, bertukang hingga menulis kritik pentasnya sendiri.3 Selain aktif dalam dunia keteateran, Benjon juga merupakan seorang akademisi, ia merupakan Wakil Rektor Bidang Akademik dan

       1

Beny Yohanes, Profil Beny Yohanes, 2010, dalam Nano Riantiarno (ed.),

(http://www.kelola.or.id/database/theatre/list/&dd_id=67&p=3). Diakses pada tanggal 24 Desember 2015, pukul 21.00 WIB.

2

Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Biodata Dosen

http://forlap.dikti.go.id/dosen/detail/OUQ2NzlDRjktMUM5MC00MkUzLUI3MjEtOTYzMj VDMUM2QUI2/0. Diakses pada tanggal 24 Desember 2015, pukul 21.15 WIB.

3

Kemahasiswaan dengan tugas mewakili Rektor dalam memimpin pengelolaan kegiatan di bidang akademik, kemahasiswaan, dan alumni.4

Ayah dari tiga anak ini merupakan penulis lakon dan sutradara yang sering kali bermain dengan kerumitan dalam karyanya. Sebagai penulis naskah sekaligus sutradara, Benjon memiliki gaya dan karakteristik yang unik. Dalam tulisannya ia menggunakan pilihan bahasa yang ekspresif, melanggar tabu dan kesantunan; banyak menyalahi kaidah bahasa konvensional, serta mencampur adukkan gaya bahasa. Berkat daya kreatifnya dalam menulis, pada tahun 2008 Benjon meraih penghargaan The Best Five Sayembara Penulisan Naskah Drama Federasi Teater Indonesia, setelah sebelumnya meraih Juara Pertama Lomba Naskah Monolog Lembaga Anti Korupsi pada tahun 2004, dan Juara II Lomba Menulis Naskah Drama Radio Common Ground Indonesia di tahun 2002. Di bidang penulisan kritik teater, BenJon juga meraih penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 2005, Direktorat Kesenian tahun 1996 dan Direktorat Kesenian-Harian Umum Pikiran Rakyat tahun 1996.

Salah satu hubungan antara karya Benjon dan pengalaman masa lalu adalah kecenderungan yang dominan untuk menghadirkan hal-hal ganjil yang bersifat metaforik, baik dalam bentuk lakuan (action) dan bahasa (dialog). Hal ini kemudian menjadi ciri khas dan sekaligus kekuatan dari drama-drama Benjon.

“Momok Zaman” (1988) adalah drama surealis yang menghadirkan

simbol-simbol primitif untuk mengungkapkan bermacam bentuk kekerasan dan incest

yang ditafsirkan dalam perspektif politik dan kekuasaan. “Shakaespeare

CARNIVORA” (2009) mengisahkan tentang perjalanan sejarah manusia yang

dipenuhi kekejaman, penindasan dan intrik layaknya karya-karya tragedi William Shakaespeare. Sedangkan “Cannibalogy” (2008) mengisahkan tentang perbandingan kekejaman antara penjajahan, kediktatoran sebuah rezim dan aksi kanibalisme manusia. Secara langsung Benjon membandingkan antara penjajahan

       4

Eropa terhadap dunia ketiga, rezim Orde Baru di Indonesia dan aksi kanibalisme Sumanto. 5

Dokumen terkait