• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kritik Sosial dalam Naskah Drama Cannibalogy Karya Benny Yohanes dan Implikasinya pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kritik Sosial dalam Naskah Drama Cannibalogy Karya Benny Yohanes dan Implikasinya pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA"

Copied!
162
0
0

Teks penuh

(1)

SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah & Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai

Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Oleh

Rahayu Handayani

NIM 1111013000081

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

KRITIKSOSIALDALAMNASKAIIDRAMACANNIBALaGY

KARYABENNYYOHANESDANIMPI.IKASINYAPADA

PEMBELAJARANBAHASADAl\SASTRAINDONESIADI

SEKOLA.II MENEI\GAH

A',IIAS

(SMA)

SkriPsi

DiajukanguruanUniversitaslslamNegeri

"sy'#ii

n*

,r:.#l'untuk

(3)
(4)
(5)

 

Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Rosida Erowati, M. Hum.

Karya sastra memiliki kecenderungan untuk mencerminkan kondisi sosial masyarakat yang dipotretnya. Oleh karena itu jika di dalamnya terdapat kritik sosial, hal ini menandakan bahwa karya sastra tersebut menyikapi sebuah fenomena sosial. Naskah drama Cannibalogy karya Benny Yohanes merupakan salah satu naskah drama yang mengandung kritik sosial di dalamnya. Dengan demikian peneliti menggunakan naskah tersebut sebagai objek penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mendeskripsikan struktur naskah; (2) merepresentasikan kritik sosial masa Orde Baru dan (3) mengimplikasikannya ke dalam pengajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah.

Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra yaitu pendekatan yang berupaya mengungkapkan hubungan antara karya sastra dengan kehidupan sosial masyarakat. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif.

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, hasil penelitian ini menunjukkan terdapat lima kritik sosial terkait kekuasaan pada masa Orde Baru dalam naskah drama Cannibalogy karya Benny Yohanes, yaitu: (1) Kritik terhadap pembatasan kebebasan berbicara (pembungkaman publik) yang dilakukan pemerintah Orde Baru, (2) Kritik terhadap sistem ketakutan sebagai kontrol, (3) Kritik terhadap lahirnya Supersemar, (4) Kritik mengenai rekayasa di seputar G-30-S melalui penggambaran peristiwa lubang buaya, (5) Kritik mengenai pembantaian di Bengawan Solo.

(6)

ii 

 

Literature Learning". Majors Indonesian Language and Literature Education, Faculty of Science and Teachers Training, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta. Advisor: Rosida Erowati, M. Hum.

The literary work has a tendency to reflect the social conditions. Therefore, if in it there is social criticalism, this indicates that the literary work to address a social phenomenon. Cannibalogy script by Benny Yohanes was one of the plays that contain social criticism in it. Thus researchers used the text as an object of research. This study to: (1) describe the structure of the text; (2) represents the social criticism Orde Baru and (3) implement its into teaching Indonesian language and literature at schools.

This study uses the approach of sociology of literature that approach seeks to express the relationship between literature in the social life of the community. The method used in this study is a qualitative method.

Based on the analysis performed, the results of this study indicate there are five social criticism related to power during the Orde Baru in the Cannibalogy script by Benny Yohanes, namely: (1) Criticism of restrictions on freedom of speech (silencing public) conducted the New Order government, (2 ) criticisms of fear as a control system, (3) Criticism of birth Supersemar, (4) Critics of engineering around the G-30-S through the depiction of Lubang Buaya events, (5) Criticism and the massacre at Bengawan Solo

Keywords: Social Criticism, Orde Baru, Power, Drama Script, Cannibalogy Script, Indonesian Language and Literature Learning in High School.

(7)

iii 

Segala puji bagi Allah SWT atas segala yang ada di semesta jagad raya

yang telah memberi limpahan rahmat dan nikmat-Nya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi dengan judul “Kritik Sosial dalam Naskah Drama

Cannibalogy Karya Benny Yohanes dan Implikasinya pada Pembelajaran Bahasa

dan Sastra Indonesia”. Shalawat serta salam senantiasa tercurah limpahkan untuk

Nabi Besar Muhammad saw, keluarga, para sahabat, dan umatnya.

Penulisan skripsi ini ditujukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat

memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan

Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Penulis berharap skripsi

ini dapat bermanfaat bagi kepentingan ilmu pengetahuan.

Dalam proses penulisan penelitian ini penulis banyak mendapat masukan,

bimbingan, saran, motivasi, dan semangat dari berbagai pihak. Semua itu tak lain

untuk menjadikan penulis menjadi pribadi yang lebih baik dan kaya

informasi. Dengan segala kerendahan hati penulis ingin menyampaikan rasa

terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan

Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;

2. Dr. Makyun Subuki, M.Hum., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan

Sastra Indonesia yang memudahkan dalam segala proses dalam perkuliahan.

3. Rosida Erowati, M.Hum., selaku dosen pembimbing skripsi yang selalu

berusaha meluangkan waktu untuk penulis dalam proses bimbingan skripsi,

sabar dalam membimbing dan memberikan masukan untuk referensi tulisan

hingga akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik;

4. Seluruh Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia khususnya

dan dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan pada umumnya yang telah

memberikan ilmu dalam menempuh pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah

(8)

iv 

Tendy Ahmad.

6. Sahabat seperjuangan “Genk Che” Ade Nurfadillah, Amalia Rosyidah, Astri

Pertiwi, Madhensia Putri Pratiwi, dan Rohmatun Masruroh yang sejak awal

perkuliahan menjadi keluarga baru yang membingkai kebahagiaan, yang

selalu mendukung, menyemangati, dan mendoakan penulis dalam segala hal.

7. Sahabat seperjuangan Syifa Fauziah, Nova Liana, Maisyah, Marsita, Irmalia,

Nugroho, Ivan, Taufik, Ikhsan, Arafi beserta keluarga PBSI C 2011 yang

selalu mendukung, menyemangati serta menjadi tempat berdiskusi dan

berkeluh kesah dalam perkuliahan dan proses penulisan skripsi ini.

8. Keluarga besar Teater Syahid yang telah memberi banyak pelajaran serta

pengalaman berharga dalam berkesenian, berteater, dan kehidupan.

9. “Keluarga Cemara Teater Syahid 2012”, keluarga yang selalu memberikan

pelukan hangat dalam bahagia dan gundah, yaitu Dede Zakiyah, Henny

Andayani, Firsa Lubis, Nur Ariyani, Malissa Rizki, Nurul Hidayanti, Arsheila,

Muhammad Irfan, dan Jarot Andaru yang selalu memberikan semangat,

dukungan, keceriaan, dan kebahagiaan, dalam menjalani hari.

10.Ucapan teristimewa ditujukan kepada keluaga tersayang terutama Ayah dan

Ibu tercinta yaitu Muhammad Syafii dan Rosmini yang telah mendidik,

membimbing, memotivasi penulis untuk menjadi manusia yang baik dan

bijaksana, yang tiada hentinya memanjatkan doa kepada Sang pencipta dan

memberikan dukungan moril serta materil sehingga penulis dapat

mempersembahkan skripsi ini sebagai tanda bakti dan tanda cinta. Tak lupa

untuk kakak-kakak dan adik tercinta yaitu Kakanda Muhammad Fikri Ilman,

dan Dwi Ayu Lestari, serta Adinda Novi Andini yang telah memberikan

motivasi, keceriaan, dan kasih sayang dalam perjalanan hidup hingga saat

(9)

Penulis mengharap kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk

menjadikan penelitian ini lebih baik lagi. Besar harapan penulis agar penelitian ini

dapat bermanfaat, baik untuk penulis pribadi maupun pembaca.

Jakarta, 23 September 2016

(10)

vi

LEMBAR PERNYATAAN KARYA SENDIRI LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah... 5

C. Pembatasan Masalah ... 5

D. Rumusan Masalah ... 5

E. Tujuan Penelitian ... 6

F. Manfaat Penelitian ... 6

G. Metodologi Penelitian ... 7

BAB II KAJIAN TEORI A. Hakikat Kritik Sosial ... 10

1. Pengertian Kritik Sosial ... 10

2. Kritik Sosial, Protes Sosial, dan Kreativitas ... 12

3. Kritik Sosial dalam Sastra ... 13

4. Kritik Sastra... 14

5. Jenis-Jenis Kritik Sosial ... 15

B. Hakikat Sosiologi Sastra ... 19

1. Pengertian Sosiologi Sastra ... 19

C. Hakikat Drama ... 21

1. Pengertian Drama ... 22

2. Pengertian Naskah Drama ... 23

3. Unsur Intrinsik Drama ... 24

4. Unsur Ekstrinsik Drama ... 38

(11)

vii

B. Pandangan Benny Yohanes ... 46

C. Naskah-Naskah Drama Karya Benny Yohanes ... 48

D. Penyutradaraan Karya Benny Yohanes ... 50

E. Sinopsis Naskah Drama Cannibalogy ... 52

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Unsur Intrinsik Naskah Drama Cannibalogy Karya Benny Yohanes .... 53

1. Tokoh dan Penokohan ... 53

2. Alur... 78

3. Latar dan Ruang ... 87

4. Penggarapan Bahasa ... 93

5. Tema (Premise) dan Amanat... 99

B. Analisis Kritik Sosial terhadap Kekuasaan Orde Baru dalam Naskah Drama Cannibalogy Karya Benny Yohanes... 104

1. Rekayasa di Seputar G-30-S (Peristiwa Lubang Buaya) ... 105

2. Lahirnya Supersemar... 108

3. Pembatasan Kebebasan Berbicara (Pembungkaman Publik) ... 110

4. Sistem Ketakutan Sebagai Kontrol ... 113

5. Pembantaian di Bengawan Solo ... 114

6. Pelengseran Penguasa ... 116

C. Implikasi Kritik Sosial dalam Naskah Drama Cannibalogy Karya Benny Yohanes terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia ... 119

BAB V PENUTUP A. Simpulan ... 120

B. Saran ... 121

DAFTAR PUSTAKA ... 122 LAMPIRAN

(12)

  1 

A.

Latar Belakang

Karya sastra merupakan suatu wadah untuk mengungkapkan gagasan, ide,

dan pikiran. Karya sastra menyuguhkan pengalaman batin serta kehidupan yang

dialami sastrawan di masyarakat. Sastrawan merupakan anggota dari masyarakat

yang turut menyaksikan serta berkontribusi dalam kehidupan dan peristiwa yang

terjadi di lingkungan masyarakat. Maka tidak heran jika karya sastra dianggap

sebagai tiruan kehidupan masyarakat. Namun, karya sastra tidak semata-mata

menyodorkan fakta secara denotatif, melainkan melalui sebuah refleksi yang

diperhalus dengan bangunan estetis.

Sejak awal perkembangannya, hampir semua karya sastra khususnya

naskah drama mengandung unsur kritik sosial. Wujud kehidupan sosial yang

dikritik bermacam-macam. Sastra yang mengandung pesan kritik biasanya lahir

akibat terjadinya keresahan pengarang pada peristiwa yang terjadi di kehidupan

masyarakat. Salah satu peristiwa yang menarik perhatian beberapa sastrawan

ialah tentang kekuasaan dan Orde Baru.

Kekuasaan tak selamanya mengikuti jalan logika, kekuasaan dapat

bertahan dengan berbagai cara, salah satunya melakukan tekanan dengan

kekerasan. Tidak terlupakan, bagaimana pemerintah semasa Orde Baru

mengorbankan ribuan nyawa demi kelanggengan kekuasaannya, seperti yang

dikatakan dalam Asvi Warman mengenai pembantaian besar-besaran terhadap

orang-orang yang dianggap berhaluan komunis, diatandai dengan jatuhnya korban

jiwa hingga 500.000 orang.1 Hal inilah yang kemudian diangkat oleh Benny

Yohanes dalam naskah drama Cannibalogy.

      

1

(13)

Benny Yohanes yang selanjutnya disebut Benjon merupakan salah

seorang penulis naskah drama dan dosen di STSI Bandung yang aktif dan

produktif dalam dunia keteateran, terbukti dari banyak karya yang ditulis serta

beberapa naskah drama yang menjadi nominasi terbaik dalam beberapa ajang

festival penulisan naskah drama. Salah satu di antaranya ialah naskah

Cannibalogy yang masuk ke dalam lima besar naskah terbaik versi Federasi

Teater Indonesia pada 2008.

Naskah ini merupakan naskah drama yang menggambarkan masa

kekuasaan rezim Orde Baru yang dibumbui potongan-potongan sejarah Indonesia

lainnya. Karya ini dapat menjadi renungan bagi penikmat karya sastra tentang

sejarah bangsa Indonesia, yakni saat keadaan yang menjadikan bangsa kita

terpuruk oleh kegelisahan peradaban; kediktatoran pemimpin, ketidakberdayaan

hukum, kemiskinan, demonstrasi, dan pelengseran jabatan.

Permasalahan-permasalahan aktual di atas ternyata juga telah diangkat

oleh beberapa sastrawan yang juga mengusung tema Orde Baru dalam naskah

drama. Dua di antaranya yakni Seno Gumira Ajidarma dalam karyanya Mengapa

Kau Culik Anak kami? dan Nano Riantiarno dalam karyanya Semar Gugat.

Dalam Mengapa Kau Culik Anak kami? Seno mengusung latar Masa

pemerintahan Orde Baru yang marak terjadi kekerasan politik baik secara

birokratis maupun secara fisik. Naskah ini mengangkat peristiwa penculikan

aktivis yang terwujud dalam obrolan antara tokoh Ibu dan Bapak yang anaknya

diculik dan belum kembali. Drama ini menggambarkan tindak kekejaman yang

dilakukan oleh tentara, serta kehidupan Ibu-Bapak yang anaknya hilang diculik

oleh penguasa.

Sejak awal penceritaan, Seno telah menunjukkan teror yang terjadi dalam

dunia politik. Bagaimana kejahatan hukum dapat saja terjadi demi kepentingan

penguasa, terutama jika berada di bawah negara dan pemerintahan dengan kendali

(14)

Selain mengenai peristiwa penculikan aktivis, dalam drama ini juga

mengangkat tindak kekerasan yang pernah terjadi pada tahun 1965-1966. Dalam

naskah tersebut digambarkan tindak kekerasan dan pembunuhan massal yang

dialami orang-orang terduga komunis sebagai tindak pembersihan politik pada

masa transisi dari Orde Lama menuju ke Orde Baru. Penggambaran pembantaian

besar-besaran ketika ricuh Partai Komunis menjadi relevansi dari ketimpangan

sosial dan politik yang terjadi di Indonesia.

Selanjutnya adalah naskah Semar Gugat karya Nano Riantiarno. Dalam

naskah tersebut Nano menyampaikan kritikan serta isu besar yang terjadi selama

Orde Baru berlangsung secara simbolik melalui penggalan-penggalan kalimat

dalam dialog antartokoh. Dikarenakan represifnya rezim yang berkuasa saat itu,

maka kritik yang disampaikan tidak bersifat langsung atau verbal.

Rezim penguasa yang otoriter pada saat itu cenderung represif terhadap

kebebasan pers. Setiap media massa yang berani mengkritik kebijakan penguasa,

kemudian pemimpin redaksi media tersebut dicekal atau dibredel media

penerbitannya.

Kondisi sosial masyarakat pada masa Orde Baru yang sangat kapitalistik,

merajalelanya kemiskinan, bobroknya sistem pendidikan, kurang dihargainya hak

asasi manusia dan semacamnya tidak lepas pula dari kritik Nano dalam naskah

drama Semar Gugat tersebut.

Naskah-naskah drama tersebut dapat menjadi referensi bacaan sastra bagi

siswa-siswa di sekolah agar menjadi generasi yang lebih kritis dan peka terhadap

sejarah dan perkembangan yang terjadi di Indonesia.

Keberadaan naskah drama sebagai bacaan fiksi dapat melengkapi

pembelajaran sastra. Kritikan sosial yang terkandung di dalamnya pun dapat

merangsang siswa untuk terus berpikir kritis mengenai keadaan sosial yang terjadi

di sekitar. Naskah-naskah yang menyuarakan kritik penyimpangan masa Orde

(15)

Keberadaan naskah drama Cannibalogy sebagai bacaan fiksi dapat pula

melengkapi pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Naskah drama

Cannibalogy dapat menjadi salah satu bacaan yang memberikan peserta didik

pemahaman dan pengenalan terhadap nilai-nilai sosial yang terkandung dalam

sastra. Dari kondisi dan masalah sosial yang terkandung dalam karya fiksi dapat

mengembangkan diri peserta didik pada aspek afektif.

Pada saat membahas unsur ekstrinsik karya sastra, siswa dapat mengamati

kenyataan sosial yang diceritakan oleh pengarang. Dengan pendidikan sastra,

peserta didik tidak hanya diajak untuk memahami dan menganalisis berdasarkan

bukti yang ada dalam karya sastra dan kenyataan yang ada di luar sastra, tetapi

juga diajak untuk mengembangkan sikap positif terhadap karya sastra. Pendidikan

semacam ini akan mengembangkan kemampuan berpikir, sikap, dan keterampilan

peserta didiknya.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa karya sastra merupakan

salah satu media ajar sekaligus penyampaian kritik. Dalam pembelajaran sastra

pun peserta didik diharapkan mampu memahami realitas kehidupan yang

tercermin secara kritis, maka penelitian ini sangat penting untuk dapat diterapkan

pada pembelajaran sastra di sekolah.

Sehubungan dengan permasalahan yang telah diuraikan di atas, peneliti

tertarik untuk meneliti kritik sosial dalam naskah drama cannibalogy karyaBenny

Yohanes yang menggambarkan kondisi Indonesia pada masa Orde Baru dalam

skripsi dengan judul “Kritik Sosial dalam Naskah Drama Cannibalogy Karya

Benny Yohanes dan Implikasinya pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra

(16)

B.

Identifikasi Masalah

Tujuan dari identifikasi masalah adalah untuk memudahkan peneliti dalam

mengkaji bahasan penelitiannya. Dari latar belakang masalah yang telah

diuraikan, terdapat beberapa identifikasi masalah yang dapat dibahas dalam

penelitian ini, di antaranya:

a. Karya sastra merupakan media krtitik sosial.

b. Sastra yang mengandung pesan kritik sosial lahir akibat keresahan pengarang

pada peristiwa yang terjadi di kehidupan masyarakat.

c. Banyak terjadinya kasus penyimpangan oleh sosok penguasa pada masa Orde

Baru.

C.

Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dikemukakan di atas, penulis

membatasi masalah hanya pada kritik sosial dalam naskah drama Cannibalogy

karya Benny Yohanes dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra

Indonesia di SMA.

D.

Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah yang telah diuraikan tersebut, dan agar

permasalahan lebih mudah untuk dibahas, maka dalam penelitian ini penulis

merumuskan permasalahan yang akan dibahas, yakni:

1. Bagaimana struktur naskah drama Cannibalogy karya Benny Yohanes?

2. Bagaimana bentuk kritik sosial dalam naskah drama Cannibalogy karya

Benny Yohanes?

3. Bagaimana implikasi kritik sosial naskah Cannibalogy karya Benny Yohanes

(17)

E.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah

sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui struktur naskah drama Cannibalogy karya Benny Yohanes.

2. Untuk mengetahui kritik sosial yang terdapat dalam naskah drama

Cannibalogy karya Benny Yohanes.

3. Untuk mengetahui implikasi penelitian naskah drama Cannibalogy karya

Benny Yohanes pada pembelajaran sastra Indonesia di SMA.

F.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi peneliti dan

pendidik bahasa dan sastra Indonesia baik secara teoretis maupun praktis :

1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat memperluas ilmu pengetahuan di bidang

kritik sosial dan sastra Indonesia serta dapat memperkaya khazanah ilmu

pengetahuan sehingga dapat bermanfaat bagi perkembangan sastra Indonesia.

2. Manfaat Praktis

a) mengetahui kritik sosial yang terdapat dalam naskah drama Cannibalogy

karya Benny Yohanes.

b) Sebagai bahan yang dapat digunakan dalam kegiatan pembelajaran bahasa

dan sastra Indonesia.

c) Sebagai motivasi dan referensi bagi peneliti lain yang akan mengkaji atau

(18)

G.

Metodologi Penelitian

1. Metode Penelitian

Dalam melakukan penelitian, setiap penulis perlu menetapkan suatu

metode penelitian. Dalam arti luas, metode dianggap sebagai cara, strategi

untuk memahami realitas, langkah-langkah sistematis untuk memecahkan

rangkaian sebab akibat berikutnya. Metode berfungsi menyederhanakan

masalah, sehingga lebih mudah untuk dipecahkan dan dipahami.2

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan

pendekatan sosiologi sastra. Metode kualitatif menafsirkan data dengan

menyajikannya dalam bentuk deskripsi. Dengan metode kualitatif

memberikan perhatian terhadap data alamiah, data dalam hubungannya

konteks keberadaannya.3

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan sosiologi

sastra dengan menghubungkan cerita dalam naskah drama Cannibalogy karya

Benjon dengan kondisi sosial masa pemerintahan Orde Baru.

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer

dan sumber data sekunder.

a. Sumber data primer

Data primer merupakan data langsung yang berkaitan dengan

karya sastra yang dikaji, dalam hal ini data primer yang digunakan dalam

penelitian ini adalah naskah drama Cannibalogy karya Benny Yohanes

      

2

Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2009), h. 34.

3

(19)

yang diterbitkan pada tahun 2008 dan Drama dalam Dua Dimensi karya

Hasanuddin W.S.

b. Sumber data sekunder

Data sekunder merupakan data tambahan atau pelengkap yang

memiliki hubungan dengan objek penelitian, sumber data sekunder yang

digunakan pada penelitian ini berasal dari referensi di luar naskah

Cannibalogy, yakni buku-buku mengenai sastra, pengkajian fiksi, dan

Orde Baru. Data ini sebagai penunjang untuk membantu penelitian terkait

kritik sosial karya sastra.

3. Teknik Pengumpulan data

Teknik yang dipakai dalam mengumpulkan data ini adalah studi

kepustakaan atau dokumentasi. Teknik dokumentasi adalah suatu teknik

pengumpulan data dengan membaca buku-buku yang ada kaitannya dengan

permasalahan yang diteliti. Teknik ini dilakukan dengan mengumpulkan data

yang relevan dengan masalah penelitian. Semua data yang berkaitan dengan

masalah pokok penelitian ini ditelaah secara teliti sehingga diperoleh data

penelitian yang komprehensif. Setiap data yang diperlukan disajikan dalam

tulisan ini, sebagai bahan analisis untuk menjawab permasalahan penelitian.

4. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data adalah suatu cara yang digunakan untuk

menguraikan keterangan-keterangan atau data-data yang diperoleh agar dapat

dipahami oleh peneliti. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian

(20)

a. Manganalisis data yakni naskah drama Cannibalogy karya Benjon

berdasarkan struktur naskah meliputi tema, tokoh, dan penokohan, alur,

latar cerita, dan gaya bahasa.

b. Analisis dalam penelitian ini menggunakan tinjauan ilmu sosiologi sastra.

Analisis ini dilakukan dengan membaca dan memahami buku yang

berkaitan dengan penelitian dan mengumpulkan berbagai teks yang

berkaitan dengan Orde Baru kemudian menganalisisnya sesuai rumusan

yakni kritik sosial dalam naskah drama Cannibalogy karya Benjon.

c. Mengimplikasikan naskah drama Cannibalogy karya Benjon dalam

pembelajaran sastra di SMA dilakukan dengan cara menghubungkannya

(21)

10 

1. Pengertian Kritik Sosial

Pengertian ‘kritik’ berasal dari kata krites (Yunani Kuno) yang berarti

‘hakim’. Krites sendiri semula berasal dari kata krinein ‘menghakimi’.

Pengertian kritik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah

“kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan

baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat dan sebagainya.1 Kata sosial

dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti ‘berkenaan dengan

masyarakat, suka memperhatikan kepentingan umum.’2 Dari definisi kritik

dan sosial yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud

kritik sosial adalah pandangan atau tanggapan yang berisi komentar atau

kecaman terhadap fenomena sosial yang menyimpang.

Adanya pengaruh masyarakat terhadap hasil karya seorang pengarang

akan memunculkan kritik terhadap ketimpangan yang terjadi dalam

lingkungan masyarakat. Karya sastra yang mengandung kritik sosial lahir di

masyarakat akibat keresahan dan kekritisan pengarang akibat terjadinya

peristiwa yang tidak semestinya di kehidupan sosial masyarakat. Kritik sosial

tidak hanya bersifat mengecam, mencela, tetapi juga berisi tanggapan, serta

inovasi sosial sehingga tercapai sebuah harmonisasi sosial.

Kritik dapat disampaikan baik secara langsung maupun tidak

langsung. Media yang tersedia untuk menyampaikan kritik juga cukup

beragam. Karya sastra merupakan salah satu media untuk menyampaikan

kritik sosial secara tidak langsung. Kritik sosial banyak dijumpai dalam karya

sastra sebagai gambaran realita sosial.

      

1

Tim Balai Pustaka, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), ed , cet 3ibid, h. 601

2

(22)

Kritik sosial adalah salah satu bentuk komunikasi dalam masyarakat

yang bertujuan atau berfungsi sebagai kontrol terhadap jalannya sebuah sistem

sosial atau proses bermasyarakat. Dalam konteks inilah, kritik sosial

merupakan salah satu variabel penting dalam memelihara sistem sosial.

Berbagai tindakan sosial ataupun individual yang menyimpang dari orde

sosial maupun orde nilai moral dalam masyarakat dapat dicegah dengan

memfungsikan kritik sosial. Dengan kata lain, kritik sosial dalam hal ini

berfungsi sebagai wahana untuk konservasi dan reproduksi sebuah sistem

sosial atau masyarakat.3

Kritik sosial juga dapat berarti sebuah inovasi sosial. Artinya, kritik

sosial menjadi sarana komunikasi gagasan-gagasan barusembari menilai

gagasan-gagasan lama untuk suatu perubahan sosial. Kritik sosial dalam

kerangka yang demikian berfungsi untuk membongkar berbagi sikap

konservatif, status quo, dan vested interest dalam masyarakat untuk perubahan

sosial.4 Perspektif kritik sosial yang demikian lebih banyak dianut oleh kaum

kritis dan strukturalis. Mereka melihat bahwa kritik sosial adalah wahana

komunikatif untuk suatu tujuan perubahan sosial.5

Kritik sosial dapat dipahami sebagai suatu ide atau gagasan yang

bertolak belakang atau berfungsi sebagai diapoda dari kenyataan maupun

berbagai bentuk keadaan yang tidak sesuai dengan tujuan dan harapan.

Akhmad Zaini Abar dalam Mahfud M.D mengemukakan bahwa, “kritik sosial

adalah suatu bentuk komunikasi dalam masyarakat yang bertujuan atau

berfungsi sebagai kontrol jalannya sebuah sistem sosial atau proses

bermasyarakat”. Zaini juga mengatakan bahwa “berbagai tindakan sosial

atupun individual yang menyimpang dari kaidah umum dapat dihindari

      

3

Akhmad Zaini Abar, “Kritik Sosial, Pers, dan Politik Indonesia” dalam Moh. Mahfud MD, dkk (editor), Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan (Yogyakarta: UII Press, 1999), Cet. 2, h. 47.

4

Ibid, h. 49.

5

(23)

maupun dicegah dengan cara memfungsikan kritik sosial”.6 Dengan kata lain,

kritik sosial dalam pandangan ini berfungsi sebagai wahana untuk mencegah

hal-hal menyimpang yang terjadi di lingkungan sosial atau masyarakat, selain

itu kritik sosial juga tampil sebagai penetral keadaan agar keadaan tetap

tentram dan terjaga.

2. Kritik Sosial, Protes Sosial, dan Kreativitas

Kritik sosial dapat dipahami sebagai instrumen yang mengoreksi

kekuasaan dengan menciptakan suatu integritas.7 Sehingga kritik sosial tidak

selalu diartikan sebagai suatu disintegrasi, melainkan mampu memberikan

kontribusi terhadap harmoni sosial. Harmoni sosial atau stabilitasi di sini

dianggap sebagai garis tengah atau keseimbangan yang berdiri di

tengah-tengah konflik yang ada. Pada titik inilah dapat dilihat suatu ketegasan bahwa

kritik sosial harus berfungsi sebagai sistem kontrol.

Berbicara mengenai kritik sosial, maka erat hubungannya dengan

protes sosial dan kreativitas, terutama jika dikaitkan dengan karya sastra.

Seperti yang dipaparkan Saini K. M mengenai hubungan antara protes sosial

dan kreativitas. Pertama, terdapat dua unsur yang menghasilkan kreativitas,

yaitu kesadaran manusia dan realitas. Kesadaran manusia dapat berupa

kepekaan pikiran maupun hasratnya. Realitas dapat berupa rangsangan,

sentuhan-sentuhan, serta masalah-masalah yang melibatkan dan menjadi

pemicu kesadaran manusia.8 Kedua, melalui keterarahan dapat melahirkan

kreativitas bila diungkapkan dengan usaha sadar. Usaha sadar tersebut hanya

dapat terjadi setelah melakukan penetapan (identifikasi) tantangan-tantangan

yang ditemukan dalam realitas. Saini membagi realitas menjadi empat bagian,

      

6

Moh. Mahfud MD, dkk, Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan, (Yogyakarta : UI Press, 1997), h. 47.

7

Ibid, h. 25

8

(24)

antara lain realitas fisik, realitas sosial, realitas psikis, dan realitas metafisik.

Letak protes sosial berada pada lingkungan sosial (realitas sosial) yang terdiri

atas hubungan antara individu dengan individu lain atau jangkauan yang lebih

luas mencakup masyarakat. Tetapi, tidak berhenti pada realitas sosial belaka

untuk membuat karya sastra yang bermutu.

Pada prosesnya, penciptaan karya sastra tidak berlangsung dalam

kondisi tekanan dari pihak lain ataupun atas ideologi tertentu. Kejujuran

dalam berkreativitas ditunjukkan melalui karya sastra. Maka dari itu, untuk

melihat kejujuran tersebut, Saini mengutip istilah yang digunakan oleh T. S.

Elliot, Yaitu objective-correlative. Maksud dari istilah tersebut adalah,

“pengalaman (sejati) yang semula merupakan milik seseorang, kalau orang itu

sastrawan kreatif, maka ia akan mengolah pengalaman itu sedemikian rupa

sehingga menjadi pengalaman yang bersifat objective-correlative.9

3. Kritik Sosial dalam Sastra

Damono memaparkan bahwa karya sastra dapat menampilkan

gambaran kehidupan masyarakat. Berbagai hal atau peristiwa dalam

masyarakat dapat mempengaruhi pikiran pengarang atau mengendap dalam

pikirannya sehingga lahirlah sebuah karya. Sastra dengan ini berarti tidak

dapat dipisahkan dari masyarakat. Dalam karya sastra tercermin gambaran

tentang struktur sosial, hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas, dan

lain-lain.10

Berkat kemampuan dan kepekaannya, seorang sastrawan dapat

menghasilkan karya yang bermanfaat bagi masyarakat. Jadi selain sebagai alat

yang menghibur, suatu karya dapat memberikan manfaat bagi masyarakat,

      

9

Ibid., h. 2.

10

(25)

antara lain menuliskan kritik terhadap masyarakat. Banyak karya sastra yang

bernilai tinggi yang di dalamnya menampilkan pesan-pesan kritik sosial.11

Sementara itu, Sikana memaparkan bahwa karya sastra merupakan

sebuah cerminan masyarakat, sebuah dokumentasi sosial, dan sebuah wadah

bagi protes sosial.12 Pada bagian lain dikatakannya pula bahwa teks sastra

dapat dianalisis dalam kaitannya dengan isu politik, ekonomi, budaya, dan

aspek-aspek lainnya yang membangun masyarakat.13 Sikana menjabarkan

hal-hal yang bisa digali dalam sebuah karya sastra jika sebuah penelitian

menggunakan pendekatan sosiologi sastra, seperti ekonomi, isu politik, dan

budaya. Menuangkan kritik sosial dalam bentuk karya sastra adalah salah satu

bentuk penyampaian kritik sosial secara tidak langsung terhadap kondisi

sosial yang sedang terjadi. Pengarang menyuarakan tanggapannya yang

berbentuk kritik sosial dan mewakili masyarakat untuk mengemukakan

keluhan dan harapan masyarakat. Keluhan dan harapan terjadi karena realitas

sosial berada pada ketidaksesuaian dari apa yang diharapkan sehingga

memunculkan kritik sosial yang dikemukakan melalui berbagai media yang

salah satunya adalah karya sastra. 14

4. Kritik Sastra

William Flint Thrall dan Addison Hibbard dalam Atar Semi

mengemukakan bahwa kritik merupakan keterangan, kebenaran analisis atau

judgment suatu karya sastra. Selanjutnya dikatakan, bahwa ada beberapa cara

mengklasifikasikan kritik, yang lazim di antaranya adalah mimetik, pragmatik,

ekspresif, dan objektif. Salah satu dikotomi umum kritik ialah aliran

      

11

Op., cit. Nurgiyantoro, h. 330

12

Mana Sikana, Kritikan Sastra Melayu Modern. (Singapura: Pustaka Karya, 2006), h. 400.

13

ibid., h. 404.

14

(26)

Aristotelian versus Platonic. Aristotelian menganggap kritik bersifat formal,

logis, dan yudisial yang cenderung mengemukakan nilai-nilai karya pada diri

suatu karya sastra atau hal-hal yang berhubungan dengan karya itu sendiri.

Platonic mengarah kepada pandangan moral dan kegunaan (manfaat) suatu

karya seni, di mana nilai suatu karya diperoleh pada kegunaan untuk yang lain

dan tujuan-tujuan non seni. Jadi, pada pokoknya apa yang dimaksudkan

dengan dikotomi Aristotelian Platonic ialah pemisahan intrinsik dengan

ekstrinsik.

Definisi lain mengenai kritik sastra dikatakan oleh Andra Harjana

sebagai hasil usaha pembaca dalam mencari dan menentukan nilai hakiki

karya sastra lewat pemahaman dan penafsiran semantik yang dinyatakan

dalam bentuk tertulis.15

Dari beberapa pemaparan di atas, secara singkat dapat dijelaskan

bahwa kritik sastra adalah telaah yang objektif dan ilmiah tentang masyarakat

dalam karya sastra. Dalam kritik sastra, dapat diketahui nilai-nilai pada suatu

karya sastra serta hal-hal yang berhubungan dengan karya itu sendiri.

5. Jenis-jenis Kritik Sosial

Kritik sosial yang menjadi perhatian peneliti dalam penelitian ini

meliputi beberapa aspek, yakni kritik sosial masalah politik, sosial-budaya,

moral, dan kemanusiaan.

a. Kritik Sosial Masalah Politik

Sumaadmaja mengemukakan bahwa manusia adalah makhluk

berpolitik karena manusia mempunyai kemampuan untuk mengatur

kesejahteraan, keamanan, dan pemerintahan di dalam kelompoknya. Manusia

adalah makhluk yang dapat mengatur pemerintahan dan negaranya.16 Dalam

usaha mengatur pemerintahannya, manusia harus menjalankan suatu

      

15

Atar Semi, Kritik Sastra, (Bandung: Angkasa, 2013), h. 5.

16

(27)

mekanisme yang sesuai sehingga tidak terjadi ketimpangan-ketimpangan yang

akan merugikan masyarakat.

Mahfud dalam bukunya yang berjudul “ Politik Hukum di Indonesia”

membagi dua hal mengenai susunan kekuatan politik secara dikotomis.17

1) Konfigurasi politik demokratis adalah susunan sisem politik yang

membuka peluang bagi partisipasi rakyat secara penuh untuk ikut aktif

menentukan kebijakan umum. Partisipasi ini ditentukan atas dasar

mayoritas oleh wakil-wakil rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala

yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam

suasana terjadinya kebebasan politik.

2) Konfigurasi politik otoriter adalah susunan sistem politik yang lebih

memungkinkan negara berperan sangat aktif serta mengambil hampir

seluruh inisiatif dalam pembuatan kebijaksanaan negara. Konfigurasi ini

ditandai oleh dorongan elite kekuasaan untuk melaksanakan persatuan,

penghapusan oposisi terbuka, dominasi pimpinan negara untuk

menentukan kebijaksanaan negara dan dominasi kekuatan politik oleh

elite politik yang kekal, serta dibalik semua itu ada satu doktrin yang

membenarkan konsentrasi kekuasaan.

Mekanisme lain yang harus dijalankan dalam pemerintahan adalah

kekuasaan (power). Kekuasaan adalah kemampuan untuk mengendalikan

orang lain, dalam hal ini kekuasaan memiliki unsur yang tidak dimiliki oleh

pengaruh, yaitu kemampuan untuk memadamkan perlawanan dan menjamin

tercapainya keinginan penguasa itu.

Aspek terakhir yang dalam mekanisme politik adalah kekuasaan

(authority). Kekuasaan dapat diartikan sebagai kemampuan untuk

menggunakan kekerasan. Kekuasaan dapat melawan keinginan orang dan

      

17

(28)

membuatnya patuh pada peraturan atau kebijakan yang dtetapkan penguasa

pemerintahan, walaupun dengan menggunakan jalan-jalan kekerasan.

Kritik sosial masalah politik berkaitan dengan masalah kekuasaan

(power), pengam bilan keputusan (decision making), kebijakan politik (public

policy), dan alokasi atau distribusi (allocation or distribution).18

b. Kritik Sosial Masalah Sosial-Budaya

Masalah sosial budaya adalah peristiwa atau kejadian yang timbul

akibat interaksi sosial dalam kelompok masyarakat atau antara kelompok

masyarakat guna memenuhi suatu kepentingan hidup, yang dianggap

merugikan salah satu pihak atau masyarakat secara keseluruhan. Masalah

tersebut bersumber pada perbedaan sosial budaya yang dianggap merugikan

kepentingan pihak lain, sehingga dapat memicu terjadinya konflik. Dengan

demikian moral selalu menunjukkan baik buruknya perbuatan atau tingkah

laku manusia sebagai manusia. Tolok ukur untuk menilai baik buruknya

tingkah laku manusia disebut norma. Prinsip moral yang amat penting adalah

melakukan yang baik dan menolak yang buruk.

Abdulkadir memaparkan bahwa manusia merupakan makhluk sosial

artinya manusia sebagai individu tidak akan mampu hidup sendiri dan

berkembang sempurna tanpa hidup bersama dengan individu manusia yang

lain. Manusia harus hidup bermasyarakat, artinya saling berhubungan dan

berinteraksi satu sama lain dalam kelompoknya dan juga dengan individu di

luar kelompoknya guna memperjuangkan dan memenuhi kepentingannya.19

Warga masyarakat menyatukan diri dalam tipe kelompok sosial

budaya berdasarkan kesatuan tempat dan ikatan alamiah. Alasan pertama

karena mata pencaharian yang sama, sehingga penerapan asas gotong royong

dan tolong menolong lebih efektif dan efisien. Kedua adalah keturunan (etnis)

      

18

Ibid., h. 31.

19

(29)

yang sama, budaya yang sama yang mengikat mereka, sehingga berkembang

rasa solidaritas kelompok untuk hidup bersama dan saling melindungi di

tempat yang sama.20

Sikap sosial yang secara moral dapat dinilai buruk yaitu, misalnya

sikap radikal, sikap membenci golongan yang dianggap menindas orang kecil,

sikap acuh tidak acuh atau masa bodoh, sikap kasihan. Sikap-sikap macam ini

tidak dapat dipertanggungjawabkan, maka layak dihindari. Jadi kritik sosial

masalah moral adalah kritik yang ditujukan kepada sikap atau perbuatan

manusia, apakah sesuai dengan norma atau hukum yang berlaku.

c. Kritik Sosial Masalah Kemanusiaan

Manusia adalah makhluk cipataan Tuhan yang paling sempurna.

Kesempurnaan itu dibuktikan oleh akal, perasaan, dan kehendak yang

membedakannya dengan makhluk lain. Karena kesempurnaan itu, manusia

mempunyai nilai yang sama di mana saja. Manusia yang bernilai adalah

manusia yang selalu mengarahkan setiap tingkah laku dan perbuatannya

pada kebenaran, kebaikan, dan kemanfaatan bagi semua manusia.21

Lebih lanjut mengenai berbagai aspek kehidupan manusia yang

dapat dikategorikan menjadi 2 ungkapan, yaitu ungkapan aspek kehidupan

manusiawi dan ungkapan aspek kehidupan tidak manusiawi. Aspek

kehidupan manusiawi diungkapkan sesuai dengan nilai budaya sebagai

pandangan hidup, melalui sikap dan perbuatan yang saling menyayangi,

melindungi, menghargai, menguntungkan, menyenangkan dan

membahagiakan yang dirasakan sebagai keindahan hidup. Aspek kehidupan

tidak manusiawi diungkapkan melalui sikap dan perbuatan yang merugikan,

menggelisahkan dan menjadikan manusia menderita karena dirasakan tidak

adil, tidak bertanggung jawab, jelek dan jahat.22

      

20

Ibid., h. 45.

21

Ibid., h. 11.

22

(30)

Dalam realita, ada pula yang menanggapi manusia lain serta

lingkungan hidupnya secara tidak manusiawi, mengabaikan nilai manusia

lain guna memenuhi kepentingannya sendiri. Bertindak kasar,

sewenang-wenang, menyakiti, membuat orang menderita, bahkan dimusnahkan.

Dengan demikian, kritik sosial mengenai masalah kemanusiaan ditujukan

terhadap tindakan-tindakan seseorang atau sekelompok orang yang

menyakiti secara fisik kepada orang lainnya, bertindak tidak manusiawi

yang merugikan dan menyengsarakan orang lain.

B.

Hakikat Sosiologi Sastra

1. Pengertian Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif.

Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai

cermin kehidupan masyarakat. Arenanya asumsi dasar penelitian sosiologi

sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial

akan menjadi picu lahirnya karya sastra. Karya sastra yang berhasil atau sukses

yaitu yang mampu merefleksikan zamannya.23

Secara singkat dapat dijelaskan bahwa sosiologi adalah telaah yang

objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat; telaah tentang lembaga

dan proses sosial. Sosiologi mencari tahu bagaimana masyarakat

dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung, dan bagaimana ia tetap ada dengan

mempelajari lembaga-lembaga sosial dan segala masalah perekonomian,

keagamaan, politik, dan lain-lain yang kesemuanya itu merupakan struktur

sosial- kita mendapatkan gambaran tentang cara-cara manusia menyesuaikan

diri dengan lingkungaannya, tentang mekanisme sosialisasi, proses

      

23

(31)

pembudayaan yang menempatkan anggota masyarakat ditempatnya

masing-masing.24

Sesungguhnya antara sosiologi dan sastra merupakan dua ilmu yang

memiliki objek yang sama, yaitu manusia dan masyarakat.25 Hakikat sosiologi

adalah objektivitas, sedangkan hakikat karya sastra adalah objektivitas dan

kreativitas sesuai dengan pandangan pengarang. Jadi, dasar pemikiran yang

mengitari konsep sosiologi sastra adalah keterkaitan sastra dengan masyarakat.

Munculnya sebuah karya sastra merupakan gambaran dari masyarakat

itu sendiri, sebab sastra merupakan refleksi hubungan seseorang dengan orang

lain atau masyarakat.26 Dalam konteks ini, sastra bukanlah sesuatu yang

otonom, berdiri sendiri, melainkan sesuatu yang terikat erat dengan situasi dan

kondisi lingkungan tempat karya itu dilahirkan.27

Untuk meneliti sebuah karya sastra, dalam penelitian ini khususnya

drama sangat berkaitan dengan masyarakat, sehingga untuk memaparkan

gejala sosial dan segala persoalannya dibutuhkan pendekatan sosiologi.

Dengan demikian, penelitian sosiologi sastra, baik dalam bentuk penelitian

ilmiah maupun praktis, dilakukan dengan cara mendeskripsikan, memahami,

dan menjelaskan unsur-unsur karya sastra dalam kaitannya dengan

perubahan-perubahan sosial yang terjadi disekitarnya.28

Karya sastra adalah sebuah struktur tanda yang bermakna. Di samping

itu, karya sastra adalah karya yang ditulis oleh pengarang. Pengarang tidak

terlepas dari sejarah sastra dan latar belakang sosial budayanya. Maka semua

itu tercermin dalam karya sastra.

      

24

Sapadi Joko Damono, Sosiologi Sastra, Sebuah Pengantar Ringkas, (Jakarta, Pusat Pembinaan dan Pengenmbangan Bahasa, 1979), h. 7.

25

Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2009), h. 2.

26

Rachmat Djoko Pradopo,dkk, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Hanindita Graha Widya, 2002),h.151.

27

Pradopo. Loc.cit. 28

(32)

Hill dan Pradopo berpendapat bahwa karya sastra adalah sebuah

struktur yang kompleks, oleh karena itu untuk memahaminya haruslahkan

karya sastra dianalisis.29 Sedangkan Goldman dan Faruk mengemukakan dua

pendapat mengenai karya sastra pada umumnya yaitu, (1) bahwa karya sastra

merupakan ekspresi pandangan dunia secara imajiner, dan (2) bahwa dalam

usahanya mengekspresikan pandangan dunia itu, pengarang menciptakan

semesta tokoh, objektif, dan relasi secara imajiner.30

Dengan demikian, dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa

sosiologi sastra adalah salah satu pendekatan untuk mengurai karya sastra

yang mengupas masalah hubungan antara pengarang dengan masyarakat, hasil

berupa karya sastra dengan masyarakat, dan hubungan pengaruh karya sastra

terhadap pembaca. Konsep tersebut menandai bahwa sosiologi sastra akan

meneliti sastra sebagai ungkapan historis, ekspresi suatu waktu, sebagai

sebuah cermin, serta memuat aspek sosial budaya yang memiliki fungsi sosial

berharga yakni aspek fungsi sosial sastra berkaitan dengan cara manusia hidup

bermasyarakat.

C.

Hakikat Drama

Drama adalah bentuk karya sastra yang bertujuan menggambarkan

kehidupan dengan menyampaikan pertikaian dan emosi melalui lakuan dan

dialog. Lakuan dan dialog dalam drama tidak jauh berbeda dengan lakuan dan

dialog yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.31

Berbicara tentang drama, terdapat dua aspek yang perlu di pahami dan

dipisahkan. Yang pertama ialah aspek penulisan naskah dan kedua aspek

      

29

Rachmat Djoko Pradopo, op. cit., h. 108.

30

Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), h.71.

31

(33)

pementasan. Meskipun keduanya berbeda, namun terdapat ikatan hubungan yang

sangat erat.

1. Pengertian Drama

Sebagai sebuah bentuk karya sastra, penyajian drama berbeda dengan

bentuk kesusastraan lainnya, cerpen dan novel misalnya. Pada novel dan

cerpen masing-masing menceritakan kisah yang melibatkan tokoh-tokoh

melalui kombinasi antara narasi dan sedikit dialog, sedangkan sebuah drama

pada hakikatnya terdiri atas dialog dan sedikit prolog.

Dalam Suyadi San, drama (Yunani Kuno : δramoy) adalah satu bentuk

karya sastra yang memiliki bagian untuk diperankan oleh aktor. Kosa kata ini

berasal dari Bahasa Yunani yang berarti “aksi”, “perbuatan”.32 Dalam bahasa

Inggris disebut drama, dan dalam bahasa Perancis disebut drama yang berarti

perbuatan atau tindakan. Berdasarkan kenyataan ini, memang drama sebagai

pengertian lebih difokuskan kepada dimensi pertunjukannya.

Ferdinan Brunetire dan Balthazar Verhagen dalam Hasanuddin

berpendapat bahwa drama adalah kesenian yang melukiskan sifat dan sikap

manusia dan harus melahirkan kehendak manusia dengan action dan perilaku.

Sedangkan pengertian drama menurut Moulton adalah hidup yang dilukiskan

dengan gerak, drama adalah menyaksikan kehidupan manusia yang

diekspresikan secara langsung.33

Pementasan sebuah drama akan memudahkan penikmat sastra untuk

memahami drama, karena penikmat akan lebih mudah mengerti dan

memahami dialog yang diucapkan dengan intonasi dan artikulasi yang sesuai

jika dibandingkan dengan membaca dialog-dialog pada naskah drama secara

langsung. Dengan dialog, akan terlihat penokohan, permasalahan dan

      

32

Suyadi San, Drama Konsep Teori dan Kajian, (Medan: CV. Partama Mitra Sari, 2013), h. 5.

33

(34)

peristiwa yang hendak dikemukakan oleh pengarangnya. Akan tetapi, jika

pemahaman tersebut terus dipaksakan dan berorientasi dengan pengertian

seperti di atas, drama akan kehilangan dimensi sastranya, dan hanya akan

menonjol dari seni pertunjukannya saja.

2. Naskah Drama

Kata naskah berasal dari bahasa Inggris manuscript dan bahasa

Perancis manuscrit yang berarti karangan yang ditulis tangan atau diketik,

yang dipergunakan sebagai dasar untuk mencetaknya.34 Jadi, naskah dapat

dikatakan sebagai karangan yang tertulis. Sedangkan drama, seperti yang telah

dijelaskan, merupakan karya sastra dalam bentuk dialog dan juga merupakan

seni pertunjukan.

Sebagai genre sastra, drama mempunyai unsur cerita yang ditulis

seorang pengarang dalam bentuk dialog. Pengarang naskah drama

menggunakan bahasa sebagai sarana untuk menyalurkan kreativitas dan

imajinasinya yang dibentuk dalam dialog dan petunjuk pemanggungan.

Dialog merupakan pemikiran tokoh yang ditampilkan dalam bentuk perkataan

atau ujaran, sedangkan petunjuk pemanggungan merupakan tuntunan bagi

pengaturan tingkah laku pemain.35

Sebagai genre sastra, secara umum dapat dikatakan drama mendekati,

atau bahkan dapat diidentikan dengan fiksi. Biasanya rumusan tentang

keidentikan ini diperoleh dari penelusuran tentang bagaimana unsur cerita

atau peristiwa dihadirkan oleh pengarang. Dalam fiksi dapat ditemukan

pemaparan tersebut tentang suatu peristiwa atau tentang seseorang.

Pemeranan tersebut dilakukan sedemikian rupa sehingga seolah-olah terjadi.

Tokoh atau seseorang yang dipaparkan seolah-olah benar ada dan pernah ada,

      

34

Ibid., h. 532.

35

(35)

atau akan ada nantinya. Padahal peristiwa hanya ada dalam imajinasi dan

pikiran pengarang semata. Tentu saja harus diingat bahwa pemaparan ini tidak

mungkin terus imajinasi, karena jika terus saja imajinasi, fiksi tidak pula bisa

dipahami. Unsur-unsur yang semacam ini – yang biasa dikenal dengan istilah

fiksionalitas – di dalam drama.36 Namun dengan terbentuknya cerita melalui

dialog-dialog antar tokoh membuat naskah drama berbeda dengan genre sastra

lainnya. Puisi tersusun dari rangkaian kata yang bermakna dan sifatnya

simbolik, sedangkan cerita fiksi seperti cerpen dan novel disusun dengan

menarasikan cerita yang ditulis oleh pengarang.

3. Unsur Intrinsik Drama

Di dalam drama tidak ditemukan adanya unsur pencerita, sebagaimana

terdapat di dalam fiksi. Alur di dalam drama lebih dapat ditelusuri melalui

motif yang merupakan alasan utama munculnya suatu peristiwa. Motif di

dalam drama menjadi penting, karena aspek ini sudah menjadi perhatian

pengarang sewaktu karya drama ditulis.37

Sebagai suatu genre sastra, drama mempunyai kekhususan dibanding

dengan genre sastra yang lain. Jika dibandingkan dengan karya fiksi yang lain,

maka unsur intrinsik dalam drama dikatakan kurang sempurna. Namun begitu,

tidaklah berarti bahwa dengan hilangnya unsur pemaparan dan pembeberan,

drama menjadi karya yang terbatas sama sekali. Justru pada aspek ini jugalah

letak kekuatan karya drama.38 Dalam bukunya, Hasanuddin menyebutkan

naskah drama terdiri atas :

      

36

Hasanuddin, op. cit., h. 58.

37

Ibid., h. 75.

38

(36)

a. Penokohan dan Perwatakan

Dalam drama (kecuali monolog) tidak hanya ada seorang tokoh

yang bergerak tanpa hubungan dengan tokoh lain. Tokoh dalam drama

tersebut berdialog dengan tokoh lain, bertatap muka dan berkonflik antara

satu sama lain, saling berinteraksi dan komunikasi hingga menimbulkan

konflik.

Dalam Suyadi San, terdapat istilah yang lazim digunakan yakni

penokohan dan teknik penokohan. Penokohan merujuk kepada proses

penampilan tokoh yang berfungsi sebagai pembawa peran watak tokoh

cerita dalam drama. Sedangkan teknik penokohan adalah teknik yang

digunakan penulis naskah lakon, sutradara, atau pemain dalam penampilan

atau penempatan tokoh-tokoh wataknya dalam cerita.

Teknik penokohan dilakukan dalam rangka menciptakan citra

tokoh cerita yang hidup dan berkarakter. Watak tokoh cerita dapat

diungkapkan melalui salah satu teknik berikut : 1. Apa yang dipikirkan,

dirasakan, atau dikehendaki tentang dirinya atau tentang diri orang lain, 2.

Lakuan, tindakan, 3. Cakapan, ucapan, ujaran, 4. Kehendak, perasaan,

pikiran, 5. Penampilan fisik.

Penokohan, gerak, dan cakapan adalah tiga komponen utama yang

menjadi dasar terjadinya konflik (tikaian) dalam drama. Pada hakikatnya

konflik (tikaian) merupakan unsur intrinsik yang harus ada dalam sebuah

drama.

Dalam Suyadi San terdapat empat cara membangun pola

penokohan naskah drama. Pertama, tiap tokoh mempunyai nama.

Nama-nama tokoh tidak di susun secara serta merta oleh pengarang. Tentu

[image:36.612.121.532.136.663.2]

memiliki alasan dan latar belakang. Ini, tentu penamaan saja akan menjadi

gambaran perwatakan sang tokoh. 39

      

39

(37)

Pola penokohan yang pertama ini tentu akan membantu pembaca

ataupun aktor dalam mengetahui watak, dialek, serta kebiasaan yang

dilakukan oleh tokoh dalam naskah. Sebagai contoh tokoh Mas Ageng

dalam naskah Cannibalogy karya BenJon. Tentu ada maksud serta makna

di balik nama tersebut. Dari namanya akan terlihat Mas Ageng berasal

dari tanah Jawa dan memiliki kedudukan yang dihormati.

Tidak jauh berbeda halnya dengan Suyadi San, Hasanuddin. WS

mengatakan dalam penokohan terbentuk hal-hal yang berkaitan dengan

penamaan, keadaan fisik tokoh, keadaan sosial tokoh, serta karakter tokoh.

Hal-hal yang termasuk di dalam permasalahan penokohan ini saling

berhubungan dalam upaya membangun permasalahan-permasalahan atau

konflik-konflik kemanusiaan yang merupakan persyaratan utama drama.

Bahkan di dalam unsur drama, penokohan merupakan aspek penting,

selain aspek ini aspek-aspek lain di dalam drama dimungkinkan

berkembang, unsur penokohan di dalam drama terkesan lebih tegas dan

jelas pengungkapannya dibandingkan dengan fiksi.40

Pemilihan aspek penamaan untuk tokoh diniatkan sejak semula

oleh pengarang untuk mewakili permasalahan dan konflik yang hendak

dikemukakan. Oleh sebab itu, dalam upaya penemuan permasalahan

drama, pembaca perlu mempertimbangkan unsur penamaan tokoh.

Setidak-tidaknya yang harus disadari pembaca adalah faktor nama

merupakan suatu subsistem yang lebih besar. Nama di dalam drama dapat

menimbulkan persepsi dan resepsi tertentu.41

Kedua, pemeranan. Tokoh-tokoh yang dihadirkan pengarang,

untuk dapat membangun persoalan dan menciptakan konflik-konflik,

biasanya melalui peran-peran tertentu yang harus mereka lakukan. Jarang

tokoh memiliki peran tunggal, kebanyakan multi peran. Jumlah peran

      

40

Hasanuddin, op.cit., h. 76.

41

(38)

yang harus diemban tokoh biasanya tergantung dengan interaksi sosial

yang dijalaninya. Perubahan lawan interaksi sosial akan menyebabkan

berubahnya peran seorang tokoh. Setiap peran umumnya selalu hadir

berpasangan dengan peran seorang tokoh. Setiap peran umumnya selalu

hadir berpasangan dengan peran lain dalam bentuk suatu permasalahan

atau konflik. Setiap konflik atau permasalahan dapat saja muncul atau

dibentuk oleh beberapa peran dari beberapa tokoh. Namun, beberapa

peran itu tetap hadir dalam dua kelompok peran yang berpasangan.42

Mengenai hal ini, Robert Sholes dalam Hasanuddin merumuskan

enam kedudukan peran tokoh di dalam drama. Keenam kedudukan peran

inilah yang membangun cerita dan membentuk konflik. Kedudukan enam

peran itu adalah :

a) Peran Lion, yaitu tokoh-tokoh yang dikategorikan sebagai

pembawa ide. Disebut juga tokoh protagonis. Biasanya memerjuangkan

sesuatu, yang mungkin berupa kebenaran, kekuasaan, perdamaian,

cinta, atau juga wanita. Di dalam perjalanannya kerap kali tokoh Lion

mendapat hambatan dan tantangan.

Sebagai contoh dalam naskah Cannibalogy yang merupakan

peran Lion ialah Suman. Suman digambarkan sebagai tokoh pejuang

yang sedang merebut tanah Mojokuto dari tangan penjajah, serta

berjuang untuk membebaskan Sun dari Mars.

b) Peran Mars, yaitu tokoh yang menentang dan

menghalang-halangi perjuangan Lion. Biasanya berkeinginan untuk mendapatkan

apa yang diinginkan peran Lion. Sering juga di sebut dengan tokoh

antagonis.

      

42

(39)

Sebagai contoh dalam naskah Cannibalogy yang merupakan

peran Mars ialah Suhar. Suhar berkeinginan untuk menguasai dan

merampas tanah Mojokuto dan berambisi untuk menikahi Sun.

c) Peran Sun, tokoh atau apapun yang menjadi sasran perjuangan

Lion dan juga yang ingin didapatkan Mars. Merupakan apa yang

diinginkan dan diperjuangkan oleh Lion dan Mars.

Dalam naskah Cannibalogy Sun diperankan oleh Sinta Salim

dan Tanah Mojokuto, karena kedua hal tersebut yang sedang di

perjuangkan oleh peran Lion dan Mars.

d) Peran Earth, yaitu peran atau tokoh apapun yang menerima

hasil perjuangan Lion atau Mars. Jika Lion berjuang untuk dirinya

sendiri, maka Lion dapat berperan sebagai Earth. Begitu juga Mars,

jika ia berjuang untuk dirinya sendiri maka sekaligus sebagi Earth.

Dalam naskah Cannibalogy yang berperan sebagai Earth ialah rakyat

Mojokuto, hal tersebut dikarenakan dalam naskah Cannibalogy peran

Lion berusaha untuk merenggut tanah Mojokuto dari jajahan Olanda.

e) Peran Scale, yaitu peran yang menghakimi, memutuskan,

menengahi, atau juga menyelesaikan konflik dan permasalahan yang

terjadi dalam drama. Biasanya pertengahan antara Lion dan Mars.

Dalam naskah Cannibalogy yang merupakan peran Scale ialah Mas

Ageng Rais. Mas Ageng merupakan sosok penguasa dalam naskah ini

yang berhak memberikan keputusan layaknya hakim.

f) Peran Moon, yaitu peran yang bertugas sebagai penolong. Bisa

saja Moon menolong Lion, namun ada juga yang mungkin bertugas

menolong Mars. Di dalam kondisinya akan muncul banyak variasi

peran. Tidak menutup kemungkinan peran Moon yang membatu Sun,

Earth, dan Scale.43 Dalam naskah Cannibalogi Peran Moon dapat

      

43

(40)

digambarkan pada sosok Landless yang memuluskan jalan Suhar

menuju kekuasaan.

Ketiga, sistem perwatakan. Tokoh watak atau karakter dalam

drama adalah bahan baku yang paling aktif dan dinamis sebagai

penggerak alur cerita. Para tokoh dalam drama tidak hanya berfungsi

sebagai penjamin bergeraknya semua peristiwa cerita, tetapi juga

berfungsi sebagai pembentuk dan pencipta alur cerita.

Keempat, tindakan. Dalam menjalankan peran dan perwatakannya,

tokoh cerita pada drama dapat diwujudkan dalam bentuk tiga dimensi,

meliputi: 1. Dimensi fisiologi, yakni ciri-ciri fisik yang bersifat badani

atau ragawi, seperti usia, jenis kelamin, keadaan tubuh, ciri wajah, dan

ciri-ciri fisik lainnya. 2. Dimensi psikologi, yakni ciri-ciri jiwani atau

rohanni, seperti mentalitas, tempramen, cipta, rasa, krasa, IQ, sikap

pribadi, dan tingkah laku. 3. Dimensi sosiologis, yakni ciri-ciri kehidupan

sosial, seperti status sosial, pekerjaan, jabatan, jenjang pendidikan,

kehidupan pribadi, pandangan pribadi, sikap hidup, perilaku masyarakat,

agama, ideology, sistem kepercayaan, aktivitas sosial, aksi sosial, hobi

pribadi, organisasi sosial, suku bangsa, garis keturunan, dan asal usul

sosial.

Perwatakan atau penokohan juga memiliki dasar-dasar tersendiri.

Watak hendaklah bergerak bebas tanpa mendapat gangguan meski dari

penulisnya sendiri. Adalah suatu perbuatan yang kurang etis, apabila sang

dramawan masuk menyusup ke dalam diri watak. Jadilah watak itu

sebagai boneka dan dialog yang diucapkan adalah ucapan sang

dramawannya sendiri.44

      

44

(41)

Sependapat dengan Suyadi, Wahyudi Siswanto dalam bukunya

menyampaikan bentuk komunikasi dalam naskah drama secara skematik

yang diadaptasi dari Luxemburg sebagai berikut :

pengarang pembaca

Di dalam teks yang bicara adalah aktor atau pelaku, bukan

pencerita seperti halnya dalam prosa rekaan. Pengarang menyerahkan

segalanya kepada pelaku, demikian juga pembaca langsung berhadapan

dengan pelaku. Pelaku bisa bergantian peran sebagai pembicara dan

pendengar. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan adanya

hubungan tidak langsung antara pengarang dan aktor serta komunikasi

aktor dan pembaca.45

Sesuatu yang unik dalam kedudukan watak pada drama ialah

bahwa antara watak-watak dalam drama tidak harus ada persamaan atau

penerimaan. Setiap watak mempunyai posisinya tersendiri dan bergerak

menurut kemauannya sendiri. Ia tidak boleh menjadi bayang-bayang

watak yang lain. Menciptakan pelakon atau tokoh adalah mudah, tetapi

menciptakan watak teramat sukar.

Watak yang dinamis, yang berani, yang lebih bijak dari audien,

yang lebih pintar dan mempunyai unsur-unsur keuniversalan sangat

penting bagi perwatakan dalam sebuah drama. Jika terdapat watak yang

seperti ini, niscaya sebuah drama itu akan menjanjikan nilai dan mutu.

Sebaliknya watak yang statis, menyerah, kalah, dan dialognya juga lemah,

akan menjadikan drama itu tidak menarik dan menjemukan.

      

45

Wahyudi Siswanto, Pengantar Teaori Sastra, (Jakarta: PT. Grasindo, 2008).h. 163.

 

(42)

Kebulatan watak akan muncul dari sudut fisik, mental, dan

tindakannya. Audien akan mengenali mereka dari data-data tersebut. Di

samping itu gambaran-gambaran yang bercorak sosial, seperti

pekerjaannya, sosialisasinya, agamanya, politiknya, dan sebagainya akan

lebih menolong menjadikan ia watak yang bulat. Apalagi jika sifat

kejiwaan atau psikologi membantunya sehingga dapat dikemukakan

cita-citanya, perangainya, dan tindakannya; ini akan lebih menguatkan

perwatakan.46

b. Alur

Permasalahan yang terkandung dalam drama akan membangun lakon

lebih jelas dan konkret, selain dapat dibangun melalui pertemuan dua tokoh

atau sekelompok tokoh yang melakoni peran yang berbeda, dapat pula

dibangun melalui laku. Laku dapat dipahami sebagai gerakan atau tindakan

tokoh-tokoh, selanjutnya gerakan serta tindakan para tokoh dapat membentuk

atau membangun suatu peristiwa.

Dalam memahami peristiwa di dalam drama harus disadari

sepenuhnya bahwa peristiwa tidaklah terjadi begitu saja secara tiba-tiba atau

serta merta. Setiap peristiwa yang berlaku atau yang terjadi selalu mempunyai

hubungan sebab akibat. Suatu peristiwa akan terjadi jika disebabkan oleh

suatu hal atau hal yang menjadi alasan mengapa peristiwa itu terjadi.47 Oleh

sebab itu, usaha untuk memahami peristiwa di dalam drama adalah dengan

memperhatikan tindakan-tindakan dan perbuatan para tokoh.

Pada akhirnya, pembaca dapat menemukan sebuah peristiwa yang

nantinya berhubungan satu sama lain tanpa ada peristiwa yang terlepas.

Hubungan antara peristiwa dengan peristiwa yang lain disebut dengan alur

atau plot.

      

46

Suyadi San, op.cit., h.12.

47

(43)

Alur sebagai rangkaian peristiwa yang saling berhubungan secara

kausalitas akan menunjukkan kaitan sebab akibat. Jika hubungan kausalitas

peristiwa terputus, dengan peristiwa yang lain, maka dapat dikatakan bahwa

alur tersebut kurang baik. Alur yang baik adalah alur yang memiliki kausalitas

sesama peristiwa yang terdapat dalam naskah drama.

Karakteristik alur drama dikategorikan menjadi dua, yakni alur

konfensional dan non konfensional. Pengertian alur konfensional ialah dimana

peristiwa yang disajikan terlebih dahulu selalu menjadi penyebab munculnya

peristiwa yang hadir sesudahnya. Peristiwa yang muncul kemudian selalu

menjadi akibat dari peristiwa yang terjadi sebelumnya. Sedangkan yang

dimaksud dengan alur nonkonvensional adalah alur yang dibentuk

berdasarkan rangkaian peristiwa yang tidak berdasarkan runtutan sebagaimana

alur konvensional. Tidak berarti alur nonkonfensional tidak mempunyai

keteraturan. Selintas memang alur yang demikian sepertinya tidak teratur,

tetapi harus disadari bahwa dalam bentuk yang demikian teratur terbentuk di

dalamnya.48

Selain karakteristik alur drama seperti di atas, terdapat tahapan lain

yang terlihat lebih rinci, hal tersebut seperti yang dikemukakan Tasrif dalam

Nurgiantoro. Tasrif membedakan tahapan alur menjadi lima bagian. Kelima

tahapan tersebut adalah sebagai berikut:

1) Tahap Situation: Tahap penyituasian, tahap yang pertama berisi pelukisan

dan pengenalan situasi latar dan tokoh (-tokoh) cerita. Tahap ini

merupakan tahap pembukaan cerita, pemberi informasi awal, dan lain-lain

yang terutama berfungsi untuk melandastumpui cerita yang dikisahkan

pada tahap berikutnya.

2) Tahap Generating Circumstance: Tahap pemunculan konflik, masalah dan

peristiwa yang menyulut terjadinya konflik mulai dimunculkan. Jadi,

      

48

(44)

tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik, dan konflik itu sendiri

akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada

tahap selanjutnya. Tahap pertama dan kedua pada pembagian ini,

tampaknya berkesesuaian dengan tahap awal pada penahapan seperti yang

dikemukakan di atas.

3) Tahap Rising Action: Tahap peningkatan konflik, konflik yang telah

dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan

dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatik yang

menjadi inti cerita semakin mencengangkan dan menegangkan.

Konflik-konflik yang terjadi, baik internal, eksternal, ataupun keduanya,

pertentangan, benturan antarkepentingan, masalah, dan tokoh yang

mengarah ke klimaks semakin tak dapat dihindari.

4) Tahap Climax: Tahap klimaks, konflik dan atau

pertentangan-pertentangan yang terjadi, yang dilakui dan atau ditimpakan kepada para

tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan

dialami oleh tokoh (-tokoh) utama yang berperan sebagai pelaku dan

penderita terjadinya konflik utama.

5) Tahap Denouement: Tahap penyelesaian, konflik yang telah mencapai

klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Konflik-konflik

yang lain, sub-konflik, atau konflik-konflik tambahan jika ada, juga diberi

jalan keluar, cerita diakhiri. Tahapan ini berkesesuaian dengan tahap akhir

di atas. 49

Tahap-tahap pemplotan seperti di atas dapat juga digambarkan dalam

bentuk diagram. Diagram struktur yang dimaksud biasanya didasarkan pada

urutan kejadian dan atau konflik secara kronologis. Seperti yang digambarkan

oleh Jones dalam Nurgiantoro.

      

49

(45)

Klimaks

Inciting Forces +) Pemecahan

*) **)

Awal Tengah Akhir

Keterangan: *) Konflik dimunculkan dan semakin ditingkatkan

**) Konflik dan keegangan mulai dikendorkan

+) Inciting force menyaran pada hal-hal yang semakin

meningkatkan konflik sehingga akhirnya mencapai

klimaks.

Diagram di atas menggambarkan perkembangan plot yang runtut dan

kronologis. Jadi sesuai dengan tahap-tahap pemplotan yang secara teoretis

konfensional itu. 50

c. Latar dan Ruang

Latar merupakan identitas permasalahan drama sebagai karya

fiksionalitas yang secara samar diperlihatkan penokohan dan alur. Jika

permasalahan drama sudah diketahui melalui alur atau penokohan, maka latar

dan ruang memperjelas suasana tempat, serta waktu peristiwa itu berlaku.

Latar dan ruang dalam drama memperjelas pembaca untuk mengidentifikasi

permasalahan drama. Secara langsung latar berkaitan dengan penokohan dan

alur. Sehubungan dengan itu, latar harus dapat menunjang alur dan penokohan

dalam membangun permasalahan dan konflik.

Ruang merupakan unsur lain drama yang jelas berkaitan dengan latar.

Ruang juga menyangkut tempat dan suasana. Namun begitu, sukar untuk

      

50

(46)

menganalisis ruang tanpa menghubungkannya dengan persoalan pementasan.

Membicarakan ruang hanya menitik beratkan drama sebagai genre sastra

belaka memberikan pemahaman yang tidak menyeluruh. Oleh sebab itu,

bukanlah berlebihan jika untuk memahami persoalan ruang di dalam drama,

pembaca pembaca menghubungkannya dengan pementasan.51

Luxemburg, dkk dalam Hasanuddin, di dalam teks drama sebenarnya

dimungkinkan untuk memasukkan hal-hal bersifat naratif yang mengisahkan

suatu ruang lebih luas, bahkan terdapat juga kemungkinan vokalisasi. Di

dalam teks drama dapat dilakukan, misalnya dengan menempatkan suatu

kejadian tempat seorang tokoh melihat keluar, melalui jendela, dari tempat

ketinggian seperti dari balkon, dan lain-lain. Teknik seperti ini biasanya

disebut teichoscopie.52

d. Penggarapan Bahasa

Di dalam sebuah drama, dialog merupakan situasi bahasa utama.

Namun begitu, pengertian penggarapan bahasa dipergunakan pengarang

sehingga terjadi situasi bahasa. Pembicaraan tentang gaya bahasa menyangkut

kemahiran pengarang dalam menggunakan bahasa sebagai medium drama.

Masalah penggarapan bahasa di dalam drama memang berkaitan

dengan gaya bahasa. Bagaimana pengarang memilih sarana pengucapannya

sehingga permasalahan yang ingin dikemukakan dapat tertuang melalui

bentukan dialog para tokoh drama.

Menggunakan bahasa tulis sebagai sarana teks drama, pengarang

berarati tidak berhadapan langsung dengan pembaca, sehingga terdapat celah

kelemahan komunikasi dibandingkan bahasa lisan. Akan tetapi karena situasi

bahasa di dalam drama adalah dialog, maka meskipun menggunakan bahasa

      

51

Ibid., h. 97

52

(47)

Gambar

gambaran perwatakan sang tokoh. 39
gambarmu. Penduduk miskin menjarah kota. Membunuh siapa
gambarkan dalam naskah,

Referensi

Dokumen terkait

yang berjudul “Aspek Sosial dalam Naskah Drama Nyai Ontosoroh Karya. Faiza Mardzoeki Tinjauan: Sosiologi Sastra dan

atas segala rahmat dan karuniaNya, sehingga dapat menyelesaikan tugas skripsi dengan judul “ Kritik Sosial dalam Naskah Drama Lena Tak Pulang Karya Muram Batubara dan

Sehubungan dengan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu: 1) bagaimana struktur yang membangun naskah drama RT 0 RW 0 Karya

“A spek Sosial dalam Naskah Drama Kidung Pinggir Lurung Karya Udyn U.Pe.We: Tinjauan Sosiologi Sastra dan Implementasinya sebagai Bahan Ajar Sastra di SMA”.. Pendidikan

(2) masalah-masalah sosial yang dikritik dalam naskah drama Furcht und Elend des Dritten Reiches karya Bertolt Brecht antara lain: (a) kritik Brecht terhadap

Kemudian ditemukan juga sosiologi pembaca karya yang diwakili masarakat sastra yang menerangkan bahwa naskah drama Tarung merupakan naskah yang penuh dengan kritik

Dalam penelitian ini permasalahan dibatasi dengan struktur dominan (tema, alur, penokohan, dan latar) dan aspek sosial yang terdapat dalam naskah drama Operasi karya

Analisis Pendekatan Mimetik pada Naskah Drama Aspek Sosial Terdapat beberapa kritik sosial dan kritik politik yang dipresentasikan dalam naskah drama “Pesta Terakhir” karya Ratna