• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

1. Pembelajaran Matematika

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Pembelajaran Matematika

Pembelajaran merupakan sesuatu yang dilakukan oleh siswa, bukan dibuat untuk siswa. Pembelajaran matematika menekankan pada upaya untuk membangkitkan aktivitas siswa dalam menggali pengetahuan dengan kemampuannya sendiri. Tujuan dari pembelajaran matematika adalah melatih bertindak atau dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat, jujur, efektif, serta mempersiapkan peserta didik agar dapat menggunakan matematika dalam kehidupan sehari-hari (Suherman, 2003:58).

Dalam pembelajaran matematika dibutuhkan model pembelajaran yang tepat supaya tercapainya tujuan pembelajaran. Makin baik model pembelajaran, makin efektif pula pencapaian tujuan pembelajaran. Dalam kenyataannya, model pembelajaran yang digunakan untuk menyampaikan informasi berbeda dengan cara yang ditempuh untuk memantapkan siswa dalam menguasai pengetahuan, mengajar di dalam kelas, efektifitas suatu metoda dipengaruhi faktor tujuan, faktor tujuan, faktor siswa, faktor situasi dan faktor guru itu sendiri.

Pembelajaran matematika di sekolah berfungsi pertama alat untuk memahami atau menyampaikan informasi misalnya melalui persamaan-persamaan, atau tabel-tabel dalam model-model matematika yang merupakan penyederhanaan dari soal-soal cerita, atau soal-soal uraian matematika lainnya. Kedua matematika merupakan pola pikir dalam pemahaman suatu pengertian maupun dalam penalaran suatu hubungan di antara pengertian-pengertian. Ketiga matematika merupakan ilmu atau pengetahuan dan tentunya pengajaran matematika di sekolah harus diwarnai dengan ilmu pengetahuan.

14

Matematika memiliki nilai-nilai pendidikan yang akan menuntun siswa kepada tujuan pembelajaran. Adapun tujuan pembelajaran matematika menurut Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP) dalam (Suherman, 2003:58) tujuan khusus pengajaran Matematika SLTP adalah agar:

a. Siswa memiliki kemampuan yang dapat dialihgunakan melalui kegiatan matematika;

b. Siswa memiliki pengetahuan matematika sebagai bekal untuk melajutkan ke pendidikan menengah;

c. Siswa memiliki keterampilan matematika sebagai peningkatan dan perluasan dari matematika sekolah dasar untuk dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari;

d. Siswa memiliki pandangan yang cukup luas dan memiliki sikap logis, kritis, cermat, dan disiplin serta menghargai kegunaan matematika. Adapun tujuan pembelajaran matematika menurut Depdiknas No. 22 tahun 2006, pendidikan matematika bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:

a. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antara konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah

b. Menggunakan penalaran pada pola sifat, membuat generalisasi, penyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika c. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh

d. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.

Dalam belajar matematika siswa dibantu untuk mengkontruksi sendiri pemahamannya mengenai konsep-konsep matematika. Dengan demikian, dalam pembelajaran matematika guru harus dapat mengusahakan sistem pembelajaran yang membantu siswa mengkontruksi sendiri pemahamannya, sehingga tujuan pembelajaran matematika dapat tercapai secara optimal.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika merupakan proses komunikasi antara siswa dengan guru serta siswa dengan siswa dalam rangka perubahan sikap dan pola pikir yang akan menjadi kebiasaan bagi siswa. Agar siswa dapat mengembangkan pengetahuan yang dimilkinya dan tercapainya tujuan pembelajaran matematika sesuai dengan kurikulum agar proses pembelajaran berjalan dengan maksimal.

15

15 2. Kemampuan Komunikasi Matematis

a. Pengertian Kemampuan Komunikasi Matematis

Komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication berasal dari

kata Latin communicatio, dan bersumber dari kata yang berarti sama. Maka komunikasi akan terjadi selama ada kesamaan makna mengenai apa yang dibicarakan. Komunikasi secara umum dapat diartikan sebagai suatu cara untuk menyampaikan suatu pesan dari pembawa pesan ke penerima pesan untuk memberitahu, pendapat, atau perilaku, baik secara lisan, maupun melalui media (Ubaidah, 2016:63). Oleh sebab itu saat berkomunikasi harus dipikirkan bagaimana caranya agar pesan yang disampaikan kepada orang lain dapat dengan mudah dipahami. Menurut Elida (Ubaidah, 2016:63) berpendapat bahwa komnikasi dimaknai sebagai proses penyampaian pesan dari pengirim pesan kepada penerima pesan melalui saluran tertentu untuk tujuan tertentu. Untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi, siswa dapat dibimbing dalam berkomunikasi dengan berbagai bahasa termasuk bahasa matematis. Komunikasi matematis adalah suatu keterampilan penting yang harus dimiliki siswa dalam belajar matematika. Siswa mampu mengekspresikan ide-ide matematika yang berasal dari argumennya kepada teman, guru dan lainnya melalui bahasa lisan dan tulisan. Komunikasi matematik juga merupakan salah satu tujuan pembelajaran matematika dan menjadi salah satu standar kompetensi lulusan siswa sekolah dari pendidikan dasar sampai menengah. Sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang SISDIKNAS no.22 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Kelulusan dalam bidang matematika yang secara lengkap sebagai berikut:

1) Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah.

2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.

3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh.

4) Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain.

5) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan.

16

Dalam matematika, berkomunikasi mencakup keterampilan atau kemampuan untuk membaca, menulis, menelaah dan merespon suatu informasi. Komunikasi adalah suatu hal yang penting dalam pembelajaran matematika sebab komunikasi merupakan cara berbagi ide dan dapat memperjelas pemahaman. Dalam hal komunikasi matematis merupakan: 1) kekuatan sentral bagi siswa dalam merumuskan konsep dan model matematika; 2) modal keberhasilan bagi siswa terhadap pendekatan dan penyelesaian dalam eksplorasi dan investigasi matematika; 3) wadah bagi siswa dalam berkomunikasi dengan temannya untuk memperoleh informasi, berbagi fikiran dan penemuan, curah pendapat, menilai dan mempertajam ide untuk meyakinkan yang lain (Saragih, 2013:178).

Dalam penelitian ini peneliti mengartikan kemampuan komunikasi matematis merupakan kemampuan menyampaikan suatu gagasan/ide matematis, baik secara lisan maupun tulisan serta kemampuan memahami dan menerima gagasan/ide matematis orang lain secara cermat, analitis, kritis, dan evaluatif untuk mempertajam pemahaman siswa. Kemampuan komunikasi matematis memiliki peran penting dalam pembelajaran matematika, sebab melalui komunikasi matematis siswa dapat mengorganisasikan ide-ide pemikiran matematis mereka. Melalui komunikasi, guru sebagai pemberi informasi dalam proses belajar mengajar adalah materi pelajaran, sedangkan siswa sebagai penerima informasi yaitu siswa dengan menggunakan simbol-simbol baik lisan, tulisan, dan bahasa yang tidak verbal.

b. Pengertian Kemampuan Komunikasi Matematis

Indikator kemampuan komunikasi matematis tertulis sebagai berikut:

1) Kemampuan mengekspresikan ide-ide matematis melalui tulisan. 2) Kemampuan memahami, menginterpretasikan, dan mengevaluasi

ide-ide matematis secara tertulis.

3) Kemampuan dalam menggunakan istilah-istilah, notasi-notasi matematika dan struktur-strukturnya untuk menyajikan ide-ide, menggambarkan hubungan-hubungan dengan model-model situasi (Ubaidah, 2016:65).

Indikator-indikator dari kemampuan komunikasi matematis (Sumarmo, 2013:5), adalah sebagai berikut:

1) Menghubungkan benda nyata, gambar, dan diagram kedalam ide matematika.

2) Menjelaskan ide, situasi, dan relasi matematika secara lisan maupun tulisan, dengan benda nyata, gambar, grafik, dan aljabar.

17

17

3) Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika.

4) Mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika. 5) Membaca dengan pemahaman suatu presentasi matematika tertulis. 6) Membuat konjektur, menyusun argumen, merumuskan defenisi dan

generalisasi.

7) Menjelaskan dan membuat pertanyaan tentang matematika yang telah dipelajari.

Indikator yang menunjukan kemampuan penalaran dan komunikasi (Depdiknas dalam buku Susi Herawati, 2012:21), adalah:

1) Menyajikan pernyataan matematika secara lisan, tertulis, gambar dan diagram.

2) Mengajukan dugaan.

3) Melakukan manipulasi matematika.

4) Menarik kesimpulan, menyusun bukti, memberikan alasan atau bukti terhadap beberapa soal.

5) Menarik kesimpulan dari pernyataan. 6) Memeriksa kesahihan suatu argument.

7) Menemukan pola atau sifat dari gejala matematis untuk membuat generalisasi.

Selanjutnya indikator penilaian kemampuan komunikasi matematis (Fauzan, 2010:26) yaitu:

1) Menjelaskan ide, situasi dan relasi matematika dengan benda nyata, gambar, grafik, tabel, dan aljabar.

2) Menghubungkan benda nyata, gambar, diagram, dan tabel ke dalam ide matematika.

3) Menyatakan peristiwa yang dikemukakan dalam bahasa atau simbol matematika.

Berdasarkan indikator yang sudah dikemukakan para ahli di atas sebagai alat ukur untuk mengukur kemampuan komunikasi matematis siswa, jika dikaitkan dengan model pembelajaran CORE dalam penelitian ini, maka indikator yang digunakan oleh peneliti yaitu indikator menurut Fauzan yaitu sebagai berikut:

1) Menjelaskan ide, situasi dan relasi matematika dengan benda nyata, gambar, grafik, tabel, dan aljabar.

2) Menghubungkan benda nyata, gambar, diagram, dan tabel ke dalam ide matematika.

3) Menyatakan peristiwa yang dikemukakan dalam bahasa atau simbol matematika.

18

Tabel 2.1 Pedoman Penskoran Tes Kemampuan Komunikasi

Pemberian skor terhadap jawaban siswa (Fauzan, 2010:57):

Indikator Respon Siswa Skor

1. Menjelaskan ide, situasi dan relasi matematika dengan benda nyata, gambar, grafik, tabel, dan aljabar.

Jawaban benar, mampu menjelaskan ide, situasi dan relasi matematika dengan benda nyata, gambar, grafik, tabel, dan aljabar.

4

Jawaban benar, sesuai dengan kriteria tetapi ada sedikit jawaban yang salah.

3 Jawaban benar tetapi tidak sesuai dengan

sebagian besar criteria.

2 Jawaban ada tetapi sama sekali tidak

sesuai dengan criteria.

1

Jawaban tidak ada. 0

2. Menghubung kan benda nyata, gambar, diagram dan tabel ke dalam ide matematika.

Jawaban benar, mampu menghubungkan benda nyata, gambar, diagram dan tabel ke dalam ide matematika.

4

Jawaban benar, sesuai dengan criteria tetapi ada sedikit jawaban yang salah.

3 Jawaban benar tetapi tidak sesuai dengan

sebagian besar criteria.

2 Jawaban ada tetapi sama sekali tidak

sesuai dengan criteria.

1

Jawaban tidak ada. 0

3. Menyatakan peristiwa yang dikemukakan dalam bahasa atau simbol matematika.

Jawaban benar, mampu menyatakan peristiwa yang dikemukakan dalam bahasa atau simbol matematika.

4

Jawaban benar,sesuai dengan criteria tetapi ada sedikit jawaban yang salah.

3 Jawaban benar tetapi tidak sesuai dengan

sebagian besar criteria.

2 Jawaban ada tetapi sama sekali tidak

sesuai dengan criteria.

1

Jawaban tidak ada. 0

Berdasarkan penjelasan yang telah dibahas, maka kemampuan komunikasi matematika merupakan kemampuan menyampaikan ide atau gagasan baik, grafik atau diagram untuk menjelaskan keadaan atau masalah dari informasi yang diperoleh, dengan kemampuan komunikasi matematika siswa mengekspresikan ide matematika dengan menulis,

19

19

mendemonstrasikan dengan benda-benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam ide-ide matematika.

3. Aktivitas Belajar Siswa

a. Pengertian Aktivitas Belajar Siswa

Aktivitas belajar adalah aktivitas yang bersifat fisik maupun mental. Dalam proses belajar kedua aktivitas itu harus saling berkaitan. Lebih lanjut lagi piaget menerangkan bahwa jika seseorang anak itu berfikir sepanjang ia berbuat. Tanpa perbuatan berarti anak itu tidak berfikir. Oleh karena itu, agar anak berfikir sendiri maka harus diberi kesempatan untuk berbuat sendiri. (Sardiman, 2011: 100)

Widodo (2013:34) menjelaskan prinsip belajar merupakan berbuat untuk merubah tingkah laku melalui perbuatan. Ada atau tidaknya belajar dicerminkan dari ada atau tidaknya aktivitas. Tanpa ada aktivitas, belajar tidak mungkin terjadi. Sehingga dalam interaksi belajar-mengajar aktivitas merupakan prinsip yang penting.

Dengan demikian, dalam belajar sangat dibutuhkan adanya aktivitas, dikarenakan tanpa adanya aktivitas proses belajar tidak berlangsung dengan baik. Pada proses aktivitas pembelajaran harus melibatkan seluruh aspek siswa, baik jasmani maupun rohanisehingga perubahan perilakunya dapat merubah dengan cepat, tepat, mudah dan benar, baik berkaitan dengan aspek kognitif mapun psikomotor.

Paul B. Diedrich (Sardiman, 2011:100) membuat suatu daftar yang berisi 177 macam kegiatan siswa dalam pembelajaran yang antara lain dapat digolongkan sebagai berikut:

1) Kegiatan-kegiatan visual (visual activities), yaitu membaca, melihat gambar-gambar, mengamati eksperimen, demonstrasi, pameran dan mengamati orang lain bekerja atau bermain.

2) Kegiatan-kegiatan lisan (oral activities), yaitu mengemukakan suatu fakta atau prinsip, menghubungkan suatu kejadian mengajukan pertanyaan, memberi saran, mengemukakan pendapat, berwawancara diskusi dan interupsi

20

3) Kegiatan-kegiatan mendengarkan (listening activities), yaitu mendengarkan penyajian bahan, mendengarkan percakapan atau diskusi kelompok, atau mendengarkan radio.

4) Kegiatan-kegiatan menulis (writing activities), yaitu menulis cerita, menulis laporan, memeriksa karangan, bahan-bahan copy, membuat outline atau rangkuman, dan mengerjakan tes serta mengisi angket. 5) Kegiatan-kegiatan menggambar (drawing activities), yaitu

menggambar, membuat grafik, diagram, peta dan pola.

6) Kegiatan-kegiatan motorik (motor activities), yaitu melakukan percobaan, memilih alat-alat, melaksanakan pameran, membuat model, menyelenggarakan permainan, serta menari dan berkebun. 7) Kegiatan-kegiatan mental (mental activities), yaitu merenungkan

mengingat, memecahkan masalah, menganalisa faktor-faktor, melihat hubungan-hubungan, dan membuat keputusan.

8) Kegiatan-kegiatan emosional (emotional activities), yaitu minat, membedakan, berani, tenang, merasa bosan dan gugup.

Tabel 2.2 Indikator Pengamatan Aktivitas Siswa No Aktivitas yang

Diamati

Keterangan

1. Visual activities Siswa memperhatikan penjelasan guru dalam menyampaikan materi

pembelajaran.

Siswa mendengarkan penjelasan guru dalam menyampaikan materi

pembelajaran.

2. Oral activities Siswa menghubungkan suatu konsep, mengemukakan suatu fakta atau prinsip, atau menghubungkan suatu kejadian.

Siswa mendiskusikan informasi yang diperoleh pada permasalahan di LKK. Siswa bekerjasama untuk

menyelesaikan masalah.

Siswa mempresentasikan hasil diskusi di depan kelas.

Siswa mengkomunikasikan hasil diskusi kelompoknya jika jawaban berbeda. Siswa bertanya jika ada yang belum paham.

21

21

kelompok penyaji.

Memberikan tanggapan kepada kelompok yang lain dalam diskusi kelas.

4. Writing Activities Siswa menuliskan hasil diskusi pada LKK di papan tulis.

Siswa mengerjakan latihan yang diberikan oleh guru.

Siswa menyiapkan hasil laporan diskusi kelompok berupa hasil jawaban

perkelompok secara rapi, rinci, dan sistematis.

Siswa menulis kesimpulan atau catatan. 5. Mental activities Mengingat kembali penjelasan yang

diberikan oleh guru dan memecahkan masalah.

6. Emotional activities Siswa bersemangat dalam berdiskusi, berani dalam menyampaikan pendapat, dan tenang dalam berdiskusi.

Berdasarkan jenis-jenis aktivitas di atas peneliti hanya mengamati enam aktivitas diantaranya Visual activities, Oral activities, Listening

activities, Writing activities, Mental activities, dan Emotional activities.

Karena peneliti hanya menemukan enam jenis aktivitas tersebut yang bermasalah, pertama siswa tidak memperhatikan guru saat menerangkan pelajaran, kedua siswa tidak bisa menghubungkan antara konsep yang lama dengan konsep yang baru, ketiga siswa tidak bisa membuat uraian dan interaksi siswa kurang terhadap guru, keempat siswa jarang menulis catatan yang diberikan oleh guru dan malas mengerjakan soal-soal latihan yang diberikan, kelima mental aktivitas siswa kurang untuk menanggapi apa yang di sampaikan guru dan siswa susah mengingat pelajaran yang di berikan guru serta siswa susah memecahkan soal

22

matematika, yang keenam minat siswa dalam belajar matematika kurang, siswa cepat bosan dalam belajar matematika.

4. Model Pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE)

a. Pengertian Model Pembelajaran CORE

CORE merupakan singkatan dari empat kata yang memiliki

kesatuan fungsi dalam proses pembelajaran, yaitu connecting,

organizing, relflecting, dan extending. Model pembelajaran CORE

menggunakan metode diskusi yang dapat mempengaruhi perkembangan pengetahuan dan berpikir reflektif dengan melibatkan siswa yang memiliki empat tahapan pengajaran yaitu connecting, organizing,

reflecting, dan extending. Model pembelajaran CORE adalah model

pembelajaran alternatif yang dapat digunakan untuk mengaktifkan siswa dalam membangun pengetahuannya sendiri. (Anggraini, 2015:3)

1) Connecting

Connecting berarti menghubungkan. Seperti yang dikemukakan

oleh Dymock (2005) bahwa:”An effective lesson connects students to the topic. Connectedness is the link between what the reader knows and what is being learned. Teachers should connect students to the content and the text structure”. Hal ini perlu diterapkan kepada siswa, karena dengan adanya koneksi yang baik, maka siswa akan mengingat informasi dan menggunakan pengetahuan metakognitifnya untuk menghubungkan dan menyusun ide-idenya. Sesuai dengan apa yang dipaparkan Novak (Susanna, 2003) bahwa dalam belajar orang mengkonstruksi pengetahuannya dengan menghubungkan informasi yang masuk dengan informasi sebelumnya. (Kumalasari, 2011:223)

23

23

2) Organizing

Organizing digunakan oleh siswa untuk mengorganisasikan

informasi-informasi yang diperolehnya. Untuk membantu proses pengorganisasian informasi yang didapat siswa bisa dilakukan dengan cara diskusi kelompok. (Kumalasari, 2011:224)

3) Reflecting

Reflecting merupakan tahap saat siswa memikirkan secara

mendalam terhadap konsep yang dipelajarinya. Menurut Sagala (Tamelane, 2010) refleksi adalah cara berpikir ke belakang tentang apa yang sudah dilakukan dalam hal belajar di masa lalu. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Dymock (2005) bahwa:

“Reflect is where students explain or critique content, structures, and strategies”. Jadi siswa mengendapkan apa yang baru

dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru, yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Siswa menyimpulkan dengan bahasa sendiri tentang apa yang mereka peroleh dari pembelajaran ini. Dengan proses ini dapat dilihat bahwa kemampuan siswa menjelaskan informasi yang telah mereka peroleh dan akan terlihat bahwa tidak setiap siswa memiliki kemampuan yang sama. (Kumalasari, 2011:223-224)

4) Extending

Extending adalah tahap saat siswa dapat menggeneralisasikan

pengetahuan yang mereka peroleh selama proses belajar mengajar berlangsung. Sedangkan untuk perluasan pengetahuan tersebut disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan siswa. Pengetahuan deklaratif dan procedural siswa diperluas dengan cepat sehingga mereka meneliti tentang jawaban atas pertanyaan yang mereka melakukan strategi berdiskusi untuk memperoleh informasi sesama temannya dan guru serta mencoba untuk menjelaskan temuannya kepada teman-temannya di kelas. (Kumalasari, 2011:224)

24

Berdasarkan uraian di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa model pembelajaran CORE adalah model pembelajaran yang mengharapkan siswa untuk dapat mengkontruksi pengetahuannya sendiri dengan cara menghubungkan dan mengorganisasikan pengetahuan baru dengan pengetahuan lama kemudian memikirkan konsep yang sedang dipelajari serta di harapkan siswa dapat memperluas pengetahuan mereka selama proses belajar mengajar berlangsung.

b. Langkah-Langkah Model CORE

Menurut Shoimin (2016:39) langkah-langkah pembelajaran dengan model CORE adalah sebagai berikut :

1) Guru mengawali pembelajaran dengan hal-hal yang menarik.

2) Guru menyampaikan materi prasarat atau materi yang pernah dipelajari dan akan dihubungkan dengan materi yang akan dipelajari. 3) Siswa mengorganisasikan ide-ide untuk memahami konsep baru

dengan guru.

4) Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok yang terdiri dari 4-5 orang dalam setiap kelompoknya.

5) Siswa memikirkan kembali, mendalami dan menggali informasi yang sudah didapat saat belajar berkelompok.

6) Siswa mengembangkan, memperluas, menggunakan pengetahuan dalam tugas individu yang diberikan.

Suaida dalam (Sholehawati, 2017:43) juga langkah-langkah pembelajaran dengan model CORE adalah sebagai berikut :

1) Menyampaikan tujuan pembelajaran, mempersiapkan siswa, dan memberikan motivasi.

2) Guru mengelompokkan siswa menjadi beberapa kelompok.

3) Melalui serangkaian pertanyaan dari guru, siswa melakukan apersepsi untuk mengingat materi prasyarat (Connecting).

4) Siswa berdiskusi menggunakan pengetahuannya untuk memahami materi (Organizing).

5) Siswa mempresentasikan hasil kerja kelompok dengan satu orang menerangkan di depan kelas (Reflecting).

6) Siswa mengerjakan soal latihan untuk memperluas pengetahuannya

(Extending).

7) Siswa menyimpulkan kegiatan pembelajaran yang dilakukan bersama guru.

25

25

Menurut Khafidhoh (dalam Konita, 2019:614), model pembelajaran Connecting Organizing Reflecting Extending (CORE) memiliki beberapa kelebihan yaitu sebagai berikut:

1) Siswa aktif dalam belajar

2) Melatih daya ingat siswa tentang suatu konsep/ informasi 3) Melatih daya pikir kritis siswa terhadap suatu masalah

4) Memberikan kepada siswa kegiatan pembelajaran yang bermakna Menurut Artasari (dalam Konita, 2019:614), kekurangan

Connecting Organizing Reflecting Extending (CORE) adalah sebagai

berikut:

1) Membutuhkan persiapan matang dari guru untuk menggunakan model ini

2) Menuntut siswa untuk terus berpikir 3) Memerlukan banyak waktu

4) Tidak semua materi pelajaran dapat menggunakan model pembelajaran CORE

Berdasarkan pendapat di atas untuk menutupi kelemahan dari model pembelajaran Connecting Organizing Reflecting Extending

(CORE) dapat disimpulkan bahwa langkah-langkah pembelajaran CORE

yang akan digunakan peneliti ialah yang dikemukakan oleh Shoimin (2016:39) langkah pertama guru membuka pembelajaran dengan kegiatan yang menarik sehingga siswa akan lebih tertarik untuk mengikuti pembelajaran yang diajarkan misalkan bercerita yang berkaitan dengan materi yang akan diajarkan. Kedua, guru menyampaikan materi lama yang dihubungkan dengan materi baru oleh guru kepada siswa. Ketiga, setelah itu pengorganisasian ide-ide untuk memahami materi yang dilakukan oleh siswa dengan bimbingan guru. Keempat, guru membagi kelompok secara heterogen/campur antara siswa pandai, sedang, dan kurang. Kelima, siswa diberi kesempatan untuk memikirkan kembali apakah hasil diskusi/hasil kerja kelompoknya pada tahap organizing sudah benar atau masih terdapat kesalahan yang perlu diperbaiki, selanjutnya yang terakhir siswa dapat memperluas pengetahuan mereka tentang apa yang sudah diperoleh selama proses belajar mengajar berlangsung. Dalam langkah-langkah ini siswa dapat memahami hasil pemikiran dan aktivitas yang telah dilakukan selama proses kegiatan belajar.

26 5. Pembelajaran Konvensional

Pembelajaran konvensional merupakan pembelajaran tradisional atau yang sering juga disebut metode ceramah. Dalam pembelajaran konvensional ditandai dengan ceramah yang diiringi dengan penjelasan serta pembagian tugas dan latihan.

Metode ceramah ialah suatu metode di dalam pendidikan dan pengajaran di mana cara menyampaikan pengertian-pengertian materi pengajaran kepada anak didik dilaksanakan dengan lisan oleh guru di dalam kelas. Hubungan antara guru dan anak didik banyak menggunakan bahasa lisan. Peranan guru dan murid berbeda secara jelas, yaitu guru terutama dalam menuturkan dan menerangkan secara aktif, sedangkan murid mendengarkan dan mengikuti secara cermat serta membuat catatan tentang pokok persoalan yang diterangkan oleh guru. (Tambak, 2014:377)

Jadi pada pembelajaran konvensional yang ditemukan di sekolah, masalah yang sering muncul dalam proses belajar mengajar matematika adalah penggunaan dan penerapan model pembelajran yaitu penyampaian materi ajar oleh guru yang cendrung menggunakan metode ceramah dan latihan soal. Begitu pula dengan apa yang terjadi, diawal pelajaran guru membuka pelajaran dan membimbing siswa berdo’a setelah itu baru dibuka

Dokumen terkait