LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS
A. Pembelajaran Sejarah
Menurut Slameto (2003: 2), belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.Pengertian belajar menitikberatkan pada 3 unsur pokok, yaitu perubahan tingkah laku, pengalaman, lamanya waktu perubahan perilaku yang dimiliki oleh pembelajar atau dengan kata lain perubahan tersebut relatif menetap (Winataputra, 2007:8). Perubahan tingkah laku yang dimaksud dapat berbentuk perubahan kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Unsur-unsur yang terdapat dalam belajar meliputi: pembelajar, stimulus, memori, dan respon. Belajar yang efektif dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal belajar.Faktor internal meliputi aspek fisik, psikis, dan sosial. Oleh karena itu, agar belajar dapat berlangsung efektif pada siswa, guru harus menguasai bahan belajar, keterampilan pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran secara terpadu.
Teori yang berkaitan dengan belajar dinamakan dengan dengan teori belajar.Teori belajar pada dasarnya merupakan penjelasan mengenai bagaimana informasi diproses dalam pikiran siswa.Berdasarkan suatu teori belajar, suatu pembelajaran diharapkan dapat lebih meningkatkan
perolehan siswa sebagai hasil belajar.Teori-teori baru dalam psikologi pendidikan dikelompokkan dalam teori pembelajaran konstruktivisk.
Teori kontruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta suatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan teori behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus dan respon, sedangkan teori kontruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya.
Menurut teori konstruktivisme, pengetahuan bukanlah kumpulan fakta dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari, melainkan sebagi konstruksi kognitif seseorang terhadap objek, pengalaman, maupun
lingkungannya (Rifa‟i & Catharina, 2009: 225).Paradigma konstruktivistik memandang siswa sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Kemampuan awal tersebut akan menjadi dasar dalam mengkonstruksi pengetahuan yang baru. Guru memiliki peran membantu agar proses pengonstruksian pengetahuan oleh siswa berjalan lancar.
Teori belajar konstruktivisme ini sesuai untuk pembelajaran sekarang, karena dalam perkembangannya pembelajaran tidak hanya didominasi oleh guru saja tetapi lebih dari itu. Siswa mempunyai peran dalam belajar sehingga terjadilah interaksi dalam proses belajar. Selain itu menurut teori ini, satu prinsip yang paling penting dalam psikologi
12
pendidikan adalah guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa.Siswa harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya.
Belajar menurut teori kontruktivisme bukanlah sekedar menghafal, akan tetapi proses mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman.
Pengetahuan bukanlah hasil “pemberian” dari orang lain seperti guru, akan
tetapi hasil dari proses mengkonstruksi yang dilakukan setiap individu.
Pengetahuan hasil dari “pemberian” tidak akan bermakna. Adapun pengetahuan yang diperoleh melalui proses mengkonstruksi pengetahuan itu oleh setiap individu akan memberi makna mendalam atau lebih dikuasai dan lebih lama tersimpan/diingat dalam setiap individu.
Adapun tujuan dari teori kontruktivisme adalah sebagai berikut:
1) Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung
jawab siswa itu sendiri.
2) Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengajukan pertanyaan
dan mencari sendiri pertanyaan.
3) Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan
pemahaman konsep secara lengkap.
4) Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang
mandiri.
5) Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.
Pembelajaran menurut aliran behavioristik merupakan perubahan perilaku, karena terjadi interaksi atau hubungan antara linkungan dengan
pembelajar (Rifa‟i & Catharina, 2009: 205). Perubahan perilaku manusia
sangat dipengaruhi oleh lingkungan yang akan memberikan beragam pengalaman kepada seseorang. Lingkungan merupakan stimulus yang dapat mempengaruhi dan atau mengubah kapasitas untuk merespon (Winataputra, 2007: 24).
Pembelajaran berdasarkan teori kontemporer adalah pembelajaran
yang didasarkan pada teori konstruktivisme. Pembelajaran
konstruktivisme mengkritisi konsep pembelajaran yang selama ini belajar-mengajar dalam arti cenderung berpusat pada guru di pihak lain cenderung
berpusat pada subyek belajar (Rifa‟i & Catharina, 2009: 220).
Konstruktivisme berpegang kepada pandangan keaktifan siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan berdasarkan interaksinya dalam pengalaman belajar yang diperoleh. Dalam hal ini, pengajar dan siswa sama-sama aktif, siswa aktif mengkonstruksi pengetahuan pengajar dan pengajar sebagai fasilitator.
Pembelajaran secara umum dapat diartikan suatu kegiatan yang dilakukan oleh guru sedemikian rupa, sehingga tingkah laku siswa berubah ke arah yang lebih baik (Darsono, 2000:24). Pembelajaran juga didefinisikan sebagai suatu kegiatan untuk mengorganisasikan atau mengatur lingkungan baik fisik, maupun non fisik sehingga dapat digunakan untuk kegiatan proses belajar. Pembelajaran adalah setiap perubahan perilaku yang relatif permanen, terjadi sebagai hasil dari pengalaman. Definisi sebelumnya menyatakan bahwa seorang manusia
14
dapat melihat perubahan terjadi tetapi tidak pembelajaran itu sendiri. Konsep tersebut adalah teoretis, dan dengan demikian tidak secara langsung dapat diamati.
Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan
pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses pemerolehan ilmu danpengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik. Dengan kata lain, pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik. Proses pembelajaran dialami sepanjang hayat seorang manusia serta dapat berlaku di manapun dan kapanpun. Pembelajaran mempunyai pengertian yang mirip dengan pengajaran, walaupun mempunyai konotasi yang berbeda. Dalam konteks pendidikan, guru mengajar supaya peserta didik dapat belajar dan menguasai isi pelajaran hingga mencapai sesuatu objektif yang ditentukan (aspek kognitif), juga dapat mempengaruhi perubahan sikap (aspek afektif), serta keterampilan (aspek psikomotor) seseorang peserta didik. Pengajaran memberi kesan hanya sebagai pekerjaan satu pihak, yaitu pekerjaan guru saja. Sedangkan pembelajaran juga menyiratkan adanya interaksi antara guru dengan peserta didik. Pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran (Hamalik, 2009:57).
Berdasarkan teori-teori pembelajaran tadi, dapat ditarik sejumlah prinsip belajar mengajar sebagi berikut (Hamalik, 2009: 54-55).
a. Belajar senantiasa bertujuan yang berkenaan dengan perkembangan
perilaku siswa.
b. Belajar didasarkan atas kebutuhan dan motivasi tertentu.
c. Belajar dilaksanakan dengan latihan daya-daya, membentuk hubungan
asosiasi, dan melalui penguatan.
d. Belajar bersifat keseluruhan yang menitikberatkan pemahaman,
berpikir kritis, dan reorganisasi pengalaman.
e. Belajar membutuhkan bimbingan, baik secara langsung oleh guru
maupun secara tak langsung melalui bantuan pengalaman sebagai pengganti.
f. Belajar dipengaruhi oleh faktor internal individu dan faktor eksternal
individu.
g. Belajar sering dihadapkan kepada masalah dana kesulitan yang perlu
dipecahkan.
h. Hasil belajar dapat ditransferkan ke dalam situasi lain.
Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran sejarah adalah proses interaksi antar siswa dengan guru dalam kegiatan belajar mengajar yang mengkaji tentang peristiwa masa lampau yang membawa pengaruh besar untuk masa kini dan masa yang akan datang.
16
Pengajaran sejarah di sekolah bertujuan agar siswa memperoleh kemampuan berpikir historis melalui melalui pemahaman sejarah. Melalui pengajaran sejarah dapat mengembangkan kompetensi untuk berpikir secara kronologis. Pengetahuan tentang masa lalu dapat digunakan untuk memahami dan menjelaskan proses perkembangan, perubahan serta keragaman sosial budaya masyarakat.
Mata pelajaran sejarah bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:
1) Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan
masyarakat dan lingkungannya.
2) Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa
ingin tahu, memecahkan masalah, dan ketrampilan dalam kehidupan sosial.
3) Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan
kemanusiaan.
4) Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama, dan
berkompetensi dalam masyarakat yang majemuk baik di tingkat lokal, nasional dan global.
a) Fungsi Mata Pelajaran Sejarah
Sejarah merupakan salah satu bagian dari kelompok ilmu yang berdiri sendiri. Tujuan yang luhur dari sejarah untuk diajarkan pada semua. Jenjang sekolah adalah menanamkan semangat kebangsaan, cinta tanah air, bangsa dan negara.
Pengajaran sejarah dapat berfungsi dalam mengembangkan kepribadian peserta didik terutama dalam hal:
1) Membangkitkan perhatian serta minat sejarah kepada
masyarakat sebagai satu kesatuan komunitas.
2) Mendapatkan insiprasi dari cerita sejarah, baik dari kisah-kisah
kepahlawanan maupun peristiwa-peristiwa yang merupakan tragedi nasional untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik.
3) Tidak mudah terjebak pada opini, karena dalam berpikir
mengutamakan sikap kritis dan rasional dengan dukungan fakta yang benar.
2. Hasil Belajar
Hasil (prestasi) adalah hasil belajar yang dicapai siswa ketika mengikuti dan mengerjakan tugas dan kegiatan pembelajaran di sekolah
(Tu‟u 2004: 75). Hasil belajar dibuktikan dan ditunjukkan melalui nilai, atau
angka nilai dari hasil evaluasi yang dilakukan oleh guru terhadap tugas siswa
dan ulangan-ulangan atau ujian yang ditempuhnya (Tu‟u, 2004:75).
Hasil belajar atau yang disebut prestasi belajar dalam penelitian ini adalah berupa angka-angka tertentu yang tercantum dalam nilai raport, prestasi adalah hasil yang telah dicapai atau dilakukan. Winkel (2004: 162),
menyatakan: “Prestasi adalah bukti keberhasilan yang telah dicapai. Belajar
adalah suatu proses mental yang mengarah kepada penguasaan pengetahuan, kecakapan/skill, kebiasaan atau sikap yang semuanya diperoleh, disimpan dan dilaksanakan sehingga menimbulkan tingkah laku yang progresif dan afektif.
18
Secara singkat belajar merupakan suatu perubahan dalam tingkah laku yang merupakan hasil dari pengalaman.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas bahwa belajar merupakan kegiatan yang dilakukan secara sadar dan rutin pada seseorang sehingga akan mengalami perubahan secara individu baik pengetahuan, keterampilan, sikap dan tingkah laku yang dihasilkan dari proses latihan dan pengalaman individu itu sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Dalam hal ini prestasi belajar merupakan suatu kemajuan dalam perkembangan siswa setelah ia mengikuti kegiatan belajar dalam waktu tertentu. Seluruh pengetahuan, keterampilan, kecakapan dan perilaku individu terbentuk dan berkembang melalui proses belajar. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar siswa di sekolahnya sifatnya relatve, artinya dapat berubah setiap saat. Hal ini terjadi karena prestasi belajar siswa sangat berhubungan dengan faktor yang mempengaruhi, faktor-faktor tersebut saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya. Kelemahan salah satu faktor, akan dapat mempengarui keberhasilan seseorang dalam belajar. Dengan demikian, tinggi rendahnya prestasi belajar yang dicapai siswa di sekolah didukung oleh faktor internal dan eksternal sperti tersebut di atas.
Hasil belajar dapat dicapai siswa melalui proses belajar mengajar yang optimal menunjukkan sebagai berikut: kepuasan dan kebanggaan yang dapat menumbuhkan motivasi belajar intrinsik pada diri siswa menambah keyakinan dan kemampuan dirinya, hasl yang dicapai bermakna bagi siswa, dan hasil belajar yang diperoleh siswa komprehensif atau menyeluruh yang
mencakup ranah kognitif, pengetahuan, afektif, psikomotorik, serta keterampilan atau perilaku. Kemampuan siswa mengontrol atau menilai hasil yang dicapai maupun proses dan usaha belajar.
Slameto (2003:54), faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar dapat digolongkan menjadi 2 yaitu:
a. Faktor Intern, di antaranya:
1. Faktor Jasmaniah, di antaranya adalah : faktor kesehatan dan cacat
tubuh.
2. Faktor Psikologi, di antaranya adalah : intelegensi; perhatian; minat;
bakat; motif;kematangan;kesiapan
3. Faktor kelelahan
b. Faktor ekstern, di antaranya:
1. Faktor keluarga, meliputi: cara orang tua mendidik, relasi antar
anggota keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, dan sebagainya.
2. Faktor sekolah, meliputi: metode mengajar, kurikulum, disiplin, alat
pengajaran, dan sebagainya.
3. Faktor masyarakat, meliputi kegiatan siswa dalam masyarakat, media,
dan sebagainya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar siswa di sekolah sifatnya relative, artinya dapat berubah setiap saat. Hal ini terjadi karena prestasi belajar siswa sangat berhubungan dengan faktor yang mempengaruhinya, faktor-faktor tersebut saling berkaitan antara
20
yang satu dengan yang lainnya. Kelemahan salah satu faktor, akan dapat mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam belajar. Dengan demikian, tinggi rendahnya prestasi belajar yang dicapai siswa di sekolah didukung oleh faktor internal dan eksternal seperti yang tersebut di atas.
3. Model Lawatan Sejarah
Lawatan sejarah adalah upaya untuk menjadikan sejarah sebagai kata kerja. Sejarah sebagai praktik akan menyenangkan bagi siswa untuk belajar, apalagi dengan berwisata mengajak siswa mengunjungi situs dan monumen bersejarah. Lawatan sejarah adalah suatu program penjelajahan masa lalu melalui kunjungan ke tempat-tempat bersejarah. Tempat bersejarah tersebut dapat berupa makam tokoh, tempat pengasingan, komunitas masyarakat, dan juga pusat-pusat kegiatan ekonomi (Lestariningsih, 2007:3).
Menurut Cahyo Budi Utomo (Makalah Seminar Sejarah, 2007), Lawatan Sejarah adalah suatu kegiatan perjalanan mengunjungi situs
bersejarah ( a trip to historical sites). Jika mencermati uraian di muka,
khususnya tentang pengembangan model pembelajaran berbasis teori belajar yang berkembang, maka Lawatan Sejarah dapat dikembangkan sebagai model pembelajaran sejarah baik dengan basis teori behavioristik, kognitif, maupun konstruktivistik. Tinggal bagaimana guru dan murid mengemasnya. Tentu saja, kalau kita mengikuti perkembangan baru. Terutama paradigma baru yang dijadikan rujukan yang mendasari penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, yang dituangkan baik pada UU
tentang Sisdiknas maupun Peraturan Menteri tentang Standart Kompetensi
dan Implementasinya, maka sangat jelaslah bahwa paradigma
pembelajaran kontruktivisme menjadi pilihan utamanya.
Mengamati perkembangan penyelenggaraan pendidikan di
Indonesia, gejala diterimanya paradigma kontruktivisme dan tren pembelajaran quantum sungguh menggembirakan. Hal ini terbukti dari mulai maraknya kegiatan-kegiatan pendidikan baik formal (sekolah)
maupun non formal (pelatihan, workshop, atau bahkan seminar lokakarya)
yang dikemas dalam bentuk Edutainment.
Kita sudah lama mengenal istilah learning by doing, maka learning
by experience adalah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan
“Edutainment”. Edutainment yaitu sebuah konsep yang saat ini sedang dikembangkan oleh berbagai lembaga pendidikan formal (sekolah) maupun non formal (lembaga-lembaga yang menyelenggarakan pelatihan,
workshop, atau seminar). Bahkan dinegara maju, edutainment telah
ditopang oleh teknologi yang maju, sehingga sebutannya menjadi
edutainment and technotainment (Edutechnotainment). Progam ini diakui
telah membuka sumber daya baru, perkakas dan strategi untuk mengangkat capaian siswa ke tingkat yang lebih tinggi (McKenzie, 2000).
Edutainment adalah akronim dari “education and entertainment”.
Dapat diartikan sebagai progam pendidikan atau pembelajaran yang dikemas dalam konsep hiburan sedemikian rupa, sehingga tiap-tiap peserta hampir tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya sedang diajak untuk
22
belajar atau untuk memahami nilai-nilai (value), sehingga kegiatan
tersebut memiliki nuansa yang berbeda dibandingkan dengan
pembelajaran biasa.
Edutainment dapat digunakan untuk mengemas model
pembelajaran melalui lawatan sejarah. Aplikasinya tergantung dari kebutuhan dan impact yang diharapkan oleh peserta. Lawatan sejarah yang
dikemas dalam Edutainment akan menjadi lebih menarik bagi peserta.
Sebenarnya lawatan sejarah ini hanyalah kendaraan saja. Yang terpenting
adalah muatannya, baik itu internal maupun external issues, misalnya
educational vision and mission, self esteem, sense of belonging, awarding,
appreciation, product knowledge, atau competency.
Beberapa testimony mengungkapkan bahwa setelah mengikuti
lawatan sejarah tingkat daerah (Laseda) maupun tingkat nasional
(Lasenas- sudah 5 kali sejak 2003), peserta merasa memperoleh “sesuatu
yang baru” yang berbeda dengan sebelumnya (Kompas, 06 September
2003). Hal tersebut secara teoritik bukan hal yang mengherankan. Ada faktor-faktor kunci sukses yang terkumpul dalam diri peserta, serta
positive mental attitude, knowledge, skill, dan habit. Dengan melihat
faktor-faktor tersebut, maka pendekatan penting dikembangkan adalah
memberikan motivasi pada faktor positive mental attitude. Tekniknya
dilakukan dengan menggali keinginan seseorang yang paling dalam dan
menjadikannya sebagai main need atau main good. Sedang outputnya
Pada tahap persiapan setiap rancangan kegiatan, maka guru bertanggungjawab penuh menentukan scedule, dimana mereka secara cermat memperhitungkan alokasi waktu menit per menit. Harus dirancang agar tidak ada jeda yang menyebabkan acara jenuh. Hal ini dapat dikembangkan teknik-teknik entertainment seperti sounds, diantaranya music, ilustration, video presentation, inspirational message, games. Suatu variasi yang direkomendasikan oleh pembelajaran kontruktivisme dengan quantum learningnya.
Tiap-tiap pembicara yang terlibat dalam kegiatan ini saling berkoordinasi antara satu dengan yang lainnya. Mereka dapat saling mengisi dan saling menguatkan pesan (message), muatan (qoute) serta
materi (material) yang akan disampaikan sebagai suatu cotinual synergy
yang memiliki benang merah, yang akan memudahkan peserta untuk memahami pembelajaran yang disampaikan secara sederhana.
Lawatan sejarah ini dapat dilaksanakan dalam waktu mulai dari
setengah hari hingga tiga hari, baik indoor maupun outdoor, misalnya di
ballroom hotel, aula, lapangan terbuka, pool side, atau camp didaerah
pegunungan atau pantai diluar kota, tergantung situs sejarahnya tentu saja.
Lamanya kegiatan, penggunaan equipments serta penentuan aplikasi
materi-materi outbound mempengaruhi hasil akhir, yang dapat berupa soft,
middle, atau high impact. Artinya semakin tinggi impact yang dihasilkan,
24
lawatan sejarah. Bahkan ia akan dapat secara positif mempengaruhi dan memotivasi teman yang lainnya.
Menurut Mills (1989) dalam Cahyo Budi Utomo (2010:40), model adalah bentuk representasi akurat, sebagai proses actual yang memungkinkan seseorang atau sekelompok orang mencoba bertindak berdasarkan model itu. Hal itu merupakan interpretasi atas hasil observasi dan pengukuran yang diperoleh dari beberapa sistem.
Perumusan model mempunyai tujuan :
1. Memberikan gambaran kerja sistem untuk periode tertentu, dan
didalamnya secara implisit terdapat seperangkat aturan untuk melaksanakan perubahan.
2. Memberikan gambaran tentang fenomena tertentu menurut
diferensiasi waktu atau memproduksi seperangkat aturan yang bernilai bagi keteraturan sebuah sistem.
3. Memproduksi model yang mempresentasikan data dan format
ringkas dengan komplesitas rendah.
Dengan demikian, suatu model dapat ditinjau dari aspek mana kita memfokuskan suatu pemecahan permasalahannya. Pengertian model pembelajaran dalam konteks ini, merupakan landasan praktik pembelajaran hasil penurunan teori psikologi pendidikan dan teori belajar, yang direncanakan berdasarkan proses analisis yang diarahkan pada implementasi KTSP dan implikasinya pada tingkat operasional dalam pembelajaran.
Model mengajar dapat diartikan sebagai suatu rencana atau pola yang digunakan dalam menyusun kurikulum, mengatur materi pembelajaran dan memberi petunjuk kepada pengajar didalam kelas dalam setting pengajaran. Untuk menetapkan model mengajar yang tepat, merupakan suatu pekerjaan yang tidak mudah, karena memerlukan pemahaman yang mendalam mengenai materi yang akan diberikan dan model mengajar yang dikuasai (Utomo, 2010:40).
Memilih suatu model mengajar, harus juga disesuaikan dengan realitas yang ada dan situasi kelas yang akan dihasilkan dari proses kerjasamanya yang dilakukan antara guru dan peserta didik. Meskipun dalam menentukan model mengajar yang cocok itu tidak mudah, tetapi guru harus memilih asumsi, bahwa hanya ada model mengajar yang sesuai dengan model belajar. Apabila guru mengharapkan peserta didiknya menjadi produktif, maka guru harus membiarkannya dia berkembang sesuai dengan gayanya masing-masing. Guru hanya berperan sebagai fasilitator dalam proses belajar peserta didik(Utomo, 2010:41).
Model-model pengajaran merupakan hasil dari perjuangan para guru yang telah berhasil membuat jalan baru bagi kita untuk melakukan penelitian. Semua guru membuat sebuah reportoar tentang berbagai praktik pengajaran
agar mereka berinteraksi dengan para siswa dan mempertajam
lingkungan/suasana saat mengajar siswi-siswinya. Beberapa praktik ini menjadi sasaran kajian formal, diteliti dan dipoles sehingga menjadi model-model yang dapat kita gunakan dalam mengembangkan skill-skill propesional
26
untuk tugas-tugas pengajaran. Model-model pengajaran sebenernya juga bisa dianggap sebagai model-model pembelajaran. Saat kita membantu siswa memperoleh informasi, gagasan, skill, nilai cara berfikir, dan tujuan mengekspresikan diri mereka sendiri, kita sebenarnya tengah mengajari mereka untuk belajar. Pada hakikatnya, hasil intruksi jangka panjang yang paling penting adalah bagaimana siswa mampu meningkatkan kapabilitas mereka untuk dapat belajar lebih mudah dan lebih efektif pada masa yang akan datang, baik karena pengetahuan dan skill yang mereka peroleh maupun karena penguasaan mereka tentang proses belajar yang baik (Joyce, 2009:6-7). Bruce Joyce, dkk (2009) dalam bukunya Models of Teaching, model-model pengajaran di kelompokkan ke dalam empat kelompok pengajaran yang para anggotanya memiliki orientasi pada (sikap) manusia dan bagaimana mereka belajar. Kelompok-kelompok tersebut adalah:
Kelompok Model Pengajaran Memproses Informasi (the
information-processing family)
Kelompok Model Pengajaran Sosial (the social family)
Kelompok Model Pengajaran Personal (the personal family)
Kelompok Model Pengajaran Sistem Perilaku (the behavioral system
family)
Pada kegiatan lawatan sejarah ini, siswa di perkenalkan mengenai sumber, bukti dan fakta sejarah langsung. Misalkan saja sumber lisan, dimana siswa dapat bertanya langsung kepada saksi atau pelaku sejarah. Kemudian
siswa menyaksikan secara langsung jejak-jejak sejarah berupa bangunan-bangunan bersejarah serta monumen peringatan.
Adapun langkah-langkah dalam pelaksanaan model lawatan sejarah ini, pertama adalah kegiatan pembelajaran teori yang dilakukan oleh guru di dalam kelas pada pertemuan pertama. Kemudian pada jam mata pelajaran siswa diajak ketempat bersejarah, tetapi jam mata pelajaran nantinya akan di ambil jam pelajara terakhir. Pada pertemuan kedua di dalam kelas dilakukan evaluasi terhadap kegiatan yang telah dilakukan.
Lawatan sejarah di lakukan di situs sejarah yang berada di Kabupaten Magelang. Situs sejarah adalah daerah dimana ditemukan benda-benda purbakala. Benda-benda purbakala tersebut di antaranya: istana-istana, makam, masjid dan candi. Situs di Kabupaten Magelang banyak sekali peninggalan-peninggalan terutama candi-candi yang bercorak Hindu dan Buddha. Candi adalah bangunan keagamaan yang dipengaruhi oleh kebudayaan India yang berintikan alam pikiran Hindu dan Buddha. Sifat keagamaan dan kesakralan candi bagi masyarakat masa lampau dapat dilihat