• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

A. Pembelian Impulsif

faktor eksternal yang dapat memicu terjadinya pembelian impulsif, yaitu suasana toko. Suasana toko adalah salah satu bagian penting untuk merangsang konsumen melakukan pembelian impulsif (Wong & Zhou dalam Tinne, 2011). Pemasar dapat meningkatkan rangsangan pembelian konsumen dengan penampilan produk yang menarik, warna toko yang cerah, latar belakang musik, serta wangi ruangan toko (Verplanken & Herabadi, 2001). Selain menarik perhatian konsumen, hal tersebut dapat memunculkan suasana hati yang positif sehingga menimbulkan motivasi konsumen untuk melakukan pembelian (Beatty & Ferrel dalam Verplanken & Herabadi, 2001).

Faktor lain yang juga menjadi penentu pembelian impulsif konsumen adalah display produk. Penempatan suatu produk dalam sebuah toko juga dapat mempengaruhi konsumen dalam melakukan pembelian (Rahmadana, 2016). Selain itu, pemasar akan melakukan promosi kepada konsumen agar melakukan pembelian. Promosi menjadi salah satu bentuk pemasaran (marketing) yang dilakukan pihak toko yang menjadi faktor penentu pembelian impulsif konsumen (Loudon & Bitta dalam Anin, 2012).

Selain itu, Ilmalana (2012) mengemukakan faktor internal dari pembelian impulsif adalah kecenderungan pembelian impulsif yang berkaitan dengan kepribadian konsumen yang memiliki kontrol kognitif yang rendah dalam melakukan pembelian. Kontrol kognitif merupakan kemampuan konsumen dalam mengolah informasi serta menginterpretasikan informasi

yang diterima, kemampuan berpikir. Selain itu, kondisi psikologis konsumen yang meliputi mood, suasana hati juga menjadi faktor dalam pembelian impulsif. Faktor lain yang mempengaruhi pembelian impulsif adalah evaluasi normatif. Evaluasi normatif merupakan penilaian yang dilakukan oleh konsumen setelah melakukan pembelian, konsumen melakukan evaluasi dengan memandang bahwa pembelian impulsif merupakan perilaku yang tidak wajar sehingga konsumen cenderung merasa bersalah dalam melakukan pembelian impulsif. Namun, pada kenyataannya, sangat sedikit konsumen yang menilai pembelian impulsif sebagai perilaku yang tidak wajar (Rook & Fisher dalam Ilmalana, 2012).

Rook & Gardner (dalam Kacen & Lee, 2002) menjelaskan emosi positif sebagai faktor internal yang mempengaruhi pembelian impulsif. Emosi positif lebih dapat mendorong konsumen untuk melakukan pembelian impulsif daripada emosi negatif, walaupun pembelian impulsif tersebut dapat terjadi pada kedua emosi tersebut. Gaya hidup yang didasarkan pada kesenangan dan hiburan dalam diri konsumen atau juga disebut kesenangan hedonis juga menjadi faktor terjadinya perilaku pembelian impulsif. Selain itu, hasrat belanja konsumen yang dipengaruhi oleh intensitas keadaan, serta berhubungan langsung dengan keinginan untuk memenuhi kebutuhan hedonisnya seperti, kesenangan, kebahagiaan serta kepuasan (Kacen & Lee, 2002). Rook (dalam Sharma, Sharma & Mittal, 2012) menambahkan bahwa keadaan psikologis konsumen juga mempengaruhi konsumen dalam melakukan pembelian impulsif.

Sebuah perusahaan riset, melakukan survei mengenai pembelian impulsif pada 1.804 responden di beberapa kota besar di Indonesia dan menunjukkan peningkatan pada tahun 2013 sebesar 10 persen (Nielsen, 2013). Berdasarkan data tersebut, dapat dikatakan bahwa pembelian impulsif semakin menjadi gaya hidup dikalangan masyarakat Indonesia. Selain itu, fenomena pembelian impulsif ini dapat terjadi diberbagai kalangan usia (Dahlan, dalam Ira, 2008). Wood (dalam Rana & Tirthani, 2012) mengatakan bahwa kecenderungan pembelian impulsif cenderung meningkat pada usia antara 18-39 tahun dan menurun pada usia setelahnya. Hal ini membuat remaja termasuk dalam rentang usia tersebut. Selain itu, penelitian sebelumnya juga menyatakan bahwa usia remaja (18-20 tahun) melakukan pembelian impulsif dengan mengambil keputusan untuk melakukan pembelian secara tiba-tiba ketika berada di dalam toko (Rangga, 2014).

Pertumbuhan pusat perbelanjaan yang semakin pesat ini dapat dijadikan tempat untuk berkumpul dengan teman sebaya (Maharani, 2010). Hal yang sama diungkapkan oleh Astasari & Sahrah (2006) yang mengatakan bahwa remaja suka menghabiskan waktu luang di pusat perbelanjaan. Semula remaja tersebut hanya ingin jalan-jalan bersama teman sekelompok, namun tanpa disadari ketika melihat produk yang menarik perhatian mereka akan langsung membeli produk tersebut (Astasari & Sahrah, 2006). Berdasarkan hal tersebut, remaja khususnya yang berstatus sebagai mahasiswa cenderung menjadi incaran utama para pemasar. Hal ini dikarenakan konsumen remaja belum memiliki kematangan emosi yang stabil sehingga sangat mudah

terpengaruh promosi yang dilakukan oleh pemasar, kurang berpikir hemat dan memikirkan konsekuensi yang terjadi, serta kurang realistis (Utami & Sumaryono, 2008).

Pembelian impulsif pada remaja tersebut dapat dikontrol oleh remaja apabila remaja tersebut memiliki kemandirian dalam dirinya. Jihadah & Alsa (2012) mengungkapkan bahwa usia remaja yang menyandang status sebagai mahasiswa tahun pertama akan mengalami banyak perkembangan psikologis. Salah satu perubahannya adalah menjadi remaja yang mandiri dengan berusaha untuk melepaskan ketergantungan diri dari orang lain. Selain itu, pada umumnya mahasiswa tahun pertama memiliki intelektual yang semakin matang, serta cara berpikir yang baru dan memiliki wawasan yang luas (Papalia, Olds, Feldman, Camp, 2007).

Kemandirian merupakan kemampuan seseorang dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi tanpa bantuan dari orang lain serta kreatif dan mempunyai inisiatif dalam pengambilan keputusan sendiri. Kemandirian juga meliputi kebebasan untuk bertindak, tidak terpengaruh oleh lingkungan, serta tidak tergantung pada orang lain dan dapat mengatur kebutuhannya sendiri (Nurhayati, 2011).

Havinghust (dalam Musdalifah, 2007) mengemukakan empat aspek yang membentuk kemandirian remaja, yaitu kemandirian emosi, kemandirian ekonomi, kemandirian intelektual, kemandirian sosial. Kemandirian emosi adalah kemampuan untuk mengatur emosi sendiri, serta tidak tergantung kebutuhan emosi pada orang lain. Kemandirian ekonomi merupakan

kemampuan untuk mengatur ekonomi sendiri dan tidak menggantungkan kebutuhan ekonominya pada orang tua maupun orang lain. Kemandirian intelektual adalah kemampuan untuk mengatasi sendiri berbagai masalah yang dihadapi tanpa bantuan orang lain. Kemandirian sosial meliputi kemampuan mengadakan interaksi dengan orang lain maupun orang disekitar (Havinghust dalam Musdalifah, 2007).

Remaja memiliki pilihan sendiri untuk mengelola serta mengatur atau menggunakan uangnya dan dengan bebas dapat menentukan produk apa yang hendak dibeli (Tambunan, 2001). Namun disisi lain, kematangan emosi yang dimiliki pada masa remaja cenderung belum stabil. Hal ini memunculkan berbagai gejala perilaku yang tidak wajar dalam pembelian pada remaja. Pembelian tersebut biasanya dilakukan bukan untuk memenuhi kebutuhan mereka, akan tetapi remaja cenderung mengikuti trend dalam pergaulannya sehingga membeli sesuatu berdasarkan keinginan mereka (Tambunan, 2001).

Berdasarkan uraian tersebut peneliti ingin meneliti apakah ada hubungan antara kemandirian dan kecenderungan pembelian impulsif pada mahasiswa tahun pertama.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uaraian tersebut, permasalahan yang ingin diketahui oleh peneliti yaitu apakah ada hubungan antara kemandirian dan kecenderungan pembelian impulsif pada mahasiswa tahun pertama?

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan antara kemandirian dan kecenderungan pembelian impulsif pada mahasiswa tahun pertama.

D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu psikologi khususnya Psikologi Konsumen dan Perkembangan mengenai pembelian impulsif dan kemandirian.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi remaja untuk evaluasi diri terkait kemandirian dan kecenderungan pembelian impulsif.

10

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pembelian Impulsif

1. Definisi Pembelian Impulsif

Rook (1987) mendefinisikan pembelian impulsif sebagai perilaku pembelian yang dilakukan tanpa rencana, terjadi secara tiba-tiba, didorong oleh keinginan kuat untuk memiliki suatu produk tertentu dan disertai perasaan senang dan gembira (dalam Verplanken dan Herabadi 2001). Rook (1987) juga mendefiniskan pembelian impulsif secara komprehensif dengan tiga ciri utama, yaitu dorongan yang kuat dan tak tertahankan untuk membeli, cenderung mendadak dan dilakukan tanpa pertimbangan yang matang.

Pembelian impulsif secara spontan dan tanpa direncanakan ini dapat terjadi apabila konsumen meyakini bahwa pembelian impulsif yang dilakukan merupakan hal yang wajar (Rook dan Fisher, 1995). Selain itu, pembelian impulsif cenderung menimbulkan pengalaman emosional sehingga terlihat sebagai sugesti. Hal ini memunculkan pandangan bahwa pembelian impulsif merupakan keputusan pembelian yang irasional (Japarianto dan Sugiharto, 2011). Hal yang sama diungkapkan oleh Verplanken dan Herabadi (2001) yang mendefinisikan pembelian impulsif merupakan pembelian yang kurang menggunakan rasional serta disebut sebagai pembelian yang cepat dan kurang direncanakan

Kacen & Lee (2002) menambahkan bahwa pembelian impulsif ini juga didukung oleh ketertarikan konsumen akan produk yang ingin dibeli, perasaan untuk ingin memiliki produk dengan segera dan cenderung mengabaikan konsekuensi dari pembelian tersebut serta merasakan kepuasan setelah melakukan pembelian dan munculnya konflik antara pengendalian dan keinginan dalam diri konsumen. Hal yang sama diungkapkan oleh Gasiorowska (2003) yang mendefiniskan bahwa pembelian impulsif yang terjadi atas perwujudan sebuah reaksi terhadap stimulus tertentu, seperti dari produk itu sendiri.

Piron (dalam Sharma, Sharma & Mittal, 2012) menambahkan bahwa pembelian impulsif dapat menambah gairah dalam berbelanja, karena perilaku pembelian ini cenderung tidak terstruktur dan terjadi secara instan, serta konsumen tidak mencari suatu produk tertentu dan tidak berencana untuk melakukan pembelian. Selain itu, Engel dan Blackwell (1995) menambahkan bahwa pembelian impulsif dapat terjadi ketika konsumen masuk dan berada di dalam toko (dalam Muruganantham dan Bhakat, 2013). Hal tersebut didukung oleh Silvera, Lavack, Kropp (dalam Yistiani, Yasa & Suasana, 2012) yang mengatakan bahwa pembelian impulsif akan meningkat apabila konsumen yang berkunjung merasa nyaman dalam berbelanja di toko tersebut.

Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelian impulsif adalah pembelian yang terjadi secara tiba-tiba,

spontan, tanpa perencanaan serta tanpa pertimbangan yang matang dan mengabaikan konsekuensi yang muncul, pembelian ini didasari oleh dorongan emosional yang bersifat mendesak serta sulit dikontrol dan bertujuan untuk kesenangan serta kepuasan untuk memiliki suatu produk yang disukai dengan segera.

2. Elemen dalam Pembelian Impulsif

Verplanken dan Herabadi (2001) mengatakan terdapat dua elemen dalam pembelian impulsif, yakni :

a. Kognitif

Elemen kognitf dalam pembelian impulsif meliputi konsumen yang kurang melakukan pertimbangan serta perencanaan dalam melakukan keputusan pembelian (Verplanken & Herabadi, 2001). Konsumen cenderung melakukan pembelian secara spontan karena pengaruh promosi (Rook, 1987), harga dari produk dan keuntungan yang didapatkan ketika membeli produk (Verplanken dan Aarts dalam Verplanken dan Herabadi, 2001). Selain itu, konsumen menerima informasi dengan cepat sehingga informasi akan kualitas dan kuantitas suatu produk yang diterima sangat sedikit. Konsumen juga cenderung mengabaikan konsekuensi dalam melakukan pembelian (Rook, 1987).

b. Afektif

Elemen afektif meliputi respon emosional yang muncul terlebih dahulu atau setelah terjadi pembelian. Respon emosional tersebut berupa kegembiraan dan perasaan senang. Selain itu, muncul perasaan ingin segera untuk memiliki suatu produk sebelum melakukan pembelian impulsif (Verplanken dan Herabadi, 2001). Setelah melakukan pembelian, konsumen akan merasakan penyesalan karea telah melakukan pemborosan dalam berbelanja (Ditmar & Drury dalam Verplanken & Herabadi, 2001). Berdasarkan aspek-aspek yang telah dikemukakan, dapat dikatakan bahwa terdapat dua elemen dalam pembelian impulsif, yaitu kognitif dan afektif. Elemen kognitif pembelian impulsif yang dilakukan konsumen cenderung kurang melakukan pertimbangan serta perencanaan dalam memutuskan untuk melakukan pembelian sedangkan pada afektif, konsumen melakukan pembelian impulsif berdasarkan emosi seperti, dorongan untuk memiliki produk yang disukai disertai dengan rasa senang dan puas serta adanya resiko muncul rasa penyesalan setelah membeli.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembelian Impulsif

Pembelian impulsif memiliki dua faktor yang mempengaruhi perilaku tersebut, yaitu faktor internal dan eksternal :

a. Faktor Eksternal

Faktor eksternal adalah faktor pembelian impulsif yang berasal dari luar individu. Muruganantham dan Bhakat (2013) menjelaskan bahwa lingkungan toko dapat mempengaruhi konsumen untuk melakukan pembelian impulsif ketika sedang berada didalam toko. Ransangan yang berasal dari dalam toko meliputi tata letak, pencahayaan, perlengkapan toko, suara, bau, warna akan mempengaruhi konsumen dalam melakukan pembelian (Applebaum dalam Murganantham dan Bhakat, 2013). Pembelian impulsif juga dapat terjadi karena promosi yang dilakukan oleh pemasar. Pemasar dapat melakukan promosi dengan mengatur posisi display produk, pengaturan dalam toko serta kupon agar konsumen tertarik untuk melakukan pembelian (Muruganantham dan Bhakat, 2013).

Loudon dan Bitta (dalam Anin , 2012) mengungkapkan faktor marketing atau pemasaran juga mempengaruhi dalam pembelian impulsif, dorongan untuk melakukan pembelian berdasarkan saran dari sales promosi atau saran dari teman. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Applebaum (dalam Muruganantham & Bhakat, 2013) yang menjelaskan bahwa secara langsung maupun tidak

langsung, pelayan toko akan mempengaruhi keputusan konsumen dalam melakukan pembelian.

b. Faktor Internal

Faktor internal berkaitan langsung pada konsumen dengan melihat syarat internal dan karakteristik pada konsumen yang menjadi faktor dalam pembelian impulsif (Karbasivar & Yarahmadi, 2011). Salah satu faktor internal yaitu emosi. Verplanken & Herabadi (2001) mengemukakan bahwa keadaan emosi seseorang dapat mempengaruhi seseorang dalam melakukan pembelian impulsif. Konsumen yang cenderung fokus pada keadaan afektifnya seperti tindakan orientasi yang tinggi meliputi mood, keadaan emosi, dan perasaan diri serta kurangnya kemandirian dalam pengambilan keputusan (Verplanken & Herabadi, 2001) juga akan mengalami dorongan yang kuat untuk melakukan pembelian impulsif (Dholakia, 2000; Rook, 1987; Youn & Faber, 2000). Konsumen yang kurang mandiri dalam keadaan emosi akan memiliki emosi yang tidak stabil sehingga cenderung melakukan pembelian impulsif untuk meningkatkan mood dan menghindari suasana hati dan perasaan negatif dengan perasaan senang setelah melakukan pemblian impulsif (Sneat, Lacey, Knneth-Hansel, 2009; Verplanken & Herabadi, 2001)

Kacen & Lee (2002) mengungkapkan bahwa evaluasi normatif juga dapat mendorong perilaku pembelian impulsif. Evaluasi normatif merupakan penilaian konsumen tentang pembelian impulsif dalam situasi tertentu. Pada umumnya pembelian impulsif sering dipandang negatif sebagai pembelian yang tidak rasional dan boros (Rook & Fisher, 1995). Selain itu, konsumen juga akan merasakan penyesalan setelah melakukan pembelian impulsif (Verplanken & Herabadi, 2001), namun sebagian konsumen tidak merasa bahwa pembelian impulsif merupakan perilaku yang salah dan tidak pantas (Rook, 1987; Hausman, 2000).

Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa faktor eksternal yang mempengaruhi pembelian impulsif meliputi lingkungan dan ransangan dari dalam toko, promosi, serta marketing pemasaran. Sedangkan faktor internal yang mempengaruhi pembelian impulsif meliputi karakteristik konsumen, keadaan afektif (mood, keadaan emosi, perasaan diri serta kemandirian dalam pengambilan keputusan), evaluasi normatif.

Dokumen terkait