• Tidak ada hasil yang ditemukan

(Seeded and Seedless Pummelo Fruit Formation) ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pembentukan buah berbiji dan tidak berbiji pada pamelo. Hasil penelitian menunjukkan ke-10 aksesi pamelo yang diamati memiliki tepung sari yang fertil, dan viabilitas tepung sari aksesi berbiji dan potensial berbiji lebih besar dibandingkan aksesi tidak berbiji. Aksesi pamelo yang diamati mampu membentuk buah partenokarpik. Penyerbukan sendiri secara alami pada ‘Bali Merah 1’, ‘Bali Merah 2, ‘Nambangan’ dan ‘Bageng Taji’ menghasilkan buah tidak berbiji, tetapi pada ‘Jawa 3’, sebagian buah berbiji. Dengan penyerbukan sendiri secara buatan kelima aksesi mampu membentuk buah berbiji, dengan jumlah beragam, yang mengindikasikan adanya sifat self-compatible. Penyerbukan silang maupun penyerbukan terbuka pada semua aksesi menghasilkan buah berbiji dengan derajat yang berbeda, yang menunjukkan fertilitas ovul. ‘Bali Merah 2’ diduga memiliki derajat partenokarpi yang tinggi, dilihat dari jumlah biji yang rendah (<10 biji per buah) pada semua perlakuan penyerbukan.

ABSTRACT

This study was aimed at investigating fruit formation of seeded and seedless pummelo accessions. Observations on fruit formation between selected seeded and seedless pummelo demonstrated that those pummelos accessions were able to produce parthenocarpic fruits, but bored seeded fruits, when self pollination was induced, thus indicated self-compatibility. Natural self- pollination on ‘Bali Merah 1’, ‘Bali Merah 2, ‘Nambangan’ and ‘Bageng Taji’ yielded seedless fruits, but most fruits of ‘Jawa 3’ was seeded. Artificial self- pollination on those accessions produced seeded fruit, thus showed ovule fertility. ‘Bali Merah 2’ was shown to have high parthenocarpic degree, as indicated by less seed number (<10 seed per fruit) in all pollination treatments. Therefore seedlessness in those pummelo accessions was not caused by pollen and ovule sterility, self-incompatibility, or poliploidy but due to parthenocarpy.

PENDAHULUAN

Indonesia memiliki banyak aksesi pamelo, dan merupakan salah satu daerah penanaman pamelo, selain China bagian selatan, Thailand bagian Selatan, Taiwan, Jepang dan India Selatan, Malaysia, New Guinea dan Tahiti (Morton 1987). Aksesi-aksesi pamelo memiliki jumlah biji beragam, dari tidak berbiji sampai berbiji (Ladaniya 2008).

Pembentukan biji pada buah jeruk dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Hal ini membuat jumlah biji beragam, bahkan dalam satu kultivar yang sama, tergantung pada waktu dan daerah penanaman (Yamamoto et al.

1995). Pembentukan buah tidak berbiji pada jeruk dipengaruhi oleh self-

incompatibility (Gomez-Alverado et al. 2004, Yamamoto et al. 2006) yang

menginduksi partenokarpi (Yamamoto dan Tominaga 2002), sterilitas jantan dan sterilitas betina (Yamamoto et al. 1995), poliploidi, dan waktu reseptif kepala putik terhadap tepung sari. Sterilitas jantan terjadi pada kondisi tidak ada atau tidak berfungsinya tepung sari, sedangkan sterilitas betina terjadi bila ovul tidak mampu berfungsi secara normal (Poespodarsono 1988).

Self-incompatibility adalah mekanisme penolakan tanaman induk terhadap

tepung sari yang mengekspresikan alela yang sama dengan genotipe tanaman induk (de Nettancourt 1977), atau mekanisme yang memungkinkan putik suatu tanaman menolak tepung sarinya sendiri atau tepung sari dari individu yang berkerabat secara genetik (Kao dan Huang 1994). Selama ini pamelo dikenal sebagai tanaman yang self-incompatible (Niyomdham 1992, Yamamoto et al. 2006), namun dijumpai tanaman yang tetap berbuah walaupun tidak berbiji, diduga terjadi partenokarpi, yaitu buah dapat terbentuk walaupun tanpa proses pembuahan. Tanaman jeruk yang menghasilkan buah tidak berbiji bila tidak ada pembuahan disebut memiliki sifat facultative parthenocarpy (Iglesias et al. 2007). Selain itu tanaman jeruk triploid (3n) biasanya menghasilkan buah tidak berbiji (Toolapong et al. 1995).

Sterilitas tepung sari ditemukan pada berbagai tingkat pada banyak kultivar jeruk (Jackson dan Gmitter tanpa tahun). Untuk mengetahui aktivitas

gamet jantan, dilakukan uji viabilitas, antara lain dengan metode pewarnaan dan perkecambahan tepung sari secara in vitro.

Metode pewarnaan banyak digunakan untuk menduga viabilitas tepung sari, karena mudah dilakukan. Di antara berbagai metode pewarnaan (acetic- orcein, arcetic-carmin, IKI, acridine orange, tetrazolium klorida), penggunaan tetrazolium klorida berkorelasi lebih baik dengan kemampuan tepung sari berkecambah (Heslop-Harrison et al. 1984). Metode perkecambahan dilakukan untuk mendapatkan informasi yang lebih baik mengenai fertilitas tepung sari, dibandingkan cara pewarnaan.

Faktor lingkungan yang mempengaruhi pembentukan biji pada buah antara lain suhu dan musim. Pada orange ’Satsuma’ fertilitas tepung sari meningkat 14- 23% pada suhu 15-20 oC dibandingkan suhu kontrol (di luar greenhouse) (Yang dan Nakagawa 1970). Buah pamelo yang dipetik pada panen raya berbiji lebih banyak dibanding hasil panen di luar musim (Niyomdham 1992). Pada aksesi pamelo di Indonesia belum diketahui mekanisme pembentukan buah tidak berbijinya, sehingga perlu dilakukan penelitian untuk memahaminya. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakter yang berkaitan dengan pembentukan buah pamelo berbiji, tidak berbiji dan potensial tidak berbiji.

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat

Pembuatan preparat untuk uji viabilitas serbuk sari dilakukan di Desa Tambak Mas, Kecamatan Sukomoro, Kabupaten Magetan pada bulan Nopember 2011, dan pengamatan preparat dikerjakan di Laboratorium Mikroteknik Departemen Agronomi dan Hortikultura, IPB pada bulan Desember 2011 sampai Januari 2012. Percobaan penyerbukan untuk mempelajari pembentukan buah pada pamelo dilakukan di Desa Bageng, Kecamatan Gembong, Kabupaten Pati dan Desa Tambak Mas, Kecamatan Sukomoro, Kabupaten Magetan pada bulan Oktober 2010 sampai Maret 2012.

Uji Viabilitas Tepung Sari Aksesi Pamelo Berbiji dan Tidak Berbiji

Pengujian viabilitas tepung sari pamelo dilakukan dengan dua cara, yaitu pewarnaan dan pengecambahan. Tepung sari diperoleh dari kuncup bunga pada stadia balon (satu hari sebelum mekar), yang diambil dari aksesi berbiji (Jawa 2, Magetan, Sri Nyonya, Adas Duku, Bali Putih, Jawa 3), potensial tidak berbiji (Nambangan, Bali Merah 1) dan tidak berbiji (Jawa 1 dan Bali Merah 2). Setiap aksesi menggunakan tiga pohon. Bahan yang digunakan adalah tetrazolium klorida (TTC), media perkecambahan Pollen Germination Medium (PGM) (Schreiber dan Dresselhaus (2003) yang telah dimodifikasi oleh Warid 2010), pinset, gelas vial, mikroskop Olympus BX41, perlengkapan fotografi.

Uji Pewarnaan Tepung Sari. Dari tiap pohon diambil 10 kuncup bunga pada stadia balon, dan dari masing-masing bunga diambil satu kepala sari kemudian dicampur. Penentuan viabilitas tepung sari menggunakan larutan TTC (2,3,5- triphenyl tetrazolium chloride) 1%. Tepung sari ditebarkan di atas gelas obyek (tebal 1-1.2 mm), ditetesi dengan larutan TTC dan segera ditutup dengan cover

glass untuk mengeluarkan oksigen yang dapat menghambat reduksi pewarna.

Preparat diinkubasi di dalam boks plastik yang dialasi tisu basah selama 3 jam. Perbedaan antara tepung sari yang hidup dengan yang tidak hidup dilihat dari kemampuannya menyerap warna setelah diberi larutan TTC. Tepung sari yang hidup akan berwarna merah, sedangkan yang tidak hidup berwarna kuning. Dari tiap gelas preparat dilakukan tiga kali pengamatan pada tiga-lima bidang pandang berbeda. Tiap perlakuan diulang tiga kali dengan tiga preparat pada tiap ulangan. Banyaknya polen tiap ulangan sekitar 200 – 400 butir. Viabilitas serbuk sari dihitung dengan rumus:

Viabilitas = total polen yang terwarnai dalam bidang pandang x 100% jumlah polen yang diwarnai dalam bidang pandang

Uji Perkecambahan Tepung Sari. Sebanyak 10 bunga dipetik pada stadia balon dan disimpan pada suhu ruang selama 24 jam. Dari tiap bunga diambil satu benang sari, untuk dipisahkan serbuk sarinya. Komposisi media kultur yang digunakan untuk mengecambahkan tepung sari terdiri atas campuran 10% sukrosa, 0.005% H3BO3, 10 mM CaCl2, 0.05 mM KH2PO4, dan 4% Polyetilene Glycol 6000 (PEG).

Media kultur yang telah disaring dengan kertas saring diambil 10 ml untuk dituangkan ke dalam gelas vial. Tepung sari tiap aksesi dimasukkan ke dalam gelas vial. Tepung sari dianggap berkecambah jika panjang tabung sari lebih besar dari diameter butiran tepung sari. Pengamatan dilakukan dengan meletakkan satu tetes larutan media dan tepung sari di atas gelas preparat, kemudian ditutup dengan cover glass, dan diamati di bawah mikroskop dengan pembesaran 100 x.

Pengamatan terhadap butir tepung sari yang berkecambah dilakukan setelah diinkubasi selama 3 jam. Dari tiap gelas preparat dilakukan tiga kali pengamatan pada tiga-lima bidang pandang berbeda. Tiap perlakuan diulang tiga kali dengan tiga preparat pada tiap ulangan. Sebelum diolah data terlebih dahulu ditransformasi arcsin persentasemenggunakan tabel J agar data menyebar normal (Gomez dan Gomez 1995).Banyaknya polen tiap ulangan sekitar 100 – 400 butir. Viabilitas serbuk sari dihitung dengan rumus:

Viabilitas = total polen yang berkecambah dalam bidang pandang x 100% jumlah polen yang dikecambahkan dalam bidang pandang

Uji PenyerbukanAksesi Pamelo Berbiji dan Tidak berbiji

Percobaan ini menggunakan rancangan perlakuan petak terbagi dan rancangan lingkungan acak lengkap yang terdiri atas dua faktor, yaitu aksesi pamelo dan perlakuan penyerbukan. Aksesi merupakan petak utama yang terdiri atas lima taraf, yaitu Jawa 3, Bali Merah1, Nambangan, Bali Merah 2 dan Bageng Taji. Perlakuan penyerbukan dibedakan atas lima taraf, yaitu tanpa penyerbukan/emaskulasi (E), penyerbukan sendiri secara alami (PSd-A), penyerbukan sendiri secara buatan (PSd-B), penyerbukan terbuka (PT) dan penyerbukan silang buatan (PSg-B). Setiap perlakuan diulang tiga kali, dan tiap unit percobaan ialah 10 rangkaian bunga. Setiap pohon mendapat semua perlakuan penyerbukan. Untuk keperluan penyerbukan silang buatan digunakan tepung sari aksesi yang tumbuh berdekatan, kecuali pada ’Bageng Taji’ diserbuki dengan ’Cikuning’, aksesi asal Majalengka yang tumbuh di Ciawi, Bogor.

Percobaan penyerbukan dilakukan pada tunas bunga berdaun pada stadia balon (satu hari sebelum mekar). Bunga yang telah diberi perlakuan dibungkus dengan kantong kertas dan diberi label. Kantung kertas dibuka empat minggu

setelah penyerbukan (MSP). Untuk keperluan penyerbukan buatan, tepung sari segar didapat dari kuncup bunga yang dipetik sebelum mekar. Mahkotanya dibuang dan tepung sarinya dikeringkan pada suhu ruang.

Perlakuan penyerbukan dilakukan dengan lima cara, yaitu:

1. Tanpa Penyerbukan/Emaskulasi (E). Kuncup bunga aksesi yang dicobakan diemaskulasi dengan membuang kepala sari menggunakan pinset, kemudian bunga dibungkus dengan kantong kertas. Perlakuan ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan tanaman membentuk buah partenokarpik (pembentukan buah tanpa proses fertilisasi) dan agamospermi (pembentukan biji tanpa proses fertilisasi).

2. Penyerbukan sendiri secara alami (Psd-A). Kuncup bunga aksesi yang dicobakan dibungkus dengan kantong kertas. Perlakuan ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan bunga untuk melakukan penyerbukan tanpa vektor biotik (kleistogami).

3. Penyerbukan sendiri secara buatan (PSd-B). Kuncup bunga diemaskulasi dan diserbuki secara buatan dengan serbuk sari dari bunga lain pada tanaman yang sama. Perlakuan ini bertujuan untuk mengetahui kemungkinan potensi geitonogami (penyerbukan dengan tepung sari dari bunga berbeda pada tanaman yang sama) dan self-compatibility.

4. Penyerbukan terbuka (PT). Pada perlakuan ini bunga aksesi yang diuji tidak dibungkus, dan penyerbukan dilakukan secara terbuka (open

pollination). Perlakuan ini bertujuan untuk mengetahui fertilitas ovul,

berdasarkan kemampuan tanaman membentuk biji pada penyerbukan terbuka. 5. Penyerbukan silang buatan (Psg-B). Kuncup bunga bunga aksesi yang diuji diemaskulasi dan diserbuki secara buatan dengan serbuk sari dari bunga kultivar lain. Perlakuan ini bertujuan untuk mengetahui potensi alogami (penyerbukan dengan tepung sari dari aksesi berbeda) dan cross- compatibility.

Pengamatan dilakukan terhadap jumlah buah yang terbentuk pada umur 4 dan 12 MSP, jumlah biji berkembang sempurna, jumlah biji tidak berkembang sempurna dan jumlah biji yang hampa pada saat 12 MSP.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Viabilitas Tepung Sari Aksesi Pamelo Berbiji dan Tidak Berbiji

Hasil pengujian viabilitas tepung sari dengan pewarnaan maupun perkecambahan menunjukkan seluruh aksesi pamelo yang diamati memiliki tepung sari yang fertil. Pewarnaan dengan TTC menyebabkan perubahan warna menjadi merah pada tepung sari yang viable, sementara tepung sari yang tidak

viable tetap berwarna kuning (Gambar 24). Perubahan warna ini disebabkan

akumulasi formazan (Mustakallio dan Ahos 1955).Formazan terbentuk sebagai hasil reaksi antara tetrazoliumdengan enzim dehidrogenase yang terdapat dalam sel hidup yang aktif berespirasi.

Berdasarkan teknik pewarnaan, viabilitas tepung sari tidak dipengaruhi oleh aksesi, tetapi dipengaruhi oleh kelompok aksesi (berbiji, potensial tidak berbiji dan tidak berbiji). Dari hasil uji lanjut diketahui, viabilitas tepung sari kelompok aksesi berbiji dan potensial tidak berbiji nyata lebih besar dibandingkan kelompok aksesi tidak berbiji (Tabel 20). Hal yang sama disampaikan Kahn dan Chao (2004), yaitu varietas yang mempunyai sedikit atau tidak memiliki tepung sari fungsional akan menghasilkan buah berbiji sedikit atau tidak berbiji. Sementara pada uji perkecambahan, viabilitas tepung sari tidak dipengaruhi oleh aksesi maupun kelompok aksesi.

Tabel 20 Hasil uji viabilitas tepung sari pada kultivar berbiji, potensial tidak berbiji dan tidak berbiji

Kelompok aksesi Persentase tepung sari viable

Pewarnaan Perkecambahan

Berbiji 46.70b 41.58

Potensial Tidak Berbiji 43.02 b 43.42

Tidak Berbiji 38.82 a 39.32

Keterangan: Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji BNT pada taraf 0.05.

(a) (b)

Gambar 24 (a) Perbedaan warna tepung sari yang viable (merah) dan nonviable

(kuning) pada ’Bali Merah 1’, dan (b) tepung sari yang berkecambah pada ’Nambangan’.

Evaluasi Kemampuan Pembentukan Buah Pamelo Tidak Berbiji Melalui Uji Penyerbukan

Percobaan penyerbukan tidak dapat dilakukan dalam satu musim, karena pada tahun 2010 tidak terjadi musim bunga raya, akibat curah hujan yang tinggi sepanjang tahun. Untuk mengantisipasi musim yang tidak menentu, percobaan dilakukan bertahap dalam kondisi kurang optimum, karena jumlah bunga yang terbatas. Tahap 1 pada ’Bageng Taji’ dilakukan pada periode Oktober 2010- Maret 2011, tahap 2 pada Maret 2011-September 2011, dan tahap 3 pada September 2011-Maret 2012. Tahap 1 pada ’Jawa 3’ dan ’Bali Merah 1’ dan ’Nambangan’ dilakukan pada Pebruari 2011-Mei 2011, tahap 2 pada Mei 2011- Nopember 2011. Percobaan dalam musim bunga raya (tahap 3) di Magetan dilakukan pada Nopember 2011-Maret 2012 menggunakan delapan aksesi (Sri Nyonya, Jawa 1, Magetan, Bali Merah 1, Bali Merah 2, Nambangan dan Jawa 3), tetapi hasil penyerbukan yang lengkap hanya diperoleh dari empat aksesi (Jawa 3, Nambangan, Bali Merah 1 dan Bali Merah 2).

Perlakuan emaskulasi pada ’Bageng Taji’, ’Bali Merah 1’, ’Bali Merah 2’, dan ’Jawa 3’ menunjukkan keempat aksesi mampu membentuk buah partenokarpik (tanpa proses pembuahan). Buah yang terbentuk seluruhnya tidak berbiji (Tabel 21, Gambar 25). Dengan demikian partenokarpi pada pamelo bersifat fakultatif, karena hanya terjadi bila tidak ada penyerbukan (Iglesias et al.

2007). Namun menurut Yamamoto dan Tominaga (2002) pembentukan buah tidak berbiji pada jeruk selain disebabkan oleh sifat partenokarpik, juga dapat

merupakan kombinasi dari partenokarpi dengan self-incompatibility, aborsi embrio, jantan atau betina steril.

Penyerbukan sendiri secara alami (PSd-A) pada ’Bageng Taji’, ’Bali Merah 1’, ’Bali Merah 2’ dan ’Nambangan’ menghasilkan buah tidak berbiji, sedangkan pada ’Jawa 3’ hanya 33.3% yang tidak berbiji (Tabel 21, Gambar 26). Diduga hal ini berkaitan dengan viabilitas tepung sari aksesi berbiji (Jawa 3) yang lebih tinggi dibandingkan aksesi tidak berbiji, sehingga mampu membentuk biji dengan persarian sendiri secara alami. Disamping itu keberhasilan penyerbukan sendiri secara alami juga berhubungan dengan perbedaan kedudukan benang sari terhadap putik. Aksesi dengan posisi benang sari lebih tinggi atau setara dengan kepala putik memiliki peluang lebih besar untuk menyerbuk sendiri, karena kepala putik sudah reseptif sebelum bunga mekar (Ashari 2004). Dalam hal ini ‘Bageng Taji’ memiliki benang sari yang lebih rendah dibandingkan kepala putik, sedangkan ‘Nambangan’, ‘Bali Merah 2’ dan ‘Jawa 3’ setara dan ‘Bali Merah 1’ lebih panjang. Dengan demikian peluang penyerbukan sendiri secara alami pada ‘Bageng Taji’ relatif lebih kecil dibandingkan keempat aksesi lainnya.

Perbedaan hasil penyerbukan sendiri secara alami kemungkinan juga disebabkan perbedaan reseptivitas putik terhadap tepung sari atau periode penyerbukan efektif (PPE). Pio et al. (2004) melaporkan bahwa reseptivitas orange pada stadia balon sekitar 80-100%, dan pada bunga mekar sebesar 100%, sedangkan kuncup yang masih kecil belum reseptif. Reseptivitas putik pamelo ‘Hom Hat Yai’ terhadap tepung sari pamelo ‘Klan’ juga mencapai puncak pada saat antesis/bunga mekar (Kaewtubtim dan Wunnachit 1995). Berdasarkan kemampuannya membentuk biji dengan menggunakan tepung sari mandarin ‘Fortune’, diketahui PPE pada C. clementina dan C. sinensis adalah 8-9 hari, sedangkan pada C. Unshiu selama 2-3 hari, sehingga C. clementina dan C. sinensis lebih mampu menghasilkan biji dibandingkan C. Unshiu (Mesejo et al.

2007). Pada aksesi pamelo di Indonesia belum diketahui PPEnya, tetapi pengamatan di lapang menunjukkan semua kepala putik sudah reseptif pada stadia balon, yang ditandai dengan permukaannya yang lengket, karena eksudat yang dikeluarkan oleh kepala putik. Kemampuan ‘Jawa 3’ membentuk buah berbiji

pada penyerbukan sendiri secara alami diduga karena PPEnya yang relatif panjang.

Tabel 21 Hasil penyerbukan pada berbagai aksesi pamelo

Rata-rata jumlah biji per buah Aksesi/ Kultivar Perlakuan Jumlah buah yang diamati Sempur- na Kempes Tidak berkem- bang Persentase buah tidak berbiji (%) Berbiji Jawa 3 E 1 0.0 0.0 0.0 100.0 PSd-A 12 28.8 3.3 7.8 33.3 PSd-B 4 18.7 0.7 3.3 33.3 PT 4 51.7 1.3 5.7 0.0

Potensial Tidak berbiji

Bali Merah1 E 1 0.0 0.0 42.0 100.0 PSd-A 14 0.0 0.0 29.6 100.0 PSd-B 10 52.3 15.9 20.8 10.0 PT 8 62.0 4.8 22.9 0.0 PSg-B (Bali Merah 1 x Jawa 3) 4 63.5 2.0 24.5 0.0 Nam- bangan PSd-A 3 0.0 0.0 17.7 100.0 PSd-B 1 2.0 0.0 0.0 100.0 PT 13 19.6 0.6 1.3 22.2 PSg-B (Nambangan x Magetan) 8 37.0 0.0 16.0 0.0 Tidak Berbiji Bageng Taji E 11 0.0 0.0 90.2 100.0 PSd-A 9 0.0 0.0 101.5 100.0 PSd-B 1 33.0 4.0 87.0 0.0 PT 10 0.0 0.7 97.8 100 PSg-B (Bageng Taji x Cikuning) 17 127.8 4.4 5.9 0.0 Bali Merah 2 E 8 0.0 0.0 15.1 100.0 PSd-A 11 0.0 0.0 5.1 100.0 PSd-B 9 1.4 0.3 15.9 100.0 PT 10 9.5 0.9 22.7 100.0 PSg-B (Bali Merah 2 x Nambangan) 5 3.4 2.6 2.8 100.0

Keterangan: E: emaskulasi, PSdA: penyerbukan sendiri alami, PSdB: penyerbukan sendiri buatan, PT: penyerbukan terbuka, PSgB: penyerbukan silang buatan

Penyerbukan sendiri secara buatan (PSd-B) pada kelima aksesi yang diamati ternyata mampu menghasilkan buah berbiji (Tabel 21, Gambar 27), dengan jumlah beragam mulai dari 1.4 pada ‘Bali Merah 2’ hingga 52.3 pada ‘Bali Merah 1’. Hal ini memberikan petunjuk adanya sifat self-compatible pada sebagian aksesi pamelo Indonesia, dengan derajat kompatibilitas berbeda. Di lain pihak selama ini pamelo dikenal bersifat self-incompatible (Niyomdham 1992,

Ngo 2010), sehingga tidak akan menghasilkan biji bila menyerbuk sendiri, seperti yang dialami oleh pamelo ‘Hom Hat Yai’ yang pada penyerbukan sendiri menghasilkan buah tidak berbiji (Kanjanapakorn dan Wunnachit 2001, Wunnachit 2005). Bahkan Yamamoto et al. (2006) menyatakan kemungkinan pamelo sebagai sumber utama alela incompatible, karena pengamatan pada 6 aksesi pamelo dan 7 dari 11 kerabatnya menunjukkan sifat self-incompatible.

Sementara pamelo merupakan nenek moyang dari berbagai aksesi jeruk (Mabberley 1997). Kim et al. (2011) juga melaporkan, bahwa adanya keragaman alela pada gen self-incompatibility (S) pada jeruk, dan aksesi pamelo memiliki frekuensi alela S1 lebih tinggi dibandingkan dengan aksesi jeruk lain, sehingga menunjukkan derajat self-incompatibility pamelo yang lebih besar.

(a) (b) (c) (d) Gambar 25 Potongan melintang buah pamelo hasil emaskulasi (a) ‘Jawa 3’, (b)

‘Bali Merah 1’, (c) ‘Bali Merah 2’ (d) ‘Bageng Taji’, semua tidak menghasilkan biji.

(a) (b) (c) (d) (e) (a) (b) (c) (d) (e) Gambar 26 Potongan melintang buah pamelohasil penyerbukan sendiri secara

alami (a) ‘Jawa 3’, (b) ‘Nambangan’, (c) ‘Bali Merah 1’,(d) ‘Bali Merah 2’, (e) ‘Bageng Taji’, hanya ‘Jawa 3’ yang buahnya sebagian berbiji

(a) (b) (c) (d)

Gambar 27 Potongan melintang buah pamelo hasil penyerbukan sendiri secara buatan (a) ‘Nambangan’, (b) ‘Bali Merah 1’, (c) ‘Bali Merah 2’, (d) ‘Bageng Taji’, semuanya mampu menghasilkan biji.

(a) (b) (c) (d) (e) Gambar 28 Potongan melintang buah pamelo hasil penyerbukan terbuka (a)

‘Jawa 3’, (b) ‘Nambangan’ (c) ‘Bali Merah 1’, semuanya berbiji (d) ‘Bali Merah 2’, berbiji sedikit (e) ‘Bageng Taji’, tidak berbiji.

(a) (b) (c) (d)

Gambar 29 Potongan melintang buah pamelo hasil penyerbukan silang buatan, (a) ‘Nambangan’ x ‘Magetan’, (b) ‘Bali Merah 1’ x ‘Jawa 3’, (c) ‘Bali Merah 2’ x ‘Nambangan’, (d) ‘Bageng Taji’ x ‘Cikuning’, semuanya berbiji banyak kecuali ‘Bali Merah 2’.

Perubahan kompatibilitas pada pamelo dilaporkan oleh Chai et al. (2011a) pada pamelo ‘Zigui Shatian’ yang merupakan mutan alami dari pamelo ‘Shatian’. ‘Zigui Shatian’ bersifat self-compatible karena tepung sari dapat menyerbuk sendiri dan berhasil melakukan fertilisasi, tetapi setelah terbentuk zigot terjadi perkembangan bakal biji yang abnormal, sehingga bijinya gugur ketika terjadi penyerbukan sendiri, yang membuat buahnya tidak berbiji. Diduga terdapat

hubungan antara peningkatan ekspresi gen CgSL2 pada jaringan bakal biji yang senesen dengan gugurnya biji pada bakal biji pamelo ‘Zigui Shatian’ yang menyerbuk sendiri (Chai et al. 2011b). Selain itu Honsho et al. (2009) juga mengemukakan adanya perubahan kompatibilitas pada ‘Nishiuchi Konatsu’, yang merupakan hasil bud mutation dari ‘Hyuganatsu’ (Citrus tamurana hort ex. Tanaka). ‘Hyuganatsu’ bersifat self-incompatible, tetapi ‘Nishiuchi Konatsu’

self-compatible dan mengalami aborsi embrio, yang disebabkan oleh

perkembangan biji yang tidak normal yang dipicu oleh penyerbukan sendiri, sehingga buah yang dihasilkan tidak berbiji.

Dalam penelitian ini penyerbukan dilakukan ketika bunga pamelo pada stadia balon. Sementara, Wakana et al. (2004) melaporkan bahwa pamelo ’Hirado Buntan’ dan ’Banpeiyu’ yang bersifat self-incompatible dapat menghasilkan buah berbiji bila penyerbukan sendiri dilakukan pada stadia kuncup bunga berukuran setengah dari ukuran kuncup bunga sebelum bunga mekar (panjang bunga 10-21 mm pada pamelo ’Hirado Buntan’ dan 10-22 mm pada ‘Banpeiyu’), sebelum kepala putik mengeluarkan eksudat. Di lain pihak bila penyerbukan sendiri dilakukan melewati stadia tersebut, maka penyerbukan sendiri tidak akan menghasilkan biji. Lebih jauh Ping dan Liu-xin (2009) juga menyatakan penyerbukan sendiri pada stadia kuncup bunga dapat menghindari

self-incompatibility pada pamelo ’Guanximiyou’, dan buah yang dihasilkan

berbiji. Pada stadia kuncup bunga kecil diduga belum terjadi akumulasi callose

pada tangkai putik yang dapat menghambat pertumbuhan tabung polen (de Nettancourt 1993). Selain itu Roy (2000) menambahkan bahwa sebelum stadia balon (kuncup bunga kecil) dan setelah melewati stadia balon (akhir stadia pembungaan) kandungan enzim/protein yang bertanggungjawab terhadap reaksi inkompatibilitas tidak ada atau amat rendah, sehingga tidak menyebabkan reaksi inkompatibilitas. Kondisi tersebut berbeda dengan aksesi yang diamati, karena penyerbukan sendiri dilakukan pada stadia balon (menjelang bunga mekar), ketika kepala putik sudah mengeluarkan eksudat, dan buah yang dihasilkan tetap berbiji. Dengan demikian kemungkinan terdapat perbedaan sifat kompatibilitas antara aksesi pamelo Indonesia dengan pamelo asal Cina dan Thailand.

Pada penelitian ini, bila dihubungkan antara hasil penyerbukan sendiri secara alami dengan hasil penyerbukan sendiri secara buatan, hanya ‘Jawa 3’ yang relatif konsisten menunjukkan ‘self-compatibility’, kemungkinan disebabkan kematangan tepung sari terjadi pada periode yang sama dengan reseptivitas putik. Sementara pada ‘Bageng Taji’, ‘Bali Merah 2’,‘Bali Merah 1’ dan ‘Nambangan’ terdapat perbedaan antara hasil penyerbukan sendiri secara alami dan buatan, diduga akibat posisi putik yang lebih tinggi pada ‘Bageng Taji’ atau periode kematangan tepung sari yang berbeda dengan reseptivitas putik pada aksesi lain.

Hasil penyerbukan terbuka pada ‘Bali Merah 1’, ‘Bali Merah 2’, ‘Jawa 3, dan ‘Nambangan’ seluruhnya menghasilkan buah berbiji (Tabel 21, Gambar 28), hanya jumlah biji ‘Bali Merah 2’ relatif rendah (9.5 biji/buah). Sementara ’Bageng Taji’ tetap menghasilkan buah tidak berbiji pada penyerbukan terbuka (dari 10 buah hasil penyerbukan terbuka hanya diperoleh 1 biji sempurna dari 1 buah). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa aksesi-aksesi pamelo yang

Dokumen terkait