• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakterisasi dan evaluasi aksesi pamelo {citrus maxima (burm) Merr} berbiji dan tidak berbiji asli Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakterisasi dan evaluasi aksesi pamelo {citrus maxima (burm) Merr} berbiji dan tidak berbiji asli Indonesia"

Copied!
174
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISASI DAN EVALUASI AKSESI PAMELO

{C

itrus maxima

(Burm.) Merr.}

BERBIJI DAN TIDAK BERBIJI ASLI INDONESIA

ARIFAH RAHAYU

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Karakterisasi dan Evaluasi Aksesi Pamelo {Citrus maxima (Burm.) Merr.} Berbiji dan Tidak Berbiji Asli Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Agustus 2012

Arifah Rahayu

(3)

Indonesian Pummelo {Citrus maxima (Burm.) Merr.} Accessions. Under supervision of SLAMET SUSANTO as chairman, BAMBANG S. PURWOKO and ISWARI S. DEWI as members of the advisory committee.

Indonesia has many accessions of pummelo germplasms, but only a small number of the accessions are planted commercially. Genetic variation in the seed number per fruit in pummelo is high, ranging from seedless to very seedy. Thus pummelo is categorized as seeded, potentially seedless and seedless. The objectives of this research were: 1) to identify morphological, biochemical (isozyme) and molecular (ISSR) characters, and ploidy level of seeded and seedless pummelo accessions originated from Sumedang, Pati, Kudus and Magetan, 2) to identify fruit formation of seeded and seedless pummelo, 3) to evaluate fruit quality of seeded and seedless pummelo fruit quality during storage.

The characterization research showed that morphological characters contributed in grouping pummelo accessions were epicarp thickness, leaf lamina margin, vesicle length, epicarp color, petiole wing width and fruit shape, while based on isozyme characters were MDH (Rf 0.11 and 0.14) and ACP (Rf 0.24 and 0.33). ACP band at Rf 0.24 could be used as marker to differentiate seeded and seedless pummelo accessions. Molecular characters supported in classification of pummelo accessions were PKBT8 500 bp, PKBT8 375 bp, PKBT7 750 bp, PKBT3 750 bp, PKBT8 625 bp and PKBT12 500 bp. Separation between seeded and seedless cultivars based on morphological characters occured at similarity coefficient of 0.63, while on isoenzyme characters occured at similarity coefficient of 0.49. Both seeded and seedless pummelo accessions were diploid (2n = 2x = 18). Observation on fruit formation between selected seeded and seedless pummelo demonstrated that those pummelo accessions were able to produce parthenocarpic fruits, but bored seeded fruits when self pollination was induced, thus indicated self-compatibility. Natural self-pollination on ‘Bali Merah 1’, ‘Bali Merah 2, ‘Nambangan’ and ‘Bageng’ yielded seedless fruits, but most of ‘Jawa 3’ was seeded. Artificial self-pollination on those accessions produced seeded fruits, thus showed ovule fertility. ‘Bali Merah 2’ was shown to have high parthenocarpic degree as indicated by less seed number (<10 seed per fruit) in all pollination treatments. Therefore seedlessness in those pummelo accessions was caused by parthenocarpy, was not by pollen and ovule sterility, self-incompatibility, or poliploidy. Evaluation of pummelo fruit quality showed seedless pummelos have higher vitamin C, naringin content and acidity than seeded accessions. Vitamin C and titratable acidity (TA) content decreased, but total soluble solids (TSS) and TSS/AT ratio increased during storage period. During storage, percentage of edible portion increased, mainly due to the decrease of peel weight. Percentage of fruit axis of seedless accessions was smaller than those of seeded accessions. Sensory analysis indicated ‘Jawa 1’ seedless accessions have superior quality based on hedonic and scale quality test.

(4)

RINGKASAN

ARIFAH RAHAYU. Karakterisasi dan Evaluasi Aksesi Pamelo {Citrus maxima

(Burm.) Merr.} Berbiji dan Tidak Berbiji Asli Indonesia. Dibimbing oleh Slamet Susanto sebagai ketua, Bambang S Purwoko dan Iswari S Dewi sebagai anggota komisi pembimbing.

Indonesia memiliki banyak plasma nutfah pamelo, walaupun baru sebagian saja yang dikomersialkan. Pamelo dapat dikategorikan sebagai pamelo berbiji, potensial tidak berbiji dan tidak berbiji berdasarkan perbedaan jumlah biji per buah. Namun, untuk pasar pamelo segar, buah tidak berbiji merupakan sifat yang banyak diminati. Tanaman dianggap menghasilkan buah tidak berbiji jika mampu menghasilkan buah tanpa biji sama sekali, biji mengalami aborsi atau memiliki sejumlah biji yang tereduksi. Sementara itu, tanaman disebut potensial menghasilkan buah tidak berbiji, bila dalam satu pohon terdapat buah berbiji dan tidak berbiji.

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengidentifikasi karakter morfologi, biokimia (dengan isoenzim), molekuler (dengan ISSR/Inter-Simple Sequence

Repeat), dan tingkat ploidi (set kromosom) tanaman pamelo berbiji dan tidak

berbiji; (2) mengidentifikasi pembentukan buah pamelo berbiji dan tidak berbiji melalui uji viabilitas tepung sari dan uji penyerbukan; (3) mengevaluasi karakter kualitas buah pamelo berbiji dan tidak berbiji yang berasal dari Sumedang, Kudus, Pati dan Magetan selama penyimpanan.

Hasil karakterisasi menunjukkan karakter morfologi yang berperan dalam pengelompokan pamelo adalah tebal epikarp, pinggiran helai daun, panjang kantong jus, warna kulit buah masak, lebar sayap daun dan bentuk buah, sedangkan karakter isoenzim adalah MDH (Rf 0.11 dan 0.14) dan ACP (Rf 0.24 dan 0.33). Pita ACP 0.24 dapat dijadikan penanda untuk membedakan aksesi berbiji dan tidak berbiji. Karakter molekuler yang berperan dalam pengelompokan adalah PKBT8 500 bp, PKBT8 375 bp, PKBT7 750 bp, PKBT3 750 bp, PKBT8 625 bp dan PKBT12 500 bp. Dendrogram berdasarkan karakter morfologi memisahkan kelompok aksesi berbiji dan tidak berbiji pada koefisien kemiripan 0.63, sedangkan berdasarkan isoenzim pada koefisien kemiripan 0.48. Dendrogram berdasarkan karakter morfologi dan isoenzim dapat membedakan antara aksesi pamelo berbiji, potensial tidak berbiji dan tidak berbiji. Hasil pemetaan komponen utama kongruen dengan dendrogram, yaitu dapat memisahkan aksesi berbiji maupun tidak berbiji, berdasarkan karakter morfologi, isoenzim maupun kombinasinya. Baik pamelo berbiji maupun tidak berbiji adalah diploid dengan jumlah kromosom 2n = 2x = 18.

(5)

menghasilkan buah berbiji dengan derajat yang berbeda, yang menunjukkan fertilitas ovul. ‘Bali Merah 2’ diduga memiliki derajat partenokarpi yang tinggi, dilihat dari jumlah biji yang rendah (<10 biji per buah) pada semua perlakuan penyerbukan. Dengan demikian pembentukan buah tidak berbiji pada aksesi pamelo disebabkan oleh sifat partenokarpik, karena aksesi pamelo memiliki tepung sari dan ovul yang fertil, bersifat self-compatible dan kromosomnya diploid.

Kualitas buah pamelo dipengaruhi oleh kelompok aksesi, aksesi dan masa simpan serta interaksi antara kelompok aksesi dengan masa simpan dan aksesi dengan masa simpan. Kandungan vitamin C, naringin dan pH jus buah pamelo aksesi tidak berbiji lebih tinggi dibandingkan aksesi berbiji. Penyimpanan menyebabkan kandungan vitamin C dan ATT buah pamelo menurun, sedangkan PTT dan PTT/ATT meningkat, tetapi pH jus buah menunjukkan kecenderungan berbeda antar aksesi. Selama penyimpanan persentase bobot kulit terus menurun, yang membuat persentase bobot bagian dapat dimakan meningkat. Persentase bobot aksis buah tidak berbiji lebih rendah dibandingkan buah berbiji. Hasil analisis sensori menunjukkan aksesi tidak berbiji ’Jawa 1’ memiliki banyak keunggulan, baik dari hasil uji hedonik (kesukaan) maupun uji mutu skalar, yaitu aroma jeruk yang harum, jus berwarna merah, juici, manis, agak masam, tidak getir, tekstur kantong jus halus dan sedikit graininess. Berdasarkan keungulan-keunggulan tersebut ‘Jawa 1’ dianjurkan untuk dikembangkan lebih lanjut dan dilepas sebagai kultivar pamelo baru.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan

pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan,

penulisan kritik ataupun tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut

tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya

(7)

BERBIJI DAN TIDAK BERBIJI ASLI INDONESIA

ARIFAH RAHAYU

Disertasi

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Doktor

pada Program Studi Agronomi dan Hortikultura

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(8)

Penguji Luar Komisi

Ujian Tertutup : Dr. Ir. Endah Retno Palupi, M.Sc.

(Staf pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas pertanian IPB)

Dr. Ir. Darda Efendi, MS

(Staf pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas pertanian IPB)

Ujian Terbuka : Dr. Ir. Agus Purwito, M.Sc.

(Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas pertanian IPB)

Dr. Ir. Winny D. Wibawa

(9)

Judul Penelitian : Karakterisasi dan Evaluasi Aksesi Pamelo {Citrus

maxima (Burm.) Merr.} Berbiji dan Tidak

Berbiji Asli Indonesia

Nama : Arifah Rahayu

NRP : A262070051

Program Studi : Agronomi dan Hortikultura

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Slamet Susanto, M.Sc. Ketua

Prof. Dr. Ir. Bambang S. Purwoko, M.Sc. Dr. Ir. Iswari S. Dewi Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

(Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS) (Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.)

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan disertasi ini. Rangkaian penelitian dalam disertasi berjudul ‘Karakterisasi dan Evaluasi Aksesi Pamelo

{Citrus maxima (Burm.) Merr.} Berbiji dan Tidak Berbiji Asli Indonesia’ ini

dilakukan mulai April 2009 sampai Maret 2012.

Selesainya penelitian ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Slamet Susanto, M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing, Prof. Dr. Bambang S. Purwoko dan Dr. Ir. Iswari S. Dewi selaku anggota komisi pembimbing atas bantuan, arahan dan bimbingannya kepada penulis.

2. Dr. Ir. Endah Retno Palupi M.Sc dan Dr. Ir. Darda Efendi, M.S. sebagai penguji ujian tertutup, Dr. Ir. Agus Purwito, MSc. dan Dr. Ir. Winny D. Wibawa sebagai penguji ujian terbuka atas masukan dan sarannya.

3. Pimpinan, staf pengajar dan administrasi di Program Studi AGH Fakultas Pertanian Sekolah Pascasarjana IPB atas pendidikan dan layanan administrasi selama penulis studi di IPB.

4. Teknisi laboratorium di lingkungan IPB (Laboratorium RGCI, Pascapanen, Mikroteknik Departemen AGH IPB, Kebun Percobaan Cikabayan, Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati IPB, Laboratorium Pusat Kajian Buah Tropika IPB), Kementerian Pertanian (Laboratorium Balai Besar Pascapanen Cimanggu Bogor), LIPI Biologi (Laboratorium Genetika Tumbuhan) dan Universitas Djuanda (Laboratorium Teknologi Pangan) atas bantuan dan dukungannya.

5. Pimpinan dan Staf Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Sumedang, Pati, Kudus dan Magetan

6. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atas beasiswa yang diberikan

(11)

8. Kementerian Pertanian RI dan Kementerian RISTEK yang telah membantu dana penelitian melalui program KKP3T dan Insentif Riset Terapan.

9. Pak Sukimin dan keluarga di Magetan dan Pak Parso dan keluarga di Pati yang telah membantu dan menyediakan tanaman pamelo untuk digunakan penelitian.

10.Rekan-rekan mahasiswa S2 dan S3 AGH dan PBT angkatan 2007, terutama Ir. Kartika Ning Tyas MSi. atas bantuan, masukan dan sarannya selama penelitian dan penyelesaian studi.

11.Dr. Ir. Ika Rostika Tambunan MSi.dan Dr. Dorly atas masukan dan sarannya untuk analisis kromosom, Sulassih SP, M.Si. dan Prof. Dr. Ir. Sobir MS atas bantuannya dalam analisis ISSR dan prosedur pelepasan varietas, Prof. Dr. Ir. Sudarsono atas interpretasi data ISSR dan Setyono Ir., M.Si. atas bantuannya dalam pengolahan data.

12.Randi Ginting, SP (AGH angkatan 42), Iwan Sarjono (AGH angkatan 45), Septari (AGT Unida angkatan 2007) yang telah membantu penelitian. 13.Ayahanda Drs. H. Moh. Slamat Anwar dan Ibunda H. Sukanah (Alm.) dan

H.Yetti Mutijah, kedua mertua Drs. Sholeh Sholahuddin dan Ibu H. D. Sumiatin, serta seluruh adik-adik dan ipar atas doa dan dukungannya.

14.Suami tercinta Iwan Ridwan (Alm.) yang telah mendorong dan mendukung penulis untuk melanjutkan studi S3, anak-anak Alfi Rahmawati, Luthfan Syah Ridwan dan Fikri Ghifari Ridwan atas pengertian dan semangatnya.

15.Teman-teman sejawat di Fakultas Agribisnis dan Teknologi Pangan Universitas Djuanda, khususnya Ir. Wini Nahraeni, M.Si., Dr. Elis Dihansih, Ir. Sri Rejeki, M.Sc, dan Jaya Ismail S.Kom. yang telah memberikan dukungannya.

Besar harapan penulis, hasil penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan pihak yang memerlukannya.

Bogor, Agustus 2012

(12)

Slamat Anwar dan Ibu Hj. Sukanah (Alm.). Penulis telah menikah dengan Ir. Iwan Ridwan MM (Alm.) pada tahun 1987 dan dikaruniai empat orang anak, Miftah Ghifari Ridwan (Alm.), Alfi Rahmawati, Luthfan Syah Ridwan dan Fikri Ghifari Ridwan.

Pendidikan sarjana di tempuh di Program Studi Agronomi Fakultas Pertanian IPB dan lulus pada tahun 1987. Pada tahun 1996 penulis melanjutkan studi di Program Studi Agronomi, Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 1999. Pada tahun 2007 penulis berkesempatan meneruskan Program Doktor di Program Studi Agronomi dan Hortikultura, Sekolah Pascasarjana perguruan tinggi yang sama. Selama studi S2 dan S3 penulis mendapat beasiswa dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia.

Sejak tahun 1990 penulis bekerja sebagai staf pengajar Kopertis Wilayah IV dipekerjakan di Program Studi Agroteknologi, Fakultas Agribisnis dan Teknologi Pangan, Universitas Djuanda Bogor.

Sebagian dari disertasi ini telah disampaikan dalam Seminar Nasional Hortikultura tanggal 25-26 Nopember 2010 di Universitas Udayana Denpasar, Bali dan pada tanggal 23-24 Nopember 2011 di Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang, Bandung dan menunggu diterbitkan pada Jurnal Agronomi Indonesia edisi April 2012 dan Jurnal Hortikultura Indonesia edisi Desember 2012.

(13)

Halaman

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xx

1. PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 4

Hipotesis Penelitian ... 4

Manfaat Penelitian ... 4

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

Sistematika, Asal-Usul, dan Sifat Botani Pamelo ... 6

Kultivar Pamelo ... 8

Karakterisasi Morfologi ... 8

Karakterisasi Biokimia dengan Isoenzim ... 10

Karakterisasi Molekuler dengan ISSR ... 11

Tingkat Ploidi ... 12

Pembentukan Biji dan Buah pada Pamelo ... 13

Viabilitas Tepung Sari ... 14

Peranan Zat Pengatur Tumbuh dalam Perkembangan Biji dan Buah ... 14 Evaluasi Kualitas Buah ... 15

3. KARAKTERISASI MORFOLOGI, BIOKIMIA, MOLEKULER DAN TINGKAT PLOIDI PAMELO BERBIJI DAN TIDAK BERBIJI ... 17

Karakterisasi Morfologi pada Aksesi Pamelo Berbiji dan Tidak Berbiji ... 20

Bahan dan Alat ... 20

Metode ... 21

Karakterisasi Biokimia dengan Isoenzim pada Aksesi Pamelo Berbiji dan Tidak Berbiji... 21

Bahan dan Alat ... 21

Metode ... 21

Karakterisasi Molekuler dengan ISSR pada Aksesi Pamelo Berbiji dan Tidak Berbiji... 24

(14)

Tidak Berbiji ... 27

Analisis Jumlah Kromosom ... 27

Bahan dan Alat ... 27

Karakter Morfologi Aksesi Pamelo Berbiji dan Tidak Berbiji... 28

Karakteri Isoenzim Aksesi Pamelo Berbiji dan Tidak Berbiji ... ... 44

Karakter ISSR Aksesi Pamelo Berbiji dan Tidak Berbiji 48 Karakter Gabungan Penanda Morfologi dan Isoenzim... ... 52 Karakter Gabungan Penanda Morfologi dan ISSR ... 55

Karakter Gabungan Penanda Isoenzim dan ISSR ... 57

Karakter Gabungan Penanda Morfologi, Isoenzim dan ISSR ... 60 Tingkat Ploidi Aksesi Pamelo Berbiji dan Tidak Berbiji 61 SIMPULAN ... 64

4. PEMBENTUKAN BUAH BERBIJI DAN TIDAK BERBIJI PADA PAMELO ... 65

Uji Viabilitas Tepung Sari Aksesi Pamelo Berbiji dan Tidak Berbiji ... 68

Uji Penyerbukan Aksesi Pamelo Berbiji dan Tidak Berbiji ... 69

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 71

Viabilitas Tepung Sari Aksesi Pamelo Berbiji dan Tidak Berbiji... ... 71

Evaluasi Kemampuan Pembentukan Buah Tidak Berbiji Melalui Uji Penyerbukan ... 72

SIMPULAN ... 80

5. EVALUASI KUALITAS BUAH PAMELO BERBIJI DAN TIDAK BERBIJI SELAMA MASA SIMPAN... 82

ABSTRAK ... 82

ABSTRACT ... 82

(15)

Metode ... 85

Peubah yang Diamati ... 86

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 87

Karakter Fisik yang Mempengaruhi Kualitas Buah Pamelo Berbiji dan Tidak Berbiji ... 88

Karakter Kimia yang Mempengaruhi Kualitas Buah Pamelo Berbiji dan Tidak Berbiji ... 92

Analisis Sensori pada Buah Pamelo Berbiji dan Tidak Berbiji ... 99

SIMPULAN ... 104

6. PEMBAHASAN UMUM ... 105

Keragaman Pola Pengelompokan Aksesi Pamelo Berdasarkan Penanda Morfologi, Isoenzim, ISSR dan Kombinasinya ... 105

Hubungan antara Karakterisasi Morfologi, Isoenzim dan ISSR, Analisis Ploidi dan Pembentukan Buah Pamelo Berbiji dan Tidak Berbiji ... 108

Hubungan antara Karakter Morfologi dengan Karakter Kimia dan Fisik Buah Pamelo Selama Penyimpanan ... 110

Upaya Pengembangan Aksesi Pamelo yang Potensial Dijadikan Varietas Unggul Hortikultura ... 111

7. SIMPULAN DAN SARAN ... ... 114

Simpulan ... 114

Saran ... 115

DAFTAR PUSTAKA ... 116

(16)

Halaman

1. Nama dan susunan basa primer koleksi PKBT IPB ……….. 26

2. Deskripsi pohon 14 aksesi pamelo ………... 31

3. Deskripsi daun 14 aksesi pamelo ……….. 33

4. Deskripsi bunga 14 aksesi pamelo ………... 34

5. Deskripsi buah 14 aksesi pamelo ……….. 37

6. Nilai ciri dan dua nilai komponen utama (KU) pertama berdasarkan penanda morfologi (pohon, daun, bunga dan buah) 42 7. Tingkat kemiripan antar/di dalam kelompok aksesi pamelo berdasarkan penanda morfologi ………... 43

8. Nilai ciri dan dua nilai komponen utama (KU) pertama berdasarkan penanda isoenzim (EST, PER, MDH dan ACP) ... 46

9. Tingkat kemiripan antar/di dalam kelompok aksesi pamelo berdasarkan penanda isoenzim ………... 47

10. Nilai ciri dan dua nilai komponen utama (KU) pertama berdasarkan penanda ISSR ... 50

11. Tingkat kemiripan antar/di dalam kelompok aksesi pamelo berdasarkan penanda ISSR ………... 52

12. Nilai ciri dan dua nilai komponen utama (KU) pertama berdasarkan penanda morfologi dan isoenzim (EST, PER, MDH dan ACP) ………..………..………..………. 53

13. Kisaran tingkat kemiripan antar/di dalam kelompok aksesi pamelo berdasarkan penanda morfologi dan isoenzim ... 54

14. Nilai ciri dan dua nilai komponen utama (KU) pertama berdasarkan penanda morfologi dan ISSR ………... 55

15. Kisaran tingkat kemiripan antar/di dalam kelompok aksesi pamelo berdasarkan penanda morfologi dan ISSR ... 56

(17)

18. Kisaran tingkat kemiripan antar/di dalam kelompok aksesi

pamelo berdasarkan penanda morfologi, isoenzim dan ISSR ... 61

19. Hasil konfirmasi jumlah kromosom hasil analisis dengan metode Sartrosumarjo (2006) dan flow cytometry ... 63

20. Hasil uji viabilitas tepung sari pada aksesi berbiji, potensial tidak berbiji dan tidak berbiji ………..………..……… 72

21. Hasil penyerbukan pada berbagai aksesi pamelo ... 79

22 Rekapitulasi hasil penyerbukan pada berbagai aksesi pamelo … 79 23 Rekapitulasi nilai analisis ragam pengaruh kelompok aksesi, aksesi, masa simpan dan interaksi antara kelompok aksesi dan masa simpan dan aksesi dan masa simpan ... 87

24. Persentase bobot kulit buah 13 aksesi pamelo pada 0-8 MSP .... 88

25. Persentase bobot bagian buah dapat dimakan 13 aksesi pamelo pada 0-8 MSP ... 89

26. Persentase bobot sekat buah 13 aksesi pamelo pada 0-8 MSP ... 90

27. Persentase bobot aksis buah 13 aksesi pamelo pada 0-8 MSP .... 91

28. Kandungan vitamin C 13 aksesi pamelo pada 0-8 MSP ... 93

29. Kemasaman buah 13 aksesi pamelo pada 0-8 MSP ... 95

30. Kandungan PTT 13 aksesi pamelo pada 0-8 MSP ... 96

31. Kandungan ATT 13 aksesi pamelo pada 0-8 MSP ... 97

32. Nisbah PTT/ATT 13 aksesi pamelo pada 0-8 MSP ... 98

33. Kandungan naringin 13 aksesi pamelo ... 99

34. Hasil uji kesukaan (hedonik) pada 13 aksesi pamelo ... 100

35. Hasil uji mutu skalar pada aksesi pamelo ... 101

36. Nilai koefisien kemiripan tertinggi dan terendah dan nilai korelasi koefenetik MxComp (r) dengan penanda morfologi, isoenzim, ISSR dan kombinasinya ...

(18)

Halaman

1. Bagan alir penelitian Evaluasi Karakter Aksesi Pamelo {Citrus

maxima (Burm.) Merr.} Berbiji dan Tidak Berbiji Asli

Indonesia ...……... 5

2. Bentuk pohon aksesi pamelo (a) spheroid dan (b) obloid ...

29 3. Bentuk daun 14 aksesi pamelo berbiji: (a) Cikoneng ST , (b)

Jawa 2 , (c) Adas Duku , (d) Magetan , (e) Sri Nyonya , (f) Bali Putih, (g) Muria Merah 2, (h) Jawa 3, potensial tidak berbiji (i) Nambangan , (j) Bali Merah 1 dan tidak berbiji: (k) Bali Merah 2, (l) Jawa 1, (m) Muria Merah 1, (n ) Bageng

Taji ...……... 30

4. Bunga berbagai aksesi/kultivar pamelo berbiji: (a) Cikoneng ST , (b) Jawa 2 , (c) Adas Duku , (d) Magetan , (e) Bali Putih , (f) Muria Merah 2, (g) Jawa 3 , potensial tidak berbiji (h) Nambangan , (i) Bali Merah 1 dan tidak berbiji: (j) Jawa 1, (K) Muria Merah 1, (l ) Bageng Taji dan bagian-bagian

bunga pamelo ...……... 32

5. Penampilan luar dan potongan melintang buah pamelo aksesi

berbiji: (a) Cikoneng ST, (b) Magetan, (c) Jawa 2, (d) Sri Nyonya, potensial tidak berbiji: (e) Nambangan, (f) Bali Merah 1 dan tanpa biji, (g) Jawa 1, (h) Bageng Taji, A: ellipsoid, B: spheroid, C: spheroid-pyriform, D:

pyriform... 35

6. Perbedaan bentuk buah ‘Bali Merah 2’ dalam pohon yang

sama, kiri: obloid, kanan: spheroid-pyriform ... 40

7. Analisis komponen utama kemiripan 14 aksesi pamelo menggunakan penanda morfologi yang dipetakan ke dalam bentuk dua sumbu komponen utama yang pertama. ...

42

8. Dendogram 14 aksesi pamelo berdasarkan penanda morfologi 44

9. Pola pita isoenzim a). EST, b). PER, c). MDH, dan d).

ACP pada 14 aksesi pamelo. ... 45

10. Analisis komponen utama kemiripan 14 aksesi pamelo menggunakan penanda isoenzim yang dipetakan ke dalam

(19)

PKBT 3, (c) PKBT 4, (d) PKBT 7, (e) PKBT 8, (f) PKBT 9, (g) PKBT 11, (h) PKBT 12, (i) RED 12 dan (j) RED 17. ...

49

13. Analisis komponen utama kemiripan 14 aksesi pamelo menggunakan penanda ISSR yang dipetakan ke dalam bentuk

dua sumbu komponen utama yang pertama. ... 51

14. Dendogram 14 aksesi pamelo berdasarkan penanda ISSR ...

52 15. Analisis komponen utama kemiripan 14 aksesi pamelo

menggunakan penanda morfologi dan isoenzim yang dipetakan ke dalam bentuk dua sumbu komponen utama yang

pertama. ... 53

16. Dendogram 14 aksesi pamelo berdasarkan penanda morfologi

dan isoenzim. ... 55

17. Analisis komponen utama kemiripan 14 aksesi pamelo menggunakan penanda morfologi dan ISSR yang dipetakan ke dalam bentuk dua sumbu komponen utama yang pertama. ...

56

18. Dendogram 14 aksesi pamelo berdasarkan penanda morfologi

dan ISSR ... 57

19. Analisis komponen utama kemiripan 14 aksesi pamelo menggunakan penanda isoenzim dan ISSR yang dipetakan ke dalam bentuk dua sumbu komponen utama yang pertama. ...

59

20. Dendogram 14 aksesi pamelo berdasarkan penanda isoenzim

dan ISSR ... 60

21. Dendogram 14 aksesi pamelo berdasarkan penanda morfologi,

isoenzim dan ISSR ... 61

22. Kromosom (a) Bageng, (b) Muria Merah 1, (c) Muria Merah

2, (d) Sri Nyonya, (e) Adas Duku, (f) Nambangan ... 62

23. Hasil konfirmasi ploidi antar (a) ‘Nambangan-‘Sri Nyonya’, (b) ‘Nambangan’- ‘Magetan’, dan (c) ‘Sri Nyonya’-‘Muria

Merah 2. ... 63

24. Perbedaan warna tepung sari yang (a) viable (merah) dan

nonviable (kuning), dan (b) tepung sari yang berkecambah ... 72

(20)

26 Potongan melintang buah pamelohasil penyerbukan sendiri secara alami (a) ‘Jawa 3’, (b) ‘Nambangan’, (c) ‘Bali Merah 1’,(d) ‘Bali Merah 2’, (e) ‘Bageng Taji’, hanya ‘Jawa 3’ yang

buahnya sebagian berbiji ... 75

27 Potongan melintang buah pamelo hasil penyerbukan sendiri secara buatan (a) Bali Merah 2, (b) Bageng, (b) Nambangan,

semuanya mampu menghasilkan biji ... 76

28 Potongan melintang buah pamelo hasil penyerbukan terbuka, (a) Bali Merah 2 x Nambangan, (b) Bageng x Cikuning, (c) Bali Merah 1 x Jawa 3, semuanya berbiji banyak kecuali Bali

Merah 2 ... 76

29. Potongan melintang buah pamelo hasil penyerbukan silang alami (a) Bali Merah 2, berbiji sedikit, (b) Bageng tidak

berbiji, (c) Nambangan berbiji ... 76

30. Diagram laba-laba uji mutu skalar aksesi pamelo

berbiji... 102

31. Diagram laba-laba uji mutu skalar aksesi pamelo potensial tidak berbiji... ...

103

(21)

Halaman

1. Descriptor list pamelo ... 132

2. Komposisi larutan penyangga gel pH 6.0 (Horry 1989) ... 142

3. Komposisi larutan pengekstrak untuk volume 40 ml (Horry 1989) ... 142

4. Komposisi larutan penyangga elektroda pH 6.0 (Horry 1989) .... 142

5. Komposisi larutan penyangga fosfat pH 7.0 ... 142

6. Komposisi larutan AAT ... 142

7. Komposisi larutan CTAB 10%... 142

8. Komposisi larutan kloroform:isoamilalkohol (24:1)... 142

9. Komposisi buffer Tris-HCl 1 M pH 8.0 ... 143

10. Komposisi buffer TAE 50 x... ... 143

11. Komposisi loading dye... 143

12. Komposisi larutan etanol 70% ... 143

13. Komposisi larutan NaCl ... 143

14. Komposisi buffer ekstraksi untuk Isolasi DNA ... 143

15. Komposisi buffer TE (Tris-HCl EDTA) ... 143

16. Komposisi larutan EDTA 0.5 M pH 8.0 ... 144

17. Komposisi larutan natrium asetat 3 M pH 5.2 ... 144

18. Kuisioner uji hedonik rasa, aroma dan penerimaan pamelo umum buah ... 144

(22)

Latar Belakang

Pamelo {Citrus maxima (Burm.) Merr.} merupakan salah satu di antara

tiga spesies Citrus yang asli, disamping sitrun (C. medica L.) dan mandarin (C.

reticulata Blanco). Spesies Citrus lainnya merupakan hasil persilangan ketiga

kelompok tersebut (Campos et al. 2005). Pamelo potensial dikembangkan di

Indonesia, karena karakteristiknya yang khas, yaitu berukuran besar, memiliki

rasa segar, dan daya simpan yang lama sampai 4 bulan (Susanto 2004). Di

samping itu kriteria buah pamelo yang potensial dikembangkan adalah memiliki

warna jus merah, rasa getir rendah, mudah dikupas dan tidak berbiji. Bila

dibungkus kertas dalam kotak yang berventilasi baik, buah pamelo dapat tetap

baik kondisinya selama 6-8 bulan (Orwa et al. 2009).

Di antara faktor yang turut menentukan keberhasilan pengembangan

pamelo adalah terdapatnya kultivar unggul yang dirakit dan/atau diseleksi dari

berbagai aksesi plasma nutfah yang tersedia. Plasma nutfah pamelo banyak

ditemukan di berbagai daerah di Indonesia, dengan nama daerah yang berbeda,

yang dikenal sebagai kultivar lokal. Meskipun demikian baru sebagian kecil

kultivar yang dimanfaatkan secara komersial, antara lain ‘Magetan’,

‘Nambangan’, ‘Raja’, ‘Ratu’ dan ‘Sri Nyonya’ (Pusat Penelitian dan

Pengembangan Hortikultura 2006).

Berbagai plasma nutfah tersebut merupakan sumber keragaman genetik

dalam spesies pamelo yang penting sebagai bahan pemuliaan. Keragaman genetik

ini dapat diukur pada berbagai tingkatan fungsional, mulai dari fenotipe hingga

cetak biru (blueprint), yaitu dari keragaman morfologi, keragaman kromosom

(inversi, translokasi dan poliploidi), lokus enzim dan penanda DNA (Mallet

1996). Plasma nutfah pamelo dapat diperoleh antara lain melalui eksplorasi ke

sentra produksi, dan selanjutnya dilakukan karakterisasi dan evaluasi.

Karakterisasi merupakan kegiatan dalam rangka mengidentifikasi

sifat-sifat penting yang bernilai ekonomi, atau yang merupakan penciri suatu

aksesi/kultivar/varietas yang bersangkutan. Evaluasi adalah kegiatan yang

(23)

reaksi varietas tanaman terhadap cekaman faktor biotik dan abiotik (Somantri et

al. 2008). Kegiatan karakterisasi dan evaluasi memiliki arti dan peran penting

yang akan menentukan nilai guna varietas tanaman yang bersangkutan.

Hingga kini karakterisasi dan evaluasi pamelo di Indonesia belum tuntas

dilakukan, meskipun pada beberapa aksesi pamelo asal Magetan telah dilakukan

karakterisasi secara morfologi (Purwanto et al. 2002a), dengan isoenzim

(Purwanto et al. 2002b; Purwanto et al. 2002c), secara morfologi dan isoenzim

(Rakhman 2008). Analisis biokimia dengan isoenzim pada tanaman jeruk, antara

lain digunakan untuk membedakan kultivar jeruk asam (Rahman et al. 2001),

mendapatkan informasi genetik pada jeruk liar (Hirai et al. 1990), dan

mengidentifikasi bibit zigotik dan nuselar pada jeruk hasil persilangan antar ploidi

yang berbeda (Tusa et al. 2002).

Karakterisasi morfologi dan biokimia akan lebih akurat bila disertai

dengan analisis molekuler. Pada aksesi pamelo dari berbagai daerah di Indonesia

telah dilakukan analisis RAPD (Agisimanto dan Supriyanto 2007), sedangkan di

Turki pembedaan antara aksesi grapefruit dan pamelo digunakan ISSR (Uzun et

al. 2010). Baik teknik RAPD (Randomly Amplified Polymorphic DNA) maupun

ISSR (Inter-Simple Sequence Repeat) sama-sama sederhana dan tidak

memerlukan pengetahuan tentang sekuens genom yang akan diuji (Pharmawati et

al. 2004). Kelebihan ISSR adalah mempunyai daya ulang (reproduceability) yang

lebih tinggi, karena menggunakan primer yang lebih panjang (16-25 mer)

dibandingkan dengan primer RAPD (10 mer) (Reddy et al. 2002).

Evaluasi kualitas selama penyimpanan yang meliputi kandungan padatan

terlarut total (PTT), asam tertitrasi total (ATT), vitamin C, dan rasa pahit

(bitterness) aksesi-aksesi pamelo belum banyak dilakukan. Rasa pahit pada

pamelo terutama disebabkan oleh flavonoid (naringin) dan limonoid (limonin)

(Pichaiyongvongdee dan Haurenkit 2009a). Evaluasi mengenai kandungan

senyawa ini menarik untuk dilakukan, karena Tisserat dan Berhow (1998)

menyatakan bahwa terdapat hubungan antara tingkat ploidi dengan kandungan

flavonoid pada grapefruit (Citrus paradisi Macf.). Kandungan naringin pada

grapefruit tetraploid lebih tinggi dibanding pada grapefruit diploid. Hal demikian

(24)

Berdasarkan jumlah biji per buah dapat diamati adanya aksesi pamelo

yang buahnya berbiji, tidak berbiji, atau potensial tidak berbiji. Buah tidak berbiji

merupakan sifat yang banyak diminati untuk pasar pamelo segar. Hal ini

berkaitan dengan kemudahan penggunaannya. Selain mudah dikonsumsi,

proporsi bagian dapat dimakan dari buah jeruk tidak berbiji lebih besar dibanding

buah berbiji (Yamashita 1976).

Suatu tanaman dianggap menghasilkan buah tidak berbiji jika mampu

menghasilkan buah tidak berbiji sama sekali, biji mengalami aborsi atau memiliki

sejumlah biji yang tereduksi (Vardi et al. 2008). Pada jeruk mandarin, buah

disebut tidak berbiji jika jumlah biji per buah kurang dari lima (Varoquaux et al.

2000), sedangkan pada grapefruit 0-6 biji (Chacoff dan Aizen 2007).

Buah tidak berbiji dapat dihasilkan dengan cara pemuliaan, teknik

budidaya dan secara alami. Dengan cara pemuliaan, buah tidak berbiji didapat

dengan mengembangkan aksesi tidak berbiji melalui produksi bibit hibrida

triploid (Yamashita 1976), kultur endosperma (Raza et al. 2003) dan melalui

iradiasi untuk mendapatkan mutan (Sutarto et al. 2009). Secara kultur teknis,

produksi buah tidak berbiji dapat dilakukan dengan menggunakan zat pengatur

tumbuh, antara lain asam giberelin (GA) (Ben-Cheikh et al. 1997). Pengembangan

aksesi tidak berbiji dapat pula dilakukan dengan memanfaatkan aksesi tidak

berbiji sebagai tetua. Menurut Yamamoto et al. (1995), terdapat hubungan yang

erat antara kemampuan berbiji tetua dengan turunan hibridanya. Tetua yang tidak

berbiji atau berbiji sedikit umumnya menghasilkan keturunan tidak berbiji,

sementara tetua yang berbiji atau berbiji banyak hanya menghasilkan sedikit

keturunan tidak berbiji.

Kajian mekanisme pembentukan buah tidak berbiji telah dilakukan oleh

Yamamoto et al. (1995), yang mempelajari hubungan antara sterilitas jantan dan

betina, dan ketidakserasian-sendiri (self-incompatibility) terhadap jumlah biji pada

berbagai aksesi jeruk, termasuk pamelo. Sementara itu Yamamoto dan Tominaga

(2002) mempelajari hal ini pada Citrus keraji, dan mendapatkan bahwa buah tidak

berbiji diakibatkan oleh sterilitas betina, self-incompatibility dan partenokarpi.

Pada aksesi pamelo tidak berbiji di Indonesia mekanisme ini belum diketahui.

(25)

kromosomnya. Tanaman yang kromosomnya triploid (3n) akan menghasilkan

buah tidak berbiji, sedangkan yang diploid (2n) berbiji. Serangkaian penelitian

dilakukan dengan skema seperti tercantum pada Gambar 1.

Tujuan

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkarakterisasi dan

mengevaluasi aksesi pamelo yang dapat digunakan sebagai karakter dalam

pengembangan pamelo tidak berbiji. Secara khusus penelitian ini bertujuan

untuk:

1. Mengidentifikasi karakter morfologi, biokimia, molekuler dan tingkat

ploidi tanaman pamelo berbiji dan tidak berbiji.

2. Mengidentifikasi pembentukan buah pamelo berbiji dan tidak berbiji.

3. Mengevaluasi karakter kualitas buah pamelo berbiji dan tidak berbiji

selama masa simpan.

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Terdapat perbedaan karakter morfologi, biokimia, molekuler dan tingkat

ploidi antar aksesi pamelo berbiji dan tidak berbiji.

2. Terdapat perbedaan karakter yang berhubungan dengan pembentukan buah

pamelo berbiji dan tidak berbiji

3. Terdapat perbedaan karakter kualitas buah pamelo berbiji dan tidak berbiji

selama masa simpan.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan berbagai informasi

penting yang bermanfaat dalam pengembangan kultivar pamelo tidak berbiji,

melalui hasil karakterisasi morfologi, biokimia, molekuler dan tingkat ploidi,

pembentukan buah pamelo berbiji dan tidak berbiji serta evaluasi kualitas buah

(26)

Gambar 1 Bagan alir penelitian Karakterisasi dan Evaluasi Aksesi Pamelo {Citrus maxima (Burm.) Merr.} Berbiji dan Tidak Berbiji Asli Indonesia.

Kajian Pembentukan Buah Berbiji dan Tidak Berbiji pada Pamelo

Evaluasi Kualitas Buah: - Nutrisi selama masa

simpan

- Analisis Sensori Karakterisasi:

- Morfologi - Isoenzim - Molekuler - Tingkat ploidi

Kelompok Aksesi: - Berbiji

- Potensial tidak berbiji - Tidak berbiji

Karakter-karakter tanaman yang dapat membedakan aksesi pamelo berbiji dan tidak berbiji, yang dapat digunakan sebagai karakter

dalam pengembangan pamelo tidak berbiji Eksplorasi Berbagai

(27)

2. TINJAUAN PUSTAKA

Sistematika, Asal-Usul, dan Sifat Botani Pamelo

Pamelo (Citrus maxima (Burm.) Merr.) memiliki sinonim C. grandis (L.)

Osbeck, C. decumana L., C. aurantium var. grandis L. dan C. aurantium var.

decumana L. (Manner et al. 2006). Tanaman ini termasuk genus Citrus, sub suku

(sub-tribe) Citrinae, tribe Citriae, sub famili Aurantioideae, famili Rutaceae

(Direktorat Tanaman Buah 2003). Citrinae dicirikan dengan buah hesperidium

dengan adanya kulit keras dan kaku yang mengelilingi bagian dalam buah dan

kantong jus (Hamilton et al. 2008). Adanya kulit yang keras dan kaku ini

melindungi buah dari kerusakan selama penanganan pascapanen dan pengeringan

selama penyimpanan (Albrigo dan Carter 1977).

Pamelo berasal dari Malesia, kemudian menyebar ke Indo-Cina, Cina

Selatan, Jepang Selatan, India Barat, Mediterania dan Amerika Tropik

(Niyomdham 1992). Walaupun tempat asal pamelo yang tepat tidak diketahui,

tetapi kemungkinan besar dari Malaysia, Thailand dan Indonesia, karena di daerah

ini banyak dijumpai kerabat liarnya (Thulaja 2003). Kini pamelo telah diproduksi

secara komersial di 74 negara baik untuk memenuhi kebutuhan lokal maupun

ekspor (Talon dan Gmitter Jr. 2008).

Pusat produksi pamelo dunia terdapat di Cina bagian Selatan, Thailand,

Vietnam, Malaysia, Indonesia, Taiwan dan Jepang (Hodgson 1967). Di

Indonesia, sentra produksi pamelo utama terdapat di Kabupaten Magetan,

sedangkan sentra produksi potensial antara lain di Kabupaten Sumedang, Pati,

Kudus, Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep) dan Bireun (Aceh).

Tinggi tanaman pamelo sekitar 5-15 m dengan batang yang besar (10-30

cm), percabangan rendah dan tidak beraturan (Morton 1987). Cabang muda

bersudut, seringkali berambut halus, pendek dan biasanya berduri (Orwa et al.

2009). Tajuk pohon berbentuk bulat (Christman 2008).

Daun pamelo berbentuk bulat telur sampai jorong dengan ukuran 5-20 cm

x 2-12 cm. Pangkal daun membundar sampai menjantung, tepi rata sampai

beringgit dangkal, dan ujung daun lancip sampai tumpul. Pada permukaan daun

(28)

mencapai 7 mm, berwarna hijau kuning, helai daun bagian bawah berbulu,

berwarna agak suram (Niyomdham 1992).

Bunga pamelo berbau harum, tunggal atau terdiri atas 2-10 kuntum bunga

di ketiak daun atau kadang-kadang berjumlah 10-15 kuntum di ujung cabang.

Mahkota bunga pamelo berjumlah 4-5 helai, berwarna putih-kekuningan, panjang

1.5-3.5 cm, berbulu halus pada bagian luar. Benang sari berwarna putih,

sedangkan serbuk sari jingga (Morton 1987). Kotak sari bunga pamelo terletak

berhadapan dengan permukaan kepala putik dan dapat melepaskan serbuk sarinya

sebelum kuncup bunga mekar. Meskipun demikian, sebagian besar aksesi pamelo

bersifat self-incompatible (Niyomdham 1992). Sifat self-incompatible pada

pamelo memberi peluang untuk dihasilkannya buah tidak berbiji (Yamamoto dan

Tominaga 2002). Bunga jeruk mekar pada pagi hingga sore dan mencapai

puncaknya pada tengah hari. Kepala putik sudah reseptif sebelum bunga mekar

(Ashari 2004).

Bunga jeruk bersifat pentamerous (berbilangan lima) dan hermaprodit.

Tangkai bunga memiliki dua daerah absisi, yaitu pada axil dan yang lain dekat

dengan kelopak bunga (Ortiz 2002). Bunga jeruk dibedakan atas bunga tanpa

daun (leafless bloom) dan bunga berdaun (leafy bloom). Bunga berdaun cenderung

mampu membentuk buah (fruit set) lebih tinggi dibanding bunga tanpa daun.

Pamelo biasanya menghasilkan banyak bunga pada musim utama, yang

jumlahnya bergantung pada aksesi, umur pohon dan kondisi lingkungan.

Walaupun demikian persentase fruit set relatif rendah, berkisar 0.8-1.1% pada

bunga tidak berdaun dan 4.8 – 6.0% pada bunga berdaun (Nakajima et al. 1993).

Buah pamelo berukuran besar, dengan diameter rata-rata 15-22 cm,

bahkan ada yang lebih dari 30 cm, dengan warna kulit kuning. Daging buah

berwarna putih, kekuningan atau merah muda. Bobot buah rata-rata sekitar 1-2

kg, kadang-kadang dapat mencapai 9 kg (Christman 2008). Biji pamelo tidak

banyak, berukuran besar dengan permukaan keriput, warnanya kekuningan dan

(29)

Kultivar Pamelo

Di Indonesia terdapat banyak kultivar pamelo, antara lain Nambangan,

Besar Nambangan, Magetan, Srinyonya, Cikoneng ST, Pangkajene Merah, Buton,

Bulat Hijau, Lonjong Hijau, Duku, Papermus Obesi I, Papermus Obesi II, Besar

Merah, Besar Putih, Putih tanpa biji (Agismanto dan Supriyanto 2007). Selain

itu dikenal pula pamelo Raja, Ratu dan Pangkep (Direktorat Tanaman Buah

2007), dan berbagai aksesi yang belum dilepas sebagai kultivar.

Di negara lain dikenal kultivar Banpeiyu (asal Malaya, diintroduksi ke

Taiwan dan Jepang), Chandler (berkembang di India dan California), Hirado

(Jepang), Dang Ai Chaa, Hoem Bai Toey, Kao Lang Sat, Kao Pan, Kao Phuang,

Kao Ruan Tia, Kao Yai, Khun Nok, Thong Dee (Thailand), Siamese Sweet

(diintroduksi oleh USDA dan ditanam di California), Tahitian (diduga berasal dari

Kalimantan dibawa ke Tahiti kemudian Hawaii) dan Tresca (dari Bahama,

ditanam secara komersial di California) (Morton 1987).

Karakterisasi Morfologi

Menurut Idris dan Saad (2001), karakterisasi plasma nutfah memiliki

beberapa manfaat. Data karakterisasi memiliki nilai diagnostik, yaitu sebagai alat

untuk mengidentifikasi bahan yang dikoleksi atau menguji keaslian plasma

nutfah, untuk membedakan homonim atau nama yang hampir sama dan

mengidentifikasi atau menyeleksi spesies, klon, kultivar atau varietas. Di samping

itu hasil karakterisasi juga bermanfaat untuk mengklasifikasikan spesies, klon,

kultivar atau varietas dan mendeteksi karakteristik yang berkaitan yang

kemungkinan dapat memiliki nilai praktis.

Tahap awal identifikasi tanaman, biasanya dilakukan secara morfologi.

Sifat morfologi ini dapat berupa sifat kualitatif maupun kuantitatif, yang memiliki

tipe dan aksi gen yang berbeda (Fitmawati 2008). Sifat kualitatif antara lain

bentuk tajuk, daun, dan buah; warna daun, bunga, kulit buah, dan daging buah,

sedangkan sifat kuantitatif, diantaranya panjang dan lebar daun, panjang mahkota

dan kelopak bunga serta bobot bagian-bagian buah. Penanda morfologi masih

(30)

dan buah aksesi pamelo terbaik (Rahman et al. 2003), dan mendeteksi poliploidi

pada jeruk (Bilquess 2004).

Malik et al. (2006) mendapatkan adanya keragaman ukuran daun, buah

dan biji pada koleksi aksesi C. indica Tanaka dan C. macroptera Montr. yang

dikaraktersisasi secara morfologi. Hasil penelitian Hardiyanto et al. (2007)

menunjukkan karakter morfologi dapat membedakan jeruk varietas lokal (keprok

Cinakonde, manis Punten dan besar Nambangan) dari kelompok lain dalam

populasi spesies yang sama, sehingga varietas lokal ini dapat dipisahkan pada

tingkatan takson di bawah spesies. Lebih jauh Hamilton et al. (2008) menyatakan

bahwa morfologi biji, khususnya topografi permukaan biji bermanfaat sebagai alat

identifikasi taksonomi pada jeruk liar Australia.

Meskipun karakterisasi secara morfologi kurang akurat, karena

dipengaruhi oleh stadia pertumbuhan tanaman dan faktor lingkungan, tetapi tetap

diperlukan sebagai tahap awal untuk mengetahui keragaman genetik tanaman dan

untuk melengkapi data hasil analisis biokimia dan molekuler. Karakterisasi

morfologi juga penting dilakukan, karena keragaman morfologi pada jeruk,

terutama mandarin tidak bergantung pada keragaman genetiknya, yang tampak

dari korelasi kofenetik yang rendah antara dendrogram morfologi dan molekuler

(Koehler-Santos et al. 2003; Campos et al. 2005). Beberapa karakter hortikultura

penting juga dikendalikan oleh banyak gen (Campos et al. 2005), dan

heritabilitasnya rendah. Dalam melakukan karakterisasi perlu diperhatikan

karakter-karakter yang dapat diturunkan, dapat mudah diamati dengan mata

telanjang, dan diekspresikan pada semua kondisi atau lingkungan (Perry dan

Battencourt 1997). Biasanya karakter ini bersifat kualitatif dan stabil pada

berbagai kondisi lingkungan, contohnya warna bunga dan bentuk buah.

Menurut Suharsi (2000) perbedaan antar aksesi pamelo dapat diidentifikasi

berdasarkan ciri-ciri buahnya, antara lain ukuran dan bentuk buah, bentuk ujung

dan pangkal buah, warna dan tekstur flavedo (epicarp), ketebalan dan warna

albedo (mesocarp), warna endokarpium, warna dan rasa vesicula atau daging

buah, aroma minyak atsiri, jumlah buah pada setiap pohon dan jumlah biji pada

(31)

tidak berbiji (hasil penyerbukan sendiri) mempunyai bobot buah lebih ringan

dibandingkan buah berbiji (hasil penyerbukan terbuka) (Yahata et al. 2005).

Kelemahan penanda morfologi adalah dipengaruhi oleh tahap

perkembangan tanaman dan lingkungan. Kadang-kadang sulit membedakan

genotipe yang diamati, karena secara morfologi tampak sama, walaupun

sebenarnya genotipe tersebut berbeda. Hal ini terjadi akibat sifat resesif tertutup

oleh sifat dominan (Bakhtiar 2002).

Karakterisasi Biokimia dengan Isoenzim

Isoenzim merupakan enzim yang terdiri atas molekul-molekul yang

mempunyai struktur kimia yang berbeda akan tetapi mengkatalisis reaksi kimia

yang sama. Sejumlah isoenzim diketahui berasosiasi atau terkait dengan karakter

agronomi, namun jumlah isoenzim yang terbatas membuat penggunaan isoenzim

menjadi terbatas pula.

Dibandingkan dengan ciri-ciri morfologi, isoenzim dan sifat-sifat biokimia

lain dapat lebih menunjukkan genotipe suatu organisme. Pita-pita isoenzim dapat

dievaluasi dari segi genetik (yaitu frekuensi alela pada setiap lokus) dan dari segi

fenotipe (yaitu dengan menganggap setiap pita tunggal sebagai suatu karakter

kodominan, yang keberadaannya dinyatakan dengan skor) (Gonzalez-Andrez et

al. 1996).

Fungsi utama isoenzim adalah mengendalikan aktivitas metabolik suatu

organisme. Isoenzim-isoenzim dikode oleh gen-gen yang berbeda, dan setiap gen

dapat memiliki alela berbeda pada lokus yang sama. Perbedaan ukuran,

konfigurasi dan muatan ion di antara isoenzim membuatnya dapat dideteksi dan

ditampilkan dengan berbagai cara pemisahan melalui elektroforesis.

Kebanyakan isoenzim menunjukkan lokus kodominan yang terdistribusi

mengikuti hukum Mendel dan banyak lokus diekspresikan pada seluruh stadia

siklus hidup tanaman (Hamrick 1989). Walaupun demikian, isoenzim juga dapat

menghasilkan pola pita yang kompleks terutama ketika enzim multimerik terlibat,

yang membuat interpretasi menjadi sulit. Sistem isoenzim juga bergantung pada

pewarnaan histokimia, sehingga memerlukan jumlah enzim yang optimal dari

(32)

keuntungan antara lain peralatan dan bahan yang digunakan relatif murah, dapat

menganalisis jumlah sampel yang banyak dalam waktu singkat, dan dapat

dilakukan pada fase bibit, sehingga menghemat waktu, tempat dan biaya (Hadiati

dan Sukmadjaja 2002).

Karakterisasi Molekuler dengan ISSR

Penanda molekuler merupakan alat yang bermanfaat untuk menunjukkan

keragaman genetik, menentukan tetua dan mengetahui hubungan filogenetik di

antara berbagai spesies jeruk (Uzun et al. 2010). Salah satu metode analisis

molekuler yang dapat mengatasi kekurangan pada metode lainnya, adalah

Inter-Simple Sequence Repeat (ISSR). Teknik ISSR merupakan metode berbasis PCR

yang melibatkan amplifikasi segmen DNA yang ada pada jarak yang dapat

diamplifikasi di antara dua wilayah mikrosatelit berulang yang menuju arah

berlawanan (Reddy et al. 2002).

Metode ISSR dapat mengatasi daya ulang (reproduceability) yang rendah

pada RAPD, biaya tinggi pada AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphism)

dan perlunya pengetahuan tentang sekuens DNA tanaman yang akan dianalisis

pada SSR (Reddy et al. 2002). Pada analisis keragaman jeruk siam, primer ISSR

mendeteksi lebih banyak pita DNA dibandingkan dengan primer RAPD, dan

mampu membangun dendrogram yang memperlihatkan keragaman besar

(Agisimanto et al. 2007). Teknik ISSR juga cepat, dapat dipercaya, hanya

memerlukan sejumlah kecil DNA, dan tidak bersifat radioaktif (Jabbarzadeh et al.

2010), karena selain menggunakan poliakrilamida yang dikombinasikan dengan

radioaktif, hasil PCR-ISSR juga dapat dideteksi menggunakan agarose-etidium

bromida (Reddy et al. 2002). Walaupun demikian pada tanaman tertentu, seperti

tanaman obat Scutellaria baicalensis, tetap diperlukan pemilihan primer, karena

primer yang sama dapat menunjukkan hasil amplifikasi berbeda pada spesies yang

berbeda (Guo et al. 2009).

Lebih lanjut Behera et al. (2008) melaporkan bahwa pada berbagai aksesi

paria (Momordica charantia L.) terdapat korelasi tinggi antara hasil analisis

dengan penanda ISSR dan RAPD. Kemungkinan karena sistem penanda ini

(33)

fragmen-fragmen yang dideteksi hampir semuanya berukuran sama. Menurut Kumar et al.

(2009) untuk identifikasi dan sertifikasi plasma nutfah jeruk penanda ISSR lebih

baik dibandingkan RAPD.

Shahnavar et al. (2007) berhasil menggunakan penanda ISSR untuk

membedakan aksesi-aksesi jeruk berkerabat dekat dan menjelaskan hubungan

kekerabatan antara genotipe jeruk yang belum teridentifikasi dengan kultivar yang

telah diketahui. Penanda ISSR juga dapat membedakan bibit jeruk nuselar dan

zigotik (Krueger 2003). Sementara Emel (2010) memanfaatkan ISSR untuk

mengidentifikasi DNA unik yang dapat menjadi penanda untuk menentukan

kultivar gandum.

Tingkat Ploidi

Jumlah kromosom setiap sel pada semua individu dari setiap spesies

adalah konstan. Spesies-spesies yang mempunyai hubungan kekerabatan dekat

lebih kurang mempunyai jumlah kromosom sama, sedangkan spesies yang tidak

mempunyai hubungan, memiliki jumlah kromosom berbeda (Sudarnadi 1989).

Hasil penelitian Frost (1925a) menunjukkan kultivar jeruk berbiji bersifat

diploid, dengan jumlah kromosom 2n = 18. Selain itu terdapat pula kultivar jeruk

yang tetraploid (Frost 1925b) dan triploid. Tanaman triploid dapat diperoleh dari

hasil persilangan antara tanaman diploid dengan tetraploid (Fatima et al. 2002),

hibridisasi somatik antara kultivar diploid dan haploid (Kobayashi et al. 1997),

kultur endosperma (Raza et al. 2003), iradiasi (Zhang et al. 1988) atau

terbentuk secara spontan (Jaskani et al. 2007). Pada jeruk, triploid spontan juga

terdapat pada bibit zigotik seksual (Raza et al. 2003).

Jeruk tidak berbiji di Indonesia kemungkinan terbentuk secara spontan,

sebagai hasil persilangan alami antara kultivar diploid dan tetraploid atau mutasi

alami, karena mutasi alami dan sport sering terjadi pada jeruk (Raza et al. 2003).

Secara morfologi, terdapat perbedaan antara tanaman jeruk yang tetraploid,

triploid dan diploid. Tanaman jeruk tetraploid tumbuh lebih cepat, memiliki daun

lebih lebar, lebih tebal, dan berwarna lebih gelap dibanding tanaman triploid dan

(34)

diidentifikasi karena ukuran bijinya yang 1/3 sampai 1/6 kali lebih kecil dari biji

diploid (Esen dan Soost 1971).

Viabilitas Tepung Sari

Penentuan viabilitas tepung sari berperan besar dalam proses reproduksi

tanaman, karena dapat menunjukkan kemampuan butir tepung sari untuk

menghantarkan sel sperma ke kantong embrio pada proses penyerbukan.

Pengujian viabilitas ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan

metode pewarnaan tepung sari dan perkecambahan tabung sari secara in vitro.

Selain itu viabilitas tepung sari juga dapat diduga dari ukuran diameternya. Pada

Collinsia verna (Scrophulariaceae; 2n = 14), tepung sari yang hidup (viable)

memiliki diameter lebih besar dibanding yang non-viable (Kelly et al. 2002).

Metode pewarnaan banyak digunakan untuk menduga viabilitas tepung

sari, karena mudah dilakukan, walaupun cara ini memiliki derajat ketepatan yang

lebih rendah dibandingkan metode perkecambahan. Di antara berbagai metode

pewarnaan (acetic-orcein, acetic-carmin, IKI, acridine orange, tetrazolium

klorida), penggunaan tetrazolium klorida pada tepung sari Helleborus niger

berkorelasi lebih baik dengan kemampuan tepung sari berkecambah

(Heslop-Harrison et al. 1984).

Pembentukan Biji dan Buah pada Pamelo

Peran penyerbukan dalam proses pembentukan buah jeruk bervariasi.

Aksesi dengan derajat partenokarpi tinggi (jeruk nipis ‘Tahiti’, jeruk keprok

‘Satsuma’) tidak memerlukan penyerbukan untuk membentuk buah. Sementara

itu, pada aksesi dengan derajat partenokarpi rendah (grapefruit ‘Star-ruby’)

penyerbukan diperlukan untuk membentuk buah (fruit set) (Varoquaux et al.

2000). Aksesi dengan derajat partenokarpi tinggi biasanya menghasilkan buah

tidak berbiji (Iglesias et al. 2007), karena bakal buah mampu berkembang tanpa

pembuahan pada bakal biji (Varoquaux et al. 2000).

Pada jeruk yang berbiji penyerbukan amat mempengaruhi keberhasilan

fruit set dan perkembangan buah selanjutnya. Pada aksesi berbiji, bila sel telur

(35)

maka tidak akan terjadi perkembangan biji, dan kantong induk megaspora akan

gugur ketika bunga mengalami senesen. Hal ini menunjukkan peranan biji yang

amat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan buah, karena biji merupakan

sumber fitohormon (Ben-Cheikh et al. 1997).

Sifat tidak berbiji pada jeruk disebabkan oleh sterilitas jantan (Yamamoto

et al. 1995) dan self-incompatibility (Yamamoto et al. 2006). Self-incompatibility

pada jeruk dapat disebabkan oleh pertumbuhan tabung tepung sari yang lambat,

diduga akibat adanya inhibitor pada tangkai putik. Hal ini menyebabkan tangkai

putik gugur sebelum tabung tepung sari dapat mencapai kantung embrio dan

melepas inti sperma ke kantung induk megaspora (Krezdorn tanpa tahun). Aksesi

yang self-incompatible menunjukkan derajat partenokarpi rendah, sehingga

dianggap memiliki ’facultative parthenorcapy’. Dalam hal ini buah tidak berbiji

hanya terbentuk ketika tidak terjadi pembuahan (Iglesias et al. 2007). Sementara

itu jantan steril dapat disebabkan oleh perkembangan benang sari (stamen) yang

tidak sempurna atau perkembangan tepung sari yang terganggu. Sterilitas tepung

sari ditemukan pada berbagai tingkat pada banyak aksesi jeruk (Jackson dan

Gmitter tanpa tahun). Pada beberapa spesies, buah tidak berbiji terbentuk sebagai

hasil partenokarpi atau stenospermokarpi, yaitu pembuahan yang diikuti dengan

aborsi pasca-zigotik (Gomez-Alverado et al. 2004).

Peranan Zat Pengatur Tumbuh dalam Perkembangan Biji dan Buah

Perkembangan biji dan buah merupakan proses yang saling berhubungan

erat dan dipengaruhi oleh fitohormon (Gillaspy et al. 1993). Fitohormon yang

terlibat antara lain auksin, sitokinin dan giberelin (GA), yang berperan pada tahap

awal perkembangan buah, terutama pada fase perkembangan bakal buah dan

periode pembelahan sel secara cepat (Srivastava 2002). Hal ini sejalan dengan

ditemukannya peningkatan kandungan auksin, giberelin dan sitokinin pada

organ-organ bunga setelah bakal buah mengalami fertilisasi, sehingga ketiga fitohormon

ini efektif untuk menginduksi perkembangan buah tanpa fertilisasi

(partenokarpik), seperti pada tomat dan terong (Gillaspy 1993). Walaupun

demikian banyak hasil penelitian menunjukkan giberelin yang paling berpengaruh

(36)

Menurut Talon et al. (1992) GA endogen pada bakal buah yang sedang

berkembang berperan mengendalikan perkembangan buah partenokarpik (jeruk

mandarin ’Satsuma’ dan ’Clementine’). Disamping itu konsentrasi GA pada buah

partenokarpik (mandarin ’Satsuma’) lebih tinggi dibandingkan buah

non-partenokarpik, seperti ’Hyuganatsu’ (Citrus unshiu) (Kojima 1997). Lebih lanjut,

Altaf dan Khan (2007) menunjukkan bahwa jeruk mandarin ’Kinnow’ berbiji

sedikit (0-10 biji/buah) memiliki derajat partenokarpi rendah, karena kandungan

GA endogennya rendah. Pada aksesi demikian pembentukan buah tidak berbiji

dapat dilakukan dengan penyemprotan GA untuk menginduksi partenokarpi.

Evaluasi Kualitas Buah

Evaluasi agronomi aksesi ditujukan untuk mempermudah pemanfaatan

plasma nutfah berdasarkan sifat agronomi, antara lain berupa kualitas buah.

Menurut IPGRI (1999), kualitas buah yang diamati dapat berupa kandungan

minyak esensial pada kulit buah, kandungan asam tertitrasi total (ATT), gula, pH,

nisbah padatan terlarut total (PTT)/ATT dan kandungan asam askorbat buah.

Disamping itu evaluasi kegetiran (bitterness) merupakan hal penting pada pamelo,

karena rasa getir mempengaruhi kesukaan konsumen terhadap pamelo dan

prospek pemanfaatannya dalam industri jus.

Hasil penelitian Mahardika dan Susanto (2003) pada pamelo ‘Sri Nyonya’,

‘Nambangan’ dan ‘Bali Merah’ menunjukkan ‘Sri Nyonya’ memiliki kandungan

PTT relatif lebih tinggi dibanding ‘Nambangan’ dan ‘Bali Merah’. Nisbah

PTT/ATT ‘Nambangan’ dan ‘Bali Merah’ lebih tinggi dibanding ‘Sri Nyonya’.

Disamping itu, Ketsa (1989) menunjukkan ketebalan kulit buah pada tangerine

(Citrus reticulata Blanco) tidak berpengaruh terhadap kandungan PTT dan asam

askorbat, tetapi tangerine berkulit tipis memiliki ATT lebih rendah dan nisbah

PTT/ATT lebih tinggi dibanding yang berkulit tebal. Hal ini membuat rasa

tangerine berkulit tipis lebih enak dibanding tangerine yang berkulit tebal. Selain

dipengaruhi oleh faktor genetik, kandungan PTT pada buah juga dipengaruhi oleh

nisbah jumlah daun/buah. Pada tomat peningkatan rasio daun/buah akan

(37)

Kualitas buah juga berhubungan dengan warna jus dan rasa getir. Pamelo

dengan warna jus merah memiliki kandungan fenolik total dan karotenoid lebih

tinggi dibandingkan yang warna jusnya putih, sehingga merupakan sumber

antioksidan yang baik dan lebih efisien dalam menangkap berbagai bentuk radikal

bebas (Tsai et al. 2007). Rasa getirpada buah dan jus jeruk terutama disebabkan

oleh senyawa dari kelompok flavonoid dan limonoid. Flavonoid pada buah jeruk

terdiri atas flavanon (naringin), flavon (nobiletin) dan flavonol (quercetin).

Naringin merupakan flavanon paling tinggi kandungannya pada jus pamelo

(Pichaiyongvongdee dan Haruenkit 2009b). Pada grapefruit naringin disintesis di

daun muda yang sedang tumbuh, dan ditranslokasikan ke bagian tanaman lain

(Moriguchi et al 2003).

Limonoid pada jeruk berada dalam bentuk aglikon limonoid dan glukosida

limonoid. Dari 16 kultivar pamelo matang rata-rata mengandung 18 ppm limonin

dan 29 ppm limonoid glukosida total. Dibandingkan dengan jus lain, pamelo

mengandung limonin dengan konsentrasi amat tinggi dan konsentrasi limonoid

glukosida amat rendah (Ohta dan Hasegawa 2006).

Konsentrasi senyawa pembuat rasa getir tertinggi umumnya ditemukan

pada buah mentah. Konsentrasi senyawa penyebab rasa getir semakin menurun

dengan makin masaknya buah (Hasegawa et al. 1996). Hasil penelitian

Pichaiyongvongdee dan Haruenkit (2009a) menunjukkan bahwa naringin dan

limonin pada pamelo tersebar pada flavedo, albedo, selaput pembungkus, jus dan

(38)

3. KARAKTERISASI MORFOLOGI, BIOKIMIA, MOLEKULER DAN TINGKAT PLOIDI AKSESI PAMELO BERBIJI DAN TIDAK BERBIJI

(Morphological, Biochemical, Molecular Marker and Ploidy Level of Seeded and Seedless Pummelo Accessions)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi karakter morfologi, biokimia (isoenzim), molekuler (ISSR) dan tingkat ploidi aksesi pamelo berbiji dan tidak berbiji asal Sumedang, Kudus, Pati dan Magetan. Karakter morfologi yang berperan dalam pengelompokan aksesi pamelo adalah tebal epikarp, pinggiran helai daun, panjang kantong jus, warna kulit buah masak, lebar sayap daun dan bentuk buah, sedangkan karakter isoenzim adalah MDH (Rf 0.11 dan 0.14) dan ACP (Rf 0.24 dan 0.33). Pita ACP Rf 0.24 dapat dijadikan penanda untuk membedakan aksesi berbiji dan tidak berbiji. Karakter molekuler yang berperan dalam pengelompokan adalah PKBT8 500 bp, PKBT8 375 bp, PKBT7 750 bp, PKBT3 750 bp, PKBT8 625 bp dan PKBT12 500 bp. Dendrogram berdasarkan karakter morfologi memisahkan kelompok aksesi berbiji dan tidak berbiji pada koefisien kemiripan 0.63, dengan isoenzim pada koefisien kemiripan 0.48, sedangkan berdasarkan molekuler belum dapat memisahkan antara aksesi berbiji dan tidak berbiji. Dendrogram berdasarkan karakter morfologi dan isoenzim dapat membedakan antara aksesi berbiji, potensial tidak berbiji dan tidak berbiji. Hasil pemetaan komponen utama kongruen dengan dendrogram, yaitu dapat memisahkan aksesi berbiji maupun tidak berbiji, berdasarkan karakter morfologi, isoenzim maupun kombinasinya. Baik pamelo berbiji maupun tidak berbiji memiliki kromosom diploid (2n = 2x = 18).

ABSTRACT

(39)

PENDAHULUAN

Pamelo (Citrus maxima (Burm.) Merr.) merupakan spesies jeruk

berukuran paling besar, dan populer di Cina bagian Selatan, Thailand dan

negara-negara Asia Tenggara (Christmann 2008), termasuk Indonesia (Morton 1987). Hal

inilah yang membuat aksesi pamelo dibedakan atas kelompok Thailand, Cina dan

Indonesia (Davies dan Albrigo 1994). Selain ukuran buahnya yang khas, aksesi

pamelo juga memiliki jumlah biji beragam, mulai dari tidak berbiji hingga berbiji

banyak (Ladaniya 2008). Buah tidak berbiji lebih banyak diminati oleh

konsumen, karena biji menyebabkan rasa pahit dan merepotkan saat

mengkonsumsi buah (Altaf dan Khan 2007), sehingga pengembangan jeruk

diarahkan pada aksesi tidak berbiji.

Upaya pengembangan aksesi tidak berbiji melalui program pemuliaan dan

pemanfaatan plasma nutfah, memerlukan informasi keanekaragaman genetik dan

hubungan kekerabatan antar kultivar pamelo. Informasi ini dapat diperoleh

melalui karakterisasi menggunakan berbagai metode analisis. Kombinasi

informasi dari tipe analisis berbeda diharapkan dapat meminimalkan risiko

kesalahan dalam menginterpretasikan data (Petrokas dan Stanys 2008).

Identifikasi tanaman secara morfologi dilakukan karena adanya

kemudahan dalam mengamati perbedaan-perbedaan antara tanaman secara visual.

Selain itu kebanyakan karakter hotikultura penting dikendalikan oleh banyak gen

(Campos et al. 2005), dan memiliki derajat heritabilitas rendah, sehingga sebagian

karakter hortikultura tidak dapat dievaluasi melalui penanda molekuler (Dorji dan

Yapwattanaphun 2011). Hal ini membuat karakterisasi morfologi tetap

diperlukan.

Karakter morfologi merupakan ekspresi fenotipe dari individu dan

populasi, diregulasi dan ditentukan oleh gen dan interaksinya dengan lingkungan.

Beberapa peneliti telah menggunakan karakterisasi morfologi pada jeruk, antara

lain untuk meningkatkan jumlah genotipe yang potensial dalam program

pemuliaan atau untuk dilepas sebagai kultivar baru jeruk keprok (Citrus spp.)

(40)

genetik spesies jeruk (Hardiyanto et al. 2007), dan untuk mendapatkan kultivar

unggul pamelo (Ara et al. 2008).

Di lain pihak penggunaan karakter morfologi relatif sulit membedakan

sifat antar aksesi jeruk, karena beberapa aksesi hanya dapat dibedakan melalui

sifat buahnya (Quang et al. 2011). Sementara panen raya pamelo hanya terjadi

sekali dalam setahun dan masa vegetatif jeruk relatif panjang. Oleh karena itu

data karakter morfologi, perlu didukung dengan analisis lain, diantaranya

isoenzim, molekuler dan set kromosom.

Isoenzim merupakan enzim yang terdiri atas molekul-molekul yang

mempunyai struktur kimia yang berbeda akan tetapi mengkatalisis reaksi kimia

yang sama. Sebagai protein, isoenzim secara langsung dapat menunjukkan

perubahan dalam sekuen DNA melalui perbedaan komposisi asam amino.

Seringkali perbedaan komposisi asam amino akan mengubah muatan enzim, yang

akan menyebabkan perubahan dalam mobilitas elektroforesis (Weeden dan

Wendel 1989). Hal ini merupakan indikator yang baik untuk keragaman genetik,

sehingga isoenzim dapat digunakan untuk mengidentifikasi aksesi pada berbagai

tanaman, seperti pamelo (Phan et al. 2006), Citrus junos dan kerabat jeruk asam

(Rahman et al. 2001), nenas (Hadiati dan Sukmadjaja 2002), dan padi (Abdullah,

2001). Analisis isoenzim juga digunakan untuk membedakan bibit jeruk triploid

dan diploid (King et al. 1996) dan batang bawah jeruk nuselar dan zigotik (Stykes

2011). Di lain pihak belum diketahui kemampuan isoenzim dalam membedakan

antara aksesi berbiji dan tidak berbiji pada pamelo.

Teknologi penanda molekuler berperan penting dalam membedakan

keragaman genetik, mengidentifikasi hubungan kekerabatan dan memetakan sidik

jari plasma nutfah. Salah satu metode analisis molekuler yang telah digunakan

secara luas adalah Inter-Simple Sequence Repeat (ISSR). Menurut Kumar et al.

(2009) marka ISSR dapat membedakan individu aksesi dalam setiap spesies jeruk

(C. indica, C. medica, C. latipes dan C. sp. ‘Memang athur’) dengan polimorfisme

sedang (38-56 persen). ISSR mampu mendeteksi keragaman genetik yang lebih

besar pada Vigna umbellata dibandingkan RAPD (Muthusamy et al. 2008), dan

ISSR juga lebih berguna untuk identifikasi plasma nutfah jeruk dibandingkan

(41)

Analisis set kromosom diperlukan untuk mengetahui kemungkinan adanya

aksesi tidak berbiji yang triploid, karena jumlah kromosom pada jeruk

mempengaruhi pembentukan dan perkembangan biji. Tanaman jeruk triploid (3n)

biasanya menghasilkan buah tidak berbiji (Toolapong et al. 1995). Kondisi

triploid ini menyebabkan meiosis yang abnormal dan aborsi embrio (Zhu et al.

2009).

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakter morfologi,

isoenzim, molekuler dan tingkat ploidi pamelo berbiji, potensial tidak berbiji dan

tidak berbiji dan mendapatkan informasi keanekaragaman genetik dan hubungan

kekerabatan antar aksesi pamelo.

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat

Karakterisasi morfologi dilakukan pada bulan April 2009 sampai April

2010 di sentra produksi pamelo Sumedang, Gunung Muria (Kudus dan Pati) dan

Magetan. Analisis isoenzim dikerjakan pada bulan Maret 2011 di Laboratorium

Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB. Analisis molekuler

dengan ISSR dilakukan pada bulan Maret-Juni 2011 di Laboratorium Pusat Kajian

Buah Tropika IPB. Konfirmasi tingkat ploidi dengan analisis jumlah kromosom

dilakukan di Laboratorium Mikroteknik, Departemen Agronomi dan Hortikultura

IPB pada bulan September 2010 sampai Pebruari 2011, dan analisis flow

cytometry dilakukan di Laboratorium Genetika Tumbuhan, LIPI Biologi,

Cibinong pada bulan Pebruari 2012.

Karakterisasi Morfologi pada Aksesi Pamelo Berbiji dan Tidak Berbiji Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan ialah bagian-bagian vegetatif dan reproduktif

tanaman 14 aksesi tanaman pamelo asal Sumedang: Cikoneng ST, Magetan: Jawa

1, Jawa 2, Jawa 3, Magetan, Sri Nyonya, Adas Duku, Bali Putih, Nambangan,

Bali Merah 1, Bali Merah 2, Kudus: Muria Merah 1, Muria Merah 2 dan Pati:

Bageng Taji yang tumbuh di kebun petani. Alat yang digunakan ialah pH meter

(42)

Metode

Identifikasi pamelo secara morfologi dilakukan berdasarkan descriptor list

IPGRI (1999) yang telah dimodifikasi (Lampiran 1). Tanaman pamelo yang

diamati telah dewasa (telah berbuah), berumur lebih dari 6 tahun, dengan asumsi

cir-ciri morfologi dan fisiologi tanaman telah stabil (secara visual sifat genetik

telah tampak dan stabil) dan pertumbuhan tanaman tampak normal, tidak ada

indikasi atau gejala kekurangan hara. Metode pemilihan contoh dilakukan secara

terarah, yaitu dari setiap lokasi yang dipilih dalam satu daerah diamati sebanyak

tiga pohon contoh yang dapat mewakili populasi tanaman.

Pengamatan karakter kuantitatif dan kualitatif dievaluasi dari 10 daun, 10

bunga dan 10 buah dari setiap tanaman. Dalam penelitian ini aksesi pamelo

dikelompokkan tidak berbiji, bila jumlah biji per buah kurang dari 10, dimasukkan

kelompok potensial tidak berbiji, jika dalam satu aksesi terdapat buah berbiji dan

tidak berbiji, dan kelompok buah berbiji jika jumlah biji per buah ≥10.

Karakterisasi Biokimia dengan Isoenzim pada Aksesi Pamelo Berbiji dan Tidak Berbiji

Bahan dan Alat

Bahan tanaman yang digunakan untuk analisis ialah daun muda pamelo

aksesi berbiji (Cikoneng ST, Jawa 2, Jawa 3, Magetan, Sri Nyonya, Adas Duku,

Bali Putih dan Muria Merah 2), tidak berbiji (Muria Merah 1, Bali Merah 2,

Bageng Taji, Jawa 1) dan potensial tidak berbiji (Nambangan dan Bali Merah 1),

yang diperoleh dari hasil eksplorasi di tiga sentra produksi pamelo di Sumedang,

Gunung Muria (Pati dan Kudus) dan Magetan.

Metode

Teknik analisis isoenzim esterase (EST), malat dehidrogenase (MDH),

peroksidase (PER), dan asam fosfatase (ACP) mengikuti metode Horry (1989),

sedangkan aspartat amino transferase (AAT) atau glutamat oksaloasetat

Gambar

Tabel 1  Nama dan susunan basa primer koleksi PKBT IPB
Gambar 2   Bentuk pohon aksesi pamelo (a) spheroid dan (b) obloid.
Tabel 2. Deskripsi pohon 14 aksesi pamelo
Gambar 4   Bunga berbagai aksesi pamelo berbiji: (a)  Cikoneng ST , (b) Jawa 2 ,
+7

Referensi

Dokumen terkait

Nilai koefisien regresi variabel nilai tukar bernilai positif sebesar 0,189 yang artinya, jika nilai tukar meningkat sebesar satu rupiah maka harga saham akan

Bumi siliwangi team 4 baru mendapatkan hasil pada kesempatan ke-tiga dengan perolehan 49,3 km/Kwh, dengan hasil ini membawa tim bumi siliwangi team 4 ke posisi

Mulai dari menukarkan tiket di maskapai penerbangan pilihan Anda, keberangkatan, kedatangan, akomodasi, makan, belanja dan bepergian ke luar negeri, SKYZ card menghadirkan

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan melakukan wawancara Teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan melakukan wawancara dan tanya jawab secara langsung dengan

kembali sambil tangan digenggam ke atas se%ara lurus. Cungsi gerakan ini adalah membuat tubuh lebih elastis! dan meningkatkan kekuatan seluruh anggota tubuh untuk

Berdasarkan nilai AIC distribusi yang memiliki nilai AIC terkecil untuk setiap stasiun pada DAS Kampar adalah distribusi normal karena distribusi normal memiliki kecocokan

Berdasarkan Tabel 3 terlihat bahwa keasaman tanah (pH) sarang peneluran burung maleo cukup beragam dari dua lokasi pengamatan pada lokasi pertama yang merupakan pilihan

Berdasarkan tabel Coefficients dapat diketahui bahwa variabel Debt to Equity Ratio (DER) memiliki nilai sig sebesar 0,478 &gt; 0,05 hasil tersebut dapat dikatakan bahwa H0