• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBENTUKAN STRUKTUR PENGUASAAN LAHAN KELURAHAN SITUGEDE PASCA JUAL BELI LAHAN

Dalam dokumen Ulfa (Halaman 47-55)

PERTANIAN

Luas Penguasaan Lahan

Penguasaan lahan di daerah Jawa lebih besar dibandingkan di daerah luar Jawa. Hal ini karena adanya kebijakan pembangunan pada masa lalu yang mengutamakan pencetakan sawah di pedesaan Jawa. Kebijakan pembangunan tersebut dilatarbelakangi oleh tiga faktor yaitu: 1) sumber daya lahan di Jawa dapat dijadikan sawah lebih tersedia dibandingkan di luar Jawa; 2) anggaran atau pencetakan sawah di Jawa lebih murah; dan 3) masalah kelangkaan pangan lebih tinggi di Jawa sehingga diprioritaskan di Jawa karena secara langsung hal itu akan mengurangi masalah pangan tersebut. Pada kenyataannya kepadatan penduduk di Jawa menjadikan akses mereka terhadap lahan menjadi sempit. Luas lahan yang tetap dan jumlah penduduk yang semakin meningkat menyebabkan daya dukung tanah tidak dapat mencukupi kebutuhan manusia dalam jumlah besar. Maka dari itu, terjadi ketidakmerataan akses terhadap lahan di pedesaan Jawa.

Pendapatan rumah tangga sebagian besar diperoleh dari kegiatan usaha tani

yang memerlukan lahan sebagai faktor produksi utama. Bagi masyarakat desa, luas kepemilikan lahan mencerminkan kesejahteraan mereka. Peran lahan sangatlah penting dalam kehidupan masyarakat desa karena identik dengan status sosial rumah tangga. Ketimpangan distribusi lahan dan penguasaan lahan akan berdampak pada distribusi pendapatan rumah tangga pedesaan yang berasal dari usaha pertanian. Ketimpangan pemilikan lahan dan penguasaan lahan disebabkan oleh beberapa faktor yaitu adanya sistem bagi waris di mana lahan yang diwariskan dibagikan kepada pihak yang mempunyai hak waris. Sistem tersebut menjadikan lahan petani menjadi semakin sempit dan terjadi marginalisasi pemilikan lahan pada petani berlahan sempit. Sempitnya lahan yang dikuasai mengakibatkan pendapatan yang diperoleh dari lahan tersebut tidak mencukupi kebutuhan rumah tangga petani sehingga mereka terpaksa menjual lahannya.

Sawahnya warisan dari Bapaknya istri, penghasilan sawah kecil cukupnya untuk dimakan sendiri kalau garap sawah uangnya baliknya ke sawah lagi, ya lebih enak dijualin aja bisa dipake tambahan untuk anak sekolah. Dijual sebenarnya sayang, soalnya warisan dari mertua kenang- kenangan terakhir, tapi hidup makin mahal mau minjem juga dijadikan jaminan itu sawahnya tidak seberapa. Harapan sih kalau anak sukses nanti bisa beli sawah yang lebih jual, karena memang lebih enak menggarap di lahan sendiri walau kecil dari pada di lahan punyanya orang lain. ” - (Bapak Uki, 45 tahun)

Luas penguasaan lahan merupakan ukuran lahan yang dikuasai responden dalam satuan meter persegi pasca terjadinya jual beli lahan pertanian. Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya lahan garapan para petani kini telah

berkurang pasca melakukan jual beli lahan pertanian. Variabel mengenai luas penguasaan lahan terdiri dari satu pertanyaan. Pertanyaan tersebut terdiri dari pertanyaan pra dan pasca terjadinya jual beli lahan pertanian. Selanjutnya, variabel

luas penguasaan lahan digolongkan menjadi tiga kategori yaitu ≥ 2 973 m, 1 982 –

2 972 m, dan ≤ 1 981 m. Pembagian luasan lahan tersebut didapat dari rata-rata luasan penguasaan lahan di Kelurahan Situgede. Perihal luas penguasaan lahan dapat dilihat pada hasil dan pengolahan data responden pada Gambar 10.

Gambar 10. Luas penguasaan lahan menurut responden Kelurahan Situgede Tahun 2015

Sumber: Data Primer 2015 diolah

Pada Gambar 10, dapat dilihat bahwa hampir seluruh responden memiliki kondisi luas penguasaan lahan pasca jual beli lahan pertanian tergolong rendah. Hal tersebut ditunjukkan pada gambar bahwa sebanyak 26 responden (84%) memiliki

luas penguasaan ≤1 981 m, sebanyak dua responden (6%) memiliki luas

penguasaan 1 982–2 972 m, dan sekitar tiga responden (10%) memiliki luas penguasaan ≥ 2 973 m. Berikut merupakan rincian data luas penguasaan lahan pertanian pra dan sesdudah terjadinya jual beli lahan pertanian.

Tabel 3. Data luas penguasaan lahan pertanian pra dan pasca terjadinya jual beli

lahan pertanian

Sumber: Data Primer 2015 diolah

Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa luas lahan sawah yang dikuasai dan digarap pasca jual beli lahan pertanian setiap responden berbeda-beda tergantung kemampuannya. Dari 31 responden, total luas lahan garapan sawah tersempit yang dikuasai yaitu seluas 500 m2 dan total luas lahan sawah terluas yang dikuasai yaitu seluas 10 000 m2. Pengkategorian luas lahan dilakukan setelah tercatat semua total luas lahan sawah responden dan terhitung rata-rata luas lahan

garapannya yaitu 2 973 m2. 26 2 3 0 5 10 15 20 25 30 ≤ 1981 1982-2972 ≥ 2973 Luas Lahan (m2)

Pra Jual Beli Lahan Pertanian Jumlah (n)

Pasca Jual Beli Lahan Pertanian Jumlah (n) ≤ 1 981 10 26 2 972 > x > 1981 8 2 ≥ 2 973 13 3 Total 31 31

Tingkat Ketergantungan Lahan Pertanian

Mata pencaharian responden dalam penelitian ini tidak sepenuhnya menjadi petani. Hal ini disebabkan karena hasil dari lahan garapan tidak pasti dan mendapatkan hasil dalam waktu yang lama sedangkan kebutuhan hidup setiap hari harus dipenuhi di tengah kondisi ekonomi yang semakin sulit. Mereka mencari strategi bertahan hidup dengan bekerja serabutan sebagai buruh bangunan atau buruh angkut, membuka warung, menjadi pegawai di pemerintahan desa dan lainnya. Hal ini dilakukan semata-mata untuk menambah penghasilan mereka agar tetap bertahan hidup.

Tingkat Ketergantungan lahan merupakan sejauh mana lahan dianggap penting dalam memenuhi kebutuhan responden yang diukur berdasarkan persentase pendapatan pertanian dari seluruh total pendapatan rumah tangga responden. Selanjutnya, variabel tingkat ketergantungan lahan digolongkan menjadi tiga kategori yaitu tinggi, sedang, dan rendah.

Oleh karena itu dapat dilihat pula tingkat ketergantungan responden terhadap lahan pertanian pra dan pasca jual beli lahan pertanian pada gambar di bawah ini.

Gambar 11. Persentase responden berdasarkan tingkat ketergantungan pada lahan pra jual beli lahan pertanian di Kelurahan Situgede 2015

Sumber: Data Primer 2015 diolah

Berdasarkan Gambar 11, mayoritas tingkat ketergantungan lahan pra jual beli lahan pertanian responden berada pada kategori rendah yaitu sebanyak 17 orang atau 55 persen. Sebanyak sembilan orang atau 29 persen responden yang tingkat ketergantungan lahan berada pada kategori sedang dan hanya lima orang atau 16 persen responden yang tingkat ketergantungan pada lahan berada pada kategori tinggi.

Sedangkan berdasarkan Gambar 12, tingkat ketergantungan lahan pasca jual beli lahan pertanian responden berada pada kategori rendah mengalami peningkatan yaitu sebanyak 24 orang (77%). Pada kategori sedang mengalami penurunan yaitu sebanyak empat orang (13%), dan hal yang sama yaitu terjadi penurunan pada kategori tinggi yaitu hanya tiga orang responden (10%)

Hasil ini menunjukkan bahwa walaupun responden memiliki luas lahan yang cukup luas namun tidak sepenuh hidupnya bergantung pada lahan garapan yang digarap. Hasil dari lahan pertanian yang sedikit, tidak menentu dan diperlukan waktu yang lama menjadi alasan tingat ketergantung lahan garapan mereka berada pada kategori rendah. Ada beberapa responden yang seluruh pendapatannya

Rendah 55% Sedang 29% Tinggi 16%

berasal dari lahan pertanian. Alasan mereka tidak memiliki pekerjaan lain selain menggarap lahan sawah yaitu faktor usia yang sudah tidak memungkinkan lagi, dan latar belakang pendidikan yang tidak terlalu tinggi sehingga kini hanya bisa menggarap lahan pertanian.

Gambar 12. Persentase responden berdasarkan tingkat ketergantungan pada lahan pasca jual beli lahan pertanian di Kelurahan Situgede 2015

Sumber: Data Primer 2015 diolah

Kelembagaan Penguasaan Lahan

Pada bagian kelembagaan penguasaan lahan ini akan diuraikan berbagai kebiasaan atau cara-cara setempat untuk mengatur penguasaan dan pengusahaan tanah yang berlaku di kelurahan ini. Selain itu terdapat pula kepercayaan, gotong royong, dan pertikaian dengan petani atau pemilik lahan pertanian lainnya. Kelembagaan penguasaan lahan dalam penelitian ini adalah sejauh mana petani memiliki kesadaran akan kepatuhan pada kelembagaan yang ada dalam penguasaan lahan untuk menjaga hubungan sosial diantara petani.

Gambar 13. Kondisi Kelembagaan Penguasaan Lahan menurut responden pra jual beli lahan pertanian di Kelurahan Situgede Tahun 2015

Sumber: Data Primer 2015 diolah

Variabel mengenai kelembagaan peguasaan lahan ini terdiri dari tujuh pertanyaan. Pertanyaan tersebut diukur menggunakan skala ya dan tidak. Selanjutnya, variabel kelembagaan penguasaan lahan ini digolongkan menjadi tiga

Rendah 77% Sedang 13% Tinggi 10% 1 0 30 0 5 10 15 20 25 30

Buruk Sedang Baik

Ju m lah Resp o n d en

kategori yaitu baik, sedang, dan buruk. Hal tersebut diperolah setelah mendapatkan skor dari masing-masing responden. Perihal kondisi kelembagaan penguasaan lahan pra jual beli lahan pertanian yang ada di kelurahan situgede dapat dilihat pada hasil pengumpulan dan pengolahan data responden.

Mayoritas responden menganggap kondisi kelembagaan penguasaan lahan pra jual beli lahan pertanian responden berada pada kategori baik yaitu sebanyak 30 orang responden, tidak ada responden yang menganggap kondisi kelembagaan pennguasaan lahan sedang, dan hanya satu orang responden yang menganggap kondisi kelembagaan penguasaan lahan berada pada kategori buruk. Kelembagaan peguasaan lahan Kelurahan Situgede memiliki kondisi yang baik karena hubungan antara pemilik dan penyewa lahan adalah keluarga atau masih terikat hubungan darah. Hubungan yang terjalin cukup kuat dikarenakan adanya landasan kepercayaan yang kuat antar pemilik dan penyewa atau penggarap lahan pertanian. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 13.

Sedangkan berdasarkan Gambar 14, kondisi kelembagaan penguasaan lahan pasca jual beli lahan pertanian responden menganggap pada kategori baik mengalami penurunan yaitu hanya 10 responden, pada kategori sedang mengalami peningkatan yaitu sebanyak 18 orang responden, dan pada kategori buruk sebanyak tiga orang responden menganggap kondisi kelembagaan penguasaan lahan. Penurunan yang terjadi pada kelembagaan penguasaan lahan pasca jual beli lahan pertanian dikarenakan lahan yang menjadi perantara antara pemilik dan penyewa atau penggarap telah dijual, sehingga hubungan pemilik dan penyewa atau penggarap lahan tidak lagi terjalin dengan cukup baik.

Gambar 14. Kondisi kelembagaan penguasaan lahan menurut responden pasca jual beli lahan pertanian di Kelurahan Situgede Tahun 2015

Sumber: Data Primer 2015 diolah

Kelembagaan lahan sebagai kerjasama antara pemilik lahan dengan para petani yang berlahan terbatas, atau bahkan tidak mempunyai lahan. Kondisi kelembagaan penguasaan lahan dianggap sangat baik pra terjadinya jual beli lahan pertanian terjadi disebabkan oleh pemilik lahan dan penggarap memiliki hubungan kekerabatan yang cukup kuat. Sebagian besar pemilik lahan membebaskan sanak saudaranya untuk menggarap lahan dan tidak begitu memperhitungkan pembagian hasil pertanian.

Penurunan kondisi kelembagaan penguasaan lahan yang berlaku di kelurahan ini pasca terjadinya jual beli lahan pertanian dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik faktor sosial ekonomi, lingkungan usaha tani, ataupun karakteristik petani yang bekerjasama dalam kelembagaan lahan. Lingkungan

3 18 10 0 5 10 15 20 25 30

Buruk Sedang Baik

Ju m lah Re sp o n d en

sosial ekonomi berupa latar belakang pekerjaan yang tidak lagi menjadi petani, sehingga tidak memiliki waktu untuk saling bersilahturahmi. Sebaian petani memilih untuk berhenti bertani pasca menjual lahan pertanian mereka dan memilih untuk berdagang di kota.

“Saya dulu petani, tetapi sekolah anak semakin mahal saya tidak

punya simpanan saya jual saja sawahnya sebaian untuk anak sekolah sebagian untuk modal dagang, sekarang saya sudah tidak punya lahan

sawah satu petakpun ya saya berdagang saja sekarang”. –(Bapak Darta,

44 tahun)

Selain itu dikarenakan oleh kondisi ekonomi yang semakin memburuk produktivitas lahan juga dapat berpengaruh terhadap pemilihan kelembagaan lahan bagi pemilik lahan. Jika lahan relatif subur, pada umumnya pemilik lahan lebih senang membudidayakan sendiri atas lahan miliknya.

Perubahan Struktur Penguasaan Lahan Kelurahan Situgede Struktur peguasaan lahan merupakan variabel yang diukur dalam penelitian ini, struktur penguasaan lahan ini diharapkan mampu membantu meningkatkan penghasilan dan kesejahteraan masyarakat yang menguasai lahan. Tetapi kasus lain juga menyebutkan bahwa tidak semua struktur penguasaan lahan mampu untuk meningkatkan kesejahteran mereka, justru semakin menurunkan kesejahteraan baik secara sosial maupun ekonomi. Struktur penguasaan lahan terdiri dari luas penguasaan lahan, tingkat ketergantungan lahan, dan kelembagaan penguasaan lahan.

Pertumbuhan ekonomi yang semakin ditingkatkan oleh pemerintah dalam bidang pembagunan menjadikan berbagai perubahan terhadap struktur penguasaan lahan. Struktur penguasaan lahan di Kelurahan Situgede mengalami perubahan pasca terjadinya jual beli lahan pertanian. Perubahan tersebut dapat dilihat dari kondisi pra dan pasca terjadinya jual beli lahan tersebut. Kelurahan Situgede mengalami perubahan, baik signifikan atau tidak pra jual beli lahan pertanian dan pasca jual beli lahan pertanian. Untuk mengetahui perbedaan yang terjadi maka dapat dilihat pada variabel struktur penguasaan lahan yang dijadikan dalam satuan struktur penguasaan lahan pada gambar di bawah ini.

Gambar 15. Kondisi Struktur Penguasaan Lahan Kelurahan Situgede Tahun 2015

Sumber: Data Primer 2015 diolah

Buruk Sedang Baik

Pra Jual Beli Lahan

Pertanian 10 10 11

Pasca Jual Beli Lahan

Pertanian 23 4 4 0 5 10 15 20 25 30 Ju m lah R es p o n d en

Berdasarkan Gambar 15 di atas, menunjukkan bahwa kondisi struktur penguasan yang dialami masyarakat pra dan pasca jual beli lahan pertanian menggambarkan kondisi yang berbeda. Pada kondisi pra jual beli lahan pertanian terlihat bahwa terdapat 10 responden (32%) yang menyebutkan bahwa struktur penguasaan lahan buruk, kondisi sedang terdapat 10 responden (32%), sedangkan untuk kondisi struktur penguasaan lahan yang baik terdiri dari 11 responden (36%).

Sedangkan, pada kondisi pasca jual beli lahan pertanian sebanyak 23 responden (74%) menyatakan perubahan struktur agraria pada masa ini sangat buruk hal ini terlihat dari data yang menunjukkan struktur penguasaan lahan pada kategori buruk meningkat, sebanyak 4 responden atau 13 persen kondisi sedang, dan hanya sebanyak 4 responden (13%) menyatakan baik.

Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa perubahan yang terjadi pra dan pasca jual beli lahan pertanian mengalami perubahan hingga perubahan yang ditimbulkan oleh jual beli lahan pertanian menunjukkan kondisi penguasaan lahan masyarakat berubah. Hasil wawancara dengan responden menunjukkan bahwa kondisi perubahan struktur penguasaan lahan berada pada kondisi yang perubahannya rendah dan tinggi. Hampir terjadi peningkatan dua kali lipat pada responden yang mengalami perubahan struktur penguasaaan lahan pasca jual beli lahan pada kategori rendah.

Hal ini dibenarkan dari beberapa hasil wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat yang menyebutkan pada masa lahan pertanian masih dimiliki masyarakat Kelurahan Situgede kondisi kelurahan mengalami perubahan jual beli lahan tersebut. Jual beli lahan pertanian mengakibatkan para pembeli yang bukan dari golongan petani mengalih fungsi lahan pertanian tersebut menjadi bangunan.

“Dulu sama sekarang? ya jelas beda, dulu yang punya sawah di

desa ini ya orang sini, petani di sini punya ikatan saudara makanya kalau ada yang susah ga susah-susah mikir mau bantuin. Sekarang yang punya lahan sawah besar paling cuma satu dua orang ya sedikitlah, eh ada yang punya sawah besar tapi orang kota bukan warga desa ini. Dulu untuk makan ya dari sawah, biaya anak sekolah dari sawah, bikin rumah dari sawah, sekarang sudah tidak ada. Tapi bagi yang jualnya baru-baru ini ya

sedikit baik, karena untungnya lumayan.” –(Bapak AD, 60 Tahun)

Berdasarkan pernyataan yang telah digambarkan bahwa kondisi perubahan struktur penguasaan lahan sejalan dengan hasil uji beda pada Wilcoxon, yakni signifikansi sebesar 0.000 < 0.05 yang artinya terdapat perbedaan yang signifikan pada kondisi perubahan struktur penguasaan lahan pra dan pasca terjadinya jual beli lahan pertanian masyarakat. Berdasarkan uji perbedaan Wilcoxon, terdapat perbedaan yang signifikan kondisi perubahan struktur penguasaan lahan pertanian pra dan pasca jual beli lahan pertanian, Z = -3.729; p < 0.05. Data pasca memiliki rata-rata > data pra, yang artinya dengan terjadinya jual beli lahan pertanian meningkatkan perubahan struktur penguasaan lahan di sekitar masyarakat. Hasil perhitungan statistik uji beda Wilcoxon secara lengkap menggunakan aplikasi IBM SPSS 16 dapat dilihat pada (Lampiran 5).

Ikhtisar

Dalam melihat perubahan struktur penguasaan lahan masyarakat pra dan pasca jual beli lahan pertanian dalam penelitian ini menggunakan alat analisis uji beda (Wilcoxon) untuk masing-masing kategori struktur penguasaan lahan. Hasilnya, menunjukkan mean rank dari hasil perbandingan data pasca dan pra struktur penguasaan lahan masyarakat. Terlihat bahwa sebanyak 23 responden yang memiliki hasil pasca jual beli lahan pertanian pada kategori buruk. Sebanyak 4 responden yang memiliki hasil pasca jual beli lahan pertanian pada kategori sedang, dan sebanyak 4 responden yang memiliki hasil pasca jual beli lahan pertanian pada kategori baik.

Berdasarkan uji Wilcoxon menunjukkan bahwa signifikansi sebesar 0.000 < 0.05 yang artinya terdapat perbedaan yang signifikan pada kondisi struktur penguasaan lahan masyarakat pra dan pasca jual beli lahan pertanian. Berdasarkan uji perbedaan Wilcoxon, terdapat perbedaan yang signifikan pada kondisi kesejahteraan pra dan pasca jual beli lahan pertanian, Z = -3.729; p < 0.05. Data pasca memiliki rata-rata > data pra, yang Artinya dengan terjadinya jual beli lahan pertanian meningkatkan struktur penguasaan lahan masyarakat.

PEMBENTUKAN STRUKTUR BARU SOSIAL EKONOMI

Dalam dokumen Ulfa (Halaman 47-55)