• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Pemberdayaan Nelayan

Deptan (2000), menggerakkan perekonomian nelayan atau wilayah pesisir yang dicirikan oleh peningkatan pendapatan, nilai tambah atas faktor produksi dan peningkatan pendapatan maka kelompok nelayan perlu diarahkan untuk memiliki daya saing yang tinggi. Kelompok nelayan yang berdaya saing tinggi perlu didukung oleh adanya kedinamisan usaha. Disamping itu perlu juga didukung oleh struktur, organisasi, manajemen yang baik, serta adanya dukungan kapital, teknologi dan skill

yang merupakan pengaruh keterpaduan faktor internal dan faktor eksternal.

Pendinamisan kelompok nelayan merupakan usaha aktif kelompok untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Proses pendinamisan suatu kelompok nelayan pada prinsipnya adalah memberi pengertian agar kelompok tersebut sadar tentang situasi dan kondisi yang ada saat ini dan sekaligus mengetahui posisinya dimana kelompok tersebut berada sehingga dapat meresponnya dengan wajar. Dengan demikian dengan

18

proses pendinamisan kelompok nelayan merupakan respon terhadap tuntutan hidup yang lebih baik, globalisasi pasar, dan arah transformasi dari budaya agribisnis nasional ke budaya agribisnis modern, sehingga terjadi perubahan karakteristik usaha, produk perikanan dan peranannya dalam perekonomian wilayah pesisir, kesemuanya itu, pada akhirnya akan memberikan energi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan pesisir secara keseluruhan.

Pemberdayaan kelompok nelayan merupakan hal yang penting dalam mencapai ke arah tujuan pembangunan perikanan sebab kelompok nelayan merupakan kelembagaan terdepan di tingkat operasional dan berperan sebagai pelaku utama dalam pengembangan usaha perikanan. Pemberdayaan kelompok nelayan ini merupakan kondisi yang ditumbuhkan melalui penyuluhan perikanan dalam bentuk perubahan perilaku anggotanya. Untuk mampu melaksanakan usaha yang terus berkembang dimasa depan, tentunya diperlukan kualifikasi yang lebih baik bagi pelaku usaha, atau SDM perikanan (khususnya nelayan dan serentetan kelompok yang terkait erat dengannya).

Pengembangan agribisnis perikanan oleh pemerintah terkesan sangat top down, sentralistik dan kurang memberikan ruang yang cukup leluasa bagi daerah dan pelaku-pelaku usaha skala menengah untuk mengorganisir diri. Penguatan organisasi usaha hanya terlihat pada masing-masing sub sistem usaha dan tidak pada keseluruhan jaringan usaha (agribisnis). Penguatan terlihat pada subsistem usaha pengolahan dan industri dan pemasaran skala besar dan ekspor, sementara sub sistem usaha nelayan terlihat lemah dalam penguasaan kapital dan teknologi. Hal ini akan menyebabkan lemahnya keorganisasian usaha perikanan yang sekaligus menyebabkan ketidakefisienan sistem usaha perikanan di Indonesia. Pemberdayaan kelompok nelayan melalui sistem organisasi bisnis ini atau diistilahkan dengan korporatisasi diharapkan bisa menciptakan struktur keorganisasian usaha yang ramping dan tidak timpang. Kelompok nelayan dapat dikembangkan menjadi lembaga usaha yaitu sekarang disebut kelompok usaha bersama (KUB). KUB ini dapat diarahkan menjadi lembaga usaha setelah anggotanya berorentasi mengembangkan usaha bersama. Sekarang sudah banyak kelompok usaha bersama yang sudah berkembang dan maju, karena dilakukan latihan-latihan usaha baik secara taknis maupun latihan secara manajemen usaha. Sehingga kedepan dalam mengembangkan usaha di lokasi pemukiman nelayan akan lebih mudah melalui kelompok-kelompok nelayan setempat.

19 SDM Kebijakan Kelembagaan Terkait - Kapital - Teknologi - Skill Dinamika dan Proses Pemberdayaan Kelompok Nelayan Berdaya Saing Tinggi Tata Nilai Struktur Organisasi Manajemen Produktivitas Nilai Tambah Atas Nilai Produksi Pendapatan Pemerataan (Pendapatan dan Pekerjaan) Basic Need Mobilitas Sosial Vertikal Partisipasi/ Keputusan Pemeliharaan Daya Dukung Sumber Daya Perikanan Setempat FEED BACK

Gambar 3 Kerangka pikir pengembangan kelompok nelayan sebagai basis kegiatan ekonomi di wilayah pesisir (Sumber : Deptan, 2000)

Seperti halnya sistem organisasi bisnis, sistem manajemen untuk pengembangan usaha perikanan juga belum mengindahkan aspek yang berkaitan dengan peningkatan daya saing kelompok nelayan. Pada tahap ini ciri manajemen yang tampak masih kurang diterapkan asas transparansi, bersih dan tanggung jawab. Indikasi ini salah satunya terlihat dari organisasi koperasi atau KUD yang masih terkesan sebagai perpanjangan birokrasi pusat, yang dalam hal ini kurang dituntut adanya keterbukaan terhadap anggota. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa kinerja KUD yang demikian jauh dari kepantasan untuk menghadapi persaingan yang ketat dalam era globalisasi. Dengan demikian gambaran pemberdayaan kelompok

20

nelayan perlu dilakukan reorientasi dibidang manajemen dengan memperhatikan kaidah-kaidah tadi (transparan, bersih dan bertanggung jawab).

Kelompok nelayan yang berdaya saing tinggi ditentukan oleh kualitas atau

skill SDM. Samsu (2000) menekankan bahwa masyarakat agribisnis yang didambakan pada masa kini adalah pelaku agribisnis yang mempunyai wawasan agroindustri, yang diwujudkan melalui mekanisme pengembangan SDM perikanan yang berwawasan agribisnis dan pembangunan infrastruktur perikanan yang berwawasan industri. Kedua aspek tersebut harus diusahakan sedemikian rupa agar menjadi bagian dari kultur budaya nelayan Indonesia.

Kemampuan nelayan dalam memilih teknologi yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan harus ditingkatkan dan diberi kesempatan yang seluas-luasnya, agar teknologi tersebut menjadi efektif dan efisien di dalam mendukung peningkatan produktivitas usaha perikanan. Selain itu nelayan juga harus didorong (encouraged) semaksimal mungkin untuk bisa berinovasi dalam bidang teknologi yang diinginkannya.

Dukungan absorbsi kapital perlu mendapatkan perhatian agar kelompok nelayan berdaya saing tinggi. Diharapkan dengan adanya kelancaran dukungan kapital (termasuk sistem pelayanannya) kegiatan usaha perikanan ditingkat nelayan bisa berjalan secara lancar yang pada akhirnya dapat menggerakkan perekonomian di pedesaan pesisir/pantai.

Menurut Kadarsan (1992) ada dua macam risiko dalam usaha Agribisnis yaitu pertama risiko perusahaan dimana berhubungan dengan bermacam-macam tingkat pendapatan yang diterima akibat bermacam-macam kegiatan usaha yang dijalankan oleh suatu perusahaan agribisnis. Risiko yang kedua adalah risiko keuangan dimana terjadi kerugian yang lebih besar akibat bertambahnya pemakaian modal pinjaman atau karena bertambah besarnya rasio pemakaian modal pinjaman dan modal sendiri. Dan ada lima sebab utama risiko yaitu ketidakpastian produksi, tingkat harga, perkembangan teknologi, tindakan-tindakan perusahaan dan orang atau pihak lain dan karena sakit atau kecelakaan (kematian).

UU RI no 31 tahun 2004; Proses pengolahan ikan dan produk perikanan wajib memenuhi persyaratan kelayakan pengolahan ikan, sistem jaminan mutu, dan keamanan hasil perikanan (Pasal 20, Bab IV). Usaha Perikanan dilaksanakan dalam sistem bisnis perikanan yang meliputi praproduksi, produksi, pengolahan, dan pemasaran (Pasal 25, Bab V). Pemerintah menyediakan dan mengusahakan dana

21 untuk memberdayakan nelayan kecil dan pembudidayaan ikan kecil, baik dari sumber dalam negeri maupun sumber luar negeri, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 62, Bab X). Pengusaha perikanan mendorong kemitraan usaha yang saling menguntungkan dengan kelompok nelayan kecil atau pembudidaya ikan kecil dalam kegiatan perikanan (Pasal 63, Bab X). DKP (2006) Bab XII, usaha perikanan tangkap terpadu dengan fasilitas penanaman modal sebagai berikut :

Pasal 46 menjelaskan :

(1) Orang atau badan hukum asing yang akan melakukan usaha penangkapan ikan harus melakukan investasi usaha pengolahan dengan pola investasi perikanan tangkap terpadu dan.

(2) Pola investasi perikanan tangkap terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan membangun dan/atau memiliki sekurang-kurangnya berupa unit pengolahan ikan.

Pasal 47 menjelaskan :

(1) Orang atau badan hukum asing yang akan melakukan usaha perikanan tangkap terpadu wajib menggunakan fasilitas penanaman modal asing (PMA) atau fasilitas penanaman modal dalam negeri (PMDN), dengan mendirikan usaha perikanan tangkap terpadu berbadan hukum dan berlokasi di Indonesia.

(2) Persyaratan dan tatacara permohonan penanaman modal dalam rangka PMA

atau PMDN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 48 menjelaskan :

(1) Perbandingan antara modal asing dengan modal dalam negeri untuk usaha

perikanan tangkap terpadu dengan fasilitas PMA sekurang-kurangnya 20% (dua puluh persen) berasal dari modal dalam negeri, sejak tahun pertama perusahaan didirikan.

(2) Untuk menilai keberadaan permodalan dan/atau aset dari penanaman modal usaha perikanan tangkap terpadu dilakukan pengecekan aset oleh tim yang ditetapkan Direktur Jenderal

22

(1) Usaha perikanan tangkap terpadu dengan fasilitas PMA dapat dilakukan antara orang atau badan hukum asing dengan orang atau badan hukum Indonesia dengan mengajukan permohonan penanaman modal kepada instansi yang berwenang di bidang penanaman modal.

(2) Pengajuan permohonan PMA sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dapat berupa usulan penanaman modal baru dan/atau perluasan penanaman modal dalam rangka PMA atau PMDN.

(3) Persyaratan, tatacara dan prosedur investasi dengan fasilitas PMA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 50 menjelaskan :

(1) Orang dan/atau badan hukum asing dapat menanamkan modalnya melalui penyertaan modal pada perusahaan Indonesia yang menggunakan fasilitas PMDN dengan ketentuan maksimum 80% dari modal yang dimiliki perusahaan yang dimaksud, dan status perusahaan berubah menjadi PMA.

(2) Persyaratan, tatacara dan prosedur investasi dengan fasilitas penyertaan modal orang atau badan hukum asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 51 menjelaskan :

(1) Usaha perikanan tangkap terpadu dalam rangka PMA dan/atau PMDN dapat

dilakukan melalui penggabungan perusahaan (merger).

(2) Badan-badan hukum yang melakukan penggabungan perusahaan (merger) dapat menggunakan aset perusahaannya berupa unit pengolahan ikan dan/atau kapal perikanan.

(3) Penggunaan aset sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus terlebih dahulu dihitung nilai nominalnya oleh lembaga penilai aset independen yang diakreditasi oleh Pemerintah.

(4) Persyaratan, tatacara dan prosedur penggabungan perusahaan (merger)

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

23

(1) Modal dalam rangka penanaman modal baru, perluasan penanaman modal,

penyertaan modal dan penggabungan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, Pasal 50 dan Pasal 51 dapat berupa fasilitas pengolahan ikan dan/atau fasilitas pendukungnya dan/atau kapal-kapal penangkap ikan.

(2) Fasilitas pengolahan, pendukung serta kapal-kapal penangkap ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sebagai barang modal dan harus terlebih dahulu dihitung nilai nominalnya oleh lembaga penilai aset idependen yang diakreditasi oleh Pemerintah.

Dokumen terkait