• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBERDAYAAN PELAKU USAHA MIKRO DAN KECIL DALAM IMPLEMENTASI TANGGUNGJAWAB SOSIAL

USAHA MIKRO DAN KECIL DI KABUPATEN BOGOR

4 PEMBERDAYAAN PELAKU USAHA MIKRO DAN KECIL DALAM IMPLEMENTASI TANGGUNGJAWAB SOSIAL

PERUSAHAAN DI KABUPATEN BOGOR JAWA BARAT

Pendahuluan

Usaha mikro dan kecil (UMK) memiliki peran strategis dalam pembangunan nasional, yakni memperluas lapangan pekerjaan, memeratakan kesempatan berusaha, meningkatkan dan memeratakan pendapatan, dapat menyediakan kebutuhan masyarakat luas, mendorong pertumbuhan ekonomi dan mewujudkan stabilitas nasional (Ayanda & Laraba 2011; Jasra et al. 2011; Muritala et al. 2012).

Urata (2000), Kuncoro (2002) dan Tambunan (2010) yang sudah lama mengamati perkembangan UMK di Indonesia, menjelaskan bahwa keberadaan UMK telah memberikan kontribusi penting dalam perekonomian Indonesia, paling tidak dapat dilihat sebagai: (1) pemain utama dalam kegiatan perekonomian di berbagai sektor; (b) penyedia lapangan pekerjaan terbesar; (c) pemain penting dalam pengembangan kegiatan ekonomi lokal dan pemberdayaan masyarakat; (d) pencipta pasar baru dan inovasi; serta (e) pendukung neraca pembayaran melalui aktifitas ekspor.

Walaupun memiliki peran penting dalam pembangunan nasional, namun sampai saat ini UMK di Indonesia masih meghadapi berbagai permasalahan yang mengindikasikan rendahnya kemandirian pelaku UMK. Beberapa permasalahan mendasar yang dihadapi oleh pelaku UMK, adalah: (1) rendahnya kualitas sumberdaya manusia di kalangan dunia UMK karena relatif rendahnya pendidikan baik formal maupun non formal; (2) kekurangmampuan mengakses sumberdaya informasi, permodalan, teknologi, dan inovasi; (3) kekurangmampuan membangun kerjasama dengan berbagai pelaku usaha, suplier dan pihak-pihak terkait; (3) belum sepenuhnya menyadari dan memanfaatkan kemajuan teknologi untuk proses produksi, jaringan pemasaran, margin pengelolaan usaha dan manfaat komersialisasi teknologi; (4) kekurangmampuan menentukan pola manajemen yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan usaha; (5) kekurangan pengetahuan tentang bagaimana memproduksi barang yang berkualitas, efisien dan tepat waktu; (6) kekurangmampuan melihat peluang dan selera pasar; (7) kekurangmampuan dalam melakukan analisis usaha; (8) kekurangmampuan dalam mengendalikan operasional usaha; (9) kekurangmampuan menghasilkan dan memasarkan barang dan jasa secara berdaya saing (Hubeis 2009; Primiana 2009; Effendi & Subandi 2010; Tambunan 2010).

Pemberlakuan sistem ekonomi terbuka melalui Persetujuan Perdagangan bebas di kawasan Asia Tenggara atau Asean Free Trade Agreement (AFTA) yang telah berjalan sejak tahun 2002, Persetujuan Perdagangan Bebas Asean dan Cina atau Asean-China Free Trade Agreement (ACFTA) yang mulai dijalankan sejak tahun 2010, dan Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik atau Asia-Pasific Economic Cooperative (APEC) yang akan diberlakukan pada tahun 2020, menciptakan peluang usaha yang semakin besar sekaligus iklim usaha yang semakin kompetitif di antara pelaku usaha, khususnya pelaku usaha mikro dan kecil (UMK). Kondisi

yang demikian menuntut keberadaan pelaku UMK yang mandiri, yaitu mampu memanfatkan peluang, bertahan dan berkembang dalam iklim usaha yang semakin kompetitif. Pertanyaannya adalah upaya apa yang diperlukan untuk mengembangkan kemandirian pelaku UMK?

Kemandirian pelaku UMK hanya mungkin dikembangkan pada pelaku UMK yang sudah berdaya atau memiliki keberdayaan, sebagai kondisi yang dihasilkan dari proses pemberdayaan (Covey 2013, Sumardjo 2012b dan Suharto 2005). Dengan kata lain, upaya untuk mengembangkan kemandirian pelaku UMK perlu dimulai dari pengembangan keberdayaan mereka melalui proses pemberdayaan.

Dewasa ini tanggungjawab pemberdayaan dalam upaya mengembangkan keberdayaan pelaku UMK tidak hanya berada pada pihak pemerintah, tetapi juga telah menjadi bagian dari tanggungjawab dunia usaha melalui TSP. Sebagaimana yang ditegaskan dalam teori pemangku kepentingan yang dipromosikan oleh Branco dan Rodriguez (2007) dan konsep tripple bottom lineskarya Eklington (Wibisono 2007), perusahaan tidak hanya menjadi mesin pencari keuntungan (profit) bagi pemagang saham, tetapi juga memiliki tanggungjawab dalam upaya memenuhi kebutuhan masyarakat, termasuk di dalamnya memberdayakan pelaku UMK. Demikian pula di Indonesia, pemerintah melalui beberapa peraturan perundang-undangan telah mendorong dunia usaha untuk menjalankan TSP dalam rangka pemberdayaan UMK.

Sejumlah perusahaan di tanah air dinilai sukses dalam mengimplementasikan TSP untuk memberdayakan UMK, diantaranya adalah PT. Berau Coal, di Kalimantan Timur, PT Indominco Mandiri di Kalimantan Selatan dan PT. Unilever Indonesia di Yogyakarta dan Jawa Timur. PT. Berau Coal yang bergerak di bidang pertambangan batu bara di Kalimantan Timur sukses memberdayakan pelaku UMK yang tergabung dalam kelompok Kemas (kelompok masyarakat) di daerah lingkar tambang dengan jenis usaha peternakan, pertanian, perkebunan, perikanan, kerajinan rumah tangga, jasa dan perdagangan. PT Indominco Mandiri merupakan salah satu perusahaan yang dinilai sukses mengimplementasikan TSP untuk memberdayakan UMK di kalangan perempuan di pulau Tihi-Tihi Kalimantan selatan dengan jenis usaha home industri. Implementasi TSP oleh PT. Unilever juga dinilai sukses memberdayakan UMK di kalangan petani kedelai hitam yang menjadi mitra binaan sekaligus pemasok bahan baku industri kecap bangau bagi perusahaan (Departemen Sosial &CFCD 2008). Kesuksesan yang diraih oleh perusahaan-perusahaan tersebut membuktikan bahwa terdapat peluang untuk memberdayakan pelaku UMK dalam implementasi TSP.

Kabupaten Bogor merupakan daerah yang kaya dengan sumber daya alam, diantaranya sumber daya pertambangan emas yang telah diberikan hak kuasa penambangannya kepada salah satu BUMN dan pertambangan bahan galian C sebagai bahan baku pembuatan semen yang telah dieksploitasi oleh Perusahaan Swasta Transnasional dan sekaligus produsen semen terbesar di Indonesia. Kedua perusahaan ini telah mengimplementasikan TSP sejak tahun 1990-an, termasuk dalam memberdayakan TSP. Penelitian ini mengangkat permasalahan: (1) sejauhmana intensitas pemberdayaan pelaku UMK dalam implementasi TSP, (2) sejauhmana tingkat keberdayaan pelaku UMK yang diberdayakan dalam implementasi TSP, dan (3) faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan

tingkat keberdayaan pelaku mitra binaan TSP. Berdasarkan permasalahan tersebut, penelitian ini bertujuan: (1) menganalisis intensitas pemberdayaan pelaku UMK dalam implementasi TSP, (2) menganalisis tingkat keberdayaan pelaku UMK mitra binaan dalam implementasi TSP, dan (3) menganalisis faktor- faktor yang berhubungan dengan tingkat keberdayaan pelaku UMK mitra binaan dalam impelementasi TSP.

Kerangka Berpikir dan Hipotesis Penelitian

Implementasi TSP dalam pengembangan UMK idealnya merupakan proses memberdayakan pelaku UMK (Suharto 2010; Sumaryo 2011; Rahmat et al. 2011). Pemberdayaan pelaku UMK dipahami sebagai proses memberi daya, kemampuan, kekuasaan dan akses terhadap sumber daya produktif kepada pelaku UMK yang kurang berdaya agar mereka menjadi pelaku usaha yang berdaya (Ife 1995 dan 2002; Sulistiyani 2004; Suharto 2005); melalui kegiatan edukasi, fasilitasi dan representasi (Kartasasmita 1997; Suharto 2005; Ife &Tesoreiro 2008).

Kegiatan edukasi merupakan upaya membangkitkan kesadaran, menyampaikan informasi, melakukan konfrontasi dan melaksanakan pelatihan. Pada penelitian ini kajian kegiatan edukasi difokuskan pada pelaksanaan pelatihan atau penyuluhan bagi pelaku UMK yang diselenggarakan dengan materi, metode dan tenaga pelatih atau penyuluh yang sesuai dengan kebutuhan untuk mengembangkan keberdayaan pelaku UMK. Kegiatan fasilitasi diwujudkan dalam bentuk pemberian rangsangan, dorongan, bimbingan, bantuan serta dukungan untuk mengembangkan keberdayaan pelaku UMK. Selanjutnya, kegiatan representasi merupakan upaya perusahaan dalam implementasi TSP untuk menjembatani kepentingan pelaku UMK dengan pihak-pihak di luar perusahaan (seperti sumber inovasi dan teknologi, sumber permodalan, pelaku pasar, penyelenggara pelatihan dan pendidikan) yang diperlukan dalam pegembangan keberdayaan pelaku UMK.

Pemberdayaan pelaku UMK dalam implementasi TSP yang diwujudkan melalui kegiatan edukasi, fasilitasi dan edukasi akan menghasilkan keberdayaan pelaku UMK. Keberdayaan pelaku UMK merupakan kondisi perilaku (aspek kognitif, afektif dan psikomotor) yang membentuk kemampuannya untuk memilih dan mengelola usaha sesuai dengan potensi diri dan kehendaknya sendiri, meliputi: kemampuan proaktif, kepemimpinan personal dan kemampuan manajemen usaha (Covey 2013; DitPK2 2010).

Kemampuan proaktif menunjuk kepada perilaku yang memiliki: (a) kesanggupan untuk menggunakan kebebasan dalam menentukan pilihan-pilihan yang rasional dalam berusaha untuk menghadapi dinamika lingkungan usaha yang dilandasi oleh: (1) kemampuan dalam memahami kekuatan dan kelemahan diri, serta kemampuan membangun inspirasi; (2) kemampuan menilai setiap keputusan dan tindakan dalam berusaha berdasarkan norma-norma yang berlaku dan (3); dorongan aktif untuk membuat keputusan dan tindakan terbaik bagi diri sendiri berdasarkan pertimbangan rasional dan norma-norma yang berlaku; (b) sanggup mengambil inisiatif dalam menemukan peluang dan cara-cara terbaik untuk mengembangkan usaha yang dilandasi oleh semangat untuk selalu meraih

kesuksesan; dan (c) sanggup mengambil tanggungjawab atas setiap konseksuensi dari setiap keputusan dan tindakan dalam berusaha yang dilandasi oleh kemampuan mengarahkan pikiran dan tindakan yang tidak diwarnai oleh kehendak dan kepentingan pihak lain di luar dirinya(Covey 2013; Tastan 2013; Greguras & Diefendorff2010)

Kepemimpinan personal, menunjuk kepada perilaku yang sanggup menetapkan impian, harapan dan cita-cita di masa depan (visi) dengan langkah- langkah untuk mewujudkan impian (misi) disertai oleh kebaranian menghadapi risiko dalam berusaha (Covey 2013). Kemampuan manajemen usaha, merupakan perilaku yang memiliki kesanggupan dalam mengelola usaha, meliputi: perencanaan usaha, penguasaan jaringan pemasaran, pengelolaan modal usaha, pengelolaan proses produksi dan pengendalian keuangan perusahaan.

Keberdayaan sebagai wujud dari perilaku individu pelaku UMK tidak hanya ditentukan oleh intervensi pemberdayaan sebagai stimulus, tetapi juga berhbungan dengan karakteristik individu dan kualitas lingkungan pendukung (Sidu 2006; Utami 2007; Utama 2010; Sadono 2012).

Bertitik tolak dari pemikiran yang telah diuraikan, maka dirumuskan kerangka hubungan antar peubah penelitian, sebagaimana disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5 Kerangka peubah penelitian pemberdayaan pelaku Usaha Mikro dan Kecil di Kabupaten Bogor

Berdasarkan kerangka hubungan antara peubah penelitian, dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut: tingkat keberdayaan pelaku UMK berhubungan secara positif dan nyata dengan karaktersitik individu pelaku UMK, intensitas pemberdayaan pelaku UMK dalam implementasi TSP, dan kualitas lingkungan pendukung UMK.

Karakteristik individu pelaku UMK (X1) X1.1. Umur X1.2. Pendidikan Formal X1.3. Pendidikan Non Formal X1.4. Pengalaman Berusaha X1.5. Motivasi Berusaha Intensitas Pemberdayaan Pelaku UMK (X2): X1.2. Edukasi X1.2. Fasilitasi X1.3. Representasi Kualitas Lingkungan Pendukung UMK (X3) X3.1 Ketersediaan sumber daya informasi X3.2. Ketersediaan sumber daya modal X3.3. Ketersediaan jaringan transportasi X3.4. Ketersediaan jaringan pemasaran X3.5. Kebijakan pemerintah Tingkat Keberdayaan Pelaku UMK (Y) Y1.2. Kemampuan Proaktif Y1.2. Kepemimpinan Personal Y1.3. Kemampuan Manajemen Usaha

Metode Penelitian

Penelitian ini dirancang sebagai penelitian kuantitatif dengan menggunakan pendekatan survei. Penelitian dilaksanakan di 11 desa binaan BUMN di Kecamatan Nanggung dan di 12 desa binaan Perusahaan Swasta Transnasional di tiga kecamatan (Citeureup, Gunung Putri dan Klapanunggal) dalam wilayah Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat. Penelitian dilaksanakan dari bulan Juli sampai dengan Desember 2013.

Populasi penelitian adalah pelaku UMK di desa binaan kedua perusahaan yang bergerak di bidang pertanian, perdagangan, industri rumah tangga, dan jasa. Teknik penarikan sampel dan instrumentasi penelitian dilakukan menurut proses yang telah dikemukakan pada Bab 2.

Berdasarkan tujuan penelitian dan kerangka berpikir penelitian, data primer yang dikumpulkan dalam penelitian terdiri dari: (a) karakteristik individu pelaku UMK, (b) intensitas pemberdayaan pelaku UMK dalam impementasi TSP, (c) lingkungan pendukung UMK, dan (d) keberdayaan pelaku UMK.

Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara, pengamatan langsung dan menggunakan instrumen berupa kuesioner yang telah dipersiapkan sedemikian rupa dengan melibatkan pelaku UMK sebagai responden penelitian. Data ini kemudian dikonfirmasi melalui wawancara mendalam dengan responden terpilih dan tokoh masyarakat setempat.

Analisa data menggunakan analisis statistik deskriptif dan statistik inferensia. Analisis statistik deskriptif dengan menggunakan frekuensi, skor, kategorisasi, persentase, dan tabulasi silang dilakukan untuk menggambarkan sebaran pelaku UMK berdasarkan persepsi mereka mengenai intensitas pemberdayaan dan tingkat keberdayaan pelaku UMK mitra binaan. Analisis statistik inferensial dengan menggunakan: (1) uji beda Mann-Whitney untuk mengetahui perbedaan intensitas pemberdayaan pelaku UMK dan tingkat keberdayaan pelaku UMK mitra binaan dari dua perusahaan yang berbeda; dan (2) uji korelasi rank Spearman dengan bantuan SPSS versi 20 untuk mengetahui hubungan (korelasi) antara tingkat keberdayaan pelaku UMK dengan intensitas pemberdayaan, karakteristik individu pelaku UMK dan kualitas lingkungan pendukung.

Hasil dan Pembahasan

Intensitas Pemberdayaan Pelaku Usaha Mikro dan Kecil dalam Implementasi Tanggungjawab Sosial Perusahaan

Hasil analisis mengenai intensitas pemberdayaan yang disajikan pada Tabel 15 menunjukkan bahwa sebagian besar pelaku UMK memiliki persepsi bahwa intensitas pemberdayaan pelaku UMK dalam implementasi TSP yang terdiri dari kegiatan edukasi, fasilitasi dan representasi berada dalam kategori rendah. Berdasarkan persepsi pelaku UMK, tidak terdapat perbedaan yang nyata intensitas pemberdayaan pelaku UMK dalam implementasi TSP di antara perusahaan BUMN dan perusahaan swasta transnasional (Lampiran 5), baik dilihat dari setiap indikator maupun peubah pemberdayaan secara keseluruhan.

Tabel 15 Sebaran pelaku UMK mitra binaan berdasarkan persepsi mereka terhadap indikator intensitas pemberdayaan pada dua jenis perusahaan dan

koefisien uji beda di Kabupaten Bogor tahun 2014

Kegiatan Edukasi

Mayoritas pelaku UMK mitra binaan BUMN dan perusahaan swasta transnasional berpendapat intensitas kegiatan edukasi termasuk kategori rendah dalam meningkatkan keberdayaan pelaku UMK. Rendahnya intensitas edukasi ini dicerminkan oleh tiga aspek. Pertama, materi pelatihan. Sebagian besar pelaku UMK mitra binaan berpendapat materi pelatihan yang pernah diberikan pada umumnya lebih banyak di bidang teknis, menyangkut: penyediaan bahan dan peralatan produksi; teknik budi daya, proses produksi atau penyediaan pelayanan. Kondisi yang demikian antara lain disebabkan karena materi pelatihan yang ditawarkan belum bertitik tolak dari identifikasi kebutuhan untuk meningkatkan keberdayaan pelaku UMK.

Memperhatikan pemikiran Hubeis (2009) yang terkait dengan problema usaha kecil, Primiana (2009) mengenai kelemahan UKM, hasil kajian Effendi dan Subandi (2010) tentang permasalahan mendasar UMK di Indonesia, dan hasil penelitian Damanik et al. (2013) tentang kapasitas wanita pengolah sagu tradisional di Maluku, diperlukan materi pelatihan yang mampu membuka wawasan tentang kemampuan proaktif, kepemimpinan personal dan kemampuan manajemen usaha agar mereka menjadi pelaku usaha yang berdaya.

Peningkatan kemampuan proaktif membutuhkan materi pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan kemampuan pengambilan keputusan dan tindakan berdasarkan pertimbangan yang rasional, mengembangkan inisiatif, meningkatkan keberanian menanggung resiko dalam berusaha. Peningkatan kepemimpinan personal dalam berusaha membutuhkan

Indikator Pemberdayaan Kategori Jenis perusahaan Total

Koefisien Uji beda (Zhitung) BUMN (%) PST (%) (%)

Kegiatan Edukasi Rendah 72.4 61.2 69.8

Sedang 25.8 32.7 27.4 1.611

Tinggi 1,8 6,1 2,8

Kegiatan Fasilitasi Rendah 69.9 61.2 67.9

Sedang 28.8 32.7 29.7 1.315

Tinggi 1.2 6.1 2.4

Kegiatan Representasi Rendah 96.9 91.8 95.8

Sedang 3.1 8.2 4.2 1.548

Tinggi 0.0 0.0 0.0

Tingkat Pemberdayaan Rendah 88.3 83.7 87.3

Sedang 10.4 16.3 11.8 0.820

Tinggi 1.2 0.0 0.9

Keterangan : BUMN = Badan Usaha Milik Negara; PST = Perusahaan Swasta Transnasional Rendah = 0 - 50; Sedang = 51 - 75; Tinggi = 76-100

materi pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan kemampuan membangun impian masa depan dalam berusaha, membangun semangat pantang menyerah dalam mewujudkan impian, menentukan langkah dalam mewujudkan impian, serta kemampuan menghadapi dan mengatasi permasalahan usaha. Peningkatan kemampuan pelaku UMK di bidang manajemen usaha membutuhkan materi pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan kemampuan perencanaan usaha, kemampuan di bidang pemasaran, pengelolaan permodalan dan keuangan perusahaan (Covey 2013 & DitPK2 2010).

Kedua, metode penyampaian materi. Menurut sebagian besar pelaku UMK, metode penyampaian materi kurang sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan keberdayan perilaku UMK, dengan indikasi sulit diikuti, kurang menarik dan kurang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan pelaku UMK. Rendahnya kesesuaian metode penyampaian materi pelatihan ini, disebabkan karena dalam pelatihan yang dilaksanakan, umumnya pelatih menggunakan metode ceramah, tidak banyak menggunakan metode diskusi, demonstrasi atau peragaan, apalagi magang. Metode ceramah yang ternyata kurang menarik dan kurang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan pelaku UMK dapat digolongkan pada metode pembelajaran ―gaya bank.‖ Sebagaimana yang dijelaskan oleh Freire (1984), dengan metode pembelajaran ―gaya bank,‖ guru atau pelatih tidak melihat nara didik atau peserta pelatihan sebagai individu yang dinamis dan mempunyai kreasi tetapi dilihat sebagai individu atau wadah untuk menampung sejumlah rumusan atau dalil. Guru atau pelatih dalam proses pembelajaran tidak memberikan pengertian, tetapi memindahkan sejumlah dalil atau rumusan kepada nara didik atau peserta pelatihan yang akan dikeluarkan dalam bentuk yang sama jika diperlukan. Dengan gaya pembelajaran atau pelatihan yang demikian, nara didik menjadi manusia penghafal materi ajar yang miskin daya kreasi, sehingga melepaskan diri dari ketidakberdayaan.

Freire (1984) menawarkan metode‖hadap-masalah‖ sebagai metode alternatif dalam pembelajaran atau pelatihan yang lahir berdasakan konsepsi tentang manusia. Sebagai manusia, nara didik atau peserta pelatihan memiliki potensi untuk berkreasi, oleh sebab itu nara didik atau peserta pelatihan tidak dilihat dan ditempatkan sebagai objek yang harus di ajar dan menerima, sebaliknya guru atau pelatih tidak berfungsi sebagai pengajar. Sesungguhnya, guru atau pelatih dan nara didik atau peserta pelatihan adalah sama-sama belajar dari masalah yang dihadapi. Selanjutnya guru atau pelatih dan nara didik atau peserta pelatihan sama-sama menjadi subjek dalam pemecahaan masalah. Guru atau pelatih bertugas sebagai fasilitator yang memperlancar komunikasi dialogis dan menjadi teman dalam memecahkan permasalahan, sedangkan nara didik atau peserta pelatihan mengambil posisi sebagai partisipan aktif dalam komunikasi dialogis selama pelatihan.

Ketiga, tenaga pelatih. Menurut persepsi pelaku UMK kemampuan tenaga pelatih tergolong rendah, yang direfleksikan oleh kekurangmampuan mereka menjelaskan dan menanggapi berbagai aspek yang berhubungan dengan aspek pengelolaan usaha yang dijalankan oleh pelaku UMK, kurangnya kemampuan menumbuhkan keinginan pelaku UMK dalam mengembangkan usaha, cenderung kurang mampu memfasilitasi kebutuhan serta menguatkan atau meluaskan hubungan kemitraan bagi pelaku UMK dalam berusaha. Dalam penyelenggaraan TSP yang terkait dengan kebutuhan pemberdayaan pelaku UMK, peran pelatih

sebagian besar dibebankan kepada tenaga pendamping dari seksi pengembangan masyarakat pada kedua perusahaan. Dari hasil wawancara dengan unsur pimpinan seksi pengembangan masyarakat yang menjadi atasan langsung tenaga pendamping terungkap bahwa sampai saat penelitian ini berlangsung tenaga pendamping TSP baru dibekali dengan kemampuan berkomunikasi, belum mencakup kompetensi spesifik pemberdayaan. Sementara, nara sumber atau pengajar yang didatangkan dari luar perusahaan menjalankan peran pelatih dalam durasi waktu yang cukup singkat yakni pada saat penyampaian materi pelatihan, setelah itu peran pelatih diserahkan pada tenaga pendamping TSP dari seksi pengembangan pada perusahaan.

Kegiatan Fasilitasi

Kegiatan fasilitasi dalam pemberdayaan dengan strategi pendampingan diperlukan untuk meningkatkan efektifitas kegiatan edukasi dalam bentuk pelatihan bagi pengembangan keberdayaan pelaku UMK. Sebagian besar pelaku UMK mitra binaan dari BUMN dan Perusahaan Swasta Transnasional memiliki persepsi bahwa intensitas kegiatan fasilitasi dalam implementasi TSP tergolong rendah, yang direfleksikan oleh rendahnya intensitas pemberian dorongan, bimbingan, dukungan dan bantuan terhadap pelaku UMK.

Kegiatan fasilitasi bagi pelaku UMK pada kedua perusahaan bias pemberian pinjaman modal usaha, pada hal selain modal usaha mereka juga membutuhkan rangsangan, dorongan, bimbingan dan dukungan pada banyak aspek, meliputi: peningkatan keberanian untuk membangun impian dan harapan masa depan (visi) disertai dengan langkah-langkah untuk mewujudkan impian (misi) dalam berusaha (kepemimpinan personal); pengambilan keputusan dan tindakan dalam berusaha berdasarkan pertimbangan yang rasional, mencari dan memanfaatkan peluang usaha, mengidentifikasi dan memecahkan masalah, menumbuhkan keberanian mengambil risiko dalam berusaha (kemampuan proaktif); membuat perencanaan sebagai landasan dan pedoman dalam berusaha, mengikuti informasi tentang perkembangan pasar, mengakses sumber permodalan dan mengembangkan modal sendiri, peningkatkan kepekaan terhadap kepuasan dan keluhan konsumen; pembuatan pembukuan keuangan sebagai alat pengendalian keuangan perusahaan (kemampuan manajemen usaha).

Kegiatan Representasi

Kegiatan representasi merupakan upaya yang dilaksanakan perusahaan dalam bentuk menjembatani kepentingan pelaku UMK dengan para pihak di luar perusahaan (seperti sumber informasi dan teknologi, sumber permodalan, pelaku pasar). Menurut pendapat sebagian besar pelaku UMK dari kedua perusahaan, kegiatan representasi yang sudah dijalankan perusahaan baru sebatas upaya mengikutsertakan pelaku UMK yang bergerak di bidang kerajinan rumah tangga dalam kegiatan pameran yang bersifat temporari, sehingga belum cukup dirasakan manfaatnya oleh pelaku UMK untuk pengembangan usaha mereka.

Tingkat Keberdayaan Pelaku Usaha Mikro Mitra Binaan Tanggungjawab Sosial Perusahaan

Keberdayaan pelaku UMK terdiri dari kemampuan proaktif, kepemimpinan personal dan kemampuan manajemen usaha (Covey 2013). Kemampuan proaktif direfleksikan oleh kesanggupan menggunakan kebebasan untuk mengambil keputusan dan tindakan berdasarkan pertimbangan yang rasional dalam berusaha, inisiatif untuk melakukan terobosan serta keberanian untuk mengambil risiko dari setiap keputusan dan tindakan yang diambil dalam berusaha (Covey 2013 dan Tastan 2013). Kepemimpinan personal dicerminkan oleh kemampuan untuk menentukan impian dan harapan yang jauh ke depan dalam berusaha (visi) dan langkah-langkah untuk mewujudkannya (misi) disertai oleh kemampuan menghadapi permasalahan dan mengambil pelajaran dari setiap kegagalan dalam berusaha. Selanjutnya, kemampuan manajemen usaha dicerminkan oleh kesanggupan untuk membuat perencanaan usaha, mengakses jaringan pemasaran dan sumber daya permodalan, mengendalikan kegiatan produksi dan keuangan perusahaan Covey 2013 dan DitPK2 2010).

Hasil analisis mengenai tingkat keberdayaan pelaku UMK mitra binaan BUMN dan Perusahaan Swasta Transnasional secara simultan dan parsial, sebagaimana yang disajikan pada Tabel 16 memperlihatkan bahwa tingkat keberdayaan pelaku UMK mitra binaan berada dalam kategori cenderung rendah.

Kemampuan Proaktif

Sebagian besar pelaku UMK mitra binaan BUMN dan Perusahaan Swasta Transnasional memiliki kemampuan proaktif yang termasuk kategori rendah, baik pada aspek koginitif, afektif maupun psikomotor. Hal ini ditunjukan oleh kurangnya pemahaman sebagian besar pelaku UMK mitra binaan kedua perusahaan terhadap aspek-aspek perilaku proaktif dan belum sepenuhnya menerima dan menerapkan perilaku proaktif dalam mengelola usaha mereka, yang terefleksikan dari: kurangnya kesanggupan pelaku UMK dalam menggunakan kebebasan untuk pengambilan keputusan dan tindakan berusaha berdasarkan pertimbangan rasional; mengambil inisiatif untuk mencari dan menggunakan cara- cara terbaik dalam menjalankan dan mengembangkan usaha; menghadapi dan menemukan solusi permasalahan serta risiko dalam berusaha. Masih banyak pelaku UMK mitra binaan yangmenjalankan usahanya karena meniru usaha yang sudah dijalankan orang lain dan kurang memiliki dorongan untuk melakukan terobosan dalam mengembangkan usaha terutama karena belum siap mengadapi risiko yang ditimbulkannya. Namun, di antara pelaku UMK mitra binaan kedua perusahaan terdapat perbedaan nyata (p<0.05) pada aspek kognitif dan psikomotor kemampuan proaktif (Lampiran 6). Dalam hal ini, pelaku UMK mitra binaan

Dokumen terkait