• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Kemandirian Pelaku Usaha Mikro dan Kecil dalam Implementasi Tanggungjawab Sosial Perusahaan di Kabupaten Bogor Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengembangan Kemandirian Pelaku Usaha Mikro dan Kecil dalam Implementasi Tanggungjawab Sosial Perusahaan di Kabupaten Bogor Jawa Barat"

Copied!
214
0
0

Teks penuh

(1)

i

TANGGUNGJAWAB SOSIAL PERUSAHAAN

DI KABUPATEN BOGOR JAWA BARAT

FAIZAL M

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

iii

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Pengembangan Kemandirian Pelaku Usaha Mikro dan Kecil dalam Implementasi Tanggungawab Sosial Perusahaan di Kabupaten Bogor Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

Faizal M NIM I361090031

1

 Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerjasama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerjasama terkait

(4)
(5)

vii

RINGKASAN

FAIZAL M. Pengembangan Kemandirian Pelaku Usaha Mikro dan Kecil dalam Implementasi Tanggungjawab Sosial Perusahaan di Kabupaten Bogor Jawa Barat. Dibimbing oleh SUMARDJO, AMIRUDDIN SALEH, dan PUDJI MULJONO.

Usaha mikro dan kecil (UMK) merupakan pilar pembangunan yang berperanan penting untuk mendorong pertumbuhan dan pemerataan pembangunan, menyediakan kebutuhan masyarakat luas, menciptakan lapangan kerja dan mengentaskan kemiskinan baik di tingkat nasional maupun di Kabupaten Bogor. Walaupun demikian, golongan UMK masih menghadapi permasalahan mendasar, yakni rendahnya kualitas sumber daya manusia pelaku UMK yang berimplikasi kepada rendahnya keberdayaan dan kemandirian mereka dalam mengelola usaha. Di samping itu, golongan usaha ini juga dihadapkan kepada perubahan lingkungan strategis, yakni berlakunya sistem ekonomi terbuka melalui Perdagangan Bebas Asean (AFTA), perdagangan bebas Asean dan China (ACFTA) dan Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) yang menciptakan peluang usaha yang semakin besar sekaligus iklim usaha yang semakin kompetitif. Kedua kondisi tersebut merupakan suatu tantangan yang harus dihadapi dengan mengembangkan sumber daya manusia pelaku UMK melalui proses pemberdayaan agar menjadi pelaku usaha yang berdaya dan mandiri. Pemberdayaan UMK tidak hanya merupakan tanggungjawab pemerintah semata, tetapi juga menjadi bagian dari tanggungjawab sosial perusahaan (TSP).

Kabupaten Bogor masih dihadapkan kepada permasalahan kemiskinan dan pengangguran, yang semestinya dapat diatasi dengan meningkatkan peran UMK sebagai pilar pembangunan daerah yang mampu menciptakan lapangan kerja dan mengentaskan kemiskinan. Di daerah ini terdapat dua perusahaan yang telah mengimplementasikan TSP, yaitu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Perusahaan Swasta Transnasional. Kedua perusahaan tersebut memiliki pelaku UMK mitra binaan dalam jumlah yang cukup banyak.

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis profil TSP, lingkungan pendukung UMK, dan karakteristik pelaku UMK; (2) menganalisis pemberdayaan pelaku UMK dalam implementasi TSP di Kabupaten Bogor; (3) merumuskan strategi pengembangan kemandirian pelaku UMK dalam implementasi TSP di Kabupaten Bogor. Penelitian dilaksanakan di 11 desa binaan BUMN di Kecamatan Nanggung dan di 12 desa binaan Perusahaan Swasta Transnasional di tiga kecamatan (Citeureup, Gunung Putri dan Klapanunggal) dalam wilayah Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat, yang berlangsung dari bulan Juli sampai dengan Desember 2013. Populasi penelitian ini adalah pelaku UMK mitra binaan TSP kedua perusahaan, yang berjumlah 450 orang dengan jenis usaha: perdagangan, pertanian; usaha industri rumah tangga, dan jasa. Penentuan jumlah sampel sebanyak 212 orang pelaku UMK menggunakan formulasi Slovind engan derajat kesalahan 5%. Pengambilan sampel dilakukan secara acak klaster (cluster random sampling), dengan klaster jenis perusahaan BUMN dan Perusahaan Swasta Transnasional. Analisis profil tanggungjawab sosial perusahaan, lingkungan pendukung UMK, dan karakteristik pelaku UMK mitra binaan dari

(6)

viii

kedua perusahaan dilakukan secara deskriptif didukung oleh statistik non parametrik untuk melakukan uji beda. Korelasi rank Spearman digunakan untuk menganalisis hubungan antar peubah, sedangkan analisis model persamaan struktural (structural equation models) dengan bantuan program Lisrel 8.30 digunakan untuk menganalisis faktor dominan yang mempengaruhi kemandirian pelaku UMK serta melihat kecocokan model empirik.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi TSP pada BUMN dan Perusahaan Swasta Transnasional belum memberdayakan pelaku UMK. Profil lingkungan pendukung UMK termasuk kategori rendah, yang direfleksikan oleh ketersediaan sumber daya informasi, sumber daya modal, jaringan transportasi, jaringan pemasaran, dukungan kebijakan pemerintah dalam kategori rendah. Sebagian besar pelaku UMK berumur produktif dan memiliki motivasi berusaha yang tinggi. Kondisi yang demikian perlu menjadi pertimbangan dalam mengembangkan keberdayaan menuju kemandirian pelaku UMK.

Intensitas pemberdayaan pelaku UMK dalam implementasi TSP yang direfleksikan oleh kegiatan edukasi, fasilitasi dan representasi berada dalam kategori rendah. Tingkat keberdayaan pelaku UMK mitra binaan BUMN dan Perusahaan Swasta Transnasional termasuk dalam kategori rendah, yang terefleksikan oleh kemampuan proaktif, kepemimpinan personal dan kemampuan manajemen usaha dalam kategori rendah. Analisis korelasi rank Spearman menunjukkan bahwa karakteristik indvidu pelaku UMK, intensitas pemberdayaan pelaku UMK, dan kualitas lingkungan pendukung UMK berhubungan nyata dengan tingkat keberdayaan pelaku UMK. Dengan demikian, dalam peningkatan keberdayaan perlu diperhatikan intensitas pemberdayaan dan kualitas lingkungan UMK; dan upaya memberikan peluang yang lebih besar kepada pelaku UMK yang berumur produktif dan bermotivasi tinggi dalam pemberdayaan.

Kemandirian pelaku UMK mitra binaan BUMN dan Perusahaan Swasta Transnasional termasuk dalam kategori rendah, direfleksikan oleh kemampuan bermitra, kemampuan berkomunikasi empatik, kemampuan bersinergi, antisipatif, kemodernan, dan daya saing dalam kategori rendah. Analisis SEM menunjukkan bahwa keberdayaan pelaku UMK, kualitas lingkungan pendukung UMK, intensitas pemberdayaan pelaku UMK berpengaruh positif dan nyata terhadap tingkat kemandirian pelaku UMK. Oleh sebab itu, strategi untuk mengembangkan kemandirian pelaku UMK dalam implementasi TSP dilakukan dengan meningkatkan keberdayaan pelaku UMK, meliputi: kemampuan proaktif, kepemimpinan personal dan kemampuan manajemen usaha; meningkatkan kualitas lingkungan pendukung UMK, mencakup: ketersediaan jaringan pemasaran, sumber daya modal, dan jaringan transportasi yang terjangkau oleh pelaku UMK; dan meningkatkan intensitas pemberdayaan pelaku UMK baik berupa kegiatan edukasi, fasilitasi maupun representasi.

Kata kunci: keberdayaan, kemandirian, pemberdayaan, tanggungjawab sosial perusahaan, usaha mikro dan kecil

(7)

ix

SUMMARY

FAIZAL M. The Autonomous Development of Micro and Small Holders of Entreprises in the Implementation of Corporate Social Responsibility in Bogor District, West Java. Supervised by SUMARDJO, AMIRUDDIN SALEH, and PUDJI MULJONO.

The micro and small holders of enterprises (MSEs) are the pillars of development important role to drive growth and equitable development, providing the needs of the wider community, creating jobs and alleviating poverty both nationally and in the district of Bogor. However, the MSE group still faces fundamental problems, namely the low quality of human resources MSEs which has implications for their lack of powerness and autonomous in managing the business. In addition, the business group is also exposed to change in the strategic environment, such as an open economic system through the ASEAN Free Trade Area (AFTA), ASEAN Free Trade and China (ACFTA) and the Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) which creates greater business opportunities at once increasingly competitive business climate. Both conditions are a challenge that must be faced by developing human resources through the empowerment process MSEs to become empowered and autonomous entrepreneurs. Empowering of the MSEs is not only responsibility of the government, but also becomes a part of Corporate Social Responsibility (CSR).

Bogor district still faced with the problems of poverty and unemployment, which should be addressed by enhancing the role of SMEs as a pillar of regional development which able to create jobs and alleviate poverty. In this area there are two companies that have implemented the CSR, the State-Owned Enterprises (SOEs) and the Transnational Private Companies (TPC). Both companies have established partners MSEs in considerable amounts.

The objective of research were to: (1) analyze the profile of CSR, environmental support MSEs and MSEs characteristics; (2) analyze the empowerment of MSEs in the implementation of CSR in Bogor district; (3) formulating the development strategies autonomus MSEs in the implementation of CSR in Bogor district. The research was conducted in 11 villages built of SOEs in the subdistrict Nanggung and in 12 village built of TPC in three subdistricts (Citeureup, Gunung Putri and Klapanunggal) in Bogor district of West Java Province. The period of research from July to December 2013. Research population was MSEs entrepreneur, partners of CSR of both companies, which amounted to 450 people with the type of business: trade, agriculture; household industry, and services. The total sample was 212 people MSEs and determined by using formulations Slovin, with a degree was error of 5%. Sampling was done at random clusters (cluster random sampling), the cluster type of SOE and TPC. The corporate social responsibility profile, environmental supporting, and MSEs were describe with descriptive, and supported by statistical non parametric to perform different test. Spearman rank correlation was used to analyze the relationship between variables, and structural equation modeling (SEM) with help of 8:30 Lisrel program was used to analyze the dominant factor affecting the automous of MSEs and view the fitting empirical model.

The results showed that the implementation of CSR of both companies are not yet empowered MSEs. Supporting environmental profile of MSE is low,

(8)

x

which is reflected by the availability of information resources, capital resources, transportation networks, network marketing, government policy support in the low category. Most of the MSEs productive age and have a high motivation to strive. Such conditions should be considered in developing MSEs towards self empowerment.

The intensity of the empowerment of MSEs in the implementation of the CSR is reflected by educational activities, facilitation and representation are in low category. The level of powerness of trained partners of MSEs SOE and TPC are low category, which is reflected by the ability of proactive, personal leadership and business management capabilities in low category. Spearman rank correlation analysis showed that the MSEs individual characteristics, intensity of MSEs empowerment, and environmental quality supporting MSEs significantly correlated with the level of powerness of MSEs. Thus, the powerness of MSEs require an increase in the intensity of empowerment in accordance with the need for increased powerness of MSEs; improvement of the environmental quality of the supporting MSE; and efforts to provide greater opportunities to the old MSEs productive and motivated in empowerment.

The autonomous trained partnerships MSEs SOE and TPC were in the low category, reflected by the ability to work in partnership, empathic communication skills, ability to synergize, anticipatory, modernity, and competitiveness in the low category. SEM analysis shows that MSEs powerness, environmental quality support MSEs, dan intensity of MSEs empowerment were real positive effect on the level of autonomous of MSEs. Therefore, strategies to develop autonomous of MSEs in the CSR implementation is done by increasing the the powerness of MSEs, improve the environmental quality of supporting SMEs, and increasing the intensity of empowerment of MSEs in the form education, facilitation and representation.

Key words: autonomous, corporate social responsibility, empowerment, micro and small enterprises, powerness

(9)

xi

©

Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

(10)
(11)

xiii

PENGEMBANGAN KEMANDIRIAN PELAKU USAHA

MIKRO DAN KECIL DALAM IMPLEMENTASI

TANGGUNGJAWAB SOSIAL PERUSAHAAN

DI KABUPATEN BOGOR JAWA BARAT

FAIZAL M

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

(12)

xiv

Penguji Luar Komisi :

Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Prof (Ris) Dr Ign.Djoko Susanto, SKM Staf Pengajar Fakultas Ekologi Manusia IPB 2. Dr Ir Ma’mun Sarma, M.Ec

Staf Pengajar Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB

Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr Ir Muhammad Taufiq, SH, M.Sc Staf Ahli Menteri Koperasi dan UKM Kementerian Koperasi dan UKM Republik Indonesia

2. Prof Dr (Ris) Ign.Djoko Susanto, SKM Staf Pengajar Fakultas Ekologi Manusia IPB

(13)

xv

Judul Disertasi : Pengembangan Kemandirian Pelaku Usaha Mikro dan Kecil dalam Implementasi Tanggungjawab Sosial Perusahaan di Kabupaten Bogor Jawa Barat Nama : Faizal M

NIM : I361090031

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Sumardjo, MS Ketua

Dr Ir Amiruddin Saleh, MS Dr Ir Pudji Muljono, M.Si Anggota Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Prof Dr Ir Sumardjo, MS Dr Ir Dahrul Syah, M.ScAgr

Tanggal Ujian: 23 Juli 2014 Tanggal Lulus:

(14)
(15)

xix

PRAKATA

Puji dan Syukur penulis panjatkan Kehadirat Allah Yang Maha Kuasa, atas segala Rahmat dan KaruniaNya, penulisan disertasi tentang kemandirian pelaku usaha mikro dan kecil dengan judul ―Pengembangan Kemandirian Pelaku Usaha Mikro dan Kecil dalam Implementasi Tanggungjawab Sosial Perusahaan di Kabupaten Bogor Jawa Barat,‖ dapat diselesaikan.

Dengan selesainya penulisan disertasi ini, penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada Bapak Prof Dr Ir Sumardjo, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing serta Bapak Dr Ir Amiruddin Saleh, MS dan Bapak Dr Ir Pudji Muljono, M.Si sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan perhatian dan bimbingan kepada penulis, sejak penyusunan rencana penelitian sampai kepada penulisan disertasi ini. Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Ir. Ahmad Sulaiman, MS, PhD., sebagai pimpinan sidang ujian tertutup dan terbuka; Bapak Prof Dr (Ris) Ign. Djoko Susanto, SKM dan Bapak Dr Ir Ma’mun Sarma, M.Ec selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup; Bapak Dr Ir Muhammad Taufiq, SH, M.Sc. dan Bapak Prof Dr (Ris) Ign. Djoko Susanto, SKM selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka; serta Ibu Dr Ir Anna Fatchiya, M.Si mewakili Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan pada ujian tertutup dan terbuka.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Dirjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Koordinator Kopertis Wilayah IV dan Rektor Universitas Nusa Bangsa yang telah memberikan kesempatan dan dukungan untuk melaksanakan tugas belajar di Institut Pertanian Bogor.

Kepada Manajemen BUMN dan Perusahaan Swasta Transnasional di Kabupaten Bogor serta Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor yang telah memberi izin dan kesempatan untuk melakukan penelitian, penulis haturkan terima kasih. Penulis tidak lupa menyampaikan terima kasih kepada seluruh responden dan enumerator yang telah membantu terselenggaranya pengumpulan data yang dibutuhkan dalam penelitian ini; kepada teman-teman mahasiswa Ilmu Penyuluhan Pembangunan Sekolah Pascasarjana IPB angkatan 2009 yang telah berbagi ilmu dan pengalaman yang bermanfaat untuk menyelesaikan studi.

Penghargaan dan ucapan terima kasih secara khusus penulis sampaikan kepada Ayahnda Dt. Rangkayo Nan Basa, Ibu Mertua Hj. Rostina Yanis, kakak-kakak, isteri tercinta Devarina Yanis serta putra dan putri tercinta Arief Afdy Aulia, Muhammad Asyraf Fanany dan Dinda Putri Qonita yang telah memberikan perhatian, doa, dan dukungan yang telah menjadi kekuatan dan motivasi bagi penulis dalam menyelesaikan studi dan disertasi ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014

Faizal M

(16)

xx

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xix

DAFTAR GAMBAR xx

DAFTAR LAMPIRAN xxi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 6

Ruang Lingkup Penelitian 6

2 TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, 8

HIPOTESIS PENELITIAN DAN METODE PENELITIAN

Tinjauan Pustaka 8

Usaha Mikro dan Kecil 8

Karakteristik Individu 15

Lingkungan Pendukung Usaha 17

Pemberdayaan 19

Penyuluhan dan Pemberdayaan 24

Keberdayaan 29

Kemandirian 32

Tanggungjawab Sosial Perusahaan 37

Kerangka Berpikir 47

Hipotesis Penelitian 57

Metode Penelitian 58

3 PROFIL TANGGUNGJAWAB SOSIAL PERUSAHAAN, 72

LINGKUNGAN PENDUKUNG DAN KARAKTERISTIK PELAKU USAHA MIKRO DAN KECIL

DI KABUPATEN BOGOR JAWA BARAT

Pendahuluan 72

Metode Penelitian 73

Hasil dan Pembahasan 74

Simpulan 96

(17)

xxi

4 PEMBERDAYAAN PELAKU USAHA MIKRO DAN 98

KECIL DALAM IMPEMENTASI TANGGUNGJAWAB SOSIAL PERUSAHAAN DI KABUPATEN BOGOR JAWA BARAT

Pendahuluan 98

Kerangka Berpikir dan Hipotesis Penelitian 100

Metode Penelitian 102

Hasil dan Pembahasan 102

Simpulan 113

5 STRATEGI PENGEMBANGAN KEMANDIRIAN PELAKU 114

USAHA MIKRO DAN KECIL DALAM IMPLEMENTASI TANGGUNGJAWABSOSIAL PERUSAHAAN

DI KABUPATEN BOGOR JAWA BARAT

Pendahuluan 114

Kerangka Berpikir dan Hipotesis Penelitian 115

Metode Penelitian 118

Hasil dan Pembahasan 121

Simpulan 151

6 PEMBAHASAN UMUM 152

7 SIMPULAN DAN SARAN 158

DAFTAR PUSTAKA 160

LAMPIRAN 170

RIWAYAT HIDUP 188

(18)

xxii

DAFTAR TABEL

1 Identifikasi beberapa penelitian terkait dengan pengembangan kemandarian pelaku usaha mikro dan kecil

5

2 Kriteria usaha mikro dan kecil 9

3 Paradigma pemberdayaan pelaku UMK 52

4 Paradigma keberdayaan pelaku UMK 54

5 Paradigma kemandirian pelaku UMK 56

6 Sebaran populasi dan sampel penelitian 59

7 Peubah, definisi operasional, parameter dan kategori pengukuran karakteristik individu pelaku UMK

61 8 Indikator, definisi operasional, parameter dan kategori pengukuran

indikator peubah intensitas pemberdayaan pelaku UMK

62 9 Indikator, definisi operasional, parameter dan kategori pengukuran

indikator peubah kualitas lingkungan pendukung UMK

63 10 Indikator, definisi operasional, parameter dan kategori pengukuran

indikator peubah keberdayaan pelaku UMK

64 11 Indikator, definisi operasional, paramter dan kategori pengukuran

indikator peubah tingkat kemandirian pelaku UMK

65 12 Perbandingan penerapan aspek pemberdayaan dalam implementasi

TSPbagi pelaku UMKdi antara dua jenis perusahaan di Kabupaten Bogor tahun 2014

81

13 Sebaran pelaku UMK mitra binaan berdasarkan indikator kualitas lingkungan pendukung UMK pada dua jenis perusahaan dan koefisien uji beda di Kabupaten Bogor tahun 2014

91

14 Sebaran pelaku UMK mitra binaan berdasarkan karakterisitik individu pada dua jenis perusahaan dan uji beda di Kabupaten Bogor tahun 2014

94

15 Sebaran pelaku UMK mitra binaan berdasarkan persepsi mereka terhadap indikator peubah intensitas pemberdayaan pada dua jenis perusahaan dan koefisien uji beda di Kabupaten Bogor tahun 2014

103

16 Sebaran pelaku UMK berdasarkan kategori peubah tingkat keberdayaan pada dua jenis perusahaan dan uji beda di Kabupaten Bogor tahun 2014

107

17 Koefisien korelasi karakterisitik individu dengan tingkat keberdayaan pelaku UMK mitraa binaan pada dua jenis perusahaan di Kabupaten Bogor tahun 2014

109

18 Koefisien korelasi intensitas pemberdayaan dengan tingkat keberdayaan pelaku UMK mitra binaan pada dua jenis perusahaan di Kabupaten Bogor tahun 2014

111

19 Koefisien korelasi kualitas lingkungan pendukung UMK dengan tingkat keberdayaan pelaku UMK mitra binaan TSP pada dua perusahaan di Kabupaten Bogor tahun 2014

112

(19)

xxiii

DAFTAR TABEL

20 Sebaran pelaku UMKmitra binaan berdasarkan kategori indikator kemandirian pada dua perusahaan dan uji beda di Kabupaten Bogor tahun 2014

122

21 Dikomposisi antar peubah tingkat kemandirian pelaku UMK (standarized n=212)

128 22 Kondisi tingkat kemandirian pelaku usaha mikro dan kecil mitra

binaan saat ini dan yang diharapkan di Kabupaten Bogor

154

DAFTAR GAMBAR

1 Alur berpikir penelitian pengembangan kemandirian pelaku UMK di Kabupaten Bogor

49 2 Hubungan antar peubah penelitian dalam model pengembangan

kemandirian pelaku UMK di Kabupaten Bogor

50 3 Struktur organisasi penyelenggara TSP pada BUMN di Kabupaten

Bogor

77 4 Struktur organisasi penyelenggara TSP padaPerusahaan Swasta

Transnasionaldi Kabupaten Bogor

80 5 Kerangka hubungan peubah penelitian pemberdayaan pelaku UMK

di Kabupaten Bogor

101 6 Kerangka hubungan peubah penelitian pengembangan kemandirian

pelaku UMK dalam implementasi TSP di Kabupaten Bogor

118 7 Kerangka hipotetik model struktural peubah penenelitian 120 8 Estimasi parameter hybridmodelpengembangan kemandirian pelaku

usaha mikro dan kecil dalam implementasitanggungjawab sosial perusahaan(Standarized) di Kabupaten Bogor

128

9 Model pengembangan kemandirian pelaku UMK dalam implementasi tanggungjawab sosial perusahaan di Kabupaten Bogor

143

(20)

xxiv

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil uji validitas instrumen penelitian 170

2 Hasil uji reliabilitas instrumen penelitian 175 3 Hasil uji beda indikator kualitas lingkungan pendukung UMK di

antara desa binaan BUMN dan Perusahaan Swasta Transnasional di Kabupaten Bogor tahun 2014

176

4 Hasil uji beda indikator karakteristik individu pelaku UMK mitra binaan BUMN dan Perusahaan Swasta Transnasional di Kabupaten Bogor tahun 2014

176

5 Hasil uji beda indikator intensitas pemberdayaan dalam implementasi TSP antara BUMN dan Perusahaan Swasta Transnasional di Kabupaten Bogor tahun 2014

176

6 Hasil uji beda indikator tingkat keberdayaan pelaku UMK mitra binaan BUMN dan Perusahaan Swasta Transnasional di Kabupaten Bogor tahun 2014

177

7 Hasil uji korelasi rank Spearman karakteristik individu UMK dengan tingkat keberdayaan pelaku UMK pada BUMN dan Perusahaan Swasta Transnasional di Kabupaten Bogor tahun 2014

178

8 Hasil uji korelasi rank Spearman intensitas pemberdayaan UMK dengan tingkat keberdayaan pelaku UMK pada BUMN dan

Perusahaan Swasta Transnasional di Kabupaten Bogor tahun 2014

180

9 Hasil uji korelasi rank Spearman kualitas lingkungan pendukung UMK dengan tingkat keberdayaan pelaku UMK mitra binaan pada BUMN di Kabupaten Bogor tahun 2014

182

10 Hasil uji beda tingkat kemandirian pelaku UMK mitra binaan antara BUMN dan Perusahaan Swasta Transnasional di Kabupaten Bogor tahun 2014

184

11 Hasil analisis structural equation models (SEM) peubah

kemandirian pelaku UMK mitra binaan BUMN dan Perusahaan Swasta Transnasional di Kabupaten Bogor tahun 2014

185

(21)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Golongan Usaha Mikro dan Kecil (UMK) menghadapi kompetisi yang semakin ketat sejalan dengan perubahan lingkungan strategis, yakni pemberlakuan sistem ekonomi terbuka melalui persetujuan perdagangan bebas di kawasan Asia Tenggara atau Asean Free Trade Agreement (AFTA) yang telah berlaku sejak tahun 2002, persetujuan perdagangan bebas Asean dan Cina atau Asean-China Free Trade Agreement (ACFTA) yang mulai dijalankan sejak tahun 2010, dan kerjasama ekonomi Asia Pasifik atau Asia-Pasific Economic Cooperative (APEC) yang akan diberlakukan pada tahun 2020. Pemberlakuan sistem ekonomi terbuka ini akan menghilangkan batas kegiatan ekonomi antara negara dan kawasan sehingga menciptakan peluang usaha yang semakin luas sekaligus persaingan usaha yang semakin meningkat. Kondisi yang demikian, hanya mungkin dihadapi oleh pelaku UMK yang memiliki kemandirian.

Mengacu kepada pemikiran Covey (2013) dan Sumardjo (1999 dan 2012a), kemandirian pelaku UMK adalah kondisi yang direfleksikan oleh kemampuan mereka untuk memilih dan mengelola usaha menurut kehendaknya sendiri disertai oleh kemampuan untuk bekerjasama dengan berbagai pihak yang bersifat saling membutuhkan dan menguntungkan dalam kesetaraan. Pelaku UMK yang mandiri dicirikan oleh: kemampuan bermitra, kemampuan berkomunikasi empatik, kemampuan bersinergi, antisipatif, modernitas dan berdaya saing.

Perspektif dunia sudah mengakui bahwa UMK memainkan suatu peranan vital di dalam pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, tidak hanya di negara sedang berkembang tetapi juga di negara-negara maju. Di negara-negara maju umumnya UMK berperan dalam mewariskan kewirausahaan yang diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Di negara-negara berkembang UMK bersifat padat tenaga kerja; terdapat di semua lokasi di perdesaan; lebih tergantung pada bahan baku lokal dan penyedia utama barang dan jasa kebutuhan pokok masyarakat luas; sehingga lebih banyak berperan sebagai pencipta lapangan kerja dan memeratakan pembangunan yang diperlukan untuk mengurangi pengangguran, mengentaskan kemiskinan dan menjaga stabilitas sosial (Ayanda & Laraba 2011; Jasra et al. 2011; Muritala et al.2012; Tambunan 2013).

Data perkembangan UMKM yang dipublikasikan oleh Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia pada tahun 2011-2012, menunjukkan peran penting UMK, yakni: (1) jumlah UMK mencapai 99.90 persen dibandingkan dengan Usaha Menengah (UM) dan Usaha Besar (UB), masing-masing hanya 0.09 persen dan 0.01persen; (2) kontribusi dalam penyediaan lapangan kerja mencapai 94.21 persen dibandingkan dengan UM dan UB masing-masing 2.94 persen dan 2.84 persen; dan (3) kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 45.49 perseb dibandingkan dengan UM dan UB masing-masing 13.59 persen dan 40.92 persen. Dengan demikian, UMK merupakan golongan usaha yang dominan dan memiliki kontribusi paling besar terhadap pembangunan nasional (Kemenkop UKM 2013).

(22)

Dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah ditetapkan visi pembangunan nasional tahun 2005-2015 yaitu mewujudkan ―Indonesia Mandiri, Maju, Adil dan Makmur.‖ Salah satu misi yang harus dijalankan untuk mencapai visi pembangunan nasional ini adalah melaksanakan pembangunan yang merata dan berkeadilan melalui pengurangan kesenjangan sosial ekonomi, keberpihakan kepada kelompok dan atau masyarakat lemah, menanggulangi kemiskinan dan pengangguran, menyediakan kesempatan yang sama bagi masyarakat terhadap pelayanan serta sarana dan prasarana sosial dan ekonomi (Pemerintah Republik Indonesia 2007a).

Pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) merupakan langkah strategis untuk mewujudkan visi dan misi pembangunan nasional, karena kelompok usaha ini mampu memperluas lapangan kerja dan pelayanan ekonomi kepada masyarakat, berperan serta dalam proses pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat, mendorong pertumbuhan dan pemerataan ekonomi serta berperan dalam mewujudkan stabilitas nasional (Pemerintah Republik Indonesia 2008).

Persoalannya, dari berbagai kajian yang dilakukan (Hubeis 2009; Primiana 2009; Tambunan 2010; Effendi & Subandi 2010) ditemukan bahwa pada umumnya pelaku UMK di tanah air menghadapi sejumlah permasalahan, di antaranya: (1) kekurangmampuan dalam mengakses sumberdaya informasi, permodalan, teknologi, dan inovasi; (2) kekurangmampuan membangun kerjasama dengan berbagai pelaku usaha, suplier dan pihak-pihak terkait; (3) belum sepenuhnya menyadari dan memanfaatkan kemajuan teknologi untuk proses produksi, jaringan pemasaran, margin pengelolaan usaha dan manfaat komersialisasi teknologi; (4) kekurangmampuan menentukan pola manajemen yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan usaha; (5) kekurangan pengetahuan tentang bagaimana memproduksi barang yang berkualitas, efisien dan tepat waktu; (6) kekurangmampuan melihat peluang dan selera pasar; (7) kekurangmampuan dalam melakukan analisis usaha; (8) kekurangmampuan dalam mengendalikan operasional usaha; (9) kekurangmampuan menghasilkan dan memasarkan barang dan jasa secara berdaya saing.

Berbagai temuan sebagaimana diuraikan mengindikasikan rendahnya kemandirian pelaku UMK, sehingga menimbulkan kekhawatiran bahwa UMK nasional akan mengalami kehancuran karena gagal bersaing dengan pelaku usaha dari luar negeri (Suyatna 2010; Effendi & Subandi 2010). Bahkan, belakangan ini terjadi perdebatan di antara kalangan akademisi dan pembuat kebijakan, apakah UMK Indonesia akan mampu bersaing dari pasar ekspor atau paling tidak bisa bertahan di pasar dalam negeri terhadap persaingan yang semakin ketat dengan produk-produk impor (Tambunan 2013).

(23)

Perumusan Masalah

Pengembangan sumber daya manusia pelaku UMK sebagai tugas-tugas pembangunan tidak hanya menjadi tanggungjawab pemerintah, tetapi juga merupakan bagian dari tanggung jawab dunia usaha yang diwujudkan melalui TanggungJawab Sosial Perusahan (TSP) atau Corporate Social Responsibility (CSR). Pada tataran global, perwakilan pelaku usaha dari berbagai belahan dunia yang terhimpun dalam wadah World Business Council for Sutainable Development (WBCSD) telah menetapkan TSP sebagai komitmen untuk bertindak etis dan memberikan kontribusi secara berkelanjutan kepada peningkatan taraf hidup karyawan perusahaan beserta seluruh keluarganya bersamaan dengan pengembangan ekonomi dan sosial dari komunitas setempat ataupun masyarakat luas yang selanjutnya ditetapkan sebagai salah satu konsep TSP (WBCSD 1999).

Praktek TSP di Indonesia bukanlah fenomena baru. Pada tahun 1994 pemerintah melalui Menteri Keuangan RI Nomor 316/KMK.016/1994 tanggal 27 Juni 1994 telah mengeluarkan ketentuan tentang Pedoman Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi melalui Pemanfaatan Dana dari Bagian Laba Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Hakekat dari ketentuan ini adalah peran serta dunia usaha dalam Program Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi (PUKK) yang dapat dilihat sebagai praktek TSP. Dalam perkembangan selanjutnya, pemerintah telah menerbitkan beberapa peraturan, seperti: (1) Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, khususnya pasal 88 tentang penyisihan laba perusahaan untuk pembinaan UKM, koperasi dan masyarakat sekitar BUMN (Pemerintah Republik Indonesia 2003); (2) Kepmen BUMN Nomor PER-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan; (3) UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, khususnya pasal 15 tentang kewajiban penanam modal melaksanakan TSP (Pemerintah Republik Indonesia 2007b); dan (4) UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, khususnya pasal 74 tentang kewajiban perseroan melaksanakan TSP (Pemerintah Republik Indonesia 2007c).

Pada saat penerimaan TSP yang semakin meluas oleh kalangan dunia usaha, ternyata di antara perusahaan terdapat pendekatan yang berbeda dalam mengimplementasikan TSP. Suharto (2010) mengidentifikasi bahwa paling tidak ada empat pendekatan yang sudah dilakukan perusahaan dalam mengimplementasikan TSP, yaitu: coorporate giving bermotif amal atau sedekah (charity), coorporate philanthropy yang bermotif kemanusiaan, coorporate community relation yang bermotif tebar pesona atau iklan dan pengembangan masyarakat atau pemberdayaan masyarakat (community development). Di antara keempat pendekatan ini, pemberdayaan merupakan pendekatan TSP yang paling tepat. Dengan kata lain, impelementasi TSP dengan pendekatan selain pemberdayaan akan berdampak buruk bagi masyarakat karena akan membunuh daya kreatif dan menumbuhkan perilaku ketergantungan di kalangan masyarakat.

(24)

Provinsi Jawa Barat. Kondisi yang demikian membutuhkan peningkatan peran UMK sebagai pencipta lapangan kerja sekaligus pengentas kemiskinan yang dilakukan dengan cara mengembangkan kualitas sumber daya manusianya melalui pemberdayaan, sehingga menjadi pelaku usaha yang mandiri. Terkait dengan pemberdayaan pelaku UMK ini, di Kabupaten Bogor terdapat dua perusahaan, yakni BUMN dan Perusahaan Swasta Transnasional yang telah mempraktekkan TSP sejak tahun 1990-an. Dalam implementasi TSP, BUMN dan Perusahaan Swasta Transnasional telah membina pelaku UMK masing-masing pada 11 desa binaan di Kecamatan Nanggung dan 12 desa binaan di tiga Kecamatan (Citeureup, Klapanunggal, Gunung Putri) dalam wilayah Kabupaten Bogor. Pertanyaannya adalah ‖sejauhmana implementasi TSP menggunakan pendekatan pemberdayaan untuk mewujudkan kemandirian pelaku UMK? sehingga mampu berperan sebagai pencipta lapangan kerja dan pengentas kemiskinan.‖ Penelitian ini berusaha untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan mengemukakan rumusan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana profil TSP dan lingkungan pendukung UMK serta karakteristik pelaku UMK mitra binaan TSP di Kabupaten Bogor?

2. Sejauhmana pemberdayaan pelaku UMK mitra binaan TSP dalam implementasi TSP di Kabupaten Bogor?

3. Bagaimana strategi yang tepat bagi pengembangan kemandirian pelaku UMK dalam implementasi TSP di Kabupaten Bogor?

Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian bertujuan untuk memberikan kontribusi dalam menentukan strategi pengembangan kemandirian pelaku UMK dalam implementasi TSP. Secara terperinci, tujuan penelitian ini adalah:

1. Menganalisis profil TSP dan lingkungan pendukung UMK, serta karakteristik pelaku UMK mitra binaan TSP di Kabupaten Bogor.

2. Menganalisis pemberdayaan pelaku UMK dalam implementasi TSP di Kabupaten Bogor.

3. Merumuskan strategi yang tepat bagi pengembangan kemandirian pelaku UMK dalam implementasi TSP di Kabupaten Bogor.

Kebaruan Penelitian

Pembangunan di Kabupaten Bogor belum sepenuhnya berhasil mengatasi kemiskinan dan pengangguran. Kondisi yang demikian antara lain disebabkan oleh karena belum berperannya UMK sebagai pilar pembangunan daerah yang mampu menciptakan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan. Peran UMK perlu ditingkatkan dengan mengembangkan sumber daya pelakunya agar menjadi pelaku usaha mandiri. Namun demikian, untuk mencapai kemandirian pelaku UMK, diperlukan peningkatan keberdayaan mereka melalui proses pemberdayaan.

Selama ini penelitian yang berkaitan dengan pemberdayaan, keberdayaan,

(25)

Tabel 1 Identifikasi beberapa penelitian terkait dengan pemberdayaan, keberdayaan dan kemandirian pelaku usaha mikro dan kecil

No. Peneliti, tahun dan

jenis penelitian Judul penelitian Topik penelitian Kontribusi penelitian

1. FX. Soebiyanto,

Pemberdayaan Pengusaha Kecil Melalui Bantuan Kredit dan Pendampingan (Kasus Peserta Proyek P4K di Kabupaten Bogor)

Pemberdayaan pengusaha kecil

Strategi pemberdayaan yang efektif dalam peningkatan kapasitas pengrajin kecil

Strategi penyuluhan dalam pengembangan kemandirian Produksi Perum Perhutani Unit I Provinsi Jawa Tengah)

Pemberdayaan masyarakat

Model dan strategi pemberdayaan masyarakat

(26)

ditemukan hubungan keberdayaan dan kemandirian, seperti yang dapat dimaknai dari pemikiran Covey (2013) dan Sumardjo (2010 dan 2012a), bahwa keberdayaan menuju kemandirian merupakan suatu kontinum kematangan (perkembangan bertahap) perilaku individu, kelompok, atau masyarakat yang dihasilkan dari pemberdayaan sebagai proses. Dari pemikiran Sumardjo (2010 dan 2012b) terkandung hipotesis bahwa kemandirian hanya mungkin diwujudkan dari masyarakat yang berdaya. Penelitian ini mengkaji pengembangan kemandirian pelaku UMK serta membuktikan hubungan antara keberdayaan dan kemandirian sebagai suatu perkembangan kematangan perilaku yang kontinum. Perkembangannya bermula dari pemberdayaan terhadap pelaku UMK yang tidak berdaya (tergantung atau apatis) untuk mewujudkan pelaku UMK yang berdaya, selanjutnya diberdayakan menjadi pelaku UMK yang mandiri.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara akademis maupun secara praktis. Secara akademis, penelitian ini diharapkan menjadi proses pembelajaran dalam mensintesis model pemberdayaan untuk mewujudkan keberdayaan menuju kemandirian, yang didasarkan kepada analisis teoritik dan empirik. Kemudian hasil penelitian ini diharapkan akan berguna sebagai tambahan referensi tentang keberlakuan konsep atau teori tentang pemberdayaan yang sudah ada. Secara praktis, hasil penelitian diharapkan dapat berguna sebagai salah satu sumber informasi bagi pihak-pihak yang berminat dan terkait dengan pemberdayaan dalam upaya meningkatkan kemandirian pelaku UMK. Selanjutnya hasil penelitian ini diharapkan pula berguna sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah dan dunia usaha dalam rangka merumuskan kebijakan dan program tentang pengembangan UMK melalui TSP.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam ruang lingkup penelitian perilaku dalam perspektif ilmu penyuluhan pembangunan dengan fokus kajian pada pemberdayaan pelaku UMK dalam implementasi TSP untuk mewujudkan keberdayaan menuju kemandirian mereka dalam berusaha. Peubah penelitian terdiri dari: karakteristik individu pelaku UMK, pemberdayaan pelaku UMK dalam implementasi TSP, kualitas lingkungan pendukung UMK, keberdayaan dan kemandirian pelaku UMK.

(27)

memenuhi kebutuhan dan meraih keberhasilan dalam berusaha; dan perlindungan (representasi), yaitu proses interaksi dengan pihak eksternal atas nama dan kepentingan pelaku UMK, seperti: menyediakan jasa konsultasi, menemukan sumber-sumber daya, meningkatkan hubungan dan membangun jaringan kerja. Lingkungan pendukung UMK, terdiri dari aspek-aspek yang dapat mendukung perkembangan UMK, meliputi: ketersediaan sumber daya informasi, sumber daya modal, jaringan transportasi, jaringan pemasaran dan kebijakan pemerintah.

Keberdayaan pelaku UMK merupakan kondisi perilaku (aspek kognitif, afektif, dan psikomotor yang menunjukkan kemampuannya dalam memilih dan mengelola usaha sesuai dengan potensi diri dan kehendaknya sendiri bebas dari segala subordinasi pihak lain yang terefleksikan dari: (a) proaktif (kemampuan mewujudkan kebebasan dalam menentukan keputusan dan tindakan, mengambil inisiatif dan bertanggung jawab atas setiap keputusan dan tindakan yang diambil dalam berusaha; (b) kepemimpinan personal (kemampuan menetapkan visi dan misi usaha, menghadapi dan menemukan solusi dari setiap permasalahan, serta mengambil pelajaran dari setiap kegagalan yang dialami dalam berusaha; dan (c) kemampuan manajemen usaha (kemampuan merencanakan, mengakses dan mengelola sumber daya permodalan dan mengakses jaringan pemasaran, mengelola proses produksi dan mengendalikan keuangan perusahaan.

Kemandirian pelaku UMK adalah kondisi perilaku (aspek kognitif, afektif dan psikomotor) yang menunjukkan kemampuan mereka dalam memilih dan mengelola usahanya sesuai dengan kehendaknya sendiri disertai dengan kemampuan untuk bekerjasama dengan para pemangku kepentingan yang bersifat saling membutuhkan, saling menghargai, saling mempercayai, dan saling menguntungkan dalam kesetaraan atau kesamaan derajat. Peubah ini direfleksikan oleh: kemampuan bermitra, berkomunikasi empatik, bersinergi, antisipatif, modernitas, dan daya saing.

Penelitian ini terdiri dari tiga rangkaian. Pertama, profil TSP, lingkungan pendukung dan karakteristik pelaku UMK; yang bertujuan untuk menganalisis implementasi TSP, kualitas lingkungan pendukung UMK dan karakteristik pelaku UMK yang menjadi mitra binaan perusahaan dalam implementasi TSP.

Kedua, pemberdayaan pelaku UMK dalam implementasi TSP, yang bertujuan menganalisis intensitas pemberdayaan, tingkat keberdayaan dan faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat keberdayaan pelaku UMK mitra binaan perusahaan.

Ketiga tentang strategi pengembangan kemandirian pelaku UMK dalam implementasi TSP; bertujuan untuk menganalisis tingkat kemandirian pelaku UMK, faktor-faktor dominan yang mempengaruhi kemandirian pelaku UMK dan merumuskan strategi pengembangan kemandirian pelaku UMK dalam implementasi TSP.

(28)

2 TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN METODE PENELITIAN

Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka merupakan kajian deduktif mengenai konsep-konsep dan teori-teori utama yang dijadikan landasan dalam melakukan studi, terdiri dari: konsep usaha ekonomi mikro dan kecil; teori pengembangan masyarakat yang mencakup konsep pemberdayaan, keberdayaan, kemandirian; pelaku usaha mikro dan kecil; dan teori tanggungjawab sosial perusahaan. Secara ringkas landasan konsep dan teori dimaksud dikemukakan sebagai berikut.

Usaha Mikro dan Kecil

Bank Dunia (2008) menjelaskan UMK dengan membuat klasifikasi sebagai berikut: (1) Micro Enterprise (Usaha Mikro), dengan kriteria:jumlah karyawan kurang dari 10 orang, pendapatan setahun tidak melebihi US$ 100 ribu; dan jumlah aset tidak melebihi US$ 100 ribu; dan (2) Small Enterprise (Usaha Kecil), dengan kriteria: jumlah karyawan kurang dari 30 orang, pendapatan setahun tidak melebihi US$ 3 juta, dan jumlah aset tidak melebihi US$ 3 juta.

European Commision (Noorinasab & Yadav 2014) memberikan penjelasan UMK berdasarkan kriteria jumlah karyawan, pendapatan per tahun dan jumlah aset. Usaha Mikro (Micro-sized Enterprise), dengan kriteria: jumlah karyawan kurang dari 10 orang, pendapatan setahun tidak melebihi US$ 2 juta, dan jumlah aset tidak melebihi US$ 2 juta.Usaha Kecil (Small-sized Enterprise), dengan kriteria: jumlah karyawan kurang dari 50 orang, pendapatan setahun tidak melebihi US$ 10 juta, dan jumlah aset tidak melebihi US$ 13 juta.

Badan Pusat Statistik (BPS) memberikan definisi UKM berdasarkan kuantitas tenaga kerja. Dalam hal ini usaha kecil merupakan entitas usaha yang memiliki jumlah tenaga kerja 5 sampai dengan 19 orang, sedangkan usaha menengah merupakan entitas usaha yang memiliki tenaga kerja 20 sampai dengan 99 orang (BI 2011).

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), Usaha Mikro (UM) adalah usaha produktif milik orang perorangan dan atau badan usaha perorangan dengan kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Usaha Kecil (UK) adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar dengan kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah) (Pemerintah Republik Indonesia 2008).

Usaha Mikro dan Kecil (UMK) di Indonesia terdapat di berbagai sektor ekonomi, seperti: pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan, pertambangan dan penggalian; industri pengolahan, bangunan, perdagangan, hotel, dan restoran,

(29)

pengangkutan dan komunikasi, persewaan dan jasa keuangan. Umumnya UMK memiliki keunggulan dalam bidang yang memanfaatkan sumberdaya alam dan padat karya, seperti: pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan,perikanan, perdagangan dan restoran, dan industri kerajinan rumah tangga. Usaha menengah memiliki keunggulan dalam penciptaan nilai tambah di sektor hotel, keuangan, persewaan, jasa perusahaan dan kehutanan. Usaha besar memiliki keunggulan dalam industri pengolahan, listrik dan gas, komunikasi dan pertambangan. Hal ini membuktikan usaha mikro, kecil, menengah dan usaha besar di dalam praktiknya saling melengkapi (Kuncoro & Supomo 2003).

Bertitik tolak dari berbagai pengertian dan karakteristik UMK yang telah dikemukakan, maka dalam penelitian ini pengertian UMK dan karakternya mengacu kepada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Secara ringkas, kriteria UMK dimaksud disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Kriteria usaha mikro dan kecil

Jenis Usaha

Kriteria Utama

Pemilik Jumlah kekayaan

bersih* (Rp)

Hasil penjualan per tahun (Rp)

Usaha Mikro

Orang perorangan atau badan usaha perorangan

Maksimum 50 juta Maksimum 300 juta

Usaha Kecil

Orang perorangan atau badan usaha yang bukan cabang usaha menengah atau usaha besar

>50 juta – 500juta >300juta -2,5 milyar

Keterangan : * di luar tanah dan bangunan

Sumber : Undang-Undang nomor 20 tahun 2008 tentang usaha mikro, kecil dan menengah

Dalam kegiatan pertanian, wujud UMK ini adalah kegiatan ekonomi yang dijalankan oleh petani gurem, peternak, dan nelayan kecil; sedangkan dalam kegiatan perdagangan dan industri, wujud UMK adalah kegiatan ekonomi yang dilaksanakan oleh pedagang kecil atau pedagang eceran, pengrajin industri rumah tangga, sektor informal kota, lembaga keuangan mikro, dan sejenisnya.

Peran Usaha Mikro dan Kecil dalam Pembangunan

(30)

penciptaan lapangan kerja, dan pengentasan kemiskinan (Pemerintah Republik Indonesia 2008).

Tambunan (2010) menjelaskan bahwa UMK memiliki peranan penting dalam pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, tidak hanya di negara sedang berkembang tetapi juga di negara-negara maju. Di negara maju, UMK memiliki peran penting tidak hanya untuk menyerap tenaga kerja paling banyak tetapi juga berkontribusi terhadap pembentukan dan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) paling besar dibandingkan dengan kontribusi usaha besar (UB). Di negara sedang berkembang, UMK sangat berperan penting dalam penciptaan kesempatan kerja dan sumber pendapatan masyarakat miskin, distribusi pendapatan dan pengurangan kemiskinan dan pembangunan perdesaan.

Abort et al. (2010) mengungkapkan bahwa UMK berperan sebagai pencipta lapangan kerja yang efisien dan produktif, merupakan benih bisnis besar, dan bahan bakar bagi mesin ekonomi nasional. Pengembangan UMK dapat mendorong proses desentrtalisasi antar dan inter-regional dan menjadi kekuatan penyeimbang ekonomi perusahaan yang lebih besar. Lebih jauh, pengembangan UKM dipandang sebagai mempercepat pencapaian tujuan-tujuan ekonomi dan sosial-ekonomi yang lebih luas, termasuk pengentasan kemiskinan.

Secara spesifik Purwanto (2007) menegaskan bahwa UMK memiliki pontensi yang besar untuk dapat membantu pemerintah mengentaskan kemiskinan di Indonesia. Potensi tersebut antara lain adalah memberi kesempatan kerja bagi jutaan penduduk Indonesia yang tidak tertampung pada sektor formal atau usaha besar, penciptaan Produk Domestik Bruto, dan mendorong ekspor.

Usaha kecil dan menengah telah dipandang memiliki peran sebagai mesin pertumbuhan ekonomi dan untuk mempromosikan pemerataan pembangunan. Keuntungan utama dari sektor ini adalah memiliki potensi lapangan kerja dengan biaya modal yang rendah. Intensitas tenaga kerja dari sektor UMK jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan besar. Sektor ini menjadi persemaian kewirausahaan, yang sering didorong oleh kreativitas dan inovasi individu (Ayanda & Laraba 2011).

(31)

Selanjutnya Muritala et al. (2012) menjelaskan bahwa UMK memiliki peran dalam memberikan berbagai dukungan. Pertama, kompetensi daya tahan dan kewirausahaan usaha kecil, sehingga memiliki manfaat eksternal bagi perekonomian yang efisien secara luas. Kedua, dengan tersedianya dukungan keuangan dan perbaikan kelembagaan UMK akan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Berbagai pendapat menunjukan keyakinan bahwa pengembangan UKM mampu meningkatkan pertumbuhan lapangan kerja melebihi kemampuan perusahaan besar, antara lain karena UKM lebih padat karya, dengan demikian sekaligus menjadi alat pengentasan kemiskinan.

Menurut Tambunan (2013), perspektif dunia sudah mengakui bahwa UMK memainkan peran vital dalam pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, terutama karena sifatnya yang padat modal, berbasis sumber daya lokal dan penyedia kebutuhan pokok masyarakat, terutama bagi masyarakat berpendapatan rendah atau miskin.

Dari berbagai pemikiran di atas dapat disimpulkan bahwa UMK memiliki peranan penting dalam pembangunan, meliputi: pencipataan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan; pengembangan kewirausahaan; pertumbuhan dan pemerataan pembangunan ekonomi; peningkatan dan pemerataan pendapatan, mewujudkan struktur ekonomi yang seimbang, berkembang, dan berkeadilan.

Manajemen Usaha Mikro dan Kecil

Manajemen pada dasarnya merupakan kegiatan orang dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Terry & Leslie 2003). Dalam kontek UMK, manajemen usaha adalah kegiatan pelaku UMK dengan memanfaatkan sumber daya produktif, seperti: manusia, informasi, uang, material, peralatan untuk mencapai tujuan berusaha yang telah ditentukan oleh pelaku UMK yang bersangkutan. Manajeman UMK mencakup enam kegiatan utama: pengambilan keputusan, perencanaan usaha, pemasaran, permodalan, proses produksi dan pengelolaan tenaga kerja (DitPK2 2010).

Pembuatan keputusan

Pembuatan keputusan (decision making) dalam berusaha merupakan proses memilih alternatif tertentu dari beberapa alternatif yang ada mengenai segala sesuatu terkait dengan usaha yang akan dijalankan. Pengambilan keputusan sangat penting bagi setiap pelaku usaha agar ia mampu keluar dari permasalahan dan memanfaatkan setiap peluang usaha yang tersedia untuk meningkatkan kemajuan atau keberhasilan usahanya (Suryana 2003).

(32)

akurat, dengan cara: mencari, memilih dan menganalisis data yang dijadikan dasar untuk pengambilan keputusan. Banyak faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan, di antaranya motivasi, persepsi, dan proses belajar.

Perencanaan Usaha

Perencanaan usaha pada dasarnya merupakan penetapan tujuan usaha yang ingin dicapai disertai dengan pemilihan upaya-upaya untuk mencapai tujuan usaha tersebut. Suatu perencanaan usaha yang baik pada umumnya memiliki beberapa sifat berikut: (1) fokus, artinya perencanaan dibuat berdasarkan visi dan misi tertentu dan tujuan yang jelas; (2) rasional dan faktual, artinya perencanaan usaha dibuat berdasarkan pemikiran yang masuk akal, realistik, berorientasi masa depan, serta didukung oleh fakta-fakta yang ada; (3) berkesinambungan dan estimasi, berarti perencanaan usaha dibuat dan dipersiapkan untuk tindakan yang berkelanjutan serta pikiran tentang kondisi di masa depan; (4) preparasi dan fleksibel, artinya perencanaan usaha dibuat untuk persiapan, yaitu pedoman dalam melaksanakan tindakan-tindakan yang akan dilaksanakan dan disesuaikan dengan lingkungan bisnis yang dihadapi; (5) operasional, mengandung arti perencanaan usaha disusun secara rinci dan dapat dilaksanakan (Djamin 2004).

Sebagai suatu proses, perencanaan usaha dilakukan dalam serangkaian langkah-langkah, yang terdiri dari: (1) pengidentifikasian peluang usaha, (2) penentuan jenis usaha yang akan dilaksanakan, (3) pelaksanaan studi kelayakan, dan (4) penyusunan proposal usaha. Pengidentifikasian peluang usaha dilakukan melalui pengamatan terhadap potensi suatu produk laku dijual dan menguntungkan. Potensi ini akan terjadi apabila permintaan akan suatu produk dengan kualitas dan keunikan tertentu tersebut lebih besar dibandingkan penawarannya. Dengan demikian dapat dikatakan peluang untuk mengusahakan produk tertentu dapat diidentifikasi dari permintaan akan produk tersebut (Djamin 2004).

Pengelolaan Pemasaran

Menurut Kotler dan Armstrong (2008) pemasaran merupakan proses sosial dan manajerial dimana pribadi atau organisasi memperoleh apa yang mereka butuhkan dan inginkan melalui penciptaan dan pertukaran nilai dengan yang lain.

Pada usaha kecil, pemasaran sebagai proses dilaksanakan dalam enam tahapan, yakni terdiri dari: analisis kesempatan pasar, pemilihan pasar sasaran, pemosisian produk, bauran pemasaran, pengembangan sistem pemasaran, dan penerapan rencana dan pengendaliannya (DitPK2 2010).

(33)

dibandingkan penawarannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peluang untuk mengusahakan produk tertentu dapat diidentifikasi dari permintaan akan produk tersebut.

Pemilihan pasar sasaran merupakan upaya memilih segmen pasar yang akan menjadi sasaran pemasaran produk yang akan dipasarkan. Pemilihan segmentasi pasar, adalah membagi-bagi pasar (konsumen) yang bersifat heteregon dari suatu produk ke dalam satuan-satuan pasar yang bersifat homogen. Satuan pasar yang bersifat homogen, dimaksudkan sebagai kelompok konsumen yang memiliki ciri-ciri yang sama. Penentuan segmentasi pasar akan memudahkan pelaku usaha menyusun kegiatan pemasaran yang dapat menghemat biaya pemasaran dan meningkatkan penjualan.

Pemosisian produk adalah kegiatan pelaku usaha untuk mengkomunikasikan produknya kepada pemikiran konsumen, sehingga konsumen dapat melihat bahwa produk pelaku usaha ini berbeda dengan produk yang dipasarkan oleh pelaku usaha yang lain. Keberhasilan pemosisian produk ini sangat ditentukan oleh kemampuan pelaku usaha untuk mendiferensiasikan dirinya secara efektif dibandingkan dengan para pesaingnya, yaitu dengan menyampaikan atau memberi nilai superior, berupa produk yang berkualitas, pelayanan yang baik, pelaku usaha yang profesional, dan citra yang baik. Cara pemosisian produk dapat dilakukan melalui: pemberian ciri-ciri yang unik, mempromosikan manfaat produk, kualitas tinggi dengan harga terjangkau, mengaitkan pengguna produk dengan tokoh terkenal, posisi melawan pesaing, dan dikaitkan dengan macam produk lain.

Bauran pemasaran, merupakan campuran variabel-variabel pemasaran yang dapat dikendalikan yang digunakan oleh pelaku usaha untuk memperoleh tingkat penjualan yang diinginkan. Bauran pemasaran ini terdiri dari empat unsur utama, yaitu: (1) produk, (2) harga, (3) saluran pemasaran, dan (4) promosi (DitPK2 2010).

Produk adalah apa saja yang ditawarkan oleh pelaku usaha di pasar untuk mendapatkan perhatian, permintaan, pemakaian, atau konsumsi yang dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan. Oleh karenanya produk itu dapat berwujud benda fisik, jasa, tempat organisasi atau gagasan.

Harga adalah jumlah uang yang dibutuhkan oleh konsumen untuk mendapatkan sejumlah kombinasi dari produk dan pelayanan yang maksimal. Agar sukses memasarkan produk, setiap pelaku usaha harus menetapkan harga secara tepat dan kompetitif. Penetapan harga suatu produk bertujuan untuk memperoleh laba atau keuntungan yang memuaskan dan manfaat bukan laba yaitu berupa upaya untuk memperbaiki dan mempertahankan stabilitas harga pesaingnya, kepuasan konsumen dan mencapai target pengembalian investasi. Harga jual produk dapat ditetapkan dengan dua metode, terdiri dari: (1) metode penambahan, yaitu harga jual ditentukan sama dengan jumlah biaya per unit barang ditambah dengan sejumlah laba tertentu yang diinginkan; dan (2) metode titik impas, yaitu penetapan harga dengan menggunakan harga tertentu dengan harapan untuk mengembalikan dana tertanam dalam investasi.

(34)

ditawarkan kurang kompetitif. Sebaliknya saluran pemasaran yang terlalu pendek menyebabkan penyampaian produk tidak efektif, artinya kurang mampu menjangkau konsumen yang lebih luas.

Promosi adalah berbagai kegiatan yang dilakukan oleh pelaku usaha sebagai produsen untuk mengkomunikasikan manfaat dari produknya, membujuk, dan mengingatkan para konsumen sasaran agar membeli produk tersebut (Kotler & Armstrong 2008).

Pengelolaan Permodalan

Pengelolaan modal usaha meliputi dua tugas utama, yaitu mengalokasikan modal dalam bentuk dana untuk membiayai usaha dan kegiatan mencari sumber-sumber modal usaha. Alokasi dana dalam usaha adalah menginvestasikan dana untuk pengadaan aset tetap dan aset lancar. Aset tetap, meliputi: tanah, bangunan, peralatan, kendaraan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi; sedangkan aset lancar, terdiri dari: dana kas, dana pembayaran upah, piutang, dan persediaan (DitPK2 2010).

Sumber permodalan dalam menjalankan usaha terdiri dari: sumber internal perusahaan atau modal yang berasal dari pemilik atau pelaku usaha dan modal eksternal atau modal yang berasal dari luar pelaku usaha. Modal bersumber dari internal pelaku usaha diambil dari penyisihan laba atau laba di tahan dan modal sendiri pelaku usaha. Sedangkan modal eksternal diperoleh dari utang perusahaan kepada pihak luar perusahaan seperti bank dan lembaga keuangan lainnya. Penggunaan modal dan pencarian sumber permodalan haruslah dipilih dengan kriteria efektif dan efisien (DitPK2 2010).

Pengelolaan Produksi

(35)

Pengelolaan Tenaga Kerja

Pengelolaan tenaga kerja adalah upaya meningkatkan kontribusi produktif tenaga kerja terhadap perusahaan yang dilakukan dengan berpegang teguh kepada prinsip dan melaksanakan fungsi administratif dan fungsi operasional. Dengan demikian, tujuan pengelolaan tenaga kerja adalah meningkatkan kontribusi atau sumbangan produktifnya terhadap perusahaan yang meliputi: (1) komitmen tenaga kerja terhadap perusahaan dalam wujud kesetiaan dan ketaatan tenaga kerja dengan penuh tanggung jawab akan perusahaan; (2) menghasilkan tenaga kerja dengan berproduktivitas tinggi; (3) meningkatkan kompetensi tenaga kerja; (4) mewujudkan iklim kerja yang kondusif (DitPK2 2010).

Karakteristik Individu

Menurut Rogers dan Shoemaker (1995) dan Spencer dan Spencer (1993), karakteristik individu merupakan bagian dari individu yang melekat pada diri seseorang yang mendasari tingkah laku orang tersebut yang dibutuhkan dalam suatu kriteria atau situasi tertentu.

Mardikanto (1993) mengatakan bahwa karakteristik individu ialah sifat-sifat yang melekat pada diri seseorang dan berhubungan dengan aspek kehidupan, antara lain: umur, jenis kelamin, posisi, jabatan, status sosial dan agama. Lionberger dan Gwin (1982) menyatakan bahwa karakteristik individu atau personal faktor yang perlu diperhatikan adalah: umur, tingkat pendidikan dan karakter psikologis.

Kemudian Rogers (1969) dan Salkind (1985) mengemukakan bahwa dalam proses pemberdayaan masyarakat tidak bisa terlepas dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal individu masyarakat antara lain: Umur, pendidikan, jenis kelamin, jumlah tanggungan, status sosial ekonomi dan pengalaman masa lalu.

Dalam konteks kewirausahaan, faktor-faktor yang akan mempengaruhi perilaku wirausaha adalah (1) karakteristik biologis yang meliputi: umur, jenis kelamin, pendidikan; (2) latar belakang wirausaha, yang terdiri dari: pengalaman berusaha, alasan berusaha, dan keluarga; dan (3) motivasi, sebagai dorongan kuat untuk melakukan suatu usaha, seperti: ketekunan, kegigihan dan kemauan keras untuk berhasil (Bird 1996).

Berdasarkan pemikiran di atas, karakteristik individu di dalam penelitian ini dirumuskan sebagai bagian dari individu yang melekat pada dirinya dan berhubungan dengan aspek kehidupan, terdiri dari unsur-unsur: umur, pendidikan, pengalaman, dan motivasi. Selanjutnya masing-masing karakteristik tersebut akan diuraikan sebagai berikut.

(36)

memiliki pengalaman dan pendidikan yang lebih tinggi sehingga menentukan keberhasilannya dalam berusaha.

Menurut Havighurst (1974) usia dapat menjadi tanda dari suatu perkembangan. Usia terkait dengan tugas pengembangan, proses belajar, kelangsungan hidup serta berbagai aspek yang melatar belakanginya. Lebih lanjut Schemerhorn et al.1997 menjelaskan bahwa usia seseorang berhubungan dengan kemampuan dan kemauan belajar dan fleksibilitas. Banyak orang beranggapan bahwa usia tua berhubungan dengan kepikunan. Hal ini berbeda dengan pada masing-masing individu.

Pendidikan.--Gonzales (Jahi 1988) merangkum pendapat beberapa ilmuwan bahwa pendidikan merupakan suatu faktor yang menentukan dalam mendapatkan pengetahuan. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, dinyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Kemudian, menurut Undang-Undang ini pendidikan dikelompokkan menjadi: pendidikan formal, pendidikan non formal, dan pendidikan informal. Pendidikan formal adalah pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.

Faisal (1981) mengemukakan pendidikan formal adalah sistem persekolahan, dengan ciri-ciri, terstandarisasi: legalitas formalnya, jenjangnya, lama belajarnya, paket kurikulumnya, persyaratan usia dan tingkat pengetahuan peserta didik, persyaratan pengelolaannya, prosedur evaluasi belajar, perolehan dan keberartian ijazahnya.

Tambupolon (Farid 2008) menyatakan bahwa pendidikan non formal adalah kegiatan pendidikan di luar sistem pendidikan formal dan bertujuan untuk mengubah perilaku masyarakat dalam arti luas. Pendidikan non formal merupakan jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat guna meningkatkan kemampuan menerapkan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh peserta didik dari lingkungan pendidikan formal ke dalam lingkungan pekerjaan praktis di masyarakat. Sasaran pendidikan non formal mencakup semua kelompok umur dan semua sektor masyarakat.

Menurut Blanckenburg (1988) pendidikan non formal adalah setiap kegiatan pendidikan yang diorganisir dan sistematis, yang dilaksanakan di luar jaringan sistem pendidikan formal untuk menyediakan tipe pelajaran yang dipilih untuk sub-kelompok tertentu dalam masyarakat, baik bagi orang dewasa maupun anak-anak. Berdasarkan definisi yang demikian, penyuluhan pertanian dan program latihan petani adalah latihan keterampilan pekerja di luar sistem formal, kelompok belajar pemuda dengan tujuan pendidikan pokok, dan berbagai program pengajaran kemasyarakatan. Demikian pula Supriatna (1997) mengemukakan bahwa pendidikan non formal dapat berupa penyuluhan, penataran, kursus, maupun latihan keterampilan teknis lainnya, yang bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan dan keterampilan anggota masyarakat.

(37)

kewirausahaan (Bird 1996). Pengalaman seseorang bertambah sejalan dengan bertambahnya usia. Pengalaman dapat diukur secara kuantitatif berdasarkan lama seseorang dalam berusaha; serta pengalaman yang bersifat kualitatif. Konsekuensi masa depan ditentukan oleh pengalaman masa lalu, dampak dari pengalaman, serta pengamatan seseorang terhadap yang lain (Bandura 1986).

Selanjutnya Bird (1996) menjelaskan bahwa pengalaman seseorang dapat diperoleh melalui: pekerjaan yang ditekuni, pendidikan dan pendewasaan. Apabila dibandingkan dengan pendidikan, pengalaman kerja merupakan penentu yang lebih besar terhadap proses pengambilan keputusan, kinerja, dan perilaku.

Motivasi.--Secara etimologis, motivasi berasal dari kata Latin movere, yang berarti dorongan atau menggerakan (Sedarmayanti 2000 dan Hasibuan 2006). Kemudian, Sedarmayanti (2000) merumuskan pengertian motivasi sebagai suatu daya pendorong (driving force) yang menyebabkan orang berbuat sesuatu atau diperbuat karena takut akan sesuatu. Perbuatan atau tindakan dimaksud dapat berarti kerja keras untuk lebih berprestasi, menambah keahlian, sumbang saran, dan lain-lain.

Gibsons dalam Winardi (2001) mengungkapkan bahwa motivasi merupakan sebuah konsep yang kita gunakan apabila kita menerangkan kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi seseorang individu, atau yang ada dalam diri individu itu, yang menginisiasi dan mengarahkan perilaku individu tersebut.

Selanjutnya, Gray dalam Winardi (2001) mengemukakan bahwa motivasi adalah hasil sejumlah proses yang bersifat internal, atau eksternal bagi seseorang individu, yang menyebabkan timbulnya sikap entusiasme dan persistensi, dalam hal melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu.

Sutikno (2008) mengemukakan bahwa ada tiga komponen utama dalam motivasi, yaitu: (1) kebutuhan, (2) dorongan, dan (3) tujuan. Kebutuhan terjadi bila individu merasa ada ketidakseimbangan antara apa yang dimiliki dan yang ia harapkan. Dorongan merupakan kekuatan mental untuk melakukan kegiatan dalam rangka memenuhi harapan. Dorongan yang berorientasi tujuan tersebut merupakan inti dari motivasi.

Lingkungan Pendukung Usaha

Dalam memulai dan mengembangkan usaha, setiap pelaku usaha memerlukan intensi usaha, yaitu proses pencarian informasi yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan pembentukan suatu usaha. Seseorang dengan intensi untuk memulai usaha akan memiliki kesiapan dan kemajuan yang lebih baik dalam usaha yang dijalankan dibandingkan seseorang tanpa intensi untuk memulai usaha (Katz & Gartner 1988). Seperti yang dinyatakan oleh Krueger dan Carsrud (1993), intensi kewirausahaan telah terbukti menjadi prediktor yang terbaik bagi perilaku kewirausahaan.

(38)

Akses kepada modal merupakan hambatan klasik terutama dalam memulai usaha-usaha baru, setidaknya terjadi di negara-negara berkembang dengan dukungan lembaga-lembaga penyedia keuangan yang tidak begitu kuat (Indarti dalam Indarti & Rostiani 2008). Studi empiris terdahulu menyebutkan bahwa kesulitan dalam mendapatkan akses modal, skema kredit dan kendala sistem keuangan dipandang sebagai hambatan utama dalam kesuksesan usaha menurut calon-calon wirausaha di negara-negara berkembang (Marsden 1992; Meier & Pilgrim 1994; Steel 1994 dalam Indarti & Rostiani 2008). Di negara-negara maju di mana infrastruktur keuangan sangat efisien, akses kepada modal juga dipersepsikan sebagai hambatan untuk menjadi pilihan wirausaha karena tingginya hambatan masuk untuk mendapatkan modal yang besar terhadap rasio tenaga kerja di banyak industri yang ada. Hasil penelitian menunjukkan bahwa akses kepada modal menjadi salah satu penentu kesuksesan suatu usaha (Kristiansen et al. 2003; Indarti dalam Indarti & Rostiani 2008).

Ketersediaan informasi usaha merupakan faktor penting yang mendorong keinginan seseorang untuk membuka usaha baru (Indarti dalam Indarti & Rostiani 2008) dan faktor kritikal bagi pertumbuhan dan keberlangsungan usaha (Duh 2003; Kristiansen 2002; Mead & Liedholm 1998; Swierczek & Ha 2003 dalam Indarti & Rostiani 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Singh dan Krishna (1994) dalam Indarti & Rostiani (2008) di India membuktikan bahwa keinginan yang kuat untuk memperoleh informasi adalah salah satu karakter utama seorang wirausaha. Pencarian informasi mengacu pada frekuensi kontak yang dibuat oleh seseorang dengan berbagai sumber informasi. Hasil dari aktivitas tersebut sering tergantung pada ketersediaan informasi, baik melalui usaha sendiri atau sebagai bagian dari sumber daya sosial dan jaringan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perkembangan usaha akan ditentukan oleh tiga faktor utama. Salah satu diantaranya adalah faktor lingkungan yang dicerminkan oleh tiga elemen penting, yaitu: akses terhadap permodalan, akses terhadap sumber informasi, dan jaringan sosial.

Gambar

Gambar 2 Hubungan antar peubah penelitian dalam model pengembangan
Tabel 3  Paradigma pemberdayaan pelaku UMK
Tabel 4  Paradigma keberdayaan pelaku UMK
Tabel 5 Paradigma kemandirian pelaku UMK
+7

Referensi

Dokumen terkait

Efendi ± Rohidin Mersyah sebagai pasangan calon bupati dan calon wakil bupati dalam pemungutan suara ulang Pemilukada Kabupaten Bengkulu Selatan tahun 2010. h)

Dengan berpedoman dari persoalan diatas menurut peneliti banyak pola menabung para masyarakat khususnya lagi pada masyarakat desa karang bunga, mereka mempunyai beragam

Tes berupa pilihan ganda dengan reasoning terbuka sebanyak 17 soal dilakukan bertujuan untuk menggali bentuk miskonsepsi yang dialami oleh siswa pada materi bentuk

Untuk meningkatkan pelayanan kesehatan yang memenuhi syarat hygiene sanitasi dan kesehatan lingkungan pada BP4 Medan disarankan kepada Kepala BP4 Medan untuk memperbaiki

Dari nilai kredit yang diperoleh dapat dilihat kondisi suatu bank secara umum bila telah digabungkan dengan komponen yang lainnya dalam rasio CAMEL.Bobot nilai kredit

kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai pusat kegiatan. industri dan jasa skala nasional atau yang melayani

Subjek penelitian ini adalah mahasiswa Program Studi Cina Universitas Indonesia peserta mata kuliah Bahasa Cina (BC) V dan BC VI tahun ajar 2014/2015 sampai

Pengawasan merupakan fungsi yang harus dilakukan setelah perencanaan, pengelolaan dalam manajemen, begitu juga dalam pengelolaan pemungutan pajak daerah di Kota