• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemberlakuan FTA ASEAN-CHINA

Dalam dokumen Index of /enm/images/dokumen (Halaman 36-41)

Free Trade Agreement ASEAN – China Ancam Industri Dalam Negeri?

FTA ASEAN-China harus dipastikan sebagai keuntungan bagi kedua pihak. Tidak semata pertambahan pangsa pasar yang tidak seimbang. Bagi Indonesia, perjanjian itu mutlak mensyaratkan perbaikan infrastruktur dan perbaikan daya saing industri, jika kita tidak ingin tersisih.

Kesepakatan FTA tersebut akan berlaku mulai 1 Januari 2010 dimana biaya masuk barang impor dari negara-negara peserta menjadi 0%. Hal ini berpotensi menekan daya saing produk industri lokal mengingat harga produk China yang terkenal murah.

Perlu adanya penundaan mengingat sejumlah upaya peningkatan daya saing industri dalam negeri masih perlu ditingkatkan. Selain itu, Berbagai polemik seperti disorganisasi struktur, tingginya kandungan impor, lemahnya penguasaan teknologi, rendahnya kualitas sumber daya manusia, dan tingginya suku bunga perbankan menyebabkan industri manufaktur mengalami kemunduran.

Beberapa sektor industri manufaktur yang akan terpukul diantaranya adalah industri textil dan baja. “ Industri baja China sudah sangat terintegrasi, dari mulai hulu hingga hilir. Pemerintah China yang royal akan insentif dan proekspor membuat produk mereka bersaing di pasar international”, ungkap Dirjen Industri Logam, Mesin Textil, dan Aneka Departemen Perindustrian Ansari Bukhari. Sebaliknya, industri baja nasional justru berhadapan dengan mahalnya bahan baku hingga ketatnya persaingan harga di pasar lokal dan regional. Sama halnya dengan sektor textil yang dikhawatirkan produk dari China dapat membanjiri Indonesia.

Sementara itu Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perdagangan, Distribusi dan Logistik Benny Soetrisno mengatakan bahwa pemerintah perlu mereview ulang semua perjanjian Free Trade Agreement (FTA) dan menahan pembentukan FTA baru sebelum mendapatkan formula yang pas, agar kesepakatan tersebut tidak merugikan perdagangan dan industri dalam negeri.

"Selain itu perlu adanya percepatan SNI wajib untuk produk-produk manufaktur yang disepakati oleh produsen dengan mengadopsi standar negara lain, ini sebagai technical barrier dalam menghadapi FTA," ucap Benny.

Seperti diketahui Indonesia telah menyepakati perjanjian perdagangan bebas dalam kerangka ASEAN seperti dengan China, India. Bahkan dalam kerangka bilateral Indonesia telah mengimplementasikan perdagangan bebas dengan Jepang melalui Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJ-EPA).

Sementara itu, Mendag Mari E. Pangestu mengharapkan para pelaku usaha tidak terlalu mengkhawatirkan implementasi FTA Asean-China ini, sebab tidak semua produk akan

dibebaskan bea masuknya menjadi nol persen pada 2010. "Sudah ada prosesnya, tidak semua produk akan menjadi nol persen, ada yang tidak berubah," tutur Mari.

Pemerintah, lanjut dia, juga akan membantu para pelaku usaha seoptimal mungkin terkait persoalan-persoalan yang masih menghambat dalam implementasi FTA Asean-China ini.

Beberapa kesepakatan perjanjian perdagangan internasional termasuk perdagangan bebas (free trade agreement /FTA) telah disepakati oleh pemerintah. Namun DPR menilai kesepakatan tersebut belum memiliki dasar hukum bahkan yang celakanya lagi setiap, keputusan atau pertimbangan masih mengacu pada intuisi Menteri (Menteri Perdagangan).

"Perjanjian perdagangan yang kita lakukan dengan negara manapun nggak ada payung hukumnya. Hanya tergantung intuisi menterinya sendiri," kata anggota fraksi PKS Mukhamad Misbakhun dalam acara rapat dengar pendapat Kadin-Komisi VI, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (11/11/2009).

Ia menyarankan untuk menghadapi masalah ini, perlu adanya percepatan realisasi RUU Perdagangan. Nantinya RUU ini akan menjadi panduan dan dasar dalam menentukan kebijakan perdagangan termasuk perdagangan bebas dengan negara lain.

Disisi lain, penundaan FTA bisa jadi tidak dapat diterima mengingat FTA Asean-China dilakukan atas kesepakatan negara-negara anggota ASEAN. Direktur Kerja Sama Bilateral I Departemen Perdagangan Harmen Sembiring mengatakan bahwa yang bisa dilakukan saat ini adalah menyelaraskan standar produksi nasional sesuai dengan standar kualitas di pasar tujuan ekspor.

Sumber :

Stefanus Osa - Kompas

Jajang Sumantri - Media Indonesia Suhendra - Detik.com

er - Bisnis Indonesia

Publik Bersuara Pada Pemberlakuan AC-FTA

JAKARTA: Rencana penundaan implementasi Asean-China Free Trade Agreement (AC-FTA) untuk sejumlah komoditas berikut kompensasinya, telah dibahas intensif lintas departemen.

Pembahasan rencana penundaaan tersebut dilakukan menyusul adanya surat rekomendasi dari Komisi VI DPR merenegosiasikan karena Indonesia-untuk beberapa sektor-belum siap secara penuh untuk melaksanakan AC-FTA pada 1 Januari 2010.

"Penundaan beberapa sektor industri yang belum siap memang dimungkinkan mengacu pada fleksibilitas. Namun, harus diingat bahwa untuk penundaan itu harus ada kompensasinya," ungkap Deputi Menko Perekonomian Bidang Industri dan Perdagangan Edy Putra Irawady.

Sebelumnya Komisi VI DPR melayangkan surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk melakukan renegosiasi implementasi FTA Asean-China yang dijadwalkan efektif berlaku pada awal 2010.

DPR menilai Indonesia belum siap menerapkan liberalisasi perdagangan dengan China terkait untuk sektor tekstil, makanan dan minuman, petrokimia, alat-alat pertanian, alas kaki, sintetik fiber, elektronik, industri permesinan, jasa engineering, dan besi baja.

"Penundaan pelaksanaan kesepakatan perdagangan bebas dengan China tidak melanggar hukum maupun butir kesepakatan itu sendiri. Karena dalam dokumen kesepakatan framework FTA Asean-Chian pada Pasal 6 disebutkan adanya klausul modifikasi konsesi yang memungkinkan salah satu pihak untuk mengajukan menunda kesepakatan untuk sektor yang dianggap belum siap," kata Edy.

Sementara itu, Menperin MS Hidayat mengatakan bahwa ACFTA akan berdampak positif bagi kinerja ekspor jika ongkos produksi industri di dalam negeri bisa ditekan dan lebih kompetitif. "Yang penting, jangan sampai ACFTA menyebabkan orang malas menjadi industrialis karena memilih sebagai pedagang, itu sulit,”kata dia.

Oleh karenanya, pemerintah akan menyusun proposal modifikasi penurunan tariff sejumlah komoditas dalam perjanjian perdagangan bebas ASEAN-China. Menurut MS Hidayat, proposal tersebut ditargetkan selesai sebelum 1 Januari 2010 dan disampaikan kepada negara anggota ASEAN lainnya. Namun, kata dia, yang menjadi persoalan adalah proses pembicaraan masalah tersebut yang akan memakan waktu lama. Mengenai hal ini masih akan dipertajam kajiannya, sehingga ketika diajukan ke ASEAN, ada alasan yang kuat.

Selain mengajukan usulan modifikasi penurunan tarif atas 314 komoditas, pemerintah juga akan meningkatkan perlindungan terhadap pasar dalam negeri dari produk impor ilegal.

"High cost economy yang ditimbulkan akibat tingkat suku bunga dan penyelundupan harus bisa diselesaikan supaya daya saingnya bisa meningkat,”tuturnya. Hidayat menambahkan dengan turunnya tarif beberapa sekitar 9.000 komoditas impor Indonesia dari China pada 1 Januari 2010,maka akan semakin sulit untuk membedakan produk impor yang legal dengan yang ilegal."Yang berikutnya kita harus membuat rambu-rambu non tarif seperti safeguard dan dumping yang selama ini dianggap lembek dan tidak terlalu aktif oleh pengusaha,”katanya.

Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Industri, Riset dan Teknologi Rachmat Gobel meminta pemerintah memperbaiki berbagai aturan guna mendorong revitalisasi dan penerapan secara wajib standardisasi produk hasil industri.

Langkah itu perlu dilakukan sebagai upaya meningkatkan daya saing produk nasional dalam menghadapi AC-FTA. "Perlu iklim yang lebih kondusif agar pelaku industri mempunyai peluang lebih baik dalam menghadapi AC-FTA."

Menurut Rachmat, pemerintah juga harus segera mempercepat penerapan standardisasi produk untuk melindungi pasar dan industri lokal dari serbuan produk bermutu rendah.

"Standardisasi akan mendorong pelaku usaha meningkatkan kualitas produk. Instrumen ini sangat penting untuk menciptakan persaingan yang lebih sehat dan adil sekaligus membendung masuknya produk yang tidak berkualitas," ujarnya.

Kepala Pusat Studi Asia Pasifik Universitas Gadjah Mada Sri Adiningsih mengatakan, perjanjian perdagangan bebas Indonesia- China harus dikaji ulang. "Dari data BPS, perdagangan Indonesia- China dulunya surplus USD300 miliar. Namun sekarang defisit USD4 miliar,”terangnya. Defisit terbesar adalah di bidang nonmigas, namun yang dikhawatirkan terjadi kemudian adalah pengusaha Indonesia yang tidak bisa bersaing dengan produkproduk China akan gulung tikar atau mengurangi kapasitas produksinya. "Dikhawatirkan lagi, pengusaha kita akan membeli produk China dan menjualnya di dalam negeri.

Di sisi lain, untuk menghadapi AC-FTA, pemerintah fokus memperkuat peraturan-peraturan non tariff dan lembaga teknis. Akan dibuat peraturan-peraturan baru dan memperkuat peraturan lama. Selain itu, memperkuat lembaga teknis seperti BPOM dan badan karantina serta Permendag 56/2008 tentang ketentuam impor produk tertentu.

Terkait hal ini, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bidang Investasi dan Perhubungan Chris Kanter mengatakan, pemerintah akan membentuk gugus tugas (task force) untuk mengoordinasikan langkah-langkah yang akan dilakukan menghadapi ACFTA. "Sehingga, produk-produk mereka tidak seenaknya masuk,”pungkas Chris.

Dilansir dari berbagai media nasional Sandra Kirana-Seputar Indonesia

Damiana Ningsih-Investor daily Chamdan Purwoko-Bisnis Indonesia

Pemerintah Lindungi Industri Domestik dengan Kebijakan Nontarif

Pemerintah terus berupaya melindungi industri domestik saat kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA) diimplementasikan pada 1 Januari 2010. Beberapa industri yang belum siap ikut dalam FTA, pemerintah telah menyiapkan dua skenario untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Deputi Menko Perekonomian Bidang Perindustrian dan Perdagangan Mengatakan bahwa skenario pertama adalah pertukaran barang yang belum siap dengan barang yang sudah siap. Kedua, adalah penundaan waktu dan modifikasi interval tarif.

Beberapa instrumen non tarif yang akan digunakan pemerintah dalam mempertahankan daya saing produk Indonesia, antara lain adalah penggunaan Standar Nasional Indonesia, instrumen label halal, label berbahasa Indonesia, dan pengetatan pengawasan pasar.

Sementara itu, usul modifikasi yang disampaikan Departemen Perindustrian berupa penurunan tarif dengan pola sebagai berikut :

A.Sebanyak 200 pos tarif diturunkan secara bertahap dari 5% pada tahun 2010 menjadi 0% pada tahun 2015.

B.Sebanyak 27 pos tarif tetap bertahan 5% pada tahun 2010 sampai dengan tahun 2014 dan baru menjadi 0% pada tahun 2015.

Sekjen Depperin Agus Tjahjana mengatakan bahwa Depperin mempertimbangkan tiga faktor dalam memodifikasi pos tariff ACFTA, yaitu jumlah impor dalam lima tahun terakhir, kinerja industri terkait, dan visi industri ke depan.

Seluruh hasil kajian mengenai FTA akan difinalisasikan di kantor Menko Perekonomian dalam bentuk berkas negosiasi paling cepat pada awal tahun depan. stelah itu, berkas tersebut akan diajukan ke forum ASEAN-China.

Sementara itu, Menkeu Sri Mulyani Indrawati menegaskan pemerintah tetap mematuhi isi perjanjian ACFTA dengan tetap mengedepankan kebijakan non tarif sebagai upaya melindungi industri domestik. Menurutnya, hal ini akan dituangkan melalui peraturan Menteri keuangan.

Dilansir dari berbagi media nasional Oin-Kompas

Yusuf waluyo-Bisnis Indonesia Sandra Kirana-Seputar Indonesia

Dalam dokumen Index of /enm/images/dokumen (Halaman 36-41)

Dokumen terkait