• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONFLIK ACEH KONFLIK ACEH

C. Perlawanan Kaum Nasionalis Aceh

1. Pemberontakan Daud Beureueh

Setidaknya ada tiga alasan utama pemberontakan yang dipimpin oleh Daud Beureueh ini. Pertama, terkait dengan konsep dasar kenegaraan, terutama yang

berhubungan dengan dasar dan bentuk negara, sebelum kemerdekaan 17 Agustus 1945, wacana politik yang berkembang di kalangan para tokoh pejuang kemerdekaan saat itu adalah mengenai dasar negara yang akan didirikan (Latif, 2011:65). Para tokoh yang tergabung dalam BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), yang juga diwakili oleh kelompok Islam, pada 18 Agustus 1945 akhirnya menyetujui Pancasila sebagai Dasar Negara (Latif, 2011: 67-95).

Dengan ditetapkannya Undang-undang Dasar 1945 yang dalam Mukadimah tidak memuat tujuh kata dalam sila pertama seperti yang terdapat pada Piagam Jakarta, yaitu “ dengan kewajiban menjalanan syariat Islam bagi pemeluknya” pada 18 Agustus 1945, kelompok Islam merasa aspirasi mereka tidak terakomodasi dengan

baik dalam hal yang sangat prinsipil, yaitu dasar negara. Hal inilah yang menjadi awal mula kekecewaan tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan dari kelompok Islam.

Daud Beureueh sendiri pada mulanya dapat menerima realitas politik bahwa Indonesia yang baru didirikan berdasarkan Pancasila. Sekalipun rakyat Aceh menginginkan Negara yang berdasarkan Islam, para pemimpin Aceh mampu meyakinkan rakyatnya bahwa untuk saat itu, ketika Indonesia yang baru lahir masih menghadapi perjuangan fisik melawan Belanda, sebaiknya untuk sementara menerima dahulu dan mendukung Indonesia yang berdasarkan Pancasila sampai nanti diadakan pemilihan umum (Ibrahimy, 2001: 43).

Selain itu, kesediaan Daud Beureueh menerima konsep Negara Indonesia yang berasaskan Pancasila lebih disebabkan oleh janji Presiden Soekarno yang diucapkan pada kunjungannya yang pertamakali ke Aceh yakni memberikan kebebasan kepada Aceh dalam menjalankan syariat Islam dan otonomi khusus sesuai dengan syariat Islam (Santosa, 2006:142). Untuk menindaklanjuti janji Presiden Soekarno tersebut, pada 1949 beberapa tokoh Aceh menghadap Wakil Perdana Menteri Syafruddin Prawiranegara, yang saat itu juga menjadi Kepala Pemerintahan Darurat Republik Indonesia/PDRI guna mendesak Pemerintah Pusat guna membentuk Provinsi Aceh yang otonom dalam mengurus rumah tangganya sendiri. Akhirnya permintaan ini dikabulkan dengan dikeluarkannya Peraturan Wakil Perdana

Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No.

8/Des/WKPM 17 Desember 1949 yang menyataan Aceh sebagai Provinsi dan Daud Beureueh sebagai Gubernur (Kawilarang, 2010:154).

Keadaan berubah setelah Hindia Belanda resmi membubarkan diri pada 27 Desember 1945 dan RI berubah menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS). Dalam pertemuan Dewan Menteri RIS pada 8 Agustus 1950 disepakati Indonesia terdiri dari 10 Provinsi hal ini menjadikan Aceh dan Sumatera Utara dijadikan 1 Provinsi. Pada akhir tahun 1950, Mohammad Natsir yang pada saat itu menjabat sebagai Perdana Menteri mengumumkan Provinsi Aceh dilebur menjadi satu dengan Provinsi Sumatera Utara, sedangkan Daud Beureueh diangkat menjadi pejabat tinggi di Kementerian Dalam Negeri di Jakarta. Keputusan ini sangat mengecewakan masyarakat Aceh karena pusat pemerintahan daerah Aceh berubah bahkan peralatan kantor dan mobil-mobil dinas pemerintahan yang berada di Banda Aceh dibawa ke Medan. Padahal semua inventaris tersebut dibeli secara swadaya oleh masyarakat Aceh.

Kekecewaan Daud Beureueh terhadap Pemerintah Pusat mencapai puncaknya ketika Presiden Soekarno pada 27 Januari 1953 berpidato di Amuntai, Kalimantan Selatan, yang menegaskan bahwa Indonesia tidak mungkin menggunakan Islam sebagai dasar Negara. Pernyataan ini sekaligus menyatakan bahwa Negara Indonesia berdasarkan pada Pancasila, bukan Islam. Dengan pernyataan Soekarno ini semakin jelas bagi para tokoh Aceh bahwa Indonesia tidak memberikan peluang bagi Negara untuk menggunakan Islam sebagai dasar Negara dan pupus juga harapan rakyat Aceh utnuk menerapkan syariat Islam di Aceh. Hal ini telah membuat Daud Beureueh kecewa, sehingga pada 21 September 1953 Daud Beureueh menyatakan Aceh memisahkan diri dari Indonesia dan menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia

(NII) mengikuti Kartosoewirjo lalu membubarkan Divisi X TNI yang berada di Aceh. Pernyataan ini terjadi setelah kongres ulama di Titeue Pidie. Setelah membubarkan Divisi X TNI, sejumlah pasukan TNI bergabung menjadi tentara Islam di bawah komando Daud Beureueh.

Kedua, terkait dengan politik sentralisasi yang dijalankan oleh Pemerintah

Pusat pada masa-masa awal Republik berdiri. Kebijakan setralisasi yang membawa kembali Indonesia menjadi negara kesatuan ini dapat dipahami dalam konteks situasi politik nasional saat itu, yaitu selama periode 1949 sampai 1950. Pada saat itu Indonesia sedang menghadapi masa perjuangan fisik dalam mempertahankan kemerdekaan. Dalam upaya mempertahankan kekuasaannya di Indonesia, Belanda menjalankan politik pecah belah dengan membentuk negara-negara yang berdiri sendiri dan tidak tergabung dalam federasi yaitu, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Federasi Kalimantan Tenggara, Negara Kalimantan Timur, Bangka, Belitung, dan Riau (Awaludin 2009).

Di tengah situasi politik yang masih labil dan eksistensi RI yang sangat rapuh itu menjadikan RI lebih mementingkan upaya konsolidasi nasional dan memperkuat kesatuan wilayah RI ke dalam sistem kenegaraan yang solid. Di tengah situasi yang penuh dengan semangat perjuangan mempertahanan kemerdekaan dan ditambah dengan dominasi kaum nasionalis dalam percaturan politik saat itu, maka muncul desakan membubaran Negara federasi dan membentuk Negara kesatuan. Namun, dalam perspektif rakyat Aceh, justru semangat kesatuan dan persatuan pada saat itu

harus dibayar mahal dengan hilangnya Provinsi Aceh yang dinilai sebagai representatif identitas keislaman.

Alasan ketiga yang mendorong pemberontakan Daud Beureueh adalah tidak terakomodasinya nilai Islam dalam pemerintahan di Aceh. Nilai-nilai Islam memang telah lama berakar dalam kehidupan rayat Aceh dan mereka tetap mengharapkan bahwa suatu saat Islam dapat kembali menjadi dasar dalam hidup berpemerintahan di Aceh.

Aspirasi dan identitas Islam yang begitu mengakar di kalangan rakyat sejak ratusan tahun, dan mencapai masa kejayaannya pada pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636), menemukan momentum baru untuk dimanifestasikan kembali dalam tatanan kehidupan masyaraat Aceh ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 (Ibrahimy, 2001:43). Namun, ketika Soekarno menegaskan bahwa Indonesia adalah Negara nasional yang berasaskan Pancasila bukan Islam, Daud Beureueh semakin yain bahwa pemimpin pusat telah menyimpang dari jalan yang benar. Republik Indonesia tidak berkembang menjadi Negara yang berdasarkan Islam, satu-satunya kemungkinan yang terkandung dalam prinsip Ketuhanan Yang Masa Esa, sila pertama Pancasila (Santosa, 2006:152).

Pandangan seperti ini menunjukkan bahwa ide Islam yang diyakini oleh Daud Beureueh tidak hanya pas dalam lingkup Aceh, namun lebih jauh dari itu. Daud Beureueh menilai bahwa Indonesia pun secara keseluruhan mestinya berdasarkan Islam. Pada titik inilah Daud Beureueh membentur kenyataan politik bahwa aspirasi Negara nasional lebih dominan saat itu, sehingga menyadarkan dirinya bahwa

Indonesia tidak mungkin akan mengakomodasi aspirasi Islam yang selama ini menjadi identitas Aceh.

Dengan adanya kepastian bahwa Indonesia tidak akan menolerir bentuk pemerintahan daerah yang berlandaskan Islam, pemimpin Aceh sudah dapat memperkirakan bahwa pemerintah pusat akan menekan Aceh, baik dalam urusan syariat Islam maupun dalam hal kepemerintahan. Kekhawatiran itulah yang akhirnya memaksa banyak tokoh Islam di Aceh ikut mendukung pemberontakan Daud Beureueh (Aguswandi & Large, 2009:3).

Pemberontakan Daud Beureueh tidak berhenti meski Pemerintah Pusat akhirnya mengembalikan Aceh sebagai tersendiri yang terpisah dari Provinsi Sumatera Utara dengan Undang-undang No. 24/1956. Undang-undang tersebut sama sekali tidak menyebut pemberian otonomi Aceh dalam pemberlakuan syariat Islam (Syukriy, 2009:3).

Seiring berjalannya waktu, tiga tahun setelah itu barulah perubahan status mulai diberikan. Status “Daerah Istimewa” baru diberikan untuk Aceh pada 26 Mei 1959 melalui Keputusan Perdana Menteri RI No.1/Missi/1959, yang isinya antara lain Daerah Istimewa Aceh dapat melaksakan otonomi daerah yang seluas-luasnya terutama dalam bidang agama, pendidikan, dan peribadatan (Nurrohman, 2006:4). Pemberontakan Daud Beureueh baru berakhir pada 9 Mei 1962, ketika Kolonel M. Jasin, Panglima Kodam Iskandar Muda berhasil membujuk Daud Beureuh untuk turun gunung.

Dokumen terkait