• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONFLIK ACEH KONFLIK ACEH

D. Resolusi Konflik Aceh Oleh Pemerintah RI

Resolusi konflik pada era Soeharto lebih banyak ditangani dengan pendekatan keamanan (security approach) atau hard power daripada soft power. Pada era

Soeharto tidak pernah ada keinginan untuk menyelesaikan konflik Aceh melalui cara-cara negosiasi atau soft power. Pemerintah Pusat juga berusaha untuk mencoba

mencari simpati rakyat (winning hearts and minds). Program simpatik seperti ini

dilakukan hanya dalam konteks untuk mencegah agar rakyat Aceh tidak ikut bergabung dengan GAM. Aspinal dan Crouch (2003:3) mengungkapkan bahwa hanya sebagian kecil dari elit TNI yang benar-benar memahami konsep “memenangkan hati rakyat” itu. Bagi sebagian besar elit TNI, pemberian konsesi kepada rakyat Aceh yang menginginkan merdeka hanya memicu perlawanan yang lebih kuat.

Pasca jatuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998, gelombang arus reformasi melanda Indonesia telah mengubah landasan politik domestic. Dari yang berhaluan

otoriter menjadi rezim demokratis. Perubahan sistem politik demokratis disertai juga dengan tuntutan untuk penegakan hukum telah mengubah cara pandang pemerintah baru. Presiden Habibie melihat bahwa Aceh tidak lagi dianggap sebagai musuh bangsa Indonesia, melainkan saudara kandung Bangsa Indonesia (Ali, 2008:197).

Pada Mei 1998, muncul gerakan anti-militer dan anti-Jakarta. Di tengah situasi politik yang tidak berpihak pada TNI dan di tengah derasnya tuntutan pengungkapan tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan TNI di Aceh selama era Soeharto, Panglima ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) Jendral Wiranto berusaha untuk meraih kembali kepercayaan masyarakat dengan mencabut status DOM di Aceh pada 7 Agustus 1998. Di samping pencabutan status DOM, Jendral Wiranto juga meminta maaf atas perilaku individu TNI selama masa DOM. Lalu setelah itu Presiden Habibie pun ketika berkunjung ke Aceh pada Maret 1999 juga meminta maaf atas apa yang telah dilakukan oleh TNI (Aspinal & Crouch, 2003:6). Perubahan dalam pendekatan untuk menyelesaikan konflik pada era Habibie mengubah pendekatan penyelesaian konflik yang dilakukan pada Orde Baru yakni

security approach menjadi prosperity approach.

Presiden Habibie juga memberikan amnesti kepada sejumlah tahanan politik yang terkait dengan GAM, menyalurkan bantuan dana untuk anak yatim dan janda korban konflik serta memberikan kesempatan kepada anak-anak mantan anggota GAM untuk menjadi pegawai negeri. Pada masa pemerintahan Habibie juga disahkan Undang-undang No.44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Undang-undang tersebut memberikan otonomi dan

kewenangan khusus kepada Aceh hanya di bidang pendidikan, agama, adat, dan peran ulama. Pada masa pemerintahan Habibie inilah titik kebijakan soft power dalam

resolusi konflik di Aceh berawal yang kelak juga akan digunakan pada pemerintahan setelah Habibie. Namun demikian, Habibie sendiri tidak pernah sempat menindaklanjuti kebijakannya yang lebih menekankan pada kesejahteraan karena masa kepemimpinannya yang singkat.

Pada Oktober 1999, Habibie digantikan oleh Presiden Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur, yang dikenal sebagai orang yang memiliki komitmen kuat terhadap demokrasi dan pluralisme. Pada masa kepemimpinannya Gus Dur menawarkan kepada Aceh tiga opsi, yakni otonomi total (total autonomy) ,

pembagian pendapatan 75% dan 25% antara Aceh dan Jakarta, dan status provinsi istimewa (Aspinal & Crouch, 2003:9). Pada masa kepemimpinan Gus Dur untuk pertama kalinya sejak konflik Aceh dimulai pada tahun 1976, Indonesia bersedia mengadakan dialog dan perundingan dengan GAM yang difasilitasi oleh Henry

Dunant Center (HDC), sebuah lembaga swadaya masyarakat berkedudukan di

Jenewa, Swiss. Hasil dari perundingan tersebut berakhir dengan ditandatanganinya dokumen Joint Understanding on Humanitarian Pause for Aceh pada 12 Mei 2000

yang berisi antara lain kesepakatan kedua belah pihak untuk menghentikan kekerasan di Aceh.

Terjadinya perundingan Jeda Kemanusiaan ini menghadirkan perkembangan penting dalam konflik Aceh, baik bagi Indonesia maupun GAM. Bagi Indonesia perundingan ini adalah yang pertama sejak 23 tahun resolusi konflik Aceh dilakukan

dengan jalan militer. Karena adanya paradigm baru dalam resolusi konflik di Aceh yakni melalui jalan perundingan, bagi Indonesia sendiri adalah pilihan politik yang terbaik. Sementara bagi GAM, perundingan Jeda Kemanusiaan memberi tiga arti penting bagi profil gerakan mereka. Pertama, dari tataran kelembagaan, perundingan tersebut dinilai sebagai langkah strategis dalam konteks perlawanan terhadap Pemerintah Pusat. Kenyataan GAM duduk satu meja dengan Pemerintah Indonesia secara resmi menyodorkan suatu realitas politik baru yaitu eksistensi GAM sebagai “entitas politik” diakui oleh pemerintah Indonesia. Kedua, dari tataran internasional. GAM berharap perundingan Jeda Kemanusiaan dapat membangaun citra GAM di mata dunia. Terlebih perundingan ini difasilitasi oleh lembaga internasional, GAM berharap bahwa perundingan ini dapat dijadikan sebgai kendaraan untuk membuat isu aceh mendunia, dengan harapan masyarakat internasional memberikan dukungannya kepada GAM. Ketiga, dari tataran taktis. Jeda Kemanusiaan digunaan oleh GAM untuk memperluas pengaruhnya di Aceh. Dengan diberhentikannya kekerasan, GAM yang secara militer jauh lebih lemah dari TNI justru mendapat kesempatan untuk memperluas basis dukungan di kalangan penduduk local dan mengkonsolidasikan kekuatan militernya. (Huber, 2008 dalam Aguswandi & Large, 2008:17).

Ketika GAM memanfaatkan Jeda Kemanusiaan untuk konsolidasi organisasi dan perluasan pengaruhnya, TNI dan Polri malah diimbau untuk tidak melakukan tindakan ofensif. Sikap TNI dan Polri yang tidak ofensif sesuai dengan imbauan itu dimanfaatkan GAM untuk meningkatkan kegiatan militernya. Hal inilah yang pada akhirnya memicu kembali kekerasan antara TNI/Polri dan GAM, sehingga samapi

pada akhir Jeda Kemanusiaan pada Januari 2001, kekerasan tetap saja terjadi. Dapat dikatakan selama tahun 2000 implementasi Jeda Kemanusiaan mengalami kegagalan. Setidaknya ada tiga hal yang menyebabkan gagalnya Jeda Kemanusiaan ini. Pertama, karena tidak adanya kepercayaan dari kedua belah pihak yang berkonflik. Kedua, Jeda Kemanusiaan ini hanya mengatur tentang aspek keamanan dari konflik Aceh, yaitu penghentian kekerasan dan operasi militer. Dan ketiga, tidak adanya komitmen pada level aparat di lapangan terhadap kesepakatan penghentian kekerasan. Gagalnya implementasi Jeda Kemanusiaan meberikan indikasi bahwa perundingan damai dengan GAM tidak aan berjalan baik tanpa ada dukungan dari TNI dan Polri.

Naiknya Megawati Soekarnoputri ke kursi Presiden pada Juli 2001 merupakan titik balik peran TNI dalam pentas politik nasional dalam konteks resolusi konflik Aceh. Komitmen politik Presiden Megawati yang nasionalis dan sangat menekankan pada integritas wilayah menjadikan resolusi konflik di Aceh pun bergeser kembali menjadi hard power (operasi militer) dan soft power (pemberi

otonomi luas) secara bersamaan dalam periode yang sama. Kedua kebijakan itu dijalankan secara berbarengan untuk menekan GAM mau menerima otonomi luas seperti yang ditawarkan oleh pusat (Aspinal & Crouch, 2003:26).

Strategi pemerintah yang mengkombinasikan hard power dan soft power

dalam waktu yang bersamaan ternyata memang membuahkan hasil. Dapat dikatakan, pendekatan kombinasi seperti ini, pada tingkat tertentu, telah “memaksa” GAM untuk mau berunding lagi. Hal ini terlihat dari kesediaan GAM untuk berunding kembali dengan Pemerintah Pusat untuk yang kedua kalinya. Pada 9 Desember 2002 tercapai

kesepakatan Cessation of Hostilities Agreementi/COHA, yang isinya antara lain

mengatur tentang demiliterisasi kedua belah pihak, penyaluran bantuan kemanusiaan dan pembangunan kembali fasilitas yang rusak akibat perang. Namun, kesepakatan COHA ini juga tidak bertahan lama dikarenakan kedua belah pihak masing-masing memiliki interpretasi tersendiri terhadap COHA.

Perbedaan interpretasi seperti ini membuat pelaksanaan di lapangan menjadi sulit, sehingga mudah memancing kedua belah pihak kembali melakukan kekerasan. Kesulitan implementasi ini diperparah lagi oleh tidak singkronnya sikap antara aparat di lapangan dan elit TNI/Polri maupun antar petinggi TNI/Polri sendiri serta minimnya dukungan politik dari militer (Tempo, 5 Juli 2009:66).

Presiden Megawati akhirnya menandatangani darurat militer di Aceh pada 19 Mei 2003. Hal ini yang mengawali hard power dalam resolusi konflik Aceh.

Keberanian Presiden Megawati dalam menerapkan darurat militer ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, pemerintahannya merasa sudah menunjukkan kepada khalayak Indonesia dan dunia internasional bahwa Pemerintah sudah cukup banyak member kesempatan kepada GAM untuk merundingkan kembali tuntutan merdeka dengan menerima otonomi yang sudah sangat luas, namun GAM tidak menunjukkan tanda-tanda untuk melepas tuntutan kemerdekaannya. Kedua, Megawati merasa “aman” secara politik dengan keputusan darurat militernya karena keputusan tersebut didukung oleh TNI/Polri, DPR, serta opini publik dan media massa (Aspinal & Crouch, 2003:45).

Perubahan pendekatan dalam resolusi konflik Aceh menemukan momentum baru ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) memenangi Pemilu Presiden pada 2004. Secara umum dapat dikatakan bahwa selama era SBY-JK, resolusi konflik Aceh dilakukan dengan soft power atau dengan cara damai.

Setidanya ada dua faktor yang mendorong digunakannya soft power selama era

SBY-JK.

Pertama, faktor politik. Pemilu Presiden 2004 adalah pemilu presiden pertama dalam sejarah politik Indonesia yang dilakukan secara langsung oleh rakyat. Naiknya SBY-JK ke tampuk kekuasaan melalui pemilu langsung menandai mulainya era baru dalam politik nasional Indonesia, yaitu sistem politik yang lebih demokratis. Sistem politik yang demokratis ini memberi pengaruh yang signifikan dalam cara Pemerintahan SBY-JK menyikapi konflik Aceh. SBY-JK yang terpilih melalui proses demokrasi langsung menunjukkan sikap politik yang lebih mengedepankan cara-cara damai dalam menyelesaikan konflik.

Kedua, faktor personal, yaitu terkait dengan sikap politik SBY-JK secara pribadi dalam melihat konflik Aceh. Dimulainya pendekatan soft power dalam

resolusi konflik Aceh didorong oleh kenyataan yang diyakini SBY-JK yang percaya bahwa konflik Aceh hanya bisa diselesaikan melalui dialog dan perundingan (Aspinal, 2005:66).

Dokumen terkait