BAB II TINJAUAN TEORITIS
B. Pembiayaan Syariah
1. Pengertian Pembiayaan
Secara harfiah, pembiayaan (financing atau marhun bih) dapat diartikan sebagai dana rahn, yaitu dana yang diperoleh rahin (nasabah) setelah aplikasi rahn-nya diterima oleh pihak murtahin (bank), dengan syarat setelah ada penyerahan marhun (jaminan) kepada pihak murtahin.10
Secara istilah, pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan bagi hasil.11
Dalam pengertian lain, pembiayaan adalah pendanaan yang diberikan oleh suatu pihak lain untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik dilakukan sendiri maupun lembaga dengan kesepakatan antara lembaga keuangan dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk
9
Anita Zahara, Evaluasi Program Yaliju dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat,(Skripsi Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007), h.17-18
10
Bank Indonesia, Kamus Istilah Keuangan dan Perbankan Syariah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h.5
11
Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 31-32
mengembalikan uang atau tagihan tesebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.12
Menurut UU. No.20 Tahun 2008 Pasal 1 menjelaskan bahwa pembiayaan adalah penyediaan dana oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, dan masyarakat melalui bank, koperasi, dan lembaga keuangan bukan bank, untuk mengembangkan dan memperkuat permodalan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.13
2. Tujuan Pembiayaan
Secara umum tujuan pembiayaan dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu: tujuan pembiayaan untuk tingkat makro dan tujuan pembiayaan untuk tingkat mikro. Secara makro tujuan pembiayaan bertujuan untuk:14
a. Peningkatan ekonomi umat, artinya masyarakat yang tidak mendapatkan akses secara ekonomi, dengan adanya pembiayaan mereka dapat melakukan akses ekonomi. Dengan demikian dapat meningkatkan taraf ekonominya.
b. Tersedianya dana bagi peningkatan usaha, artinya untuk pengembangan usaha yang membutuhkan dana tambahan. Dana tambahan ini dapat diperoleh melalui aktivitas pembiayaan.
12
Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, (Yogyakarta : UUP AMP YKPN, 2005), h.17
13
Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2008, Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, pasal 1
14
Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, (Yogyakarta : UUP AMP YKPN, 2005), h.17-18
c. Meningkatkan produktivitas, artinya adanya pembiayaan memberikan peluang bagi masyarakat untuk mampu meningkatkan daya produksinya dan mengembangkan usahanya sebab upaya peningkatan produksi tidak dapat terlaksana tanpa adanya dana.
d. Terjadinya distribusi pendapatan, artinya masyarakat usaha produktif mampu melakukan aktifitas kerja, berarti mereka memperoleh pendapatan dari hasil usahanya.penghasilan merupakan pendapatan bagi masyarakat. Jika ini berhasil, maka akan terjadi distribusi pendapatan.
e. Membuka lapangan kerja baru, artinya dengan dibukanya sektor-sektor usaha melalui penambahan dana pembiayaan, maka sektor usaha akan menyerap tenaga kerja.
Kemudian secara mikro, pembiayaan bertujuan untuk:
a. Upaya memaksimalkan laba, artinya setiap usaha yang dibuka memiliki tujuan yang tinggi, yaitu memaksimalkan laba usaha. Untuk menghasilkan laba maksimal, maka perlu pendukung dana yang cukup.
b. Upaya meminimalkan resiko, artinya usaha yang dilakukan mampu menghasilkan laba maksimal, maka para pengusaha harus mampu meminimalkan resiko. Resiko kekurangan modal dapat diatasi dengan tindakan pembiayaan.
c. Pendayagunaan ekonomi, artinya sumber daya ekonomi dapat dikembangkan dengan melakukan mixing antara sumber daya alam dengan sumber daya manusia serta sumber daya modal (pembiayaan).
3. Klasifikasi Pembiayaan
Pembiayaan pada dasarnya dapat diklasifikasikan menurut beberapa aspek, di antaranya:
a. Menurut sifat penggunaannya, pembiayaan dapat dibagi menjadi dua hal sebagai berikut :15
1) Pembiayaan produktif, yaitu pembiayaan yang ditunjukan untuk memenuhi produksi dalam arti luas, yaitu untuk peningkatan usaha, baik usaha produksi, perdagangan, maupun investasi.
2) Pembiayaan konsumtif, yaitu pembiayaan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, yang akan habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan.
b. Menurut keperluannya, pembiayaan produktif dapat dibagi menjadi dua hal berikut :16
1) Pembiayaan modal kerja, yaitu pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan: (a) peningkatan produksi, baik secara kuantitatif, yaitu jumlah hasil produksi, maupun secara kualitatif, yaitu peningkatan kualitas atau mutu hasil produksi, dan (b) untuk keperluan perdagangan atau peningkatan
utility of place dari suatu barang.
2) Pembiayaan investasi, yaitu untuk memenuhi kebutuhan barang-barang modal (capital goods) serta fasilitas-fasilitas yang erat kaitannya dengan
15 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta : Gema Insani Press, 2006), h.160.
16
itu. Secara umum, jenis-jenis pembiayaan dapat digambarkan sebagai berikut :17
Gambar 2.1 Jenis Pembiayaan
c. Pembiayaan menurut jangka waktunya dibedakan menjadi :18 1) Pembiayaan jangka waktu pendek ( 1 bulan - 1 tahun) 2) Pembiayaan jangka waktu menengah ( 1-5 tahun)
3) Pembiayaan jangka waktu panjang ( kurang lebih 5 tahun)
Di dalam perbankan syariah, pembiayaan adalah salah satu jenis kegiatan usaha bank syariah. Yang dimaksud dengan pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa :19
a. Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarokah;
b. Transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk
ijarah muntahiya bittamlik;
c. Transaksi jual beli dalam bentuk piutang qard; dan
17
Ibid. h.161
18
Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, (Yogyakarta : UUP AMP YKPN, 2005), h.22.
19
A. Wangsawidjaja Z., Pembiayaan Bank Syariah, (Jakarta, Kompas Gramedia, 2012), h.78 PEMBIAYAAN Produktif Investasi Konsumtif Modal Kerja
d. Transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa.
Dengan demikian, nasabah bisa memilih jenis pembiayaan yang paling tepat atau cocok dari klasifikasi pembiayaan yang telah disebutkan di atas. Mereka bisa memilih pembiayaan dari segi sifat penggunaan, keperluan, maupun jangka waktu.
4. Sumber-Sumber Pembiayaan pada UMKM
Sumber-sumber pembiayaan pada usaha mikro, kecil, dan menengah bisa didapatkan dari lembaga keuangan perbankan dan non bank. Adapun rinciannya sebagai berikut :
a. Lembaga Bank
Lembaga keuangan bank yaitu lembaga keuangan yang berbentuk bank. Sedangkan definisi bank itu sendiri telah dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, pasal 1 ayat (2) yaitu sebagai berikut:
“Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup
rakyat banyak”.20
Dalam mengembankan usahanya, ada dua jenis bank pilihan bagi para calon debitur untuk mengajukan pembiayaan, yaitu :
20
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Edisi ke-6 (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2005), h.396
1) Bank konvensional. Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah mendefinisikan bank konvensional sebagai bank yang menjalankan kegiatan usahanya secara konvensional dan berdasarkan jenisnya terdiri dari Bank Umum Konvensional dan Bank Perkreditan Rakyat.21
2) Bank Syariah. Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang mendefinisikan bank syariah sebagai Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri
atas Bank Umum Syariah dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah”.22
Baik bank konvensional maupun bank syariah telah berusaha untuk memberikan fasilitas pembiayaan kepada para calon peminjam dana. Namun, banyak dari pelaku UMKM yang enggan mengajukan pembiayaan ke bank karena merasa terhambat oleh persyaratan administratif yang diberikan oleh bank. Persyaratan-persyaratan tersebut yang cenderung tidak dapat dipenuhi oleh pelaku UMKM, seperti adanya agunan untuk pembiayaan. Berbelitnya birokrasi juga menjadi alasan pengusaha kecil untuk tidak mengajukan pembiayaannya. b. Lembaga Non Bank
Lembaga Keuangan Bukan Bank merupakan Badan usaha bukan bank ataupun bukan perusahaan asuransi, yang kegiatan usahanya langsung ataupun tidak langsung menghimpun dana dari masyarakat dengan jalan mengeluarkan
21
Ahmad Ifham S., Buku Pintar Ekonomi Syariah, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), h.147
22
surat berharga dan menyalurkannya untuk pembiayaan investasi perusahaan, baik berupa pinjaman maupun berupa penyertaan modal.23
1) Koperasi Simpan Pinjam
Koperasi merupakan badan usaha yang anggotanya terdiri atas orang-orang yang mempunyai tujuan yang sama. Koperasi simpan pinjam merupakan lembaga sejenis koperasi yang didirikan kooperatif oleh kelompok tertentu, misalnya kelompok petani, kelompok supir taksi, yang kegiatannya menghimpun dan menyalurkan dana kepada anggotanya; tujuan lembaga ini bukan semata-mata mencari keuntungan, tetapi terutama ditujukan untuk kesejahteraan anggotanya.24
2) Baitul Mal wat Tamwil (BMT)
Baitul Mal wat Tamwil adalah lembaga keuangan mikro yang dioperasikan dengan prinsip bagi hasil, menumbuhkembangkan bisnis usaha mikro dalam rangka mengangkat derajat dan martabat serta membela kepentingan kaum fakir miskin, ditumbuhkan atas prakarsa dan modal awal dari tokoh-tokoh masyarakat setempat dengan berlandaskan pada sistem ekonomi yang salaam: keselamatan (berintikan keadilan), kedamaian, dan kesejahteraan.25
Sejak awal berdirinya, BMT-BMT dirancang sebagai lembaga ekonomi. Dapat dikatakan bahwa BMT merupakan suatu lembaga ekonomi rakyat, yang secara konsepsi dan secara nyata memang lebih fokus kepada 23 Ibid, h.472 24 Ibid., h.423 25 Ibid ., h.174
masyarakat bawah yang miskin dan nyaris miskin (poor and near poor). BMT-BMT berupaya membantu pengembangan usaha mikro dan usaha kecil, terutama bantuan permodalan. Untuk melancarkan usaha mambantu permodalan tersebut, yang biasa dikenal dengan istilah pembiayaan (financing) dalam khazanah keuangan modern, maka BMT juga berupaya menghimpun dana, terutama sekali berasal dari masyarakat lokal di sekitarnya.26
Sesuai dengan pengertian istilahnya, BMT melaksanakan dua jenis kegiatan, yaitu Bait al-Mal dan Bait at-Tamwil. Sebagai Bait al-Mal, BMT menerima titipan zakat, infak, sedekah serta menyalurkan (tasaruf) sesuai dengan peraturan dan amanahnya. Sedangkan sebagai Bait at-Tamwil, BMT bergiat mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas kegiatan pengusaha kecil dengan mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan ekonomi.27
3) Bank Keliling/Rentenir
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, rentenir berarti orang yang mencari nafkah dengan membungakan uang; tukang riba; pelepas uang; lintah darat.28 Dalamtransaksi simpan-pinjam dana, secara konvensional, si pemberi pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu
26
Euis Amalia, Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam Penguatan Peran LKM dan UKM di Indonesia, (Jakarta : Rajawali Press, 2009), h.83
27
Ibid., h.85
28
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), cet. Ke-3, h.949
penyeimbang yang diterima si peminjam kecuali kesempatan dan faktor waktu yang berjalan selama proses peminjaman tersebut. Yang tidak adil disini adalah si peminjam diwajibkan untuk selalu, tidak boleh tidak, harus, mutlak, dan pasti untung dalam setiap penggunaan kesempatam tersebut.29 Riba adalah hukumnya haram. Di dalam al-quran ada ayat yang menjelaskan tentang keharaman riba, yakni bisa kita temui dalam surat Arruum, Annisaa, Ali Imran, dan Albaqarah.
Dengan demikian, rentenir/lintah darat dapat diartikan sebagai orang atau badan yang usahanya memberikan pinjaman dana kepada orang atau badan lain dengan mengenakan bunga yang sangat tinggi. Pemberian pinjaman ini biasanya dilakukan dengan cara memanfaatkan kelemahan atau kesulitan hidup dari peminjamnya; seorang lintah darat tidak jarang mengancam bahkan tak segan-segan mengambil barang-barang milik peminjam apabila terjadi keterlambatan pembayaran.30
4) Pegadaian
Secara umum pengertian usaha gadai adalah kegiatan menjaminkan barang-barang berharga kepada pihak tertentu, guna memperoleh sejumlah uang dan barang yang dijaminkan akan ditebus kembali sesuai dengan perjanjian antara nasabah dengan lembaga gadai.31 Pegadaian adalah lembaga keuangan nonbank yang termasuk dalam klasifikasi perantara investasi (investment
29
Muhammad Syafi’i Antonio, BankSyariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta : Gema Insani Press, 2006), h.38
30
Ahmad Ifham S., Buku Pintar Ekonomi Syariah, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), h.477
31
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Edisi ke-6 (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2005), h.246
intermediary). Pegadaian banyak dimanfaatkan oleh masyarakat dan pengusaha golongan kecil dan menengah sebagai alternatif sumber pendanaan selain bank.32
C. UMKM
1. Pengertian UMKM
Berdasarkan UU No. 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Masing-masing golongan usaha tersebut memiliki definisi dan kriteria berbeda. Berikut ini adalah definisi dan kriteria UMKM yang tercantum dalam Undang-undang tersebut :33
1) Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
2) Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
32
Ktut Silvangita, Bank & Lembaga Keuangan Lain, (Jakarta : PT. Gelora Aksara Pratama, 2009), h.64
33
Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2008, Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, pasal 1
3) Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Menurut BPS, UKM berdasarkan kuantitas tenaga kerja, yaitu usaha mikro merupakan entitas usaha yang memiliki jumlah tenaga kerja 1 s.d 4 orang, usaha kecil merupakan entitas usaha yang memiliki jumlah tenaga kerja 5 s.d 19 orang, sedangkan usaha menengah merupakan entitias usaha yang memiliki tenaga kerja 20 s.d. 99 orang.
Menurut Kementrian Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menegkop dan UKM): Usaha Kecil (UK) termasuk Usaha Mikro (UMI), adalah entitas usaha yang mempunyai memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200.000.000, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, dan memiliki penjualan tahunan paling banyak Rp 1.000.000.000. Sementara itu, Usaha Menengah (UM) merupakan entitas usaha milik warga negara Indonesia yang memiliki kekayaan bersih lebih besar dari Rp 200.000.000 s.d. Rp 10.000.000.000, tidak termasuk tanah dan bangunan.
Menurut Keputusan Menteri Keuangan Nomor 316/KMK.016/1994 tanggal 27 Juni 1994, usaha kecil didefinisikan sebagai perorangan atau badan usaha yang telah melakukan kegiatan/usaha yang mempunyai penjualan/omset
per tahun setinggi-tingginya Rp 600.000.000 atau aset/aktiva setinggi-tingginya Rp 600.000.000 (di luar tanah dan bangunan yang ditempati) terdiri dari : (1) badang usaha (Fa, CV, PT, dan koperasi) dan (2) perorangan (pengrajin/industri rumah tangga, petani, peternak, nelayan, perambah hutan, penambang, pedagang barang dan jasa).
Menurut Kementrian Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menegkop dan UKM), bahwa yang dimaksud dengan Usaha Kecil (UK), termasuk Usaha Mikro (UMI), adalah entitas usaha yang mempunyai memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200.000.000, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, dan memiliki penjualan tahunan paling banyak Rp 1.000.000.000. Sementara itu, Usaha Menengah (UM) merupakan entitas usaha milik warga negara Indonesia yang memiliki kekayaan bersih lebih besar dari Rp 200.000.000 s.d. Rp 10.000.000.000, tidak termasuk tanah dan bangunan.
2. Karakteristik UMKM
Adapun kriteria untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah telah termuat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 pasal 6, yaitu sebagai berikut :34
1) Kriteria usaha mikro adalah sebagai berikut:
a. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau
34
Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2008, Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, pasal 6
b. Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
2) Kriteria usaha kecil adalah sebagai berikut:
a. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau
b. Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp2.500.0000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah).
3) Kriteria usaha menengah adalah sebagai berikut:
a. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau
b. Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah).
Penentuan kriteria ini nominalnya dapat dirubah dan disesuaikan dengan perkembangan perekonomian Indonesia. Perubahan ini bisa terjadi bila ada Peraturan Presiden yang dikeluarkan oleh Presiden Republik Indonesia sebagaimana yang dijelaskan dalam UU. No. 20 Tahun 2008 di pasal 6 ayat 4
a, huruf b, dan ayat (2) huruf a, huruf b, serta ayat (3) huruf a, huruf b nilai nominalnya dapat diubah sesuai dengan perkembangan perekonomian yang telah diatur dengan Peraturan Presiden.35
3. Perkembangan UMKM
Dalam melihat perekonomian Indonesia, UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) selalu menjadi bahasan yang menarik untuk dikaji. Sektor UMKM mempunyai peran yang sangat penting dalam perekonomian nasional.
Pertama, dapat dilihat bahwa jumlah unit Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) pada setiap tahunnya selalu bertambah, Melihat perkembangan jumlah UMKM ini (Tabel 2.1), bisa dikatakan bahwa UMKM merupakan penopang utama perekonomian Indonesia. Data dari Kementrian Koperasi dan UKM menyebutkan bahwa UMKM merupakan andalan atau harapan kemajuan ekonomi Indonesia karena merupakan mayoritas (99,5%) dan menyerap lebih dari 90% penyerapan tenaga kerja nasional.
Tabel 2.1. Data Jumlah UMKM dan Pertumbuhan UMKM Tahun 2007-2012
TAHUN 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Jumlah UMKM 50.145.800 51.409.612 52.764.603 53.823.732 55.206.444 56.534.592 Pertumbuhan (%) 2,29 2,52 2,64 2,01 2,57 2,41 Sumber : Data BPS 35
Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2008, Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, pasal 6 ayat 4
Kedua, dari sisi penyerapan tenaga kerja, potensi UMKM sangatlah bagus untuk menyerap daya tenaga kerja nasional yang jumlahnya berlimpah. Data perkembangan penyerapan tenaga kerja UMKM selalu mengalami peningkatan (lihat Tabel 2.2). Maka dari itu UMKM sangat diharapkan untuk dapat terus berperan secara optimal dalam upaya menanggulangi pengangguran yang jumlahnya cenderung meningkat setiap tahunnya. Penyerapan tenaga kerja dari sektor UMKM ini berarti UMKM juga memiliki peranan yang strategis dalam upaya pemerintah selama ini untuk memerangi kemiskinan di dalam negeri.
Tabel 2.2. Data Jumlah Penyerapan Tenaga Kerja dan dan Pertumbuhan Jumlah Tenaga Kerja UMKM Tahun 2007-2012
TAHUN 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Penyerapan Tenaga Kerja 90.491.930 94.024.278 96.211.332 99.401.775 101.722.458 107.657.509 Pertumbuhan(%) 2,94 3,90 2,33 3,32 2,33 5,83 Sumber : Data BPS
Ketiga, dalam sumbangan UMKM terhadap PDB (harga konstan) tiap tahunnya trennya pun juga positif. Hal ini berarti selalu mengalami peningkatan (lihat tabel 2.3). UMKM memegang posisi yang terbesar yaitu sekitar 57.94% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Tabel 2.3. Data Jumlah Sumbangan PDB UMKM dan Pertumbuhan atas PDB UMKM Tahun 2007-2012 TAHUN 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Sumbangan PDB UMKM (harga konstan) 1.099.301,1 1.165.753,2 1.212.599,3 1.282.571,8 1.369.326,0 1.504.928,2 Pertumbuhan(%) 6,46 6,04 4,02 5,77 6,76 9,90 Sumber : Data BPS
Melihat Perkembangan sektor UMKM di Indonesia menyiratkan bahwa terdapat potensi yang besar atas kekuatan domestik, jika hal ini dapat dikelola dan dikembangkan dengan baik tentu akan dapat mewujudkan usaha menengah yang tangguh. Perkembangan UMKM yang meningkat dari segi kuantitas tersebut belum diimbangi oleh meratanya peningkatan kualitas UMKM. Permasalahan klasik yang dihadapi yaitu rendahnya produktivitas. Keadaan ini disebabkan oleh masalah internal yang dihadapi UMKM yaitu : rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia UMKM dalam manajeman, organisasi, penguasaan teknologi, dan pemasaran, lemahnya kewirausahaan dari para pelaku UMKM, dan terbatasnya akses UMKM terhadap permodalan, informasi, teknologi, dan pasar, serta faktor produksi lainnya. Sedangkan masalah eksternal yang dihadapi oleh UMKM diantaranya adalah besarnya biaya transaksi akibat iklim usaha yang kurang mendukung dan kelangkaan bahan baku. Juga yang menyangkut perolehan legalitas formal yang
hingga saat ini masih merupakan persoalan mendasar bagi UMKM di Indonesia, menyusul tingginya biaya yang harus dikeluarkan dalam pengurusan perizinan. 36
Dalam rangka memperkuat permodalan UMKM , Kementrian Negara Koperasi telah melaksanakan berbagai program perkuatan, antara lain di bidang Agribisnis, P2KER, P3KUM, Perkasa, Pembiayaan untuk Koperasi Pondok Pesantren, permodalan untuk Koperasi Siviat Akademika, dan lain-lain melalui dana bergulir, baik konvensional maupun syariah. Program tersebut dikerjasamakan dengan berbagai koperasi dan BMT melalui bank yang ditunjuk sebagai pelaksana.37
Tanpa akses yang tetap pada lembaga keuangan Mikro (LKM) hampir seluruh rumah tangga miskin akan menggantungkan pembiayaan pada kemampuan sendiri yang sangat terbatas pada kelembagaan keuangan informal (renternir/tengkulak/pelepas uang) yang membatasi kelompok miskin untuk berpartisipasi dan mendapat manfaat dari kegiatan pembangunan.38
36
Siti Nurjanah, dkk., Analisis Kualitas Layanan Berdasarkan Karakteristik Gender Pada Pelaku Umkm Bidang Usaha Makanan, Jurnal Fakultas Ekonomi Institut Teknologi dan Bisnis Kalbis.
37
Euis Amalia, Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam Penguatan Peran LKM dan UKM di Indonesia, (Jakarta : Rajawali Press, 2009), h.18
38