• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI

3. Pembinaan Akhlak Siswa

a. Pengertian Pembinaan Akhlak

Secara bahasa strategi dapat diartikan sebagai siasat, kiat, trik, atau

cara”. Sedang secara umum strategi ialah suatu garis besar haluan dalam bertindak untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.8

Dalam dunia pendidikan, strategi diartikan sebagai a plan, method or

series of activities designed to achieves a particular aducational goal . Yaitu

strategi pembelajaran dapat diartikan sebagai perencanaan yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.

Ada dua hal yang patut kita cermati dari pengertian di atas. Pertama, strategi pembelajaran merupakan rencana tindakan (rangkaian kegiatan) termasuk penggunaan metode dan pemanfaatan berbagai sumber daya/kekuatan dalam pembelajaran. Kedua, strategi disusun untuk mencapai tujuan tertentu. Artinya, arah dari semua keputusan penyusunan strategi adalah pencapaian tujuan.

Dengan demikian, penyusunan langkah-langkah pembelajaran, pemanfaatan berbagai fasilitas san sumber belajar semuanya diarahkan dalam upaya pencapaian tujuan. Oleh sebab itu, sebelum menentukan strategi, perlu dirumuskan tujuan yang jelas yang dapat diukur keberhasilannya, sebab tujuan adalah rohnya dalam implementasi suatu strategi.9

b. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pembinaan Akhlak

Terlaksananya berbagai kegiatan pembinaan akhlak di SMP Islam Plus Baitul Maal, tentu saja adanya berbagai faktor-faktor yang mempengaruhinya. Diantara faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut antara lain :

7

M.Yatiman Abdullah, Studi Akhlaq dalam Persepektif Al-Qur’an,(Jakarta : Sinar Grafika, 2007), cet. Ke-1, h. 22

8

Pupuh Fathurrahman dkk, Strategi Belajar Mengajar, (Bandung : PT. Refika Aditama, 2007), Cet. 1, h. 3

9

Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran, (Jakarta : PT. Prenada Media Group, 2008), cet-5, h. 126

1) Adanya dukungan dari pihak sekolah terhadap pembinaan akhlak

Diantara hal yang ditempuh oleh pihak sekolah para guru-guru terutama guru pendidikan agama Islam untuk mencapai tujuan pendidikan, adalah dengan kegiatan-kegiatan pembinaan akhlak. Sekolah sebagai tempat lokasi pelaksanaan kegiatan belajar mengajar, memiliki peran yang cukup penting untuk tercapainya tujuan pembembinaan akhlak di sekolah. Situasi yang kondusif dsertai dukungan dari seluruh tenaga pendidik dan kependidikan memudahkan bagi para pengurus untuk berkoordinasi dengan semua pihak dalam pembinaan akhlak siswa.

Pihak sekolah juga memberikan kepada guru pendidikan agama Islam untuk mempergunakan ruang kelas, masjid dan sarana yang ada sebagai salah satu bentuk dukungan yang diberikan terhadap berlangsungnya kegiatan pembinaan akhlak siswa.10

2) Adanya dukungan dari guru-guru terhadap kegiatan pembinaan akhlak Guru-guru sebaga ujung tombak pelaksana pendidikan merupakan salah satu unsur pokok yang bersentuhan dengan siswa dalam kegiatan sehari-hari. Dukungan dari guru-guru selain pengintegrasian nilai-nilai ajaran agama dalam penyampaian materi pelajaran sehari-hari, juga pemberian motivasi kepada para siswa untuk mengikuti kegiatan rohani Islam yang di bina oleh guru pendidikan agama Islam.

3) Mayoritas siswa yang beragama Islam

Siswa sebagai subjek utama pendidikan, merupakan sumber daya yang akan diarahkan perkembangannya sesuai dengan tujuan dalam pendidikan. Dengan mayoritas jumlah siswa yang beragama Islam.11, memang seharusnya dapat dijadikan sebagai motivasi bagi tenaga pendidik khususnya guru pendidikan agama Islam untuk mengembangkan potensi-potensi spriritual para siswa sesuai dengan pencapaian dimensi-dimensi yang digariskan dalam tujuan pendidikan, baik pendidikan Islam maupun pendidikan nasional.12

10

Wawancara dengan Bapak Edi Susilo, S.Si. tanggal 12 Januari 2012 11

Dokumen SMP Islam Plus Baitul Maal, Pondok Aren 13 Januari 2012. 12

Menurut Hasbullah, terdapat dua dimensi kesamaan yang ingin dicapai dalam pendidikan Islam maupun pendidikan nasional, yaitu dimensi duniawi dan dimensi transendental.

Ada beberapa strategi pembelajaran yang dapat digunakan. Wina Sanjaya dalam bukunya menyatakan, mengelompokkan kedalam strategi penyampaian penemuan atau exposition-discovery learning, dan strategi pembelajaran kelompok dan strategi pembelajaran individual atau group indiviual learning.

Dalam strategi exposition, bahan pelajaran disajikan kepada siswa dalam bentuk jadi dan siswa dituntut untuk menguasai bahan tersebut. Roy Killen menyebutkan dengan strategi pembelajaran langsung (direct instruction). Mengapa dikatakan strategi pembelajaran langsung, sebab dalam strategi ini, materi pelajaran disajikan begitu saja kepada siswa, siswa tidak dituntut untuk mengolahnya. Kewajiban siswa adalah menguasainya secara penuh. Dengan demikian, dalam strategi eksposeri guru berfungsi sebagai penyampai informasi. Berbeda dengan strategi discovery. Dalam strategi ini bahan pelajaran dicari dan ditemukan sendiri oleh siswa melalui berbagai aktifitas, sehingga tugas guru lebih banyak sebagai fasilitator dan pembimbing bagi siswanya. Karena sifatnya yang demikian, strategi ini sering juga dinamakan strategi belajar tidak langsung. Strategi belajar individual dilakukan oleh siswa secara mandiri. Kecepatan, dan kelambatan dan keberhasilan pembelajaran siswa sangat ditentukan oleh kemampuan individu siswa yang bersangkutan. Bahan pelajaran serta bagaimana mempelajarinya didesain untuk belajar sendiri. Contoh dari strategi ini adalah melalui modul, atau belajar bahasa melalui kaset audio.

Berbeda dengan strategi pembelajaran individual, belajar kelompok dilakukan secara beregu. Sekelompok siswa diajar seseorang atau oleh beberapa orang guru. Bentuk belajar kelompok itu bisa dalam pembelajaran kelompok besar atau pembelajaran klasikal atau bisa juga siswa belajar dalam kelompok-kelompok kecil atau buzz group. Strategi kelompok tidak memperhatikan kecepatan belajar individual, setiap individu dianggap sama. Oleh karena itu, belajar dalam kelompok dapat terjadi siswa yang memiliki kemampuan tinggi akan terhambat oleh siswa yang mempunyai kemampuan biasa-biasa saja.

Lihat Hasbullah dalam bukunya Otonomi Pendidikan, Kebijakan Otonomi Daerah dan

Sebaliknya siswa yang memiliki kemampuan yang kurang akan merasa tergusur oleh siswa yang memiliki kemampuan yang tinggi.

c. Strategi Pembinaan Akhlak Siswa

Yang dimaksud dalam bahasan ini adalah hal-hal yang harus diperhatikan dalam menggunakan strategi pembinaan. Prinsip umum penggunaan strategi pembelajaran adalah bahwa tidak semua strategi pembelajaran cocok dengan semua keadaan. Setiap strategi memiliki kekhasan sendiri-sendiri. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Killen, no teaching strategy is better than other in all circumstances, so you have to be able to use a variety of teaching strategis, and make rational descisions about when each of the teaching strategies is likely to most effective. Apa yang dikemukakan oleh Killen itu, jelas bahwa guru harus mampu memilih strategi yang dianggap cocok dengan keadaan. Oleh karena itu, guru perlu memahami prinsip-prinsip umum penggunaan strategi pembelajaran atau pembinaan sebagai berikut :

1) Berorientasi Pada Tujuan

Tujuan pembelajaran dapat menentukan suatu strategi yang harus digunakan guru. Guru yang senang berceramah, hampir setiap tujuan menggunakan strategi penyampaian, seakan-akan dia berfikir bahwa segala jenis tujuan dapat dicapai dengan strategi yang demikian. Hal ini tentu saja keliru. Apabila kita menginginkan siswa terampil menggunakan alat tertentu, katakanlah terampil menggunakan thermometer sebagai alat pengukur suhu badan, tidak mungkin menggunakan strategi penyampaian.

Untuk mencapai tujuan yang demikian, siswa harus praktik secara langsung. Demikian halnya juga manakala kita menginginkan agar siswa dapat menyebutkan hari dan tanggal proklamasi kemerdekaan suatu Negara, tidak akan efektif kalau menggunakan strategi pemecahan masalah (diskusi). Untuk mengejar tujuan yang demikian cukup guru menggunakan strategi cermah atau pengajaran secara langsung.

2) Aktivitas

Belajar bukanlah menghafal sejumlah fakta atau informasi. Belajar adalah berbuat, memperoleh pengalaman tertentu sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Karena itu, strategi pembelajaran harus dapat mendorong aktifitas siswa. Aktifitas tidak dimaksudkan terbatas pada fisik, akan tetapi juga meliputi aktifitas yang bersifat psikis seperti aktifitas mental. Guru sering lupa dengan hal ini. Banyak guru yang terkecoh oleh disikap siswa yang pura-pura aktif.

3) Individualitas

Mengajar adalah usaha mengembangkan setiap individu siswa. Walaupun kita mengajar pada sekelompok siswa, namun pada hakikatnya yang ingin kita capai adalah perubahan perilaku setiap siswa. Sama seperti seorang dokter yang profesional manakala ia menangani 50 orang pasien, seluruhnya sembuh dan dikatakan dokter yang tidak baik manakala ia menangani 50 orang pasien 49 orang sakitnya bertambah parah atau bahkan mati. Demikian juga halnya guru, dikatakan guru yang baik manakala ia menangani 50 orang siswa, seluruhnya berhasil mencapai tujuan, dan sebaliknya dikatakan guru yang tidak baik atau tidak berhasil tatkala ia menangani 50 orang siswa, 49 orang siswa tidak mencapai tujuan pembelajaran.

4) Integritas

Mengajar harus dipandang sebagai usaha mengembangkan seluruh pribadi siswa. Mengajar bukan hanya mengembangkan kemampuan kognitif saja, akan tetapi juga meliputi perkembangan aspek psikomotorik. Oleh karena itu, strategi pembelajaran harus dapat mengembangkan seluruh aspek kepribadian siswa secara terintegrasi. Penggunaan metode diskusi. Contohnya, guru harus mampu merancang dan strategi pelaksanaan diskusi tidak hanya terbatas pada pengembangan aspek intelektual saja, tetapi harus mendorong siswa agar mereka bisa berkembang secara keseluruhan, misalkan mendorong siswa agar berani mengeluarkan gagasan atau ide yang

orisinil, mendorong siswa untuk bersikap jujur, tanggung jawab dan sebagainya.13

d. Pembinaan Akhlak

Pembinaan akhlak dapat diartikan perbuatan yang sungguh-sungguh dalam rangka membentuk anak dengan menggunakan sarana pendidikan dan pembinaan yang terprogram dengan baik dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan konsisten.Pembentukan akhlak ini dilakukan berdasarkan asumsi bahwa adalah hasil usaha pembinaan, bukan terjadi dengan sendirinya. Potensi rohaniah yang ada dalam diri manusia, termasuk didalamnya akal, nafsu amarah, nafsu syahwat, fitrah, kata hati, dan intuisi dibina secara optimal dengan cara dan pendekatan yang tepat.

Dengan demikian, didalam peningkatan pendidikan agama di sekolah, yang dimaksud dengan pendidikan agama bukan hanya bimbingan yang diberikan oleh seluruh staf pengajar, staf pemimpin sekolah, pegawai, alat serta peraturan dan tata tertib yang berlaku di sekolah.

Dalam pembentukan akhlaq siswa hendaknya setiap guru menyadari bahwa dalam pembentukan akhlaq sangat diperlukan pembinaan dan latihan, akhlaq pada siswa bukan hanya diajarkan secara teoritis, akan tetapi juga harus diajarkan kearah kehidupan praktis, untuk itu pelaksanaannya dapat ditempuh melalui cara berikut ini :

a) Pembiasaan

Islam memandang bahwa cara penanaman akhlaq melalui pembiasaan adalah merupakan metode influentif yang paling meyakinkan keberhasilannya dalam mempersiapkan dan membentuk siswa menjadi berakhlaq. Hal ini karena perbuatan yang sudah menjadi kebiasaan sukar untuk ditinggalkan. Penanaman akhlaq pada siswa seharusnya sudah dimulai sejak ia kecil dengan pembiasaan dan latihan yang cocol dan sesuai dengan perkembangan jiwanya.

b) Pengajaran

13

Kalau pada tahap pertama merupakan upaya praktis agar siswa dapat berbuat secara tepat, maka pada tahap kedua ini disamping kebiasaan berakhlaq tetap dilanjutkan dengan penanaman pengertian melalui pengajaran, hal ini bertujuan agar siswa tidak hanya berpedoman pada asal berbuat tetapi siswa diusahakan tahu mengapa ia berbuat.

Penanaman pendidikan di sini mempertemukan antara pengertian (teoritis) dengan latihan (pembiasaan).

Pengertian perlu ditanamkan pada siswa melalui pengajaran, karena kebiasaan jika tidak diimbangi dengan memberikan berupa penjelasan, maka kebiasaan-kebiasaan itu tidak akan bermakna. Untuk itu agar kebiasaan itu bermakna, maka perlu diimbangi dengan penjelasan-penjelasan supaya siswa tersebut dapat mengerti maknanya dan paham hikmahnya, tahu maksud dan tujuannya mengapa perbuatan itu dilakukan. Hal tersebut bila keduanya (toeritis dan praktis) sudah ditanamkan pada siswa, maka akan terlihat perubahan sikap pada dirinya. c) Keteladanan Guru

Guru sebagai pendidik yang memberi pengetahuan dan bimbingan pada siswanya harus memberikan contoh yang baik kepada peserta didiknya, karena tingkah laku dan perbuatan yang diperlihatkan guru dalam pergaulan dan berperilaku akan menjadi gambaran bagaimana siswa akan bersikap. Oleh karenanya seorang guru harus membari contoh berprilaku yang baik dalam kehidupan sehari-hari sehingga akan menjadi contoh yang baik dalam perkembangan jiwa dan akhlaq para siswanya.

Perilaku dan akhlaq yang baik bagi seorang guru akan sangat mempengaruhi jiwa anak yang nantinya akan menjadi teladan anak dalam berbuat dan bertindak. Dengan sikap dan perilaku yang baik dari seorang guru merupakan dasar siswa dalam berperilaku dan berakhlaq yang baik.14

14

M. Athiyah Al-Abrasi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1970), cet-5, hal. 112

Ada beberapa faktor lainnya yang mendukung dalam pembinaan akhlak siswa diantaranya :

a) Keluarga

Keluarga merupakan lingkungan primer bagi setiap individu, di dalamnya terjadi hubungan hubungan manusia yang paling intensif, karena itulah keluarga merupakan kelompok sosial pertama dalam kehidupan manusia, tempat ia belajar menyatakan diri sebagai manusia sosial, dalam hubungan interaksi dengan kelompoknya.15

Faktor keluarga merupakan faktor utama yang sangat mempengaruhi perkembangan anak. Menurut WA. Gerungan, yang dimaksud dengan keutuhan keluarga adalah : pertama, keutuhan struktur keluarga yaitu dengan adanya ayah, ibu dan anak, kedua, keutuhan interaksi yang harmonis antar keluarga.

b) Sekolah

Sekolah adalah lingkungan pendidikan. Menurut Zakiah Daradjat, sekolah adalah lembaga pendidikan yang melaksanakan pembinaan, pemdidikan, pengajaran dengan sengaja, teratur dan terencana. Di dalam kelas gurulah yang bertugas mendidik siswanya. Guru adalah tenaga pendidikan yang secara teknis mempunyai bekal ilmu dan keterampilan untuk membantu anak didik memperoleh sikap dan perilaku terpuji. Begitu pula dengan guru Pendidikan Agama Islam. Pendidikan agama akan berhasil bila gurunya memiliki personalitas yang utuh terhadap kebenaran agama yang diajarkannya.

Masalah guru merupakan topik yang tidak habis-habisnya dibahas dalam berbagai seminar, diskusi dan workshop untuk mencari berbagai alternatif pemecahan terhadap berbagai persoalan yang dihadapi guru dalam menjalankan tugasnya sebagai pengajar dan pendidik di lingkungan sekolah. Hal ini disebabkan karena guru, berdasarkan sejumlah penelitian pendidikan, diyakini sebagai faktor dominan yang menentukan tingkat keberhasilan anak didik dalam melakukan

15

transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi serta internalisasi etika dan moral. Karena itu, tidaklah berlebihan apabila masyarakat yang mempunyai kepedulian terhadap pendidikan selalu mengarahkan perhatiannya pada berbagai aspek yang berkaitan dengan guru dan keguruan.

Selain dihadapkan dengan berbagai persoalan internal, guru juga mendapat dua tantangan eksternal, yaitu pertama, krisis akhlaq dan moral anak bangsa, dan kedua, tantangan masyarakat global.16

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa pendidikan agama sebagai salah suatu proses penanaman, pengembangan dan pemantapan nilai-nilai keimanan yang menjadi fundamental spiritual manusia yang termanifestasikan melalui sikap dan tingkah laku sesuai dengan ajaran agama.

c) Masyarakat

Masyarakat adalah lingkungan yang luas sekaligus paling banyak menawarkan pilihan, karena sebagian besar waktu anak dalam sehari dihabiskan dalam lingkugannya. Pada tahap pertama pengaruh lingkungan masyarakat ini diawali dengan pergaulan antar teman. Pada usia 9-15 tahun, hubungan perkawinan merupakan hubungan akrab yang disebabkan oleh kesamaan minat dan kepentingan saling membagi perasaan dan saling tolong-menolong untuk memecahkan masalah bersama. Kuatnya pengaruh teman ini sering dianggap sebagai penyebab buruknya tingkah laku anak, tetapi bagaimanapun segalanya kembali pada dirinya sendiri.17

Selanjutnya seiring dengan perkembangan zaman dan bermunculan fenomena kehidupan pembekalan setiap anak dengan pembinaan akhlaq menjadi sangat urgen. Mentalitas anak-anak akan terbina apabila dalam masyarakatnya sudah dibekali dengan baik oleh lingkungannya.

16

Indra Jati Sidi, Menuju Masyarakat Belajar, (Jakarta : Paramadina, 2001), h. 38 17

Sarlito Wirawan, Psikologi Remaja, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1997), Cet. Ke-4, hal. 129

Dokumen terkait