• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS PEMAKAIAN JASA

B. Ruang lingkup perlindungan konsumen

5. Pembinaan dan pengawasan

Pemerintah selain memiliki fungsi legilasi, dalam hal ini pembentukan dan pengesahan UUPK, juga mempunyai fungsi untuk membina dan mengawasi penyelenggaran perlindungan konsumen serta menjamin terlaksananya ketentuan UUPK dalam lalu lintas usaha barang dan/atau jasa antara konsumen dengan pelaku usaha.

Pembinaan dan pengawasan penyelenggaran perlindungan konsumen dilaksanakan oleh menteri dan/atau menteri teknis terkait pada bidang dan/atau jasa yang berkaitan dengan bidang yang dibawah pengawasan kementerian tersebut. Dalam hal pembinaan, dapat dilihat ketentuan yang tercantum di dalam Pasal 29 UUPK yang menyatakan bahwa:

a. Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha

b. Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait

c. Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan koordinasi atas penyelenggaraan perlindungan konsumen.

d. Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi upaya untuk:

1) Terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen;

2) Berkembangnya lembaga perlidungan konsumen swadaya masyarakat; 3) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya

kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen.

e. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Dalam hal pengawasan penyelenggaraan perlindungan konsumen , dapat dilihat di dalam pasal 30 UUPK yang menjelaskan bahwa melalui pemberdayaan setiap unsur yang ada yaitu

Masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat disamping pemerintah sendiri melalui menteri dan/atau menteri teknis yang terkait. Apabila diperhatikan isi Pasal 30 tersebut, maka akan terlihat bahwa pengawasan lebih banyak menitikberatkan pada peran masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat dibanding dengan peran pemerintah yang pelaksanaannya dilakukan oleh menteri dan /atau menteri teknis yang terkait. Dalam Pasal 30 tersebut juga terlihat pemerintah diberikan tugas melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya

C. Perlindungan Konsumen Atas Pemakaian Jasa Dari Pelaku Usaha Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Pelaku usaha ekpedisi pengiriman barang melalui kapal dan konsumen pengirim barang selaku pengguna jasa ekpedisi mempunyai ikatan hukum yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen . Beberapa hal yang dapat dipahami mengenai hubungan hukum antara pelaku usaha ekpedisi dengan konsumen pengirim barang jikalau terjadi sengketa diantara pihak tersebut, antara lain:

1. Pelaku usaha ekpedisi dan konsumen pengirim barang tidak berbeda dengan pelaku usaha dan konsumen pada umumnya, sehingga kedua pihak tersebut mempunyai hak-hak, kewajiban, tanggung jawab dan larangan yang telah diatur secara rinci dan tegas dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen .

2. Hak-hak dan kewajiban konsumen merupakan bentuk kontra prestasi dengan hak-hak dan kewajiban pelaku usaha, dengan kata lain bahwa hak dari konsumen adalah kewajiban dari pelaku usaha serta sebaliknya.

3. Klausula-klausula dalam kontrak perjanjian ekpedisi umumnya ditentukan secara sepihak oleh pelaku usaha (kontrak baku/standard contract). Klausula baku sering kali merugikan hak-hak konsumen sehingga Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberikan batasan sebagaimana kontrak baku yang wajar untuk dipergunakan dalam lalu lintas jasa pengiriman ekspedisi.

4. Pemerintah selain mempunyai fungsi legislasi untuk membentuk dan mengesahkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen , juga mempunyai fungsi pengawasan dalam pelaksanaan perlindungan konsumen sehingga tujuan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen itu diharapkan dapat tercapai.

5. Jikalau ada hak-hak dari konsumen yang dilanggar oleh pelaku usaha ekspedisi, maka timbul sengketa konsumen. Sengketa konsumen dapat diselesaikan dengan 3 (tiga) cara, antara lain:

a. Dengan cara kekeluargaan antara pelaku usaha dengan konsumen.

b. Dengan menempuh penyelesaian sengketa non-litigasi yang dapat berupa menggugat ke BPSK, mediasi, negosiasi, konsiliasi dan arbitrase.

c. Dengan menempuh penyelesaian sengketa jalur litigasi melalui mendaftarkan gugatan konsumen ke pengadilan negeri tempat kedudukan konsumen.

Pada dasarnya perlindungan atas konsumen terhadap pemakaian jasa atau produk dari pelaku usaha telah dijelaskan pada Pasal 19 UUPK dimana pelaku usaha bertanggungjawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan atau kerugian konsumen dalam mengkonsumsi barang atau jasa yang dihasilkan. Sudah sangat jelas bentuk tanggung jawab yang dibebankan undang-undang kepada pelaku usaha terhadap konsumen tersebut. Dan apabila pelaku usaha menolak untuk mengganti rugi atas kerugian yang diderita oleh konsumen, maka konsumen dapat mengajukan gugatan kepada BPSK atau ke badan peradilan.

BAB III

PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA EKSPEDISI MUATAN KAPAL LAUT ATAS KERUGIAN YANG DIALAMI PEMILIK BARANG

AKIBAT TENGGELAMNYA KAPAL PENGIRIM BARANG

Pertanggungjawaban merupakan salah satu kewajiban salah satu pihak terhadap pihak lain apabila terjadi suatu kerugian yang timbul. Pertanggungjawaban pada umunya dapat terjadi karena akibat faktor kesengajaan atau kelalaian salah satu pihak sehingga menimbulkan kerugian.

Pasal 31 Kitab Undang-undang Hukum Dagang menyebutkan bahwa: 1. Pengusaha kapal terikat oleh perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukan oleh

mereka yang dalam dinas tetap atau sementara dari kapal iu di dalam pekerjaannya dalam lingkungan kewenagannya.

2. Ia bertanggung jawab terhadap kerugian yang ditimpakan pada pihak ketiga karena perbuatan melawan hukum dari mereka yang dalam dinas tetap atau sementara pada kapal karena jabatannya atau karena melaksanakannya kegiatannya ada di kapal melakukan pekerjaan untuk kapal atau muatan.

Adanya pertanggungjawaban pemilik kapal/pengusaha/pelaku usaha/ekspeditur diawalai dengan adanya suatu perjanjian. Perjanjian antara pihak-pihak yang terdapat dalam pengangkutan laut menyebabkan adanya hubungan hukum yang kuat antara satu pihak dengan pihak yang lain.

A.Perjanjian Pengangkutan Barang Melalui Laut

Pasal 1313 KUHPerdata menyebutkan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu

orang lain atau lebih. Para sarjana hukum perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian dalam ketentuan di atas tidak lengkap dan terlalu luas.33 Setiawan menyatakan bahwa perjanjian merupakan suatu perbuatan hukum dimana satu orang lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. 34

Definisi perjanjian pengangkutan adalah sebagai perjanjian timbal balik dengan mana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang atau orang dari suatu tempat ke tempat lain atau tujuan tertentu dengan selamat . Perjanjian pengangkutan adalah perjanjian antara pengangkut dengan pengirim, dimana pengangkut mengikatkan dirinya untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan. 35 Suatu perjanjian timbal balik pada mana pihak pengangkut mengikat diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang ketempat tujuan tertentu, sedangkan pihak lainnya berkeharusan untuk menunaikan pembayaran biaya tertentu untuk pengangkutan itu.36

Perjanjian pengangkutan niaga adalah persetujuan dengan mana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan penumpang dan/ atau barang dari satu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, dan penumpang atau pengirim mengikatkan diri untuk membayar biaya angkutan.

33

Mariam Darus Badrulzaman, dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 65.

34

R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Jakarta: Putra A Bardin, 1999), hal. 49

35

H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, cetakan III, (Jakarta: Djambatan, 1984), hal. 1

36

Sution Usman Adji, Hukum Pengangkutan di Indonesia, (Jakarta:Rineka Cipta, 1990), hal.6

Dari segi hukum, khususnya hukum perjanjian, pengangkutan merupakan perjanjian timbal balik antara pengangkut dan pengirim barang atau penumpang dimana pihak pengangkut mengikatkan dirinya untuk menyelengarakan pengangkutan barang atau orang ke suatu tempat tujuan tertentu, dan pihak pengirim barang atau penumpang mengikatkan diri untuk membayar ongkos angkutannya.37

1. Perjanjian selalu menciptakan hubungan hukum.

Perjanjian menimbulkan perikatan, yaitu perhubungan hukum antara 2 (dua) orang atau 2 (dua) pihak, atas dasar mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu prestasi dari yang lain, yang lain berkewajiban melaksanakan dan bertanggung jawab atas suatu prestasi. Dari penjelasan diatas dapat dilihat bahwa setiap perjanjian pada dasarnya akan meliputi hal-hal tersebut di bawah ini:

2. Perjanjian menunjukkan adanya kemampuan atau kewenangan menuntut menurut undang-undang.

3. Perjanjian mempunyai atau berisikan suatu tujuan, bahwa pihak yang satu akan memperoleh dari pihak yang lain suatu prestasi yang mungkin memberikan sesuatu, melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu.

4. Dalam setiap perjanjian, kreditur berhak atas prestasi dari debitur, secara sukarela debitur akan memenuhinya.

5. Dalam setiap perjanjian, debitur wajib dan bertanggung jawab melakukan prestasinya sesuai dengan perjanjian.

37

Pengangkutan adalah seorang atau badan yang berjanji menyelenggarakan pengangkutan barang-barang di laut (seluruhnya atau sebagian) secara time charter atau voyage-charter atau suatu perjanjian lain 38. Pengangkutan tersebut merupakan pengangkutan niaga atau dagang. Pengertian niaga atau dagang di sini ialah hal menjalankan kegiatan usaha dengan cara membeli barang dan menjualnya kembali atau menyewakannya dengan tujuan memperoleh keuntungan.39

Hukum pengangkutan merupakan bagian dari hukum dagang (perusahaan) yang termasuk dalam bidang hukum keperdataan. Dilihat dari segi susunan hukum normatif, bidang hukum keperdataan ialah subsistem tata hukum nasional. Jadi dengan demikian, pengangkutan ialah bagian dari subsistem tata hukum nasional.

40

P.W.D. Redmond

Pengangkutan adalah bagian dari subsistem tata hukum nasional. Asas-asas tata hukum nasional merupakan asas-asas hukum pengangkutan

KUHPerdata memang telah mengatur definisi perjanjian dalam Pasal 1313, namun tidak mengatur definisi perjanjian pengangkutan. Begitupun dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran juga tidak memberikan definisi tentang perjanjian pengangkutan, namun hanya mengatur kewajiban pengangkut dalam perjanjian pengangkutan.

41

38

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Laut di Indonesia, Bandung: Sumur, 1960, hal. 107.

39

Soekardono, Hukum Dagang Indonesia II, Jakarta: Rajawali, 1986, hal. 12.

40

Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998, hal. 5

41

P.W.D. Redmond, General Principles of English Law (1984), hal. 79.

menjelaskan perjanjian sebagai berikut: “Acontract is a legally binding agreement, that is, an agreement imposing rights and obligations on the parties which will be enforced by the courts”. Definisi

perjanjian itu merupakan definisi yang menjelaskan adanya hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang dapat dipaksakan oleh hakim.

Pengertian perjanjian pengangkutan juga dapat ditemukan di dalam Pasal 466 KUHD, yaitu: “Perjanjian timbal balik antara pengangkut dan pengirim, di mana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat. Di lain pihak pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkut”.

Perjanjian pengangkutan menurut Pasal 1319 KUHPerdata termasuk ke dalam perjanjian bernama, karena oleh undang-undang, perjanjian tersebut diberikan nama dan pengaturan secara khusus (benoemde atau nominaatcontracten), baik di dalam KUHPerdata maupun KUHD, bahkan ada diatur pula di dalam undang-undang yang tersendiri.

Perjanjian pengangkutan laut termasuk dalam kategori perjanjian bernama dan perjanjian campuran:

1. Perjanjian pengangkutan laut merupakan perjanjian bernama, karena KUHD baik dalam Buku II Bab VA dan VB secara khusus telah mengatur tentang pengangkut dan persetujuan pengangkutan maupun segala sesuatu yang berhubungan dengan pengangkutan orang dan barang. Jadi, meskipun perjanjian pengangkutan pada hakekatnya harus tunduk pada ketentuan umum perjanjian KUHPerdata, tetapi oleh undang-undang, perjanjian pengangkutan laut secara khusus telah diatur sedemikian rupa, yang antara lain menetapkan berbagai kewajiban khusus kepada pihak si pengangkut yang tidak boleh

disingkirkan dalam perjanjian pengangkutan, yaitu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 470 KUHD, bahwa “Melarang seorang pengangkut untuk memperjanjikan bahwa ia tidak akan menanggung atau hanya akan menanggung sebagian saja kerusakan-kerusakan pada barang yang diangkutnya, yang akan ditimbulkan oleh kurang baiknya alat pengangkutan atau kurang cakapnya pekerja-pekerja yang pakainya. Perjanjian yang dibuat dengan melanggar larangan tersebut, diancam dengan kebatalan. Dengan demikian perjanjian pengangkutan dapat dikategorikan perjanjian bernama”. 2. Perjanjian pengangkutan termasuk dalam perjanjian campuran, karena

mengandung beberapa prinsip/sifat atau ciri-ciri dari 2 (dua) atau lebih perjanjian bernama yang masing-masing tidak dapat dipisahkan. Sesuai teori perjanjian campuran, sebagaimana dinyatakan oleh Soekardono, perjanjian pengangkutan termasuk perjanjian campuran karena memuat unsur-unsur: a. Perjanjian penyimpanan/penitipan sebagaimana yang diatur dalam Pasal

486 KUHD, yaitu bahwa “Perjanjian pengangkutan mewajibkan pengangkut untuk menjaga keselamatan barang/penumpang yang diangkut, mulai saat diterimanya barang hingga saat diserahkannya barang tersebut”. Dari penjelasan tersebut terlihat adanya unsur perjanjian penitipan yang bersifat riil, yang artinya hal itu baru akan terjadi dengan dilakukannya suatu perbuatan yang nyata, yaitu dengan diserahkannya barang yang dititipkan sesuai Pasal 1694 dan Pasal 1698 KUHPerdata yang berbunyi: “Perjanjian terjadi, apabila seorang menerima barang dari seorang lain dengan syarat bahwa ia akan menyimpannya dan

mengembalikannya dalam wujud asal”, dan “Persetujuan ini tidaklah telah terlaksana selain dengan penyerahan barangnya secara sungguh-sungguh atau dipersangkakan”.

b. Prinsip perjanjian pelayanan berkala, yaitu perjanjian yang tidak terus-menerus, yang merupakan perjanjian untuk melakukan pekerjaan yang tidak tetap sebagaimana diatur Pasal 1601 b KUHPerdata.

c. Perjanjian pemberian kuasa, hal ini sebagaimana yang diatur dalam Pasal 371 ayat (1) KUHD bahwa “Nakhoda diwajibkan selama perjalanan menjaga kepentingan para pemilik muatan, mengambil tindakan yang diperlukan untuk itu dan jika perlu untuk itu menghadap di muka hakim”. Selanjutnya, pada Pasal 371 ayat (3) KUHD dijelaskan bahwa “Dalam keadaan yang mendesak ia diperbolehkan menjual barang muatan atas sebagian dari itu, atau guna membiayai pengeluaran yang telah dilakukan guna kepentingan muatan tersebut, meminjam uang dengan mempertaruhkan muatan itu sebagai jaminan”.

d. Bersifat perjanjian konsensual, menurut ketentuan undang-undang, perjanjian pengangkutan tidak diwajibkan tertulis, cukup dengan lisan asalkan ada persetujuan kedua belah pihak. Hal itu dapat dibaca pada Pasal 454 KUHD. Masing-masing pihak boleh menuntut dibuatkannya suatu akta tentang persetujuan charterparty yang merupakan salah satu bentuk perjanjian pengangkutan. Tanpa dokumen-dokumen pengangkutan, perjanjian pengangkutan tetap dianggap ada. Dokumen-dokumen tersebut bukanlah merupakan unsur dari perjanjian, hanya sebagai alat bukti saja,

dan dengan sendirinya dokumen yang ada bisa digantikan dengan alat bukti lainnya, misalnya kuitansi pembayaran.

Perjanjian menimbulkan perikatan, yaitu perhubungan hukum antara 2 (dua) orang atau 2 (dua) pihak, atas dasar mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu prestasi dari yang lain, yang lain berkewajiban melaksanakan dan bertanggung jawab atas suatu prestasi. Pihak pihak yang terkait di dalam perjanjian pengangkutan laut adalah pihak berdasarkan pengertian perjanjian pengangkutan sebelumnya adalah:

1. Pengangkut 2. Pengirim barang

Penerima barang dalam kerangka perjanjian pengangkutan tidak menjadi para pihak. Penerima merupakan pihak ketiga yang berkepentingan atas penyerahan barang. Pengirim barang dan pengangkut diawali dengan serangkaian perbuatan tentang penawaran dan permintaan yang dilakukan oleh pengangkut dan pengirim secara timbal balik dengan cara antara lain:42

1. Penawaran dari pihak pengangkut

Cara terjadinya perjanjian pengangkutan dapat secara langsung antara pihak-pihak, atau secara tidak langsung dengan menggunakan jasa perantara (ekspeditur).

42

Abdulkadir Muhammad, hukum Pengangkutan Darat, Laut dan Udara, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991), hal. 97

2. Penawaran dari pihak pengirim

Apabila penawaran dilakukan oleh ekspeditur, maka ekspeditur menghubungi pengangkut atas nama pengirim barang. Kemudian pengirim barang menyerahkan barang pada ekspeditur untuk diangkut.

Dari adanya perjanjian pengangkutan laut tersebut menimbulkan hak dan kewajiban bagi pengangkut dan pengirim. Pengangkut mempunyai kewajiban untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan atau orang dari satu tempat ke ketempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mempunyai kewajiban untuk membayar angkutan. Antara pengangkut dan pengirim sama-sama saling mempunyai hak untuk melakukan penuntutan apabila salah satu pihak tidak memenuhi prestasi.43

B.Hubungan Hukum antara Pelaku Usaha Ekspedisi Muatan Kapal Laut, Pemilik Barang dan Pemilik Kapal

Pelaku usaha ekspedisi muatan kapal laut atau sering dsebut juga dengan ekspeditur adalah pihak yang menjalankan fungsinya sebagai tukang menyuruh orang mengangkut barang apabila pihak ekspeditur tidak memiliki alat pengangkut. Mengenai ekspeditur telah diatur dalam KUHDagang, Buku I, bab V bagian II Pasal 86 ayat 1 yang berbunyi “Ekspeditur adalah orang yang pekerjaannya menyuruh orang lain untuk menyelenggarakan pengangkutan barang-barang dagangan dan barang-barang lainnya melalui daratan atau perairan”.

43

Usaha mencarikan pengangkut yang baik dan cocok dengan barang yang akan diangkut, biasanya ekspeditur bertindak “atas nama sendiri”, walaupun untuk kepentingan dan atas tanggung jawab pengirim. Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1994 disebutkan bahwa : “Barang siapa membuat perjanjian charter kapal untuk orang lain, terikatlah dia untuk diri sendiri terhadap pihak lawannya, kecuali apabila pada waktu membuat perjanjian tersebut dia bertindak batas-batas kuasanya dan menyebutkan nama si pemberi kuasa yang bersangkutan”.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen , membagi 2 (dua) pihak saja yaitu konsumen dan pelaku usaha. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan sedangkan pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.44

Pemilik barang yang dalam hal ini memanfaatkan jasa dari ekspeditur sebaga pelaku usaha untuk melakukan pengiriman barang ke tempat tujuan yang diiginkan oleh pemilik barang sedangkan ekspeditur menjadi sebagai konsumen

44

yang memanfaatkan jasa dari pemilik kapal untuk mengantarkan barang yang telah dipercayakan pemilik barang kepada ekspeditur.

Hubungan hukum antara 3 (tiga) pihak ini pada prinsipnya memiliki batasan dimana 1 (satu) pihak hanya bertanggung jawab pada 1 (satu) pihak lainnya karena sesuai dengan perjanjian yang masing-masing mengikatnya. Pemilik barang melakukan perjanjian dengan ekspeditur, ekpeditur melakukan perjanjian dengan pemilik kapal untuk mengantarkan barang. Apabila barang dari pemilik barang rusak ataupun hilang maka pemilik barang meminta pertanggung jawaban kepada ekspeditur atas kehilangan ataupun kerusakan barang tersebut. Akan tetapi sesuai dengan peraturan yang ada, pemilik kapal lah yang bertanggungjawab akan hal itu.

Pada kenyataannya sedikit kompleksitas hubungan antara ketiga belah pihak ini, karena di satu sisi pihak pertama hanya berhubungan dengan kedua, namun pihak ketiga sebagai pemilik kapal akan bertanggung jawab atas barang-barang yang rusak ataupun hilang padahal pihak ketiga tersebut tidak ada berhubungan atau melakukan perjanjian dengan pihak pertama.

Kegiatan pengangkutan barang yang dilakukan oleh ekspeditur merupakan kegiatan perantara, berikut jenis perjanjian yang terbentuk dari perjanjian pengangkutan barang tersebut:

1. Perjanjian yang dibuat antara ekspeditur dengan pengirim tersebut dengan perjanjian ekspedisi yaitu perjanjian timbal balik antara ekspeditur dengan pengirim dimana ekspeditur mengikatkan diri untuk mencarikan pengangkut

yang baik bagi si pengirim, sedangkan si pengirim mengikatkan diri untuk membayar provisi kepada ekspeditur.

2. Perjanjian antara ekspeditur atas nama pengirim dengan pengangkut disebut dengan perjanjian pengangkutan.

Dari dua jenis perjanjian diatas, maka akan membentuk hubungan hukum ekspeditur sebagai berikut:

1. Sebagai pemegang kuasa

Ekspeditur melakukan perbuatan hukum atas nama pengirim. Dengan demikian ketentuan-ketentuan tentang pemberian kuasa yang tercantum dalam Pasal 1792 sampai dengan Pasal 1819 KUHPerdata berlaku baginya

2. Sebagai komisioner

Kalau ekspeditur berbuat (melakukan perbuatan hukum) atas namanya sendiri, maka diberlakukanlah kepadanya ketentuan-ketentuan hukum mengenai komisioner sebagai mana tercantum dalam Pasal 76 KUHD dan seterusnya 3. Sebagai penyimpan barang

Sebelum ekspeditur dapat menentukan pengangkut yang memenuhi syarat, sering juga eskepditur terpaksa harus menyimpan dulu barang-barang pengirim di gudangnya. Dalam hal ini ketentuan-ketentuan yang berlaku baginya adalah ketentuan mengenai penyimapanan barang sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1694 KUHPerdata

4. Sebagai penyelenggara usaha

Untuk melaksanakan tugas/amanat pengirim, sering kali ekspeditur berurusan dengan pihak ketiga, seperti misalnya melaksanakan ketentuan-ketentuan

tentang pengeluaran dan pemasukan barang-barang di pelabuhan, bea cukai dan lain-lain.

C. Hak dan Kewajiban Para Pihak

Para pihak dalam perjanjian pengangkutan barang melalui laut terdiri dari pihak pengangkut dan pengirim/penerima barang. Secara garis besarnya, pihak pengangkut mempunyai kewajiban menjaga keselamatan barang yang diangkutnya sejak dimuat sampai dengan penyerahannya di pelabuhan, sedangkan pemilik barang/penerima barang berkewajiban untuk membayar ongkos-ongkos pengangkutan (freight) atas pengangkutan barang yang diperintahkannya untuk diangkut tersebut. Maka segala sesuatu yang mengganggu keselamatan penumpang atau barang menjadi tanggung jawab pengangkut. Dengan demikian, berarti pengangkut berkewajiban menanggung segala kerugian yang diderita oleh penumpang atau barang yang diangkutnya tersebut.45

Pasal 1 ayat (2) dari The Hague Rules 1924 menjelaskan mengenai perjanjian pengangkutan dengan mengatakan bahwa46

45

Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang, (Yogyakarta: Penerbit FH UII Press, 2006), hal. 184.

46

Taufiq Yulianto & Puji Wahyumi, Batas Tanggung Gugat Perusahaan Pelayaran Dalam Pengangkutan Barang Melalui Laut, Majalah Orbith Volume 9, 1 Maret 2013, hal. 35

Dokumen terkait