• Tidak ada hasil yang ditemukan

Upaya Hukum Pemilik Barang Terhadap Pelaku Usaha Ekspedisi Muatan Kapal Laut Atas Kerugian Yang Dialami Akibat Tenggelamnya Kapal Pengirim Barang Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Upaya Hukum Pemilik Barang Terhadap Pelaku Usaha Ekspedisi Muatan Kapal Laut Atas Kerugian Yang Dialami Akibat Tenggelamnya Kapal Pengirim Barang Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

UPAYA HUKUM PEMILIK BARANG TERHADAP PELAKU USAHA

EKSPEDISI MUATAN KAPAL LAUT ATAS KERUGIAN YANG

DIALAMI AKIBAT TENGGELAMNYA KAPAL PENGIRIM BARANG

DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999

TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum SKRIPSI

Oleh :

100200310 ANDREVIN

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

UPAYA HUKUM PEMILIK BARANG TERHADAP PELAKU USAHA EKSPEDISI MUATAN KAPAL LAUT ATAS KERUGIAN YANG DIALAMI AKIBAT TENGGELAMNYA KAPAL PENGIRIM BARANG

DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH: ANDREVIN NIM : 100200310

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

Disetujui,

Ketua Departemen Hukum Ekonomi

NIP. 197501122005012002 Windha, S. H., M. Hum.

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Ramli Siregar, S.H., M. Hum.

NIP :195303121983031002 NIP. 197501122005012002 Windha, S. H., M. Hum.

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkah dan rahmat yang telah diberikan-Nya selama ini, sehingga Penulis bisa menyelesaikan karya tulis skripsi ini dengan baik dan benar. Penulisan Skripsi yang berjudul: UPAYA HUKUM PEMILIK BARANG TERHADAP

PELAKU USAHA EKSPEDISI MUATAN KAPAL LAUT ATAS

KERUGIAN YANG DIALAMI AKIBAT TENGGELAMNYA KAPAL

PENGIRIM BARANG DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 8

TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN adalah untuk

memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa hasil penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karenanya, penulis sangat mengharapkan adanya saran dan kritik dari para pembaca skripsi ini. Kelak dengan adanya saran dan kritik tersebut, maka penulis akan dapat menghasilkan karya tulis yang lebih baik dan berkualitas, baik dari segi substansi maupun dari segi cara penulisannya.

(4)

Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc.(CTM), Sp.A(K)., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah mengelola dan menyelenggarakan universitas sesuai dengan visi dan misi USU.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M. Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah memimpin penyelenggaraan pendidikan, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, serta membina tenaga pendidik dan mahasiswa di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).

3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah banyak membantu Dekan dalam memimpin pelaksanaan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

4. Bapak Syarifuddin Hasibuan, S.H., M.Hum.,DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah banyak membantu Dekan dalam memimpin pelaksanaan kegiatan di bidang administrasi umum.

(5)

6. Ibu Windha, S. H., M. Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi dan Dosen Hukum Ekonomi. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas segala saran dan kritik yang sangat berarti dan bermanfaat bagi penyelesaian skripsi ini.

7. Bapak Ramli Siregar, S.H., M. Hum., selaku Sekretaris Jurusan Departemen Hukum Ekonomi. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas ilmu yang telah diberikan dalam perkuliahan.

8. Bapak Ramli Siregar, S.H., M. Hum., selaku Dosen Hukum Ekonomi dan Dosen Pembimbing I. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas segala bantuan dan dukungannya yang sangat berarti dan bermanfaat bagi penyelesaian skripsi ini.

9. Ibu Windha, S. H., M. Hum., selaku Dosen Hukum Ekonomi dan Dosen Pembimbing II. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas segala bantuan, kritikan, saran, bimbingan, dan dukungan yang sangat berarti dan bermanfaat hingga selesainya penyusunan skripsi ini.

10. Bapak Syarifuddin Hasibuan, S.H., M.Hum.,DFM , selaku Dosen Wali. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas segala bantuan sejak baru menjadi mahasiswa sampai sekarang selesai menyelesaikan pendidikan.

11. Para Dosen, Asisten Dosen, dan seluruh staf administrasi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah berjasa mendidik dan membantu Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

(6)

13. Ceryne Lius selaku pasangan penulis yang senantiasa mendukung dan selalu memberikan support kepada penulis selama masa kuliah dan masa pengerjaan skripsi.

14. Robert dan Herbert selaku teman seperjuangan Penulis dimana lebih dikenal dengan sebutan Trio Tiongkok dari Grup E selama masa perkuliahan di FH USU.

15. Wilda, Frezi, Elly, Angie, Anas, Devi, Dea, Marwah, Gayus, Theo, Gilbert, dan sahabat-sahabat seperjuangan Grup E FH USU 2010 yang lain.

16. Seluruh teman di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara angkatan 2010 yang selalu bersama Penulis dalam suka maupun duka pada saat menjalani masa perkuliahan.

Medan, 8 April 2014 Penulis

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAK ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Tinjauan Pustaka ... 10

F. Metode Penelitian ... 12

G. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS PEMAKAIAN JASA DARI PELAKU USAHA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengertian perlindungan konsumen ... 19

B. Ruang lingkup perlindungan konsumen ... 24

1. Hak dan kewajiban ... 25

2. Perbuatan yang dilarang ... 26

3. Ketentuan pencantuman klausula baku ... 33

4. Tanggung jawab pelaku usaha ……… .. 38

(8)

C. Perlindungan konsumen atas pemakaian jasa dari pelaku usaha menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ... 44

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA

EKSPEDISI MUATAN KAPAL LAUT ATAS

KERUGIAN YANG DIALAMI PEMILIK BARANG AKIBAT

TENGGELAMNYA KAPAL PENGIRIM BARANG

A. Perjanjian pengangkutan barang melalui laut .. ... 47 B. Hubungan hukum antara pelaku usaha ekspedisi muatan

kapal laut, pemilik barang, dan pemilik kapal ... 55 C. Hak dan kewajiban para pihak ... 59 D. Bentuk tanggung jawab pelaku usaha ekspedisi muatan

kapal laut atas kerugian yang dialami pemilik barang akibat tenggelamnya kapal pengirim barang ... 62

BAB IV UPAYA HUKUM PEMILIK BARANG TERHADAP

PELAKU USAHA EKSPEDISI MUATAN KAPAL LAUT

ATAS KERUGIAN YANG DIALAMI AKIBAT

TENGGELAMNYA KAPAL PENGIRIM BARANG

DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN

1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Upaya hukum melalui non-litigasi………. 80 B. Upaya hukum melalui litigasi ……… 85

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

(9)

B. Saran ... 89

(10)

Andrevin* ABSTRAK

Upaya Hukum Pemilik Barang Terhadap Pelaku Usaha Ekspedisi Muatan Kapal Laut Atas Kerugian Akibat Tenggelamnya Kapal Pengirim Barang Ditinjau Dari

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

1

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

** Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara *** Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Ramli Siregar** Windha***

Pihak yang menjalankan jasa pengiriman barang dikenal dengan ekspeditur. Ekspeditur atau di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebut dengan pelaku usaha dimana pelaku usaha tersebut menjalankan kegiatan usahanya dengan melakukan pengiriman barang. Pelaku usaha ekspedisi muatan kapal dapat melaksanakan usahanya dalam mengantarkan barang ke tempat yang dituju tanpa harus memiliki kapal itu sendiri, sehingga terdapat 3 (tiga) pihak yang terkait dalam usaha ekspedisi tersebut, yakni pemilik kapal, pengusaha ekspedisi dan pemilik barang. Hal ini membingungkan terlebih jikalau ada permasalahan seperti tenggelamnya kapal atau rusaknya barang kiriman, pihak mana yang harus bertanggungjawab, bagaimana dengan perlindungan hukum terhadap konsumen pemakai jasa ekspedisi tersebut, dan bagaimana upaya hukum yang dapat ditempuh oleh konsumen yang merasa dirugikan ekspeditur yang bersangkutan.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif bersifat deskriptif. Data yang digunakan dalam penelitian ini ialah data primer, data sekunder, dan data tersier. Seluruh data tersebut dikumpulkan dengan menggunakan teknik studi kepustakaan. Kemudian data yang telah terkumpul tersebut dianalisis secara normatif kualitatif.

Kesimpulan dari penelitian ini antara lain: pertama, pelaku usaha wajib untuk beritikad baik dalam melakukan kegiatan usaha dan memberikann informasi yang benar kepada konsumen karena hak-hak konsumen berupa kenyamanan, keamanan dan keselematan dalam menggunakan jasa ekspedisi muatan kapal laut; kedua, pelaku usaha/ekspeditur selaku sebagai pelaku usaha wajib untuk memberikan ganti rugi kepada konsumen jikalau kerugian yang dialami oleh konsumen memang merupakan kelalaian dari pelaku usaha karena memang merupakan tanggung jawab yang mutlak dan pelaku usaha dapat dibebaskan dari tanggungjawab jika kerusakan itu terjadi akibat overmacht atau force majeure; ketiga, upaya hukum yang dapat ditempuh dapat berupa upaya hukum melalui jalur litigasi atau jalur peradilan dan jalur litigasi dimana jalur non-litigasi dapat dilakukan dengan mengajukan permohonan ke BPSK sebagai institusi non struktural yang memiliki fungsi untuk menyelesaikan permasalahan konsumen diluar pengadilan secara murah, cepat dan sederhana.

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peran pelaku usaha ekspedisi selama ini dianggap sangat membantu dalam mempermudah pengiriman barang dari satu tempat ke tempat yang lain. Pentingya untuk saling melengkapi satu sama lain, pelaku usaha ekspedisi muatan kapal muncul dalam memperlancar arus barang dan lalu lintas orang yang timbul sejalan dengan perkembangan masyarakat dan semakin tingginya mobilitas, sehingga menjadikan pengangkutan itu sendiri sebagai suatu kebutuhan bagi masyarakat.

Usaha ekspedisi kian bermunculan seiring meningkatnya kebutuhan masyarakat atas jasa pengiriman barang. Dapat dilihat, banyaknya masyarakat melakukan jual beli jarak jauh, antar provinsi ataupun antar negara, pesanan pengiriman barang melalui muatan kapal pun meningkat drastis. Dengan memperbaiki dan meningkat kan pelayanan usaha pengiriman barang laut, pelaku usaha ekspedisi saling bersaing untuk memuaskan konsumennya dan menjadi rekanan yang dapat dipercaya.

(12)

pasar sebanyak 6,1% , Sumatera memiliki pangsa pasar sebanyak 13,9 , Bali memiliki pangsa pasar sebanyak 5,2% , Sulawesi memiliki pangsa pasar sebanyak 3,8% , dan wilayah lainnya memiliki pangsa pasar sebesar 7,6%.2

Seperti yang diketahui saat ini, perkembangan jumlah perusahaan ekspedisi meningkat dengan pesat seiring kebutuhan masyarakat akan jasa pengiriman barang melalui pelaku usaha ekspedisi tersebut. Dalam tahun 2001 , jumlah perusahaan ekspedisi berjumlah 990 perusahaan. Kemudian pada tahun 2002 perusahaan ekspedisi meningkat dari 990 perusahaan menjadi 1.250 perusahaan. Kemudian jumlah tersebut bertambah lagi di tahun 2003 dari 1.250 perusahaan menjadi 1.391 perusahaan. Kemudian pada tahun 2004 terjadi peningkatan lagi dari 1.391 perusahaan menjadi 1.657 perusahaan. Dan pada tahun 2005 peningkatan jumlah perusahaan ekspedisi dari 1.657 menjadi 1.701 perusahaan.3

Dalam perkembangan jumlah perusahaan ekspedisi yang meningkat drastis setiap tahunnya ternyata tidak menjamin omzet yang diterima oleh perusahaan industri tersebut. Perkembangan omzet industri perusahaan ekspedisi mengalami naik turun. Pada tahun 2001 , omzet perusaahan ekspedisi sebesar Rp 68,61 Triliun. Lalu pada tahun 2002, omzet perusahaan ekspedisi mengalami penurunan yang lumayan besar menjadi Rp 65,93 Triliun. Kemudian pada tahun 2003 omzet perusahaan ekspedisi kembali mengalami penurunan menjadi Rp 63.3 Triliun. Kemudian pada tahun 2004, omezet perusahaan ekspedisi mengalami

2

Majalah Bisnis dan Manajemen ‘Eksekutif’

3

(13)
[image:13.595.131.508.443.620.2]

sedikit penurunan menjadi Rp 62,94 Triliun. Kemudian pada tahun 2005, omzet perusahaan ekspedisi mengalami sedikit kenaikan menjadi Rp 63,03 Triliun.4

Gambar 1.1 Segmentasi Produk dan Jasa Industri Ekspedisi

Sumber: wartaekonomi.co.id

Para pelaku industri forwarding/ekspedisi biasanya terdiri dari kelompok Ekspedisi Muatan Kapal Laut (EMKL), Ekspedisi Muatan Pesawat Udara (EMPU), dan Ekspedisi Muatan Kereta Api (EMKA), serta perusahaan freight forwarder. Pada 2005 ada 1.701 perusahaan yang bergerak di bisnis ini, atau

bertambah 44 perusahaan dibandingkan pada tahun 2004.

EMKL merupakan jasa ekspedisi yang paling banyak dimanfaatkan berbagai sektor industri di Indonesia. Porsi EMKL sekitar 50% dari total industri forwarding/ekspedisi, disusul EMPU (20%), dan EMKA (20%). Sisanya, 10%,

merupakan jasa freight forwarding.

Dalam industri ekspedisi dan pengepakan ini terdapat 3 (tiga) jenis pasar yang saling berbeda, yakni general freight (muatan umum), specialized freight (muatan barang khusus), serta muatan angkutan udara, baik untuk pasar dalam

4

(14)
[image:14.595.133.496.250.408.2]

negeri maupun luar negeri. Berdasarkan segmen pasar, maka pengguna utama jasa industri ekspedisi adalah industri manufaktur, industri grosir dan industri retail (pengecer). Hal ini dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 1.2 Segmentasi Pasar Utama Industri Ekspedisi

Sumber: wartaekonomi.co.id

(15)

pemilik kapal. Walaupun demikian, usaha ekspedisi ini tetap laris dan diminati oleh masyarakat banyak.

Adanya hubungan 3 (tiga) pihak antara pelaku usaha ekspedisi muatan laut, pemilik barang dengan pemilik kapal, kenyataannya menimbulkan masalah ketika kapal yang digunakan untuk mengantarkan barang mengalami hal yang tidak terduga hingga tenggelam. Kerugian yang muncul pastinya tidak sedikit dan pada akhirnya menimbulkan pertanyaan, pihak mana yang harus bertanggung jawab. Pemilik barang melakukan perjanjian dengan pelaku usaha ekspedisi muatan kapal, akan tetapi pemilik barang tidak tahu menahu akan keberadaan pemilik kapal dimana pemilik kapal ini muncul diakibatkan adanya hubungan antara pelaku usaha ekspedisi muatan kapal dengan pemilik kapal.

Tenggelamnya kapal pastinya diakibatkan oleh sesuatu hal yang dapat berupa memang kelalain pihak pemilik kapal atau diluar dari kemampuan pemilik kapal. Hal ini sangat penting karena akan menunjukkan bentuk pertanggungjawaban atas timbulnya kerugian yang dialami oleh pemilik barang. Oleh karena itu pihak yang telah menimbulkan kerugian dapat tidak diminta pertanggungjawabannya apabila kerugian tersebut muncul diluar dari kuasanya.

(16)

B. Rumusan Masalah

Dari uraian tersebut sebelumnya, dalam penelitian ini akan dibahas permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana perlindungan konsumen atas pemakaian jasa dari pelaku usaha menurut UUPK?

2. Bagaimana pertanggungjawaban pelaku usaha atas kerugian yang dialami pemilik barang akibat tenggelamnya kapal pengirim barang?

3. Bagaimana upaya hukum apa yang dapat dilakukan oleh pemilik barang terhadap pelaku usaha ekspedisi muatan kapal laut atas kerugian yang dialami akibat tenggelamnya kapal pengirim barang ditinjau dari UUPK?

C. Tujuan dan manfaat penulisan

1. Tujuan dari penelitian ini antara lain sebagai berikut :

a) Untuk mengetahui perlindungan konsumen atas pemakaian jasa dari pelaku usaha menurut UUPK.

b) Untuk mengetahui pertanggungjawaban pelaku usaha atas kerugian yang dialami pemilik barang akibat tenggelamnya kapal pengirim barang.

(17)

2. Manfaat penulisan

Penulisan dari skripsi ini diharapkan akan memberikan beberapa manfaat kepada pembaca dan penulis sendiri, antara lain:

a. Manfaat teoritis

1) Memberikan pengetahuan yang benar bagi penulis sendiri mengenai upaya hukum pemilik barang terhadap pelaku usaha ekspedisi muatan kapal laut atas kerugian akibat tenggelamnya kapal pengirim barang ditinjau dari UUPK.

2) Memberikan pembangunan ilmu pengetahuan dalam bidang ilmu hukum ekonomi, khususnya yang berkaitan dengan hukum pengangkutan laut.

b. Manfaat praktis

1) Memberikan kontribusi terhadap masyarakat untuk dapat mengetahui tentang hukum pengangkutan laut khususnya upaya hukum yang dilakukan pemilik barang terhadap pelaku usaha ekspedisi muatan kapal akibat tenggelamnya kapal pengirim barang.

2) Memberikan pemahaman pada pihak terkait seperti ; praktisi hukum, dan juga mahasiswa diharapkan memberikan manfaat yang cukup luas.

D. Keaslian Penulisan

(18)

Pengirim Barang ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen”, belum pernah di tulis oleh mahasiswa lain di lingkungan Universitas Sumatera Utara terutama Fakultas Hukum dan Penulisan ini asli disusun oleh penulis sendiri dan bukan hasil plagiat atau diambil dari penelitian orang lain. Berikut adalah beberapa penulisan yang pernah dilakukan mahasiswa Fakultas Hukum USU yang berkaitan dengan muatan kapal:

1. Nama : Hartono NIM : 870200043

Judul : Peranan dan Tanggungjawab Perusahaan Ekspedisi Muatan Kapal Laut (EMKL) Sebagai Pemilik Barang dan Bongkar Muat Barang

di Pelabuhan Belawan

2. Nama : Etmin H. Siahaan NIM : 900200073

Judul : Aspek Hukum Pertanggungjawaban Nahcoda Kapal atas Keselamatan Barang Pada Pengangkutan Laut

3. Nama : Boy Yudianto NIM : 930200037

Judul : Tinjauan Juridis Mengenai Tanggung Jawab Pengangkutan Terhadap Kerusakan dan Kehilangan brang-barang Melalui

Angkutan Laut (Studi PT. Samudra Indonesia Cab. Medan Belawan) 4. Nama : Rachmawati

NIM : 910200170

(19)

Asuransi Sebagai Penanggung Terhadap Bahaya dan Resiko yang

Timbul Dalam Pengangkutan Laut (Studi di PT. Jasa Raharja (persero) Cabang Medan)

5. Nama : Sumarsih Ermiyanti NIM : 940200235

Judul : Tinjauan Hukum Pertanggungjawaban Perusahaan Ekspedisi Muatan Kapal Laut (Studi Kasus PT. Trans Uka Qana’ah)

Penulisan skripsi ini merupakan ide, gagasan pemikiran dan usaha penulis sendiri bukan merupakan hasil ciptaan atau hasil penggandaan dari karya tulis orang lain yang dapat merugikan pihak-pihak tertentu. Dengan ini penulis dapat bertanggung jawab atas keaslian penulisan skripsi ini.

(20)

usaha terhadap konsumen yang dirugikan. Pada judul kedua membahas mengenai pertanggungjawaban nahkoda kapal atas barang-barang yang dibawa menggunakan kapal pengirim barang. Pada judul ketiga membahas mengenai pertanggung jawaban pelaku usaha terhadap konsumen yang dirugikan , sama hal nya dengan judul pertama. Pada judul keempat membahas mengenai tanggungjawab maskapai asuransi terhadap resiko yang dialami pelaku usaha pengkutan laut. Pada judul kelima juga membahas mengenai pertanggungjawaban pelaku usaha terhadap konsumen yang dirugikan.

Dalam hal mendukung penulisan ini dipakai pendapat para sarjana yang diambil atau dikutip berdasarkan daftar referensi dari buku para sarjana yang ada hubungannya dengan masalah dan pembahasan yang disajikan, baik berupa karya ilmiah maupun pasal-pasal dalam Peraturan Perundang-Undangan.

E. Tinjauan Pustaka

Pasal 3 UUPK menyatakan bahwa perlindungan konsumen bertujuan untuk:

1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

(21)

4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsure kepastian hokum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha;

6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/ataujasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen;

Pasal 1 angka 2 UUPK menyatakan bahwa, konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. 5

Pasal 1 angka 3 UUPK menyatakan bahwa, pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.6

5

Penjelasan Pasal 1 angka 2 UUPK: “Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam undang-undang ini adalah konsumen akhir.”

6

(22)

Pasal 1 angka 4 UUPK menyatakan bahwa, barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. Sedangkan yang dimaksud dengan jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.

Pasal 1 angka 10 UUPK menyatakan bahwa, klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.

Pasal 1 angka 11 menyatakan bahwa, badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.7

Penelitian merupakan sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk memperkuat, membina serta mengembangkan ilmu pengetahuan.

F. Metode Penelitian

8

7

Penjelasan Pasal 1 angka 11 UUPK: “Badan ini dibentuk untuk menangani penyelesaian sengketa konsumen yang efisien, cepat, murah, dan professional.

8

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. Ketiga (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 2005), hlm. 3.

(23)

sebagai pertanggungjawaban ilmiah terhadap komunitas pengemban ilmu hukum.9

1. Jenis dan sifat penelitian

Skripsi ini merupakan penelitian hukum normatif dan bersifat deskriptif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.10 Penelitian hukum normatif ini sendiri mencakup:11

a. penelitian terhadap asas-asas hukum, b. penelitian terhadap sistematika hukum, c. penelitian terhadap tahap sinkronisasi hukum, d. penelitian sejarah hukum, dan

e. penelitian perbandingan hukum

Penelitian normatif dapat dikatakan juga dengan penelitian sistematik hukum sehingga bertujuan mengadakan identifikasi terhadap pengertian-pengertian pokok/dasar dalam hukum,12

9

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi: Penelitian Hukum Normatif, Ed. Revisi (Malang: Bayumedia Publishing, 2008), hlm. 26.

10

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Ed. Pertama, Cet. Ketujuh (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 13-14.

11

Soerjono Soekanto, Op. cit., hlm. 51.

12

Soerjono Soekanto,Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Cetakan ketigabelas, (Jakarta: PT. RajaGrafindoPersada, 2011), hal.15.

(24)

Penelitian ini juga dapat menjelaskan dan menerangkan kepada orang lain dan bagaimana hukumnya mengenai peristiwa atau masalah tertentu.13

Adapun sifat penelitian skripsi ini bersifat deskriptif analitis yang merupakan suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis suatu peraturan hukum.14

Pengumpulan data yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini, menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research) atau studi dokumen (document study). Metode penelitian kepustakaan dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.

Jenis penelitian ini mempergunakan metode yuridis normatif, dengan pendekatan kualitatif. Penelitian yuridis normatif adalah penelitian dengan penelusuran dokumen atau lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.

2. Data

15

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, seperti undang-undang, peraturan pemerintah, konvensi atau perjanjian

Sumber data dapat berasal dari data primer dan data sekunder. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder, dimana data yang diperoleh penulis secara tidak langsung. Berikut data sekunder yang terdapat dalam penelitian ini, yaitu:

13

C. F. G Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir abad ke-20. (Bandung: Alumni, 1994), hal. 140.

14

Soerjono Seokanto,Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta: UI Press, 1986), hal 63.

15

(25)

internasional, dan berbagai peraturan hukum nasional dan internasional yang mengikat, antara lain:

1) Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas 2) Kitab Undang-undang Hukum Dagang, Kitab Undang-undang Hukum

Perdata

3) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran

5) Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti: rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil-hasil karya dari kalangan hukum, dan berbagai karya tulis ilmiah yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan ini.

c. Bahan hukum tersier (tertier), yakni bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder; contohnya adalah kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan seterusnya. Selain itu, bahan tersier ini juga meliputi berbagai bahan primer, sekunder, dan tersier di luar bidang hukum yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan

(26)

Teknik pengumpulan data diperlukan untuk memperoleh suatu kebenaran dalam penulisan skripsi, dalam hal ini digunakan metode pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan (library research), yaitu mempelajari dan menganalisis data secara sistematis melalui buku-buku, surat kabar, makalah ilmiah, internet, peraturan perundang-undangan, dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.

4. Analisis data

Dalam menganalisis data penelitian digunakan analisis normatif kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas dan hasilnya tersebut dituangkan dalam bentuk skripsi. Metode kualitatif dilakukan guna mendapatkan data yang bersifat deskriptif, yaitu data-data yang akan diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari 5 (lima) bab, yang akan diuraikan secara singkat sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

(27)

signifikasi pembahasan. Disamping itu untuk mempertegas pembahasan dicantum pula maksud dan tujuan serta manfaat penelitian beserta metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini.

BAB II PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS PEMAIAKAN JASA

DARI PELAKU USAHA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

Menjelaskan pengertian perlindungan konsumen. Dalam bab ini juga akan membahas mengenai hak dan kewajiban, perbuatan yang dilarang, ketentuan pencantuman klausula baku, tanggung jawab pelaku usaha, pembinaan dan pengawasan terkait dengan ruang lingkup perlindungan konsumen. tidak lupa juga pembahasan mengenai perlindungan konsumen Atas pemakaian jasa dari pelaku usaha menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen akan dibahas dalam bab ini.

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA EKSPEDISI MUATAN KAPAL LAUT ATAS KERUGIAN YANG DIALAMI PEMILIK BARANG AKIBAT TENGGELAMNYA KAPAL PENGIRIM BARANG

(28)

bentuk tanggungjawab pelaku usaha ekspedisi muatan kapal laut atas kerugian yang dialami pemilik barang akibat tenggelamnya kapal pengirim barang

BAB IV UPAYA HUKUM PEMILIK BARANG TERHADAP PELAKU USAHA EKSPEDISI MUATAN KAPAL LAUT ATAS KERUGIAN YANG DIALAMI AKIBAT TENGGELAMNYA KAPAL PENGIRIM BARANG DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

Menjelaskan mengenai upaya hukum pemilik barang terhadap pelaku usaha ekspedisi muatan kapal laut atas kerugian yang dialami akibat tenggelamnya kapal pengirim barang ditinjau dari undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen baik secara litigasi maupun non-litigasi

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

(29)

BAB II

PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS PEMAKAIAN JASA DARI

PELAKU USAHA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN

1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

Perlindungan konsumen sebelum terbentuknya undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen didasarkan kepada kesalahan yang terdapat pada ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata mengenai perbuatan melawan hukum dan kelalaian yang mengakibatkan wanrestasi berdasarkan ketentuan Pasal 1234 KUHPerdata. Kedua dasar tuntutan tersebut menempatkan unsur kesalahan dan itikad tidak baik dari produsen.

Pada prakteknya gugatan berdasarkan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata belum mampu memberikan perlindungan yang maksimal bagi konsumen karena tuntutan tersebut tetap mendasarkan pada tiga faktor yang menjadi titika lemah prinsip tanggung jawab berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata dari perspektif kepentingan konsumen yaitu adanya unsur kesalahan, adanya hubungan kontrak dan beban pembuktian pada pihak konsumen.

A. Pengertian Perlindungan Konsumen

(30)

posisi yang lemah dan karenanya dapat menjadi sasaran eksploitasi dari pelaku usaha yang secara sosial dan ekonomi mempunyai posisi yang kuat. Dengan kata lain, konsumen adalah pihak yang rentan diekspolitasi oleh pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan bisnisnya.

Untuk melindungi atau memberdayakan konsumen diperlukan seperangkat aturan hukum, oleh karenanya diperlukan adanya campur tangan negara melalui penetapan sistem perlindungan hukum terhadap konsumen. Berkaitan dengan itu ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Sesuai dengan Undang-undang Perlindungan Konsumen Pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa ”perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”.Adapun tujuan dari perlindungan ko nsumen , antara lain:

1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

(31)

4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum, keterbukaan informasi serta akses untuk memperoleh informasi;

5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha, sehingga tumbuh sikap jujur dan bertanggung jawab dalam oenyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas.

Perlindungan konsumen adalah bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen sedangkan hukum konsumen adalah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang atau jasa konsumen di dalam pergaulan hidup16. Oleh karena itu pengaturan perlindungan konsumen dilakukan dengan:17

1. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung akses dan informasi, serta menjamin kepastian hukum;

2. Melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan kepentingan seluruh pelaku usaha pada umumnya;

3. Meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa;

4. Memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktik usaha yangmenipu dan menyesatkan;

5. Memadukan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan konsumen dengan bidang-bidang perlindungan pada bidang-bidang lainnya.

16

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia edisi Revisi 2006, (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2006), hal. 11

17

(32)

Kerangka umum tentang sendi-sendi pokok pengaturan perlindungan konsumen yaitu:18

1. Kesederajatan antara konsumen dan pelaku usaha; 2. Konsumen mempunyai hak;

3. Pelaku usaha mempunyai kewajiban;

4. Pengaturan tentang perlindungan konsumen berkontribusi pada pembangunan nasional;

5. Perlindungan konsumen dalam iklim bisnis yang sehat; 6. Keterbukaan dalam promosi barang atau jasa;

7. Pemerintah perlu berperan aktif; 8. Masyarakat juga perlu berperan serta;

9. Perlindungan konsumen memerlukan terobosan hukum dalam berbagai bidang;

10.Konsep perlindungan konsumen memerlukan pembinaan sikap.

Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang terdapat pada Pasal 1 di atas sudah cukup memadai. Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum” diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi kepentingan perlindungan konsumen.19

Meskipun undang-undang ini disebut sebagai undang-undang perlindungan konsumen, namun bukan berarti kepentingan pelaku usaha tidak ikut

18

Happy Susanto, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, (Jakarta: Visimedia, , 2008), hal. 5

19

(33)

menjadi perhatian, teristimewa karena keberadaan perekonomian nasional banyak ditentukan oleh para pelaku usaha.

Bahwa kunci pokok perlindungan konsumen adalah bahwa konsumen dan pengusaha (produsen atau pengedar produk) saling membutuhkan. Produksi tidak ada artinya kalau tidak ada yang mengkonsumsinya dan produk yang dikonsumsi secara aman dan memuaskan, pada gilirannya akan merupakan promosi gratis bagi pengusaha.20

Disamping terdapat tujuan perlindungan konsumen, terdapat pula lima asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu:

21

1. Asas manfaat, dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan

2. Asas keadilan, dimaksudkan agar partisipan seluruh rakyat bisa diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh hakbya dan melaksanakan kewajibannuya secara adil

3. Asas keseimbangan, dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen, dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam

20

Abdul Halim Barkatulah, Op.Cit, hal, 47

21

(34)

penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan

5. Asas kepastian hukum, dimaksudkan agar baik pelaku usaha dan konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaran perlindungan konsumen serta negara

Di indonesia dasar hukum yang menjadikan seorang konsumen dapat mengajukan perlindungan konsumen adalah:

1. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27 dan Pasal 23.

2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen . 3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang larangan Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Tidak usaha tidak sehat.

4. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

5. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen.

6. Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Noor 235/DJPDN/VII/2001 tentang Penangananan Pengaduan Konsumen yang dtiujukan kepada Seluruh Dinas Indag Prop/Kab/Kota.

7. Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Nomor 795/DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen .

(35)

Ruang lingkup perlindungan konsumen pada dasarnya meliputi hak dan kewajiban pelaku usaha dan konsumen. Seperti halnya dengan prestasi yang harus dipenuhi oleh masing-masing pihak, disaat pelaku usaha memiliki hak disaat yang bersamaan pula konsumen memiliki kewajiban. Disaat konsumen memiliki hak disaat yang bersamaan pula pelaku usaha memiliki kewajiban. Berikut ruang lingkup perlindungan konsumen yang diatur sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen :

1. Hak dan kewajiban

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan hak-hak dan kewajiban yang dimiliki konsumen, antara lain:

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.

b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.

c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai konsidi dan jaminan barang dan/atau jasa.

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.

(36)

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.22

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Sebagai kontra prestasi atas hak-hak dari konsumen, Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga mengatur dengan rinci kewajiban yang harus dipenuhi oleh konsumen, antara lain:

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan. b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

2. Perbuatan yang dilarang

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberikan batasan larangan yang tegas kepada pelaku usaha sebagai bentuk perlindungan atas hak-hak dari konsumen dalam menggunakan barang dan/atau jasa yang ditawarkan oleh pelaku usaha. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

22

Penjelasan Pasal 4 huruf g UUPK: “Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif berdasarkan suku, agama, budaya, daerah,

(37)

tentang Perlindungan Konsumen secara eksplisit mengatur larangan bagi pelaku usaha dari Pasal 8 sampai dengan Pasal 17.

Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa menjelaskan bahwa pada pasal ini tertuju pada dua hal yaitu larangan memproduksi barang dan/atau jasa dan larangan memperdagangkan barang dan/atau jasa yang dimaksud. Larangan-larangan tersebut agar barang dan/atau jasa yang beredar di masyarakat merupakan produk yang layak edar, antara lain asal-usul, kualitas sesuai dengan informasi pengusaha baik melalui label, etiket, iklan dan lain sebagainya.23

23

Husni Syawili dan Neni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung: Mandar maju, 2000), hal,18

Berbeda dengan produk-produk lainnya, terhadap barang-barang yang berupa sediaan farmasi mendapat perlakuan khusus, karena kalau barang jenis ini rusak, cacat atau bekas, tercemar maka dilarang untuk diperdagangkan, walaupun disertai dengan informasi yang lengkap dan benar tentang barang tersebut. Sedangkan barang lainnya tetap dapat diperdagangkan asal disertai dengan informasi yang lengkap dan benar atas barang tersebut.

(38)

Secara garis besar larangan yang dikenakan dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dapat dibagi ke dalam dua larangan pokok, yaitu:

a. Larangan mengenai produk itu sendiri, yang tidak memenuhi syarat dan standar yang layak untuk dipergunakan atau dipakai atau dimanfaatkan oleh konsumen;

b. Larangan mengenai ketersediaan informasi yang tidak benar, dan tidak akurat, yang menyesatkan konsumen.

Ada larangan-larangan yang diberlakukan kepada pelaku usaha sesuai dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa:

a. Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah:

1) Barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;

2) Barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;

3) Barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja, atau aksesori tertentu;

4) Barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi;

(39)

6) Barang tersbut tidak mengandung cacat tersembunyi;

7) Barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu; 8) Barang tersebut berasal dari daerah tertentu;

9) Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain;

10)Menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko, atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap;

11)Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.

b. Barang dan/atau jasa sebagaiman dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diperdagangkan kembali karena bertentangan dengan ketentuan yang telah dibuat.

c. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dilarang untuk melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut.

(40)

yang seolah-olah sudah memenuhi standar kelayakan untuk diproduksi dan diedarkan

Pasal 10 UUPK menyatakan bahwa, pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:

a. Harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa; b. Kegunaan suatu barang dan/atau jasa;

c. Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;

d. Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan; e. Bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.

Pasal 10 di atas berisi larangan menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan terhadap barang dan/atau jasa tertentu, maka secara otomatis larangan dalam Pasal 10 juga menyangkut persoalan larangan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9.

Pasal 11 UUPK menyatakan bahwa, pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui/menyesatkan konsumen dengan:

a. Menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar mutu tertentu;

(41)

c. Tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud untuk menjual barang lain;

d. Tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang cukup dengan maksud menjual barang yang lain;

e. Tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan maksud menjual jasa yang lain;

f. Menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral. Pasal 12 UUPK menyatakan bahwa, pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, apabila pelaku usaha tidak memiliki niat untuk melaksanakannya sesuai dengan yang telah ditawarkan , dipromosikan atau diiklankan.

Pasal 13 ayat (1) UUPK menyatakan bahwa, pelaku usaha dilarang untuk mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang secara cuma-cuma dengan maksud untuk tidak merealisasikan apa yang telah dijanjikan sebelumnya atau pun tidak seperti yang telah dijanjikan oleh pelaku usaha tersebut.

(42)

Pasal 14 UUPK menyatakan bahwa, adanya beberapa larangan yang diberikan kepada pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian, seperti:

a. Tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan; b. Mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa;

c. Memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan;

d. Mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan. Pasal 15 UUPK menyatakan bahwa, pelaku usaha dilarang melakukan pemaksaan yang menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen dalam hal menawarkan barang dan/atau jasa. Pelaku usaha dilarang keras melakukan kekerasan dalam melakukan penawaran barang dan/atau jasa karena melanggar ketentuan yang telah dibuat dan dapat beresiko dijatuhi hukuman pidana karena telah melakukan pemaksaan dengan unsur kekerasan.

Pasal 16 UUPK menyatakan bahwa, pelaku usaha dilarang menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan apabila tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan dan tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi yang telah dijanjikan.

Pasal 17 ayat (1) UUPK menyatakan bahwa, pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang:

(43)

b. Mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa;

c. Memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa;

d. Tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa; e. Mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang

atau persetujuan yang bersangkutan;

f. Melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.

Pasal 17 ayat (2) UUPK menyatakan bahwa, pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar ketentuan pada ayat (1).

3. Ketentuan pencantuman klausula baku

Istilah klausula baku atau perjanjian baku berasal dari terjemahan dari bahasa Inggris yaitu standard contract. Standar kontrak merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan telah dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrak ini telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak terutama pihak eonomi kuat terhadap ekonomi lemah.24

24

H. Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak di lur KUHPerdata, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), hal, 145

(44)

Mariam Badrulzaman mengemukakan bahwa standard contract merupakan perjanjian yang telah dibakukan dan ia juga mengemukakan bahwa ciri-ciri perjanjian baku yaitu:25

a. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya) kuat b. Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi

perjanjian

c. Terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian itu d. Bentuk tertentu (tertulis)

e. Dipersiapkan secara masal dan kolektif

Gunawan menyebutkan bahwa dengan penggunaan perjanjian standar menyebabkan asas kebebasan berkontrak kurang atau bahkan tidak dapat diwujudkan.26 Senada dengan itu, Mariam Darus Badrulzaman juga menyatakan bahwa perjanjian baku itu secara teoritis yuridis tidak memenuhi dalam Pasal 1320 jo Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata.27

25

Ibid., Salim HS . Halaman 146.

26

Johannes Gunawan. “Penggunaan Perjanjian Standard dan Implikasinya Pada Asas Kebebasan Berkontrak” Majalah Ilmu Hukum dan Pengetahuan Masyarakat No. 3, . 1987. Jilid XVII, Bandung PT. Alumni. Halaman 55; dalam Djaja S. Meliala. 2008. Perkembangan Hukum Perdata tentang Benda dan Hukum Perikatan, cetakan kedua. Bandung: Penerbit Nuansa Aulia. Halaman 97.

27

Ibid. Mariam Darus Badrulzaman. 1980. Perjanjian Baku (standar), Perkembangannya di Indonesia (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar), Medan: Universitas Sumatera Utara. Halaman 13 dan 17; dalam Ibid. Djaja S. Meliala. Halaman 98.

(45)

Klausul dari suatu kontrak yang sudah dibakukan, pada umumnya ditentukan secara sepihak oleh pihak yang lebih dominan posisinya, dalam hal ini pelaku usaha ekspedisi, sehingga konsumen sebagai pemakai jasa tidak mempunyai kekuatan untuk bernegosiasi lagi (bargaining power), sehingga rentan dirugikan oleh klausul yang ditentukan sepihak oleh pelaku usaha.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah payung hukum yang melindungi kepentingan konsumen, memberikan batasan bagi pelaku usaha dalam mencantumkan klausula baku di dalam kontrak bisnis yang mereka terbitkan dalam menjalankan kegiatan usaha.

Pasal 18 UUPK menyatakan, bahwa:

a. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila28

1) Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha (pelaku usaha tidak bisa melepaskan hak dan tanggung jawabnya kepada pihak ketiga).

:

2) Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen (pelaku usaha harus tetap bertanggung jawab atas barang yang telah dijualnya karena suatu waktu barang tersebut bisa dikembalikan karena tidak sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan).

28

(46)

3) Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen (atas ganti rugi terhadap barang yang telah dijual tidak sesuai dengan apa yang telah diperjanjiakan, pelaku usaha berkewajiban mengembalikan uang konsumen)

4) Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran (setiap pemberian kuasa merupakan ha dari setiap orang termasuk konsumen dalam menjalankan aktivitasnya termasuk dalam hal jual beli).

5) Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen (terkait dengan pembuktian, badan peradilan ataupun badan lain yang memiliki kewenangan dalam melakukan pembuktian adalah badan yang memiliki hak atas pembuktian yang ada dalam mencari kebenaran yang ada).

(47)

7) Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya (setiap peraturan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, maka apabila aturan baru yang dibuat oleh pelaku usaha dengan mengenyampingkan Pasal 1320 KUHPerdata, maka aturan yang dibuat oleh pelaku usaha batal demi hukum).

8) Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran (pembebanan ini sangat dilarang karena hak pelaku usaha untuk melakukannya sama sekali tidak ada).

9) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas agar dapat lebih mudah untuk dimengerti (pelaku usaha dilarang untuk membuat hal-hal yang merugikan konsumen dengan cara mengelabuinya). 10)Apabila ketentuan klausula baku yang dibuat memenuhi unsur yang

terdapat pada ayat (1) dan ayat (2), maka dinyatakan batal demi hukum.

(48)

4. Tanggungjawab pelaku usaha

Dalam hal menjalankan kegiatan usaha, hubungan antara pelaku usaha dan konsumen tidak selalu berjalan mulus tanpa halangan. Jikalau ada hak dari konsumen yang dilanggar oleh pelaku usaha, maka timbul sengketa konsumen.

Sengketa konsumen timbul karena ada tanggung jawab dari pelaku usaha yang tidak dipenuhi sehingga mengakibatkan kerugian pada hak konsumen. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sudah mengatur juga secara eksplisit dan rinci tanggung jawab pelaku usaha dari Pasal 19 sampai dengan Pasal 28.

Pasal 19 UUPK menyatakan bahwa,

a. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

b. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

c. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.

(49)

e. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen

Pasal 20 UUPK menyatakan bahwa, pelaku usaha periklanan diwajibkan untuk bertanggung jawab apabila iklan yang diproduksi tersebut menimbulkan akibat yang merugikan. Misalnya melakukan produksi iklan yang bersifat mengintimidasi ataupun menjatuhkan produk milik orang lain.

Pasal 21 UUPK menyatakan bahwa, importir barang wajib bertanggung jawab selaku pembuat barang yang diimpor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri. Importir juga bertanggung jawab dalam penyediaan jasa apabila penyedia jasa tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan dari penyedia jasa asing.

Pasal 22 UUPK menyatakan bahwa, pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian.29

29

Penjelasan Pasal 22 UUPK: “Ketentuan ini dimaksudkan untuk menerapkan sistem beban pembuktian terbaik.”

Pasal 23 UUPK menyatakan bahwa, pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.

(50)

a. Pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila :

1) Pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apapun atas barang dan/atau jasa tersebut.

2) Pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi.

b. Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa yang tersebut.

Pasal 25 UUPK menyatakan bahwa, pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun wajib menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan. Pelaku usaha juga harus bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut :

a. Tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan.

(51)

Pasal 26 UUPK menyatakan bahwa, pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau diperjanjikan sebelum menyepakati perjanjian dengan konsumen agar konsumen memiliki pegangan yang kuat setelah melakukan hubungan kerja dengan pelaku usaha.

Pasal 27 UUPK, merupakan pasal yang sangat membantu bagi pelaku usaha yang melepaskannya dari tanggung jawab untuk memberikan ganti rugi kepada konsumen. Pasal 27 UUPK menyatakan bahwa, pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila :

a. Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan;

b. Cacat barang timbul pada kemudian hari;30

c. Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;31 d. Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;

e. Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.32

Pasal 28 UUPK menyatakan bahwa, pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 memang merupakan beban dan tanggung jawab pelaku

30

Penjelasan Pasal 27 huruf b UUPK: “Cacat timbul di kemudian hari adalah sesudah tanggal yang mendapat jaminan dari pelaku usaha sebagaimana diperjanjikan, baik tertulis maupun lisan.”

31

Penjelasan Pasal 27 huruf b UUPK: “Yang dimaksud dengan kualifikasi barang adalah ketentuan standarisasi yang telah ditetapkan pemerintah berdasarkan kesepakatan semua pihak.”

32

(52)

usaha karena telah diatur dan menjadi kewajiban pelaku usaha untuk bertanggungjawab.

Pasal 28 ini menentukan bahwa beban pembuktian berada di tangan produsen (pelaku usaha). Inilah prinsip pembuktian terbalik, jadi setiap produsen atau pelaku usaha yang dapat membuktikan bahwa kesalahan yang timbul dalam sengketa konsumen bukan merupakan kesalahannya, maka dapat dibebaskan dari pertanggungjawaban untuk memberikan ganti rugi kepada konsumen.

Hal-hal yang harus dibuktikan oleh produsen atau pelaku usaha agar dapat bebas dari pertanggungjawaban atas kerugian yang diderita oleh konsumen ialah dengan membuktikan hal-hal yang telah disebut dalam Pasal 27 UUPK, yaitu karena faktor-faktor pencurian, cacat yang timbul dikemudian hari, kesalahan konsumen dan kadaluwarsa hak untuk menuntut.

5. Pembinaan dan pengawasan

Pemerintah selain memiliki fungsi legilasi, dalam hal ini pembentukan dan pengesahan UUPK, juga mempunyai fungsi untuk membina dan mengawasi penyelenggaran perlindungan konsumen serta menjamin terlaksananya ketentuan UUPK dalam lalu lintas usaha barang dan/atau jasa antara konsumen dengan pelaku usaha.

(53)

a. Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha

b. Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait

c. Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan koordinasi atas penyelenggaraan perlindungan konsumen.

d. Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi upaya untuk:

1) Terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen;

2) Berkembangnya lembaga perlidungan konsumen swadaya masyarakat; 3) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya

kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen.

e. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(54)

Masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat disamping pemerintah sendiri melalui menteri dan/atau menteri teknis yang terkait. Apabila diperhatikan isi Pasal 30 tersebut, maka akan terlihat bahwa pengawasan lebih banyak menitikberatkan pada peran masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat dibanding dengan peran pemerintah yang pelaksanaannya dilakukan oleh menteri dan /atau menteri teknis yang terkait. Dalam Pasal 30 tersebut juga terlihat pemerintah diberikan tugas melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya

C. Perlindungan Konsumen Atas Pemakaian Jasa Dari Pelaku Usaha

Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen

Pelaku usaha ekpedisi pengiriman barang melalui kapal dan konsumen pengirim barang selaku pengguna jasa ekpedisi mempunyai ikatan hukum yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen . Beberapa hal yang dapat dipahami mengenai hubungan hukum antara pelaku usaha ekpedisi dengan konsumen pengirim barang jikalau terjadi sengketa diantara pihak tersebut, antara lain:

(55)

2. Hak-hak dan kewajiban konsumen merupakan bentuk kontra prestasi dengan hak-hak dan kewajiban pelaku usaha, dengan kata lain bahwa hak dari konsumen adalah kewajiban dari pelaku usaha serta sebaliknya.

3. Klausula-klausula dalam kontrak perjanjian ekpedisi umumnya ditentukan secara sepihak oleh pelaku usaha (kontrak baku/standard contract). Klausula baku sering kali merugikan hak-hak konsumen sehingga Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberikan batasan sebagaimana kontrak baku yang wajar untuk dipergunakan dalam lalu lintas jasa pengiriman ekspedisi.

4. Pemerintah selain mempunyai fungsi legislasi untuk membentuk dan mengesahkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen , juga mempunyai fungsi pengawasan dalam pelaksanaan perlindungan konsumen sehingga tujuan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen itu diharapkan dapat tercapai.

5. Jikalau ada hak-hak dari konsumen yang dilanggar oleh pelaku usaha ekspedisi, maka timbul sengketa konsumen. Sengketa konsumen dapat diselesaikan dengan 3 (tiga) cara, antara lain:

a. Dengan cara kekeluargaan antara pelaku usaha dengan konsumen.

b. Dengan menempuh penyelesaian sengketa non-litigasi yang dapat berupa menggugat ke BPSK, mediasi, negosiasi, konsiliasi dan arbitrase.

(56)
(57)

BAB III

PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA EKSPEDISI MUATAN

KAPAL LAUT ATAS KERUGIAN YANG DIALAMI PEMILIK BARANG

AKIBAT TENGGELAMNYA KAPAL PENGIRIM BARANG

Pertanggungjawaban merupakan salah satu kewajiban salah satu pihak terhadap pihak lain apabila terjadi suatu kerugian yang timbul. Pertanggungjawaban pada umunya dapat terjadi karena akibat faktor kesengajaan atau kelalaian salah satu pihak sehingga menimbulkan kerugian.

Pasal 31 Kitab Undang-undang Hukum Dagang menyebutkan bahwa: 1. Pengusaha kapal terikat oleh perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukan oleh

mereka yang dalam dinas tetap atau sementara dari kapal iu di dalam pekerjaannya dalam lingkungan kewenagannya.

2. Ia bertanggung jawab terhadap kerugian yang ditimpakan pada pihak ketiga karena perbuatan melawan hukum dari mereka yang dalam dinas tetap atau sementara pada kapal karena jabatannya atau karena melaksanakannya kegiatannya ada di kapal melakukan pekerjaan untuk kapal atau muatan.

Adanya pertanggungjawaban pemilik kapal/pengusaha/pelaku usaha/ekspeditur diawalai dengan adanya suatu perjanjian. Perjanjian antara pihak-pihak yang terdapat dalam pengangkutan laut menyebabkan adanya hubungan hukum yang kuat antara satu pihak dengan pihak yang lain.

A.Perjanjian Pengangkutan Barang Melalui Laut

(58)

orang lain atau lebih. Para sarjana hukum perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian dalam ketentuan di atas tidak lengkap dan terlalu luas.33 Setiawan menyatakan bahwa perjanjian merupakan suatu perbuatan hukum dimana satu orang lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. 34

Definisi perjanjian pengangkutan adalah sebagai perjanjian timbal balik dengan mana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang atau orang dari suatu tempat ke tempat lain atau tujuan tertentu dengan selamat . Perjanjian pengangkutan adalah perjanjian antara pengangkut dengan pengirim, dimana pengangkut mengikatkan dirinya untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan. 35 Suatu perjanjian timbal balik pada mana pihak pengangkut mengikat diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang ketempat tujuan tertentu, sedangkan pihak lainnya berkeharusan untuk menunaikan pembayaran biaya tertentu untuk pengangkutan itu.36

Perjanjian pengangkutan niaga adalah persetujuan dengan mana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan penumpang dan/ atau barang dari satu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, dan penumpang atau pengirim mengikatkan diri untuk membayar biaya angkutan.

33

Mariam Darus Badrulzaman, dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 65.

34

R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Jakarta: Putra A Bardin, 1999), hal. 49

35

H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, cetakan III, (Jakarta: Djambatan, 1984), hal. 1

36

(59)

Dari segi hukum, khususnya hukum perjanjian, pengangkutan merupakan perjanjian timbal balik antara pengangkut dan pengirim barang atau penumpang dimana pihak pengangkut mengikatkan dirinya untuk menyelengarakan pengangkutan barang atau orang ke suatu tempat tujuan tertentu, dan pihak pengirim barang atau penumpang mengikatkan diri untuk membayar ongkos angkutannya.37

1. Perjanjian selalu menciptakan hubungan hukum.

Perjanjian menimbulkan perikatan, yaitu perhubungan hukum antara 2 (dua) orang atau 2 (dua) pihak, atas dasar mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu prestasi dari yang lain, yang lain berkewajiban melaksanakan dan bertanggung jawab atas suatu prestasi. Dari penjelasan diatas dapat dilihat bahwa setiap perjanjian pada dasarnya akan meliputi hal-hal tersebut di bawah ini:

2. Perjanjian menunjukkan adanya kemampuan atau kewenangan menuntut menurut undang-undang.

3. Perjanjian mempunyai atau berisikan suatu tujuan, bahwa pihak yang satu akan memperoleh dari pihak yang lain suatu prestasi yang mungkin memberikan sesuatu, melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu.

4. Dalam setiap perjanjian, kreditur berhak atas prestasi dari debitur, secara sukarela debitur akan memenuhinya.

5. Dalam setiap perjanjian, debitur wajib dan bertanggung jawab melakukan prestasinya sesuai dengan perjanjian.

37

(60)

Pengangkutan adalah seorang atau badan yang berjanji menyelenggarakan pengangkutan barang-barang di laut (seluruhnya atau sebagian) secara time charter atau voyage-charter atau suatu perjanjian lain 38. Pengangkutan tersebut merupakan pengangkutan niaga atau dagang. Pengertian niaga atau dagang di sini ialah hal menjalankan kegiatan usaha dengan cara membeli barang dan menjualnya kembali atau menyewakannya dengan tujuan memperoleh keuntungan.39

Hukum pengangkutan merupakan bagian dari hukum dagang (perusahaan) yang termasuk dalam bidang hukum keperdataan. Dilihat dari segi susunan hukum normatif, bidang hukum keperdataan ialah subsistem tata hukum nasional. Jadi dengan demikian, pengangkutan ialah bagian dari subsistem tata hukum nasional.

40

P.W.D. Redmond

Pengangkutan adalah bagian dari subsistem tata hukum nasional. Asas-asas tata hukum nasional merupakan asas-asas hukum pengangkutan

KUHPerdata memang telah mengatur definisi perjanjian dalam Pasal 1313, namun tidak mengatur definisi perjanjian pengangkutan. Begitupun dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran juga tidak memberikan definisi tentang perjanjian pengangkutan, namun hanya mengatur kewajiban pengangkut dalam perjanjian pengangkutan.

41

38

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Laut di Indonesia, Bandung: Sumur, 1960, hal. 107.

39

Soekardono, Hukum Dagang Indonesia II, Jakarta: Rajawali, 1986, hal. 12.

40

Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998, hal. 5

41

P.W.D. Redmond, General Principles of English Law (1984), hal. 79.

menjelaskan perjanjian sebagai berikut: “Acontract is a legally binding agreement, that is, an agreement imposing rights and

(61)

perjanjian itu merupakan definisi yang menjelaskan adanya hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang dapat dipaksakan oleh hakim.

Pengertian perjanjian pengangkutan juga dapat ditemukan di dalam Pasal 466 KUHD, yaitu: “Perjanjian timbal balik antara pengangkut dan pengirim, di mana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat. Di lain pihak pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkut”.

Perjanjian pengangkutan menurut Pasal 1319 KUHPerdata termasuk ke dalam perjanjian bernama, karena oleh undang-undang, perjanjian tersebut diberikan nama dan pengaturan secara khusus (benoemde atau nominaatcontracten), baik di dalam KUHPerdata maupun KUHD, bahkan ada

diatur pula di dalam undang-undang yang tersendiri.

Perjanjian pengangkutan laut termasuk dalam kategori perjanjian bernama dan perjanjian campuran:

(62)

Gambar

Gambar 1.1 Segmentasi Produk dan Jasa Industri Ekspedisi
Gambar 1.2 Segmentasi Pasar Utama Industri Ekspedisi

Referensi

Dokumen terkait