• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

C. Pembuatan Fraksi Air Brokoli

Brokoli dicuci dengan air mengalir untuk membersihkannya dari kotoran

yang menempel, dan dirajang kecil-kecil untuk mempermudah pembuatan jus.

Aquadest yang ditambahkan pada saat pembuatan jus dimaksudkan untuk

mengambil senyawa yang larut dalam air, terutama adalah alil isotiosianat. Alil

isotiosianat memiliki kelarutan yang cukup baik dalam air sehingga dibuat fraksi

air yang diharapkan dapat menarik semua senyawa alil isotiosianat yang terdapat

dalam brokoli. Pelarut kloroform ditambahkan untuk memisahkan

senyawa-senyawa yang tidak dapat larut dalam pelarut air.

D. Pembuatan Air Laut Buatan

Siste artemia dapat menetas dengan baik pada lingkungan yang berkadar

garam berkisar antara 5 - 7 permil, yang artinya dalam 1 ml aquadest mengandung

5 – 7 mg natrium klorida, sehingga air laut buatan yang dibuat juga harus

memenuhi batas tersebut.

Air laut buatan dibuat dari campuran natrium klorida, magnesium sulfat,

magnesium klorida, kalsium klorida, kalium klorida, dan natrium hidrokarbonat.

Semua itu dilarutkan dalam 1 liter aquadest. Namun khusus untuk magnesium

sulfat, sebelum dicampur dengan bahan-bahan lainnya, perlu dilarutkan tersendiri

lebih dahulu dengan air panas untuk mempercepat proses pelarutan. Sedangkan

natrium hidrokarbonat dilarutkan dalam air bebas karbondioksida untuk mencegah

terbentuknya endapan. Kadar garam dari air laut buatan yang telah dibuat adalah

Selain kadar garam 5 permil, agar proses penetasan siste artemia baik

maka perlu juga diperhatikan pH dari air laut buatan yang sebaiknya berkisar

antara 8 - 9. Hal ini dikarenakan terjadinya pemecahan cangkang siste yang keras

itu dibantu oleh kegiatan enzim. Kegiatan enzim tersebut memerlukan pH lebih

dari 8 (antara 8 – 9), sehingga sebelum air laut buatan digunakan harus

diperhatikan pH-nya menggunakan pH meter.

E. Penetasan Siste Artemia

Siste merupakan telur yang telah berkembang lebih lanjut menjadi embrio

dan kemudian diselubungi oleh cangkang yang tebal dan kuat. Cangkang ini

berguna untuk melindungi embrio terhadap pengaruh kekeringan, benturan keras,

sinar ultra violet, dan mempermudah pengapungan. Oleh karena itu, siste sangat

tahan menghadapi keadaan lingkungan yang buruk.

Untuk menetaskan siste artemia yang telah kering (kadar air kurang dari

10%) yang embrionya dalam keadaan diapauze (metabolisme terhenti sementara),

perlu dilakukan perendaman. Siste direndam dalam air tawar selama kurang lebih

1 jam. Sesuai penjelasan Mudjiman (1989), saat larva direndam terjadi proses

penyerapan air ke dalam siste yang berlangsung secara hiperosmotik, yaitu adanya tekanan osmosis di dalam telur yang lebih tinggi dari pada di luarnya. Selama satu

jam siste akan menggembung dan diperkirakan kadar airnya telah mencapai lebih

dari 65% sehingga metabolismenya telah aktif kembali.

Air laut buatan yang akan digunakan untuk menetaskan larva artemia

meningkatkan kadar oksigen yang terkandung dalam air laut buatan yang berkadar

garam 5 permil, sehingga siste dapat menetas dengan baik.

Siste yang telah ditiriskan dipindah ke dalam bak penetasan yang berisi air

laut buatan. Bak penetasan terdiri dari dua bagian yaitu bagian gelap dan bagian

terang yang dipisahkan oleh sebuah sekat yang bercelah. Bagian yang gelap

ditutup dengan kaca yang berwarna gelap, sedangkan bagian terang ditutup

dengan kaca bening agar cahaya lampu masih dapat masuk. Siste dimasukkan

dalam bagian yang gelap, siste dapat menetas dalam waktu 24 – 36 jam. Setelah

larva menetas, larva akan berpindah dari tempat yang gelap menuju tempat yang

terang. Ini dikarenakan artemia memiliki sifat fototropik positif atau bergerak

menuju ke arah cahaya.

Larva yang telah menetas dan berumur 48 jam diambil dengan memakai

pipet tetes, kemudian dipindahkan ke dalam suatu tempat yang juga berisi air laut

buatan berkadar garam 5 permil dan telah diaerasi. Hal ini dilakukan untuk

mempertahankan kondisi larva yang telah berumur 48 jam serta untuk

memudahkan pengambilan larva yang akan digunakan sebagai hewan percobaan.

Larva artemia yang digunakan berumur 48 jam karena pada umur ini larva

memiliki sensitivitas maksimal terhadap ekstrak yang memiliki aktivitas

sitotoksik (Carballo et al., 2002).

Larva yang berumur lebih dari 48 jam, tubuhnya sudah terselubungi

membran yang terbentuk dari kitin yang disebut karapak, membran ini akan

menghalangi masuknya senyawa antikanker ke dalam tubuh larva. Larva yang

sempurna sehingga mudah mati bukan karena senyawa toksik tapi karena tidak

dapat beradaptasi denngan lingkungannya, sehingga kurang tepat digunakan

sebagai hewan uji. Larva yang berumur 48 jam sebenarnya juga telah terselubungi

membran namun masih sangat tipis, sehingga masih dapat ditembus oleh senyawa

antikanker. Selain itu, larva yang berumur 48 jam berada pada tahap instar II

dimana pada tahap ini larva sudah mulai memiliki saluran pencernaan. Senyawa

antikanker dapat memasuki tubuh larva artemia melalui 2 cara yaitu menembus

kulit dan melalui saluran pencernaan.

F. Penentuan Nilai LCB50B dengan Metode BST

Isotiosianat yang terdapat dalam brokoli merupakan senyawa kimia yang

memiliki aktivitas antikanker. Menurut Katzung (2004) senyawa antikanker pada

umumnya memiliki toksisitas tertentu. Untuk melihat toksisitas dari senyawa ini

digunakan metode BST yang merupakan skrining awal terhadap senyawa

antikanker. Metode ini menggunakan organisme uji berupa larva artemia.

Larva artemia ini digunakan karena memiliki kesamaan dengan sistem

enzim pada mamalia, beberapa enzim itu antara lain tipe DNA-dependent RNA polymerase, dan ouabaine sensitive NaP

+

P

& KP

+

P

dependent ATPase (Solis et al., 1993). Sehingga apabila suatu senyawa dapat menyebabkan efek toksik pada larva

artemia, maka senyawa tersebut juga dapat memberikan efek yang sama pada

mamalia. Namun, perkembangan larva artemia tidak dapat dihubungkan secara

langsung dengan perkembangan sel kanker karena memang tidak ada penelitian

Alil isotiosianat merupakan salah satu senyawa yang termasuk dalam

golongan isotiosianat, sehingga memiliki kesamaan aktivitas sebagai antikanker

dengan isotiosianat secara umum. Breier et al. (1995) menyatakan bahwa isotiosianat dapat menghambat aktifitas enzim NaP

+ P /KP + P -ATPase, kemungkinan

isotiosianat berpengaruh besar pada tempat ikatan ATP dari molekul enzim.

NaP + P /KP + P

-ATPase ditemukan dalam semua bagian badan mamalia, fungsi enzim ini

yaitu untuk mengkatalisis hidrolisis ATP (adenosin trifosfatase) menjadi ADP

(adenosin difosfat) serta menggunakan tenaga dari ATP untuk mengeluarkan 3

NaP

+

P

dari sel dan memasukkan 2 KP

+

P

ke dalam sel. Penghambatan ikatan ATP oleh

isotiosianat dapat mengganggu transport aktif pompa natrium dan kalium, karena

apabila ATP tidak terbentuk maka tidak ada tenaga untuk menggerakkan pompa

ion tersebut.

Isotiosianat memiliki kemampuan dalam menghentikan siklus hidup sel

yaitu pada fase S (sintesis DNA) dan fase M (mitosis) dalam siklus hidup sel. Hal

ini disebabkan oleh karena isotiosianat akan mengacaukan gelendong mitotik

dalam proses mitosis sehingga pembelahan sel tidak dapat terjadi (Li Tang et al., 2006). Apabila siklus hidup sel berhenti, maka sel tidak dapat hidup sehingga

diharapkan sel kanker yang dihentikan siklus hidupnya mengalami kematian.

Aktivitas isotiosianat sebagai senyawa antikanker dapat diketahui dalam

menginduksi p53 yang akan menyebabkan terjadinya apoptosis yaitu suatu

program kematian sel (Pappa et al., 2006). Di dalam sel kanker terjadi mutasi yang dapat menghambat fungsi p53, namun dengan adanya senyawa isotiosianat

akan menginduksi p53 yang merupakan protein penekan tumor sehingga p53

dapat memerintahkan sel untuk melakukan program bunuh diri.

Aktivitas p53 dalam menghentikan siklus hidup sel terjadi pada fase GB1B.

Ketika terjadi kerusakan DNA, p53 akan menginduksi p21 untuk berikatan dan

menginaktivasi cdk2 (cyclin-dependent kinase 2) yang berperan penting dalam tahap transisi fase GB1B/S, sehingga proses transisi dari fase GB1B ke fase S menjadi

terhambat hingga terjadi perbaikan DNA. Namun apabila tidak terjadi perbaikan

DNA yang efektif, p53 akan memerintahkan sel untuk menjalani program bunuh

diri atau apoptosis (Best, 2006).

Menurut Best (2006), untuk mematikan sel, p53 menginduksi transkripsi

beberapa gen yang meliputi apaf-1 (apoptosis protease-activating factor) dan protein BAX. Protein BAX terdapat pada mitokondria, dimana BAX akan

melepaskan sitokrom c. Apaf-1 dan sitokrom c dapat membentuk caspase-9 yang menyebabkan terjadinya apoptosis (gambar 8).

Terjadinya apoptosis ditandai dengan kondensasi sel nukleus dan

menghancurkannya menjadi serpihan-serpihan. Sitoplasma juga akan mengalami

kondensasi dan terpecah membentuk membran yang mengelilingi badan

apoptosis. Kromosom juga akan terpecah menjadi serpihan yang mengandung

sejumlah nukleosom (Jakubowski, 2002). Sel yang telah hancur ini akan

difagositosis oleh makrofag, maka tingkat kematian artemia yang disebabkan oleh

Isotiosianat menginduksi p53

merusak gelendong mitotik induksi p21 apaf-1 BAX

apaf 1 sitokrom c menghambat fase M inaktivasi cdk2

mengambat fase GB1B/S caspase-9

menghentikan siklus sel apoptosis

SEL MATI

Gambar 8. Mekanisme aktivitas isotiosianat dalam mematikan sel

Isotiosianat diketahui dapat menyebabkan kematian sel, agar dapat

mematikan sel maka isotiosianat harus dapat masuk ke dalam tubuh larva artemia

melalui kulit larva yang belum terselubungi oleh karapak. Larva yang digunakan

adalah larva yang berusia 48 jam dan termasuk pada tahap instar II, pada tahap ini

larva belum terselubungi karapak. Isotiosianat dapat masuk dalam tubuh larva

melalui mekanisme difusi pasif, dimana molekul-molekul isotiosianat akan

bergerak melewati membran semipermeabel. Pada proses ini, molekul bergerak

dari sisi yang kadarnya lebih tinggi menuju ke sisi lain yang kadarnya lebih

rendah.

Pengujian terhadap larva artemia ini menggunakan lima seri konsentrasi

tersebut, juga dibutuhkan kontrol negatif yang tidak berisi sampel. Kontrol ini

berfungsi untuk mengetahui bahwa larva artemia yang mati tidak disebabkan oleh

pelarut yang digunakan, namun kematian larva artemia tersebut disebabkan oleh

zat aktif yang terkandung dalam fraksi air.

Pelarut metanol diuapkan sehingga yang tersisa hanya fraksi kental saja

yang berisi zat aktif. Dalam pembuatan seri konsentrasi fraksi air, digunakan

pelarut metanol untuk mempercepat melarutnya fraksi air dalam bentuk kental dan

mempercepat pula proses penguapan, karena jika tetap menggunakan air maka

dibutuhkan waktu yang cukup lama. Pelarut metanol dipilih karena alil

isotiosianat dalam brokoli selain larut dalam air juga memiliki kelarutan dalam

metanol. Jadi alil isotiosianat masih tetap ada dalam pelarut metanol. Pelarut

metanol juga digunakan sebagai kontrol negatif.

Pada saat pengambilan larva dapat terlihat larva yang masih sangat muda

(baru menetas) dan yang sudah berumur 48 jam. Untuk membedakannya, larva

yang telah berumur 48 jam akan berwarna agak kecoklatan sedangkan yang masih

terlalu muda berwarna putih tipis. Maka larva yang diambil adalah larva artemia

yang berwarna agak kecoklatan.

Larva artemia memakan apa saja yang berukuran kecil. Apabila persediaan

makanan berlebih, jumlah makanan yang ditelan juga berlebih, akibatnya

makanan yang belum sempat dicerna dengan sempurna terdesak oleh makanan

baru yang masuk terus-menerus dalam jumlah banyak. Dengan demikian,

makanan itu akan keluar lagi dari usus dalam keadaan belum tercerna dengan

dalam timbunan makanan (Mudjiman, 1989) sehingga pemberian makanan untuk

larva artemia cukup dengan satu tetes suspensi ragi.

Dalam menentukan nilai LCB50B dengan metode BST, waktu yang

dibutuhkan untuk menghitung jumlah kematian larva yaitu 24 jam. Maka setelah

24 jam dihitung persentase kematian pada tiap konsentrasi dan kontrol, larva

dikatakan hidup apabila masih terlihat ada pergerakan. Berdasarkan data kematian

larva artemia pada kontrol metanol dan sampel fraksi air brokoli (Lampiran 7 dan

8), dapat digunakan untuk menghitung besarnya persentase kematian larva

artemia menggunakan rumus Abbot. Digunakan rumus Abbot karena pada kontrol

masih terdapat kematian larva artemia. Dari hasil perhitungan (Lampiran 9), dapat

diperoleh data persentase kematian (Tabel II).

Tabel II. Persentase Kematian Larva Artemia pada Berbagai Konsentrasi Fraksi Air

Konsentrasi (µg/ml) Persentase Kematian (%) 320 32,6 580 45,7 1000 68,9 1900 75,6 3400 80

Persentase kematian yang diperoleh dari fraksi air ini memenuhi rentang

yang diharapkan yaitu 20 - 80%. Dari data (tabel II), terlihat bahwa semakin

tinggi konsentrasi larutan yang digunakan, maka makin besar pula persentase

kematiannya.

Persentase kematian yang telah diperoleh kemudian dianalisis

dalam penentuan nilai LCB50B karena analisis probit dapat mengamati efek yang

terjadi dari suatu konsentrasi, selain itu dapat memberikan nilai regresi yang

menghasilkan garis linear sehingga memudahkan dalam penentuan nilai LCB50B.

Pada analisis probit, konsentrasi sampel ditransformasikan menjadi log

konsentrasi dan persen kematian dicari nilai probitnya. Konsentrasi sampel yang

telah ditransformasikan ke dalam logaritma ditetapkan sebagai variabel tetap

(absis). Sedangkan nilai probit dari setiap persentase kematian ditetapkan sebagai

variabel terikat (ordinat).

Analisis probit ini dilakukan dengan menggunakan program SPSS.Setelah dianalisis dengan analisis probit, maka diperoleh persamaan garis linear untuk

fraksi air yaitu y = 1,34939 x – 3,77872 (Gambar 9) dan dapat diketahui bahwa

nilai LCB50B yang dihasilkan adalah 631 µg/ml (Lampiran 10).

Probit Transformed Responses

Log of KONSENTR 3.6 3.4 3.2 3.0 2.8 2.6 2.4 Pr o b it 1.0 .8 .6 .4 .2 -.0 -.2 -.4 -.6 Rsq = 0.9435

Gambar 9. Kurva hubungan nilai probit versus log konsentrasi fraksi air

Dari kurva (gambar 9), dapat terlihat adanya hubungan antara konsentrasi

dengan efek, dimana semakin tinggi konsentrasi larutan yang digunakan maka

jumlah kematian larva artemia juga semakin meningkat. Hal ini digambarkan

dalam kurva dengan semakin tinggi konsentrasi, makin tinggi pula nilai probit.

Menurut Supranto (1986), dalam hal dua variabel Y dan X, koefisien determinasi

Rsq digunakan untuk mengukur tingkat ketepatan dari regresi linier sederhana

yaitu merupakan persentase sumbangan X terhadap variasi Y, sehingga dalam

praktek Rsq lebih penting dari pada r.

Makin dekat Rsq dengan satu, makin tepat garis regresinya. Dari hasil

analisis diperoleh nilai Rsq sebesar 0,9435. Nilai tersebut sudah mendekati satu

sehingga dapat digunakan sebagai suatu kriteria untuk mengukur cocok tidaknya

suatu garis regresi, dan selanjutnya digunakan untuk memperkirakan variabel

terikat Y.

Meskipun nilai Rsq dianggap lebih penting dari pada r, namun nilai r

masih dapat digunakan untuk memastikan kelinieritasan garis dengan cara

membandingkan nilai r yang diperoleh dengan nilai r tabel. Apabila nilai r yang

diperoleh lebih besar dari pada nilai r tabel, maka kurva tersebut dapat dikatakan

linier. Nilai r pada fraksi air adalah 0,971 sedangkan nlai r tabel adalah 0,878.

Dari data tersebut, dapat dikatakan bahwa kurva hubungan nilai probit versus log

konsentrasi dari fraksi air brokoli adalah linier.

Dalam uji BST suatu ekstrak dikatakan bersifat toksik terhadap larva

artemia apabila memiliki nilai LCB50B < 1000 µg/ml (Meyer et al., 1982). Dari hasil penelitian diperoleh nilai LCB50 Buntuk fraksi air adalah 631 µg/ml. Dengan

demikian fraksi air brokoli dikatakan bersifat toksik sehingga diharapkan dapat

memberikan efek sitotoksik terhadap sel kanker.

Dokumen terkait