• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembuatan Glukosamin Hidroklorida dari Kitosan

Merujuk pada penelitian Rismawan (2012) yang telah berhasil membuat glukosamin hidroklorida dari kitosan, maka dilakukan penelitian pendahuluan 2 dengan menggunakan sampel kitosan. Perlakuan terbaik Rismawan (2012) adalah penggunaan HCl 22% (v/v) dengan waktu pemanasan selama 2 jam pada autoklaf bertekanan 1 atm. Peubah yang diragamkan pada penelitian ini adalah konsentrasi asam yang diberikan berkisar antara 0 hingga 22% (v/v) dengan interval 2%. Perlakuan waktu pemanasan yang diberikan adalah 1 jam. Karakteristik hasil uji pendahuluan 2 ditunjukkan oleh Tabel 3.

Tingkat kelarutan pada uji pendahuluan 2 juga menjadi indikator pertama yang digunakan untuk menentukan keberhasilan hidrolisis kitosan menjadi glukosamin. Tabel 3 menunjukkan bahwa semua sampel (kecuali kontrol) dari setiap perlakuan bersifat larut sempurna dalam air. Kelarutan ini merupakan indikasi awal yang menunjukkan bahwa sampel kitosan telah terhidrolisis menjadi glukosamin hidroklorida. Parameter yang dilihat selanjutnya setelah kelarutan ialah warna, penampakan derajat putih, konsentrasi HCl, dan nilai rendemen glukosamin. Karakteristik glukosamin hidroklorida disajikan pada Gambar 6.

Tabel 3 Karakteristik glukosamin dari kitosan pada perlakuan asam yang berbeda

Ket:

+ hitam ++ tidak hitam

+++ sedikit putih ++++ lebih putih

Berdasarkan kriteria parameter yang ada pada Tabel 3, perlakuan hidrolisis dengan asam 8% ditetapkan sebagai perlakuan terbaik glukosamin yang akan dikarakterisasi lebih lanjut. Sampel terbaik diperbanyak empat kali lipat untuk kemudian dilakukan uji lanjutan meliputi uji pengurangan bobot loss on drying LoD, uji titik leleh, dan uji serapan FTIR.

Gambar 6 Grafik karakteristik rendemen dan derajat putih GlcN 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 0.00 93.80 82.00 80.92 69.8073.20 60.80 56.80 50.40 48.56 49.44 51.88 50 50 50 75 100 75 75 100 100 25 25 25

HCl (%) rendemen (%) Derajat putih

HCl (%) Penampakan Warna Derajat putih Kelarutan Rendemen gr %

0 Serpihan Kekuningan ++ Tidak

Larut

2,50 100 2 Butiran kasar Coklat jernih ++ Larut 2,34 93,80 4 Butiran kasar Hitam + Larut 2,05 82,00 6 Serbuk Kecoklatan +++ Larut 2,02 80,92

8 Serbuk Putih

kekuningan

++++ Larut 1,74 69,80 10 Serbuk Abu kecoklatan +++ Larut 1,83 73,20 12 Serbuk Abu kecoklatan +++ Larut 1,52 60,80 14 Serbuk Putih keabuan ++++ Larut 1,42 56,80 16 Serbuk Putih keabuan ++++ Larut 1,26 50,40

18 Serbuk Hitam + Larut 1,21 48,56

20 Serbuk Hitam + Larut 1,23 49,44

4.2.1Kelarutan Glukosamin Hidroklorida (GlcN HCl)

Pada uji pendahuluan 2 kelarutan glukosamin hidroklorida dilakukan dengan menggunakan air bersuhu 27 oC. Pada uji lanjutan, uji kelarutan dilakukan kembali dengan menggunakan air bersuhu 20 oC. Semakin tinggi suhu pelarut yang digunakan maka kelarutan zat akan terjadi lebih cepat. Kelarutan cenderung berjalan lambat dalam pelarut bersuhu rendah. Suatu zat yang larut dengan mudah pada pelarut bersuhu rendah mengindikasikan bahwa zat terlarut memiliki tingkat kelarutan yang baik. Kelarutan glukosamin hidroklorida 8% yang dihidrolisis dari kitosan ditunjukkan pada Gambar 8.

Gambar 8 Glukosamin hidroklorida 8% setelah dilarutkan

Glukosamin dari kitosan memiliki tingkat kelarutan yang baik. Berbeda dengan sampel glukosamin dari kitin pada pendahuluan 1, glukosamin yang dibuat dari kitosan bersifat larut sempurna bahkan pada air dingin bersuhu 20 oC.

Berbeda dengan kitin, kitosan telah kehilangan gugus asetilnya. Ketika sampel diganti kitosan, tekanan pada autoklaf tidak lagi memutus gugus asetil melainkan hanya memotong polimer kitosan menjadi unit yang lebih kecil sehingga ion Cl- dari HCl lebih mudah berikatan dengan dengan gugus amin kitosan membentuk NH3Cl. Adanya ikatan hidroksil antara O-H dan NH3Cl ini menyebabkan glukosamin hidroklorida bersifat larut dalam air.

Menurut standar USP (2006) penampakan glukosamin secara visual adalah putih. Ketika glukosamin dilarutkan dalam air, larutan akan cenderung jernih dan tidak berwarna. Hal ini berbeda dengan warna glukosamin hidrolisis sebagaimana tertera pada Gambar 7. Setelah dilarutkan. warna glukosamin hasil hidrolisis juga jernih namun cenderung kekuningan. Hal ini diduga terjadi karena warna asal sampel (kitosan) yang masih mengandung sedikit pigmen atau sedikit protein

pengotor. Penampakan sampel kitosan komersial yang digunakan pada penelitian ditunjukkan pada Gambar 9.

Gambar 9 Kitosan udang untuk pembuatan GlcN HCl

4.2.2Penampakan, Warna, dan Derajat Putih Glukosamin Hidroklorida (GlcN HCl)

Kriteria penampakan glukosamin terbaik dilihat dari tekstur glukosamin setelah dikeringkan dan digerus. Penampakan dinilai baik jika sampel berbentuk serbuk halus setelah penggerusan. Warna dan derajat putih glukosamin dianggap baik jika sesuai atau mendekati warna dan derajat putih glukosamin standar. Penampakan glukosamin hasil penelitian dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10 Penampakan glukosamin hasil penelitian

Secara umum parameter visual yang meliputi penampakan, warna, dan derajat putih glukosamin hidrolisis hampir mirip dengan glukosamin standar. Glukosamin hasil pembuatan memiliki tekstur serbuk berukuran sekitar 60 mesh. Berbeda dengan glukosamin yang dibuat dari kitin, glukosamin yang dibuat dari kitosan sangat mudah dihaluskan. Hal ini diduga dapat terjadi karena ikatan

monomer pada kitosan telah terurai sempurna selama proses hidrolisis menjadi glukosamin. Kitosan telah terurai menjadi molekul-molekul glukosamin yang lebih pendek dan bersifat polar (terdapat gugus O-H) sehingga larut dalam air.

Zat molekular yang memiliki molekul polar mudah dilarutkan dalam air. Gugus hidroksil O-H yang terikat pada atom karbon suatu molekul merupakan tapak untuk interaksi dwikutub dengan molekul air. Tarikan ini menggantikan interaksi zat-zat terlarut (Irawadi et al. 2006) sehingga setiap molekul glukosamin yang berair akan bergerak menuju larutan.

4.2.3Loss on Drying (LoD)

Uji pengurangan bobot didesain untuk mengukur jumlah air dan komponen volatil yang mungkin masih terkandung dalam sampel ketika dikeringkan pada kondisi tertentu. Glukosamin dengan bobot tertentu dipanaskan dalam oven pada suhu 105 oC selama 2 jam. Uji LoD pada penelitian ini dilakukan secara duplo. Sesuai dengan kriteria mutu USP, nilai LoD glukosamin hidroklorida tidak lebih dari 1%. Pengurangan bobot GlcN setelah pemanasan ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4 Pengurangan bobot glukosamin setelah pemanasan

Cawan Bobot GlcN awal (gr) Bobot GlcN akhir (gr) LoD (%)

1 0,3 0,27 1

2 0,3 0,275 0,83

Rata-rata 0,92

Rata-rata hasil uji menunjukkan bahwa nilai pengurangan bobot glukosamin setelah pemanasan 105 oC selama 2 jam tidak lebih dari 1% yakni hanya mencapai 0,92%. Nilai LoD ini telah sesuai dengan standar yang disyaratkan oleh USP (2006).

4.2.4Rendemen Glukosamin Hidroklorida (GlcN HCl)

Nilai rendemen dihitung dengan membandingkan jumlah bobot sampel akhir dengan sampel awal kitosan. Rendemen terbesar glukosamin dengan warna dan penampakan terbaik dihasilkan pada perlakuan asam 8% yakni 69,80%. Nilai rendemen glukosamin pada penelitian ini lebih besar jika dibandingkan dengan nilai rendemen penelitian sebelumnya yang hanya mencapai 51,04%.

Adanya perbedaan nilai rendemen glukosamin ini diduga dipengaruhi oleh faktor suhu, konsentrasi asam, waktu pemanasan, dan tekanan yang diberikan. Mojarrad et al. (2007) menyatakan bahwa perbandingan antara waktu hidrolisis dan konsentrasi asam merupakan faktor yang menentukan nilai rendemen sampel (glukosamin). Nilai rendemen GlcN yang dihasilkan menurun seiring dengan peningkatan konsentrasi asam dan waktu reaksi. Penurunan rendemen diduga terjadi karena adanya reaksi samping sehingga terbentuk zat pengotor dan menurunkan nilai rendemen GlcN yang dihasilkan.

Hasil penelitian pada Gambar 5 sesuai dengan Mojarrad et al. (2007). Seiring dengan peningkatan konsentrasi asam yang digunakan. jumlah rendemen yang dihasilkan cenderung semakin menurun. Nilai rendemen sedikit meningkat pada konsentrasi asam 20% dan 22%. Hal ini diduga terjadi karena pemutusan polimer kitosan menjadi glukosamin cenderung lebih cepat pada konsentrasi asam tersebut yang dibantu dengan pengaruh tekanan tinggi dari autoklaf.

Afridiana (2011) dan Rismawan (2012) berturut-turut memerlukan HCl dengan konsentrasi 37% dan 22% (v/v) untuk memperoleh glukosamin dengan karakteristik terbaik. Akan tetapi, pada penelitian ini konsentrasi asam 8% telah mampu menghidrolisis glukosamin dengan karakter terbaik. Hal ini terjadi karena adanya faktor tekanan yang diberikan saat hidrolisis. Kombinasi perlakuan antara tekanan dan suhu mempercepat proses depolimerisasi kitosan menjadi glukosamin sehingga waktu pemanasan menjadi lebih singkat dengan konsentrasi asam yang cukup rendah.

Pemberian tekanan pada proses dapat menyebabkan terjadinya puffing (Pamungkas et al. 2008). Puffing dapat diartikan sebagai suatu proses pemasukan gas ke dalam bahan yang kemudian terjadi ekspansi untuk kemudian dilepaskan dan mengakibatkan pengembangan/ pemutusan terhadap struktur luar dari struktur seluler sebuah produk (Tabeidie 1992 dalam Pamungkas et al. 2008). Pengembangan struktur ini terjadi sebagai akibat dari pemasukan udara (gas) secara paksa serta pelepasan tekanan secara tiba-tiba yang menghasilkan struktur permukaan yang lebih porous (Pamungkas et al. 2008).

Di bawah kondisi suhu dan tekanan yang sesuai serta adanya penambahan katalis. ikatan rangkap antara dua atom karbon dapat terbuka atau terputus dan

digantikan oleh ikatan jenuh tunggal dari unit monomer tunggal yang terbuka dari sisi lainnya sehingga membentuk satu rantai panjang berulang yang terdiri atas unit-unit/ monomer (Brinson dan Brinson 2008). Waktu yang diperlukan untuk hidrolisis glukosamin pada penelitian ini hanya 1 jam karena proses pemutusan ikatan kitosan menjadi glukosamin berlangsung lebih cepat dengan adanya pengaruh tekanan. Tanpa adanya perlakuan kombinasi tekanan dan suhu, proses hidrolisis glukosamin akan cenderung lambat.

4.2.5Titik Leleh Glukosamin Hidroklorida (GlcN HCl)

Hasil analisis titik leleh menunjukkan titik leleh GlcN berkisar pada suhu 190-193 oC. Hal ini menunjukkan bahwa GlcN hasil pembuatan lebih bersih. Semakin banyak pengotor atau zat asing yang terkandung dalam glukosamin maka titik leleh akan semakin menurun. Kisaran nilai titik leleh glukosamin hidrolisis sesuai dengan penelitian Kralovec dan Barrow (2008) yakni 190-194 oC. Titik leleh hasil pembuatan juga lebih baik dari penelitian Afridiana (2011) yang berkisar antara 187-189 oC pada penggunaan asam 37%. Mojarrad et al. (2007) menpembuatan glukosamin hidroklorida dengan titik leleh 190-192 oC pada penggunaan konsentrasi asam 32%. Kisaran titik leleh glukosamin hidroklorida hasil hidrolisis ditunjukkan oleh Tabel 5.

Tabel 5 Kisaran suhu titik leleh glukosamin hidroklorida

Tabung kapiler Kisaran suhu (oC)

1 190,0-192,0

2 190,0-192,0

3 191,0-193,0

Rata-rata 191,3

4.2.6Spektrum Glukosamin Hidroklorida (GlcN HCl)

Salah satu cara yang dapat digunakan untuk menetukan tingkat keberhasilan hidrolisis glukosamin hidroklorida ialah dengan menggunakan analisis FTIR. Analisis FTIR memanfaatkan sinar infra merah pada kisaran bilangan gelombang 800-4000 cm-1. Hasil pengujian FTIR glukosamin hidroklorida hasil hidrolisis dapat dilihat pada Lampiran 1-3.

Hasil pengukuran spektrum FTIR menunjukkan bahwa spektrum GlcN HCl standar (Lampiran 1) memperlihatkan gugus OH- yang dominan dengan garis

lebar dan kuat pada bilangan gelombang 3066 cm-1 sedangkan pada GlcN HCl hasil hidrolisis (Lampiran 2) menunjukkan gugus OH- yang dominan pada bilangan gelombang 3000-3263 cm-1. Brugnerotto (2001) menambahkan bahwa monomer GlcN HCl akan menunjukkan gugus OH- pada 3350 cm-1 sedangkan apabila berbentuk polimer gugus OH- semakin mendekati 3450 cm-1. Gugus N-H yang dominan yaitu pada glukosamin hasil hidrolisis adalah 3333 cm-1. Spektrum tersebut hampir mirip dengan Mojarrad et al. (2007) yaitu 3333-3380 cm-1.

Pita serapan gugus N-H amida primer ditunjukkan pada 1635 cm-1 sedangkan pita serapan amida sekunder berada pada bilangan 1566 cm-1. Pada bentuk sampel padat. pita amida primer berada pada kisaran bilangan gelombang 1640-1620 cm-1 dan pita amida sekunder berada pada daerah bilangan 1550 cm-1 (Pavia et al. 2009). Pita serapan juga menunjukkan nilai yang hampir sama dengan hasil penelitian Mojarrad et al. (2007) yakni 1535-1583 cm-1.

Pita serapan gugus C-N GlcN HCl hasil hidrolisis ditunjukkan pada bilangan gelombang 1381 cm-1 sedangkan pada standar 1288 cm-1. Nilai hidrolisis ini hampir mendekati literatur bahwa pita serapan C-N ditunjukkan pada 1394 cm-1 (Mojarrad et al. 2007). Secara keseluruhan pita serapan gugus khas pada GlcN hasil hidrolisis menunjukkan kemiripan dengan GlcN HCl standar dan hasil penelitian lainnya namun masih terdapat sedikit selisih pada bilangan gelombang yang ditampilkan. Hal ini dapat terjadi karena adanya range nilai serapan gelombang setiap gugus fungsi. Sedikit perbedaan serapan gelombang pada standar dan sampel dianggap normal atau wajar selama bilangan gelombang yang diserap sampel masih berada dalam range bilangan gelombang gugus fungsinya.

Dokumen terkait