• Tidak ada hasil yang ditemukan

5 SIMPULAN DAN SARAN

5.2 Saran

5.2 Saran

1. Pencucian sampel glukosamin dengan IPA cukup dilakukan tiga kali.

2. Sebaiknya dilakukan uji Bayes untuk menilai tingkat kepentingan faktor yang berpengaruh dalam produksi glukosamin hidroklorida (penampakan warna, rendemen, dan konsentrasi HCl yang digunakan).

DAFTAR PUSTAKA

Afridiana N. 2011. Recovery Glukosamin Hidroklorida dari Cangkang Udang Melalui Hidrolisis Kimiawi Sebagai Bahan Sediaan Suplemen Osteoarthritis [skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Azhar M, Efendi J, Syofyeni E, Lesi RM, Novalina S. 2010. Pengaruh konsentrasi NaOH dan KOH terhadap derajat deasetilasi kitin dari limbah kulit udang. Eksakta Vol 1.

[BPOM RI] Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia. 2004. Nomor HK.00.05.23.3644. Ketentuan Pokok Pengawasan Suplemen Makanan.

Brinson HF dan Brinson FC. 2008. Polymer Engineering Science and Viscoelasticity an Introduction. Springer. USA.

Brugnerotto J. 2001. An infrared investigation inrealtion with chitin and chitosan. characterization. Polymer 42: 3569-3580.

Cargill Incorporated. 2006. Application for the Approval of the use REGENASURE® Non-Shellfish Glucosamine Hydrochloride from Aspergillus niger (RGHAN). for use in Certain Foods Products under Regulation (EC) No 258/97 for the European Parliament and of the Council of 27 January 1997 concerning novel foods and novel food ingredients. Eddyville. USA.

Hathcock dan Shao A. 2006. Risk assesement for glucosamine and chondroitin sulfate. Journal Science Direct-Regulatory Toxicology and Pharmacology 47 (2007) 78-83.

Hirano S. 1986. Production and Application of Chitin and Chitosan in Japan. Departemen of Agricultural Biochemistry. Tottori University. Japan. Irawadi TT, Adijuwana H, Kadarusman LK, Heryanto R, Achmadi SS, Sjahreza

A, Mulijani S, Sutriah K, Suradikusumah E, Purwaningsih H, Batubara I, Rohaeti E, Rafi M, Saeni MS, Purwatiningsih, Kemala T. 2006. Kimia Edisi Revisi (diktat kuliah). Departemen Kimia. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor.

Karmas E. 1992. Poultry and Seafood Technology. Noyes Data Corporation. USA.

Kralovec JA, Barrow CJ. 2008. Marine Neutraceticals and Functional Foods. CRC Press. London. New York.

Kulkarni C, Leena A, Lohit K, Mishra D, dan Saji MJ. 2012. A randomized comparative study of safety and efficacy between immediate release glucosamine HCL and glucosamine HCL sustained release formulation in the treatment of knee osteoarthritis: A proof of concept study. Journal of Pharmacology and Pharmacotherapeutics.

Merdikoputro dan Asri. 2006. Nyeri lutut membatasi mobilitas. http://www.suaramerdeka.com/harian/0601/23/ragam01.htm (diakses pada 18 Juli 2012).

Mojarrad JS, Mahboob N, Valizadeh H, Ansarin M, dan Bourbour S. 2007. Preparation of glucosamine from exoskeleton of shrimp and predicting production by response surface metodhology. Journal of Agricultural and Chemistry 55:2246-2250.

Muzzarelli RAA. 1977. Chitin. Oxford: Pergamon Press.

Pamungkas WH, Bintoro N, Rahayu S, dan Rahardjo B. 2008. Perubahan laju pengeringan pasta dengan perlakuan awal puffing udara. Prosiding Seminar Nasional Teknik Pertanian 2008. Yogyakarta 18-19 November 2008. Pavia DL, Lampman GM, Kriz GS, dan Vyvyan JR. 2009. Introduction to

Spectroscopy. Fourth Edition. Belmont. USA.

Rismawan. 2012. Rendemen Glukosamin dari Kitin Udang [skripsi]. Departemen Kimia. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Sekolah Tinggi MIPA. Bogor.

Samsiah R. 2009. Karakterisasi Biokomposit Apatit-Kitosan dengan XRD (Xray Difraction), FTIR (Fourier Transform Infra Red), SEM (Scanning Electron Microscopy) dan Uji Mekanik [skripsi]. Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Savitri E, Soeseno N, dan Adiarto T. 2010. Sintesis Kitosan. Poli (2-amino-2-deoksi-D-Glukosa). Skala Pilot Project dari Limbah Kulit Udang sebagai Bahan Baku Alternatif Sintesis Biopolimer. Prosiding Seminar Nasional

Teknik Kimia “Kejuangan” ISSN 1693 – 4393. Pengembangan Teknologi Kimia untuk Pengolahan Sumber Daya Alam Indonesia. Yogyakarta. 26 Januari 2010.

Sugita P, Wukirsari T, Sjahriza A, dan Wahyono D. 2009. Kitosan: Sumber Biomaterial Masa Depan. IPB Press. Bogor.

Utami KP. 2010. Pengaruh Terapi Latihan Setelah Pemberian Terapi Gabungan Ultrasound dan Tens pada Kondisi Osteoarthritis Lutut Kronis [skripsi]. Program Fisioterapi, Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Lampiran 1 Spektrum FTIR GlcN HCl standar (Afridiana 2011)

1 PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Meningkatnya penyakit kronis seperti penyakit jantung, diabetes, kanker, dan radang sendi berpengaruh pada tingginya biaya kesehatan yang harus dikeluarkan masyarakat (Kralovec dan Barrow 2008). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memasukkan osteoarthritis sebagai salah satu dari empat kondisi otot dan tulang yang membebani individu, sistem kesehatan maupun sistem perawatan sosial dengan biaya yang cukup besar. Di dunia diperkirakan setidaknya terdapat 9,6% pria dan 18% wanita di atas usia 60 tahun menderita osteoarthritis (OA). Kasus tersebut diduga akan terus meningkat akibat bertambahnya usia harapan hidup, obesitas (kegemukan) dan kebiasaan merokok (Merdikoputro dan Asri 2006).

Tahun 2020, WHO juga memperkirakan OA akan menjadi penyebab utama cacat fisik pada umat manusia setelah arthritis rematoid (jenis penyakit rematik yang mengenai jari tangan/jari kaki), osteoporosis (keropos tulang) dan nyeri punggung bawah. Indonesia merupakan negara ke-4 dengan jumlah orang lanjut usia (lansia) terbanyak sesudah negara China, India dan Amerika Serikat (Merdikoputro dan Asri 2006).

Jumlah penderita OA di Indonesia paling banyak ditemukan terutama pada lansia dengan rentang usia di atas 50 tahun. Lebih dari 85% orang berusia 65 tahun menggambarkan OA pada gambaran x-ray, meskipun 35-50% hanya mengalami gejala. Kecenderungan terjadinya osteoarthritis pada orang berumur di bawah 45 tahun lebih banyak terjadi pada pria sedangkan pada umur 55 tahun lebih banyak terjadi pada wanita. Perbandingan penderita OA wanita dan pria adalah 4:1 (Reksoprajo 2000 dalam Utami 2010).

Glukosamin merupakan salah satu jenis suplemen yang banyak dikaji berkaitan dengan manfaatnya untuk kesehatan sendi. Glukosamin dalam bentuk klorida maupun sulfat telah dipasarkan secara luas di Kanada dan Amerika (Kralovec dan Barrow 2008). Glukosamin juga telah banyak beredar di Indonesia pada kisaran harga Rp 2.100-3.000 per kapsul 0,5 gram. Mengingat tingginya resiko penyakit osteoarthritis di Indonesia dan harga glukosamin yang terbilang cukup mahal maka upaya memproduksi glukosamin hidroklorida dengan harga

terjangkau menjadi penting untuk dilakukan.

Afridiana (2011) berhasil membuat glukosamin hidroklorida dengan tingkat kemurnian sebesar 45,64% dari kitin udang pada perlakuan HCl 37% (pekat) dengan suhu pemanasan 90 oC selama 4 jam. Rismawan (2012) berhasil membuat glukosamin dari kitosan dengan rendemen 51,04% pada perlakuan HCl 22% dengan tekanan vakum 1 atm selama 2 jam. Penelitian Rismawan (2012) dinilai lebih praktis karena tidak memerlukan proses pengadukan yang kontinyu dalam proses pembuatannya.

Pada penelitian ini akan dilakukan pengembangan dari penelitian terdahulu yaitu mendapatkan kondisi optimum pembuatan glukosamin hidroklorida dari kitin atau kitosan pada skala laboratorium dengan metode pembuatan yang sederhana yakni menggunakan autoklaf. Hasil penelitian yang diharapkan adalah diperolehnya metode pembuatan glukosamin hidroklorida yang efektif dan efisien dari segi kualitas, waktu maupun biaya produksi. Karakteristik yang akan dilihat diantaranya tingkat kelarutan, warna, titik leleh (melting point temperature), pita serapan infra merah (uji FTIR), dan nilai rendemen glukosamin.

1.2Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah

1. Memperoleh metode pembuatan glukosamin hidroklorida (GlcN HCl) yang praktis dan efisien melalui penerapan teknologi sederhana dan aman. 2. Menganalisis karakteristik produk glukosamin hidroklorida (GlcN HCl)

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1Osteoarthritis (OA)

Osteoarthritis yang juga sebagai penyakit degeneratif pada sendi adalah bentuk penyakit radang sendi yang paling umum dan merupakan sumber utama penyebab rasa sakit dan lumpuh, terutama pada orang lanjut usia (lansia). OA merupakan penyakit degeneratif kronik pada sendi yang terjadi akibat menipisnya lapisan tulang rawan yang melindungi ujung tulang sejati. Tulang rawan menjadi kasar sehingga menimbulkan gesekan dan peradangan. Bentuk kerusakan yang terjadi ialah perubahan struktural dan pengikisan kartilago yang menimbulkan rasa sakit dan kaku (Kralovec dan Barrow 2008).

OA dapat disebabkan oleh penekanan beban tubuh yang secara terus-menerus terhadap persendian, sehingga mengakibatkan kerusakan terhadap tulang rawan sendi. Akibat lanjut dari OA diantaranya adalah timbulnya rasa nyeri karena terjepitnya ujung-ujung saraf sensoris oleh osteofit-osteofit yang terbentuk serta adanya pembengkakan dan penebalan jaringan lunak di sekitar sendi yang akan mengakibatkan deformitas, terlepasnya osteofit pada suatu gerakan menimbulkan krepitasi pada sendi tersebut (Carter 1995 dalam Utami 2010).

2.2Glukosamin hidroklorida (GlcN HCl)

Glukosamin hidroklorida memiliki nama lain yakni 2-amino-2-deoxy-D-glucopyranose, kitosamin hidroklorida, dan D-(+)-glukosamin hidroklorida. Secara struktural, glukosamin merupakan gula beramin dengan rumus molekul C6H13NO5HCl dan massa molekul 215,63 Da. Glukosamin dalam bentuk murni berbentuk serbuk kristal putih dengan titik leleh 190-194 oC. Glukosamin memiliki kelarutan tinggi dalam air dengan titik larut 100 mg/mL pada suhu 20 oC (Kralovec dan Barrow 2008). Struktur kimia glukosamin hidroklorida ditunjukkan oleh Gambar 1.

Glukosamin merupakan senyawa alami yang terdapat dalam tubuh manusia yang merupakan unsur pokok dari GAG pada tulang rawan dan cairan synovial. Glukosamin dalam tubuh berfungsi untuk memproduksi cairan synovial sebagai bahan pelumas pada tulang rawan. Kekurangan cairan synovial dalam tubuh dapat

Gambar 1 Struktur kimia glukosamin hidroklorida (Mojarrad et al. 2007) menimbulkan kekakuan pada sendi sehingga menyebabkan penyakit osteoarthritis (OA). Pemberian glukosamin sulfat secara oral dapat membantu produksi cairan synovial untuk mencegah dan mengobati penyakit OA (Williams 2004 dalam Afridiana 2011). Penelitian Kulkarni et al. (2012) menunjukkan bahwa konsumsi glukosamin hidroklorida dan atau glukosamin sulfat terhadap pasien penderita OA (tingkat sedang) berpengaruh nyata terhadap pengurangan rasa nyeri pada sendi. Dosis harian untuk konsumsi glukosamin menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI) tahun 2004 adalah 1500 mg/ hari. Hasil penelitian Hathcock dan Andrew (2006) menunjukkan bahwa asupan glukosamin secara oral pada dosis 2000 mg/ hari aman untuk dikonsumsi. Adapun efek konsumsi glukosamin terhadap tubuh dapat dilihat setelah satu bulan pemakaian. Mutu glukosamin hidroklorida menurut standar United State Pharmacopeia (USP) ditunjukkan pada Tabel 1.

Glukosamin dapat dihasilkan dengan beberapa cara ekstraksi yakni proses hidrolisis kimiawi, proses enzimatis, proses fermentasi, dan proses gabungan antara ketiganya. Produksi glukosamin dengan proses ekstraksi enzimatis dan fermentasi biasanya dilakukan pada skala laboratorium. Proses ekstraksi yang paling umum digunakan pada produksi glukosamin skala industri adalah proses hidrolisis kimiawi dengan kombinasi asam HCl dan basa NaOH dengan konsentrasi tertentu. Menurut Kralovec dan Barrow (2008) angka hidrolisis kitin menjadi glukosamin menurun ketika konsentrasi asam yang digunakan kurang dari 9 M. Kadar asam yang rendah menyebabkan terjadinya hidrolisis yang tidak sempurna dan terbentuknya kitosan oligomer. Hidrolisis yang tidak sempurna juga dapat disebabkan oleh kurangnya waktu reaksi meskipun konsentrasi asam yang digunakan mencapai 10 M.

Tabel 1 Spesifikasi mutu glukosamin hidroklorida (GlcN) menurut (USP)

Sumber: USP 2006 dalam Cargill Inc. 2006 2.3Kitin

Kitin adalah polisakarida struktural yang umum digunakan untuk menyusun eksokleton dari artropoda (serangga, laba-laba, krustase, dan hewan-hewan lain sejenis). Kitin juga tergolong homopolisakarida linear yang tersusun atas residu N-asetilglukosamin pada rantai beta dan memiliki monomer berupa molekul glukosa dengan cabang yang mengandung nitrogen. Kitin murni mirip dengan kulit, namun akan mengeras ketika dilapisi dengan garam kalsium karbonat CaCO3. Kitin membentuk serat mirip selulosa yang tidak dapat dicerna oleh vertebrata (Sugita et al 2009).

Keberadaan kitin di alam umumnya terikat dengan protein, mineral, dan berbagai macam pigmen. Contohnya, kulit udang mengandung 25-40% protein, 40-50% CaCO3, dan 15-20% kitin, tetapi besarnya komponen tersebut masih bergantung pada jenis udangnya (Altschul 1976 dalam Sugita et al. 2009) sedangkan kulit kepiting mengandung protein (15,60-23,90%), kalsium karbonat (53,70-78,40%) dan kitin (18,70-32,20%), hal ini tergantung pada jenis kepiting tempat hidupnya (Focher 1992 dalam Sugita et al. 2009).

Secara kimia, struktur kitin merupakan poli (2-asetamido-2-deoksi-β-(1→4) -D-glukopiranosa) dengan rumus molekul (C8H13NO5)n yang tersusun atas 47% C, 6% H, 7% N, dan 40% O. Struktur kitin menyerupai struktur selulosa dan hanya berbeda pada gugus yang terikat di posisi atom C2. Gugus pada C2 selulosa Uji USP-NF Spesifikasi USP-NF

Penampakan Serbuk putih

Spesifik rotasi Antara +70.0o sampai +73.0o (larutan uji 25 mg/mL) pH 3.0-5.0, dalam larutan 20 mg/mL

Pengurangan bobot akibat pemanasan

Pengeringan pada 105 oC selama 2 jam, pengurangan bobot <= 1.0%

Sisa pembakaran <= 0.1%

Sulfat 0.10 g dilarutkan dalam 0.25 mL asam sulfat 0.020 N, kadar sulfat <= 0.24% Besi <= 10 ppm Klorin <= 17% Logam berat 0.001% Kemurnian (basis kering) 98.0 sampai 102.0%

adalah gugus hidroksil -OH, sedangkan pada C2 kitin adalah gugus N-asetil (Muzzarelli 1977). Struktur kimia kitin ditunjukkan oleh Gambar 2.

Gambar 2 Struktur kimia kitin (Muzzarelli 1977).

Kitin tidak larut dalam pelarut biasa tetapi cenderung stabil dalam asam maupun basa lemah. Kitin dapat dideasetilasi sehingga membentuk produk turunan seperti kitosan, oligosakarida, dan glukosamin. Bentuk turunan ini memiliki manfaat lebih besar sebagai neutraceutical (Kralovec dan Barrow 2008). Proses isolasi kitin pada dasarnya terdiri dari tiga tahap, yaitu: tahap pemisahan protein (deproteinasi), tahap pemisahan mineral (demineralisasi), dan tahap penghilangan warna (depigmentasi) (Savitri et al. 2010).

2.4Kitosan

Kitosan merupakan produk deasetilasi kitin melalui proses reaksi kimia menggunakan basa natrium hidroksida atau reaksi enzimatis menggunakan enzim kitin deacetylase. Kitosan merupakan biopolimer yang resisten terhadap tekanan mekanik. Unsur-unsur yang menyusun kitosan hampir sama dengan unsur-unsur yang menyusun kitin yaitu C, H, N, O dan unsur-unsur lainnya. Kitosan adalah turunan kitin yang diisolasi dari kulit kepiting, udang, rajungan, dan kulit serangga lainnya. Kitosan merupakan kopolimer alam berbentuk lembaran tipis, tidak berbau, terdiri dari dua jenis polimer, yaitu poli (2-Deoksi-2-asetilamin-2-Glukosa) dan poli (2-Deoksi-2 Aminoglukosa)

yang berikatan β-D (1–4 ) (Hirano 1986).

Kitosan tidak beracun dan mudah terbiodegradasi. Kitosan tidak larut dalam air, dalam larutan basa kuat, dalam H2SO4 dan dalam beberapa pelarut organik seperti alkohol dan aseton. Kitosan sedikit larut dalam asam klorida dan asam

nitrat serta larut baik dalam asam lemah seperti asam formiat dan asam asetat (Sugita et al 2009). Struktur kimia kitosan ditunjukkan pada Gambar 8.

Gambar 3 Struktur kimia kitosan (Hirano 1986).

Tahap utama yang berperan penting dalam proses transformasi kitin menjadi kitosan ialah tahap deasetilasi dengan penggunaan basa kuat KOH atau NaOH. Proses deasetilasi gugus asetil pada asetamida kitin dapat dijelaskan sebagai berikut: gugus karbon karbonil diserang oleh nukleofil OH-, akibatnya terjadi reaksi adisi sehingga terbentuk zat antara. Zat antara ini selanjutnya mengalami reaksi elimininasi sehingga gugus asetil pada asetamida kitin lepas membentuk asetat. Proses pelepasan gugus asetil dari gugus asetamida kitin berhubungan dengan konsentrasi ion OH- pada larutan. Konsentrasi OH- akan lebih besar pada larutan basa kuat. Semakin kuat suatu basa semakin besar konsentrasi OH- dalam larutannya. Dengan demikian kekuatan basa mempengaruhi proses deasetilasi gugus asetil dari gugus asetamida kitin (Azhar et al. 2010).

Penggunaan larutan NaOH 50% (b/v) pada proses deasetilasi kitin menjadi kitosan dimaksudkan untuk memutus ikatan antara gugus asetil dengan atom nitrogen, sehingga berubah menjadi gugus amina (-NH2). Larutan basa dengan konsentrasi tinggi ini digunakan karena ikatan antara nitrogen N dengan gugus asetil sangat kuat. Hal ini disebabkan karena unit sel kitin berstruktur kristalin dan adanya ikatan hidrogen yang meluas antar atom nitrogen dengan gugus karboksil tetangganya (Karmas 1992). Proses deasetilasi ini bertujuan untuk memutuskan ikatan kovalen antara gugus asetil dengan nitrogen dalam gugus asetamida kitin sehingga berubah menjadi gugus amina (-NH2) dengan demikian pelepasan gugus asetil pada asetamida kitin menghasilkan gugus amina terdeasetilasi.

2.5Fourier Transform Infra Red (FTIR)

Fourier Transform Infra Red (FTIR) merupakan suatu teknik spektroskopi inframerah yang dapat mengidentifikasi kandungan gugus fungsi suatu senyawa termasuk senyawa kalsium fosfat, namun tidak dapat mengidentifikasi unsur-unsur penyusunnya. Ada dua jenis energi vibrasi yaitu vibrasi bending dan vibrasi stretching. Vibrasi bending yaitu pergerakan atom yang menyebabkan perubahan sudut ikatan antara dua ikatan atom atau pergerakan dari seluruh atom terhadap atom lainnya. Sedangkan vibrasi stretching adalah pergerakan atom yang teratur sepanjang sumbu ikatan antara dua atom sehingga jarak antara dua atom dapat bertambah atau berkurang (Samsiah 2009).

Spektroskopi IR digunakan untuk menetukan struktur molekul melalui sederetan gugus fungsi yang berdasarkan pada perubahan amplitudo vibrasi yang diawali oleh terjadinya aksi antara molekul dengan radiasi infra merah yang medan listriknya memiliki frekuensi sama. Prinsip dasar dari spektrofotometri IR adalah perubahan amplitudo radiasi IR dari gugus dalam molekul pada energi (bilangan gelombang atau bilangan gelombang) yang sesuai. Pengujian FTIR memiliki beberapa keuntungan, yakni relatif cepat, sampel tidak perlu murni, dan tingkat ketelitian tinggi (Pavia et al. 2009).

Identifikasi gugus fungsi biasanya dilakukan pada daerah bilangan gelombang 800-4000 cm-1. Serapan pita amida I memiliki bilangan gelombang 1655 cm-1 dan gugus hidroksil memiliki bilangan gelombang 3450 cm-1 (Sugita et al. 2009). Serapan gugus hidroksi O-H memiliki bilangan gelombang pada 3200-3400 cm-1 (H terikat) dan pada 3650-3600 cm-1 (gugus hidroksi bebas). Gugus amina N-H memiliki bilangan gelombang 3500-3100 cm-1 (vibrasi ulur) dan 1640-1550 cm-1 (vibrasi tekuk). Gugus amin C-N memiliki bilangan gelombang 1350-1000 cm-1. Gugus C-O berada pada bilangan gelombang 1300-1000 cm-1. Gugus C-H berada pada daerah bilangan gelombang 3000-2850 cm-1 (Pavia et al. 2009).

3 METODE 3.1Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus sampai dengan September 2012. Laboratorium yang digunakan yaitu Laboratorium Biokimia Hasil Perairan I untuk preparasi sampel dan pembuatan larutan HCl, Unit Produksi Hasil Perairan untuk autoklaf sampel, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Laboratorium Kimia Analisis Departemen Kimia untuk analisis titik leleh dan Laboratorium Analisis Bahan Departemen Fisika untuk pengujian FTIR, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor.

3.2Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Erlenmeyer 250 ml, autoklaf bertekanan 2 atm, FTIR Perkin Elmer SpektrumOne, pemanas listrik titik leleh MelTemp, gelas piala 100 ml, pipet morr 10 ml, gelas ukur 50 ml, oven, kertas pH, kertas saring, dan timbangan digital. Bahan yang digunakan adalah kitin dan kitosan komersil yang diperoleh dari PT Biotech Surindo Cirebon, HCl 12 N (teknis), Isoprophyl Alcohol/ IPA (teknis), dan akuades.

3.3Metode Penelitian

Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap utama yakni tahap pendahuluan dan tahap penelitian inti. Penelitian pendahuluan dimaksudkan untuk menentukan kombinasi perlakuan terbaik dalam pembuatan glukosamin. Bahan baku utama yang digunakan pada penelitian pendahuluan ialah kitin dan kitosan komersial. Penelitian inti dimaksudkan untuk membuat dan mengkarakterisasi glukosamin yang dihasilkan. Karakter fisik dan kimia glukosamin yang diamati meliputi penampakan, warna, kelarutan, titik leleh (melting point temperature), dan serapan pita amida (uji FTIR).

Ekstraksi glukosamin dari kitin dilakukan dengan cara hidrolisis kimiawi. Metode yang digunakan merujuk pada penelitian Rismawan (2012) dengan mengkombinasikan waktu pemanasan, konsentrasi asam, dan perlakuan tekanan vakum. Proses ekstraksi diawali dengan merendam kitin atau kitosan 2,5 gram dalam larutan HCl (sampel:HCl=1:9). Perlakuan yang diberikan ialah konsentrasi

HCl 18,5%, 12,3%, dan 9,2% (v/v) untuk sampel kitin dan HCl 0-22% (v/v) dengan interval konsentrasi 2%. Waktu pemanasan yang diberikan adalah 30, 60, 90, dan 120 menit pada tekanan vakum 0,5 dan 1 atm. Diagram alir penelitian ditunjukkan oleh Gambar 4, 5, dan 6.

Gambar 4 Diagram alir uji pendahuluan (UP) 1

Gambar 5 Diagram alir uji pendahuluan (UP) 2 Kitin

Hidrolisis dengan HCl (v/v) (18,5%, 12,3%, 9,2%) Perbandingan kitin:HCl (b/v) (1:9)

Autoklaf (30, 60, 90, 120 menit) Tekanan (1 atm)

Uji kelarutan

Tidak larut

Bukan GlcN

Pencucian sampel dengan IPA (pH 3-5)

Uji kelarutan

Autoklaf (60 menit) Tekanan ( 1 atm)

GlcN Kitosan

Hidrolisis dengan HCl (v/v) (0-22%) interval 2% Perbandingan kitosan:HCl (b/v) (1:9)

Pencucian sampel dengan IPA (pH 3-5)

Gambar 6 Diagram alir penelitian inti (metode terbaik)

Sampel yang telah diautoklaf dicuci dengan IPA atau alkohol hingga pH nya mencapai 3-5. Sampel kemudian dioven pada suhu 80 oC selama 4 jam dan dihitung rendemennya. Selanjutnya dilakukan uji karakter fisika glukosamin yakni uji Fourier Transform Infra Red (FTIR), uji titik leleh, dan kenampakan warna.

3.3.1Uji kelarutan

Kelarutan merupakan salah satu cara yang paling mudah dilakukan untuk mengenali sampel sebagai glukosa atau glukosamin. Uji ini dilakukan dengan cara melarutkan sampel glukosamin dalam air. Sampel sebanyak 100 mg dilarutkan dalam 1 ml air dingin bersuhu 20 oC sehingga sampel larut sempurna.

3.3.2Penampakan dan warna

Penampakan glukosamin dianggap baik jika glukosamin berbentuk serbuk setelah dihaluskan. Warna sampel glukosamin dianggap baik jika berwarna putih

GlcN terbaik

Karakterisasi: Uji LoD Uji titik leleh Uji FTIR Uji kelarutan

Autoklaf (60 menit) Tekanan (maks 1 atm)

GlcN Kitosan

Hidrolisis dengan HCl (v/v) (8%) Kitosan:HCl (b/v) (1:9)

Pencucian sampel dengan IPA (pH 3-5)

Larut

Penentuan perlakuan terbaik (rendemen, warna, konsentrasi HCl)

atau mendekati putih. Penampakan dan warna dilihat langsung secara visual kemudian dibandingkan dengan glukosamin standar yang sudah ada.

3.3.3Spektrum glukosamin hidroklorida (GlcN HCl)

Penentuan spektrum glukosamin hasil penelitian ditentukan melalui uji FTIR (Fourier Transform Infra Red). Padatan glukosamin hidroklorida hasil hidrolisis dan standar masing-masing dicampur dengan KBr dengan nisbah 1:100 lalu digerus sampai rata dengan menggunakan mortar. Campuran ini ditempatkan dalam alat pengepresan dan dilakukan pengepresan pada tekanan beban 800 kg. Kepingan hasil pengepresan diukur absorbansinya menggunakan FTIR. Kisaran scanning yang digunakan antara 450 cm-1 hingga 4000 cm-1.

Sampel glukosamin yang diuji adalah glukosamin terbaik hasil penelitian. Absorbansi grafik spektrum glukosamin hasil hidrolisis kemudian dibandingkan dengan absorbansi spektrum glukosamin standar dari penelitian terdahulu. Glukosamin hasil uji dianggap baik (cukup murni) jika kisaran absorbansi spektrumnya tidak jauh berbeda dengan kisaran absorbansi glukosamin standar.

3.3.4Uji titik leleh (AOAC 1995)

Uji titik leleh dilakukan dengan bantuan alat MelTemp. Serbuk glukosamin hidroklorida dimasukkan ke dalam pipa kapiler melalui ujung tabung yang terbuka. Dasar pipa kemudian diketuk di bagian bawah atau dijatuhkan melalui sebuah tabung sempit yang panjang. Hal ini dimaksudkan agar glukosamin menjadi padat sehingga proses pelelehan berlangsung secara merata. Cara ini dilakukan berulang kali untuk mendapatkan contoh padat dalam tabung setinggi 1,5-3 mm. Tabung kapiler dimasukkan ke dalam pemanas listrik yang dilengkapai dengan termometer 400 oC untuk penetapan titik leleh. Alat dinyalakan dan suhu dinaikkan perlahan sampai titik leleh tercapai. Pengujian titik leleh ini dilakukan secara triplo.

3.3.5Uji loss on drying (LoD) (USP 2006)

Uji LoD dilakukan dengan cara mengoven sampel kering pada suhu 105 oC selama dua jam. Kondisi sampel dianggap baik jika pengurangan bobot sampel

setelah pengovenan nilainya tidak lebih dari 1%. Persentase LoD dihitung dengan rumus

LoD (%) = �1−�2 (� )

�1 (� )

� 100%

dengan:

W1: Bobot sampel awal sebelum dioven W2: Bobot sampel setelah dioven

3.3.6Perhitungan rendemen

Perhitungan rendemen dimaksudkan untuk mengetahui kadar efektif sampel kitin atau kitosan yang dapat diubah menjadi glukosamin. Rendemen diperoleh dengan cara membandingkan bobot glukosamin dengan bobot awal sampel kitin atau kitosan yang digunakan. Rendemen glukosamin yang dihasilkan dihitung dengan menggunakan rumus

Rendemen (%) = � � � (� )

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Pembuatan glukosamin hidroklorida (GlcN HCl) pada penelitian ini

Dokumen terkait