• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

B. Pembuatan granul effervescent ekstrak teh hijau

Ekstrak teh hijau yang telah melalui pemeriksaan kualitas kemudian diformulasikan menjadi suatu sediaan granul effervescent. Kelebihan dari bentuk sediaan ini dibandingkan dengan sediaan oral konvensional lainnya adalah penyiapan larutan dalam waktu yang cepat serta memberikan rasa yang enak dan sensasi segar sehingga acceptable bagi konsumen. Pada penelitian ini, zat aktif yang digunakan adalah epigalocatechin gallate (EGCG). Zat aktif yang dipilih adalah EGCG karena memiliki potensi antioksidan yang tertinggi. Jika dilihat dari strukturnya, EGCG memiliki gugus hidroksil yang paling banyak di antara senyawa polifenol lainnya dalam teh hijau. Gugus hidroksil dapat menyumbangkan atom hidrogen yang dimilikinya untuk menstabilkan radikal bebas. Meskipun di dalam tubuh sudah terdapat senyawa yang dapat berfungsi sebagai antioksidan, namun hal itu dirasa kurang mengingat pada zaman sekarang ini manusia lebih banyak terpapar oleh radikal bebas yang berasal dari lingkungan sekitar. Dengan demikian, diperlukan tambahan antioksidan dari luar tubuh yang dapat membantu menangkap radikal-radikal bebas, salah satunya adalah dengan menggunakan EGCG. Akan tetapi, perlu diperhatikan juga bahwa penggunaan antioksidan berlebih dapat memicu terbentuknya prooksidan (Chen, Yang, Shen, dan Wang, 2002).

Granul effervescent yang dibuat terdiri dari dua macam, yaitu granul asam dan granul basa. Kedua macam granul tersebut dibuat terpisah karena faktor keterbatasan ruangan, dimana ruangan yang digunakan dalam penelitian ini

memiliki kandungan lembab yang cukup tinggi yaitu sekitar 55%, padahal menurut Mohrle (1989) pembuatan sediaan effervescent sebaiknya dilakukan pada kondisi kelembaban ruangan 25% dengan suhu ruangan yang terkendali (25oC atau kurang) untuk menghindari masalah yang disebabkan oleh kelembaban atmosfer. Jika granul asam dan basa dicampur berarti terjadi kontak antara keduanya yang dapat memperbesar kemungkinan terjadi reaksi effervescent dini apabila ada sedikit lembab dari luar. Hal ini akan mempengaruhi stabilitas granul effervescent yang dihasilkan. Untuk meminimalkan reaksi effervescent dini tersebut maka granul asam dan basa dibuat terpisah. Sumber asam dan sumber basa merupakan komposisi yang sangat penting dalam suatu sediaan effervescent karena keduanya akan bereaksi dengan adanya air menghasilkan karbondioksida (CO2). Sumber asam yang digunakan adalah asam fumarat karena bersifat tidak higroskopis sehingga dapat meminimalisasi penyerapan lembab dari lingkungan, selain itu asam fumarat menunjukkan sinergisme saat dikombinasikan dengan antioksidan lain (Rowe et al, 2006), dalam hal ini adalah EGCG. Sebagai sumber basa digunakan natrium bikarbonat yang merupakan sumber karbondioksida utama dalam sistem effervescent (Mohrle, 1989).

Reaksi effervescent yang terjadi antara asam fumarat dengan natrium bikarbonat adalah sebagai berikut :

2 NaHCO3 + C4H4O4 → 2H2O + 2CO2 + Na2C4H2O4

Menurut Wehling dan Fred (2004), jumlah asam dan basa dalam tiap formula berkisar antara 10-60%, namun yang paling baik adalah antara 25-40%. Dalam

penelitian ini dipilih level rendah asam dan basa sebesar 15% serta level tinggi asam dan basa sebesar 25% dari bobot satu formula. Dalam penelitian ini bobot satu formula granul effervescent adalah 4000mg. Pemilihan level berdasarkan pertimbangan bahwa asam fumarat memiliki kelarutan yang rendah dalam air. Level rendah asam fumarat adalah sebesar 600mg dan level rendah natrium bikarbonat sebesar 874mg. Di sisi lain, digunakan level tinggi asam fumarat sebesar 1000mg dan level tinggi natrium bikarbonat sebesar 1445mg.

Granul asam berisi campuran ekstrak teh hijau, asam fumarat, dan laktosa. Sebagai pengikat digunakan larutan PVP (Polivinilpirolidon) K30. Menurut Mohrle (1989), PVP merupakan bahan pengikat yang efektif untuk sediaan effervescent. PVP biasa digunakan sebagai pengikat untuk granulasi basah pada konsentrasi 0,5-5% (Parikh, 1997). Berdasarkan hasil orientasi, digunakan larutan PVP dengan konsentrasi 3% karena pada konsentrasi tersebut sudah dihasilkan granul yang tidak rapuh tetapi juga tidak terlalu keras. Metode yang digunakan adalah granulasi basah dengan cairan non reaktif sehingga sebelum digunakan, PVP dilarutkan terlebih dahulu ke dalam etanol 96%. Laktosa digunakan sebagai bahan pengisi karena memiliki sifat inert, menunjukkan stabilitas yang baik saat dikombinasikan dengan sebagian besar obat serta relatif murah dibandingkan bahan pengisi lainnya. Menurut Kellar et al (2005), recovery EGCG tertinggi diperoleh dengan adanya bahan tambahan laktosa. Selain itu, formulasi menggunakan laktosa biasanya mudah untuk dikeringkan baik menggunakan tray atau fluidized bed driers (Peck, Baley, McCurdy, dan Banker, 1989). Ekstrak teh

hijau dicampurkan ke dalam granul asam karena EGCG memiliki kestabilan tertinggi pada pH 5(Kellar et al, 2005).

Granul basa terdiri dari campuran natrium bikarbonat, laktosa, dan aspartam dengan PVP sebagai pengikat. Aspartam dicampurkan ke dalam granul basa karena menurut Allen (2002) kemanisan aspartam akan meningkat jika bersama dengan natrium bikarbonat. Selain itu, dari hasil orientasi juga diketahui bahwa jika aspartam dicampurkan pada granul asam maka larutan yang dihasilkan menjadi tidak jernih (berkabut). Aspartam digunakan sebanyak 2% dari total formula karena berdasarkan orientasi telah dihasilkan larutan effervescent yang memiliki kemanisan yang cukup. Batas penggunaan aspartam sebagai pemanis buatan adalah 50mg/kg BB/hari (Anonim, 2004).

Sebelum dilakukan granulasi, bahan-bahan yang akan digunakan diayak terlebih dahulu menggunakan ayakan no. 50 untuk menghilangkan partikel-partikel berukuran besar (menggumpal) yang dapat mempengaruhi homogenitas saat dilakukan pencampuran. Kemudian bahan dikeringkan selama 2 hari dalam oven dengan suhu ± 40oC untuk membantu mengurangi kandungan air dalam bahan. Digunakan suhu pengeringan ± 40oC untuk menjaga supaya natrium bikarbonat tidak berubah menjadi natrium karbonat, karena natrium bikarbonat akan mulai terdekomposisi menjadi natrium karbonat pada suhu 50oC (Swarbrick dan Boylan, 1992). Pencampuran bahan dilakukan menggunakan cube mixer selama 20 menit dengan kecepatan 20rpm (Nian, 2006) untuk membantu menghomogenkan serbuk.

Massa granul yang telah jadi dicetak kemudian dikeringkan kembali dalam oven dengan suhu ± 40oC selama tujuh hari hingga bobot konstan, dengan tujuan untuk mengurangi kandungan lembab yang masih terdapat dalam bahan-bahan yang dapat memicu terjadinya reaksi effervescent dini. Proses penggranulan dilakukan di dalam ruang tertutup dengan suhu sekitar 18oC dan kelembaban ruangan sekitar 55%. Granul kemudian diayak menggunakan ayakan no. 20/30 lalu dilakukan pencampuran antara granul asam dan basa.

Granul yang telah dicampur kemudian diuji homogenitasnya. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui apakah campuran granul yang dihasilkan telah homogen. Berdasarkan hasil pengujian diperoleh data CV dari keempat formula lebih dari 5%, padahal seharusnya CV yang baik adalah kurang dari 5%. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa campuran granul yang dihasilkan tidak homogen. Hal ini kemungkinan disebabkan lama pencampuran granul yang kurang optimum sehingga campuran yang dihasilkan belum homogen atau sudah melewati waktu optimum sehingga terjadi dehomogenisasi.

Dokumen terkait