• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hidrokoloid Karagenan

2.1.1. Pembuatan karagenan

Rumput laut yang telah dipanen dilakukan penanganan pascapanen. Penanganan pascapanen atau penanganan awal dilakukan untuk pembersihan/ menghilangkan pasir, garam dan kotoran-kotoran lain yang melekat dengan cara mencuci dengan air tawar (pencucian dilakukan dua sampai tiga kali). Hasil pencucian dikeringkan hingga diperoleh rumput laut yang bersih dengan kandungan air 10 – 25 %. Pengeringan dapat dilakukan dengan sinar matahari atau menggunakan alat pengering. Hasil pengeringan dapat langsung diproses atau dapat juga digunakan untuk kebutuhan ekspor rumput laut kering. Proses ekstraksi karagenan dari rumput laut meliputi: pencucian, pemekatan (evaporasi), pemisahan (filtrasi dengan sentrifus), pengendapan (presipitasi), pengeringan (roll

drum dryer), grinder (mill), dan pengepakan (Istini 2007). Diagram alir proses pembuatan karagenan dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Proses pembuatan tepung karagenan Okazaki (1971) dalam

Istini (2007).

Proses pengolahan karagenan melalui tahapan sebagai berikut (Okazaki 1971

dalam Istini 2007):

1) Bahan baku pembuatan karagenan adalah rumput laut Rhodophycea yang telah mengalami pengolahan awal (pencucian dan pengeringan).

2) Rumput laut yang sudah bersih dan kering sebelum diolah perlu dilakukan pencucian lagi. Pencucian dengan air tawar dapat dilakukan dengan drum berputar yang berlubang dan ke dalamnya disemprotkan air sehingga kotoran-kotoran akan lepas.

3) Rumput laut yang telah mengalami pencucian tadi dibuat alkalis dengan menambahkan suatu basa berupa larutan NaOH, Ca(OH)2 atau KOH, sehingga pH mencapai sekitar 9 – 9,6.

4) Setelah dibuat alkalis dilakukan ekstraksi dengan air dalam suatu tangki dengan perbandingan jumlah air 20 kali berat rumput laut yang akan diekstraksi. Ekstraksi dilakukan selama 2 – 24 jam pada suhu 90 – 95°C. Supaya sempurna, ekstraksi dilakukan selama satu hari (24 jam).

5) Hasil ekstraksi dipisahkan antara larutan (ekstrak) dan residu (kotoran-kotoran yang terdiri dari rumput laut yang tidak larut).

6) Pemisahan dilakukan dengan penyaringan yang menggunakan filter aid. Filtrat yang keluar berupa larutan yang mengandung 1 % karagenan, dan residunya dibuang.

7) Larutan yang mengandung 1 % karagenan dipekatkan menjadi 3 % dengan jalan menguapkan airnya dalam suatu evaporator pada suhu 100 °C pada tekanan 1 atm.

8) Larutan hasil pemekatan ditambah dengan larutan centrifuge, larutan direcovery dan ditambahkan karbon aktif untuk menghilangkan warna dari larutan. Larutan dan karbon aktif dipisahkan dengan filtrasi. Larutan hasil filtrasi digunakan kembali untuk proses pembentukan endapan karagenan. 9) Serat karagenan yang terbentuk sebagai endapan kemudian dikeringkan

dalam suatu drum dryer pada suhu 250 °C. Serat karagenan yang sudah kering dihancurkan dengan alat penghancur (discmill) sehingga diperoleh karagenan powder. Karagenan powder ini siap untuk dikemas dalam drum plastik atau dalam kantong-kantong polyethylene.

2.1.2. Struktur dan sifat karagenan

Karagenan merupakan polisakarida yang diekstraksi dari rumput laut merah dari Jenis Chondrus, Eucheuma, Gigartina, Hypnea, Iradea dan

Phyllophora. Karagenan dibedakan dengan agar berdasarkan kandungan sulfatnya, karagenan mengandung minimal 18 % sulfat, sedangkan agar-agar hanya mengandung sulfat 3- 4 %, (Food Chemical Codex 1974 dalam Anonim 2007b).

Menurut Hellebust dan Cragie (1978), karagenan terdapat dalam dinding sel rumput laut atau matriks intraselulernya dan karagenan merupakan bagian penyusun yang besar dari berat kering rumput laut merah dibandingkan dengan komponen yang lain. Jumlah dan posisi sulfat membedakan macam-macam polisakarida Rhodophyceae, seperti yang tercantum dalam Federal Register, polisakarida tersebut harus mengandung 20 % sulfat berdasarkan berat kering untuk diklasifikasikan sebagai karagenan. Berat molekul karagenan tersebut cukup tinggi yaitu berkisar 100 – 800 ribu kDa (deMan 1989).

Karagenan bukan merupakan biopolimer tunggal, tetapi campuran dari galaktan-galaktan linear yang mengandung sulfat dan larut dalam air. Galaktan-galaktan tersebut terhubung oleh 3-β-D-galaktopiranosa (G-units) dan 4-α -D-galaktopiranosa (D-units) atau 4-3,6-anhidrogalaktosa (DA-units), membentuk unit pengulangan disakarida dari karagenan. Galaktan yang mengandung sulfat diklasifikasikan berdasarkan adanya 3,6-anhidrogalaktosa serta posisi dan jumlah golongan sulfat pada strukturnya. Kappa karagenan tersusun dari α (1,3)-D-galaktosa-4-sulfat dan β(1,4)-3,6-anhidro-D-galaktosa. Karagenan juga mengandung D-galaktosa-6-sulfat ester dan 3,6-anhidro-D-galaktosa-2-sulfat ester. Adanya gugusan 6-sulfat, dapat menurunkan daya gelasi dari karagenan, tetapi dengan pemberian alkali mampu menyebabkan terjadinya transeliminasi gugusan 6-sulfat, yang menghasilkan 3,6-anhidro-D-galaktosa, sehingga derajat keseragaman molekul meningkat dan daya gelasinya juga bertambah (Winarno 1996).

Karagenan komersial memiliki kandungan sulfat 22-38 % (w/w). Karagenan dijual dalam bentuk bubuk, warnanya bervariasi dari putih sampai kecoklatan bergantung dari bahan mentah dan proses yang digunakan. Di pasaran karagenan ditemukan dalam 2 tipe, yaitu refined karagenan dan semirefined

karagenan. Semirefined karagenan dibuat dari spesies rumput laut Euchema yang banyak terdapat di Indonesia dan Filipina. Karagenan semi-refined mengandung lebih banyak bahan yang tidak larut asam (8-15%) dibandingkan refined

karagenan (2 %) (Fahmitasari 2004). Selain galaktosan dan sulfat, residu karbohidrat lain (seperti xylosa, glukosa, dan asam uronat) dan senyawa penggantinya (seperti metil eter dan golongan piruvat) juga terdapat pada karagenan (Knutsen et al. 1994 dalam van de Velde dan Gerhard 2004). Struktur molekul karagenan dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Struktur molekul berbagai jenis karagenan (Chaplin 2007) Karagenan memiliki kemampuan yang unik untuk membentuk variasi gel yang hampir tidak terbatas pada suhu ruang. Proses pembentukan gel tidak memerlukan pendinginan dan gel dapat dibuat stabil melalui siklus freezing-thawing yang berulang. Larutan karagenan dapat mengentalkan, mengikat dan menstabilkan partikel-partikel sebaik dispersi koloid dan emulsi air atau minyak (Anonim 2006b). Karagenan merupakan salah satu hidrokoloid yang dapat digunakan sebagai bahan penstabil dan pengental alami menggantikan bahan pengental sintetik golongan alkanolamide (Winarno 1996).

Karagenan diberi nama berdasarkan persentase kandungan ester sulfatnya, kappa: 25-30 %, iota: 28-35 %, dan lambda: 32-38 %. Kappa dan iota larut dalam air panas (70 oC), sedangkan lambda bisa larut dalam air dingin. Karagenan bisa larut dalam susu dan larutan gula sehingga sering digunakan sebagai pengental/penstabil pada berbagai minuman dan makanan. Dapat membentuk gel dengan baik, sehingga banyak digunakan sebagai gelling-agent dan pengental (Suptijah 2002). Sifat-sifat berbagai jenis karagenan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Sifat-sifat dari kappa, iota, dan lambda karagenan

Parameter Kappa Iota Lambda

Ester sulfat 25- 30 % 28-35 % 32-39 % 3,6-anhidro-galaktosa 28-35 % - 30 % K el ar u tan

Air panas Larut pada > 70oC Larut pada> 70 oC Larut

Air dingin Larut Na+ Larut Na+ Larut dalam

semua garam

Susu panas Larut Larut Larut

Susu dingin + Tetrasodium Pyrophosphate

Kental Kental Lebih kental

Larutan gula Larut (Panas) Susah larut Larut (panas)

Larutan garam Tidak larut Tidak larut Larut (panas)

Pelarut organik Tidak larut Tidak larut Tidak larut

G

el

Pengaruh kation Membentuk gel

kuat dengan K+

Membentuk gel

kuat dengan Ca2+

Tidak membentuk gel

Tipe gel Rapuh Elastis Tidak

membentuk gel

S

tab

il

it

as pH netral dan basa Stabil Stabil Stabil

Asam (pH 3,5) Terhidrolisis Terhambat dengan

panas Terhidrolisis

Sinergitas dengan locust

bean gum Tinggi Tinggi Tinggi

Stabilitas thawing Tidak stabil Stabil Tidak stabil

Sumber : Glicksman (1983)

Sifat-sifat kandungan kimia karagenan ditentukan oleh kelarutan, viskositas, kekuatan gel, dan stabilitasnya. Karagenan biasanya mengandung unsur berupa garam sodium dan potassium yang berfungsi untuk menentukan sifat-sifat karagenan (Fahmitasari 2004). Karagenan tidak dapat larut dalam pelarut organik seperti alkohol, eter dan minyak. Kelarutan dalam air bergantung pada struktur karagenan, media, dan suhu. Kappa dan iota merupakan jenis karagenan yang dapat membentuk gel. Pembentukan gel terjadi saat rantai dari satu karagenan bertemu dengan rantai lain yang sama untuk membentuk

jaringan tiga dimensi; sedangkan untuk lambda karagenan tidak membentuk gel (Bubnis 2000 dalam Anonim 2008).

Sifat-sifat kappa karagenan menurut FMC Biopolymer (2007) adalah: a. Larut dalam air panas.

b. Penambahan kalium dapat meningkatkan pembentukan gel yang rapuh dan tahan lama; dan meningkatkan suhu pelelehan dan pembentukan gel. c. Menghasilkan gel yang kuat dan kaku, membentuk heliks dengan ion K+.

Kandungan ion Ca++ dalam karagenan menyebabkan heliks membesar, sehingga gel berkontraksi dan menjadi rapuh.

d. Membentuk gel yang opaque, dan semakin jernih dengan penambahan gula.

e. Mengandung sekitar 25 % ester sulfat dan 34 % 3,6-anhidrogalaktosa. f. Larut dalam pelarut yang larut dalam air, seperti alkohol dan asam asetat. g. Tidak larut dalam kebanyakan pelarut organik.

2.1.3. Standar mutu karagenan

Berdasarkan IUPAC (International Union of Pure and Applied Chemistry)

dalam van de Velde dan Gerhard (2004), nama kode untuk kappa, iota dan lambda karagenan adalah, Carrageenose 4’-sulphate (G4S-DA) (kappa-karagenan),

Carrageenose 2,4’-sulphate (G4S-DA2S) (Iota-karagenan), dan Carrageenose 2,6,2’-trisulphate (G2S-D2S,6S) (lambda-karagenan) (Anonim 2006b).

Standar mutu yang dikenal adalah EEC Stabilizer Directive dan FAO/ WHO

Specification. Tepung karagenan mempunyai standar 99 % lolos saringan 60 mesh, tepung yang terendah alkohol 0,7 % dan kadar air 15 % pada RH 50 % dan 25 % pada RH 7 % (Anonim 2006b). Standar mutu karagenan menurut Food Chemical Codex (FCC), Food and Drugs Administration (FDA) dan Food and Agriculture Organization (FAO) disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Standar mutu karagenan

Spesifikasi FCC FDA FAO

Kadar air (%) Maks. 12 - Maks.12

Sulfat (%) 18-40 20-40 15-40

Abu (%) Maks. 35 - 15-40

Abu tak larut asam (%) Maks.1 - Maks. 1

Bahan tak larut asam (%) - - Maks. 2

Timbal (ppm) Maks.4 - Maks. 10

Viskositas 1,5 % sol (cP) Min.5 Min.5 Min. 5 Sumber : Purnama (2003)

2.1.4. Aplikasi karagenan

Karagenan dapat diaplikasikan pada berbagai produk seperti pembentuk gel atau penstabil, pensuspensi, dan pembentuk tekstur emulsi. Karagenan dapat diaplikasikan terutama dalam produk-produk jeli, jamu, saus, permen, sirup puding, dodol, salad dressing, gel ikan, nugget, dan produk susu. Saat ini karagenan bahkan diaplikasikan juga untuk industri kosmetik, tekstil, cat, obat-obatan, pakan ternak dan lain sebagainya (Suptijah 2002). Karagenan dalam industri sering dijadikan bahan campuran kosmetik, obat-obatan, es krim, susu, kue, roti dan berbagai produk makanan (Anonim 2006a).

Sifat karagenan sebagai pembentuk gel yang fleksibel juga dapat dipakai sebagai penstabil dan pengental. Karagenan digunakan dalam konsentrasi yang rendah untuk menstabilkan sistem suspensi dan emulsi. Ketika digunakan dalam konsentrasi rendah, struktur gel karagenan tidak terdeteksi (gel tidak terbentuk), dan sebagai gantinya viskositas sistem bertambah. Dalam hal ini karagenan dapat digunakan pula sebagai bahan penstabil dan pengental suatu sistem suspensi atau emulsi tanpa adanya pembentukan gel. Sifat karagenan yang seperti itu dimanfaatkan dalam industri daging atau ikan kaleng, susu, dan pasta gigi. Dalam produk gel dari susu seperti flan, kappa karagenan merupakan bahan pembentuk gel paling ekonomis (Skensved 2004).

2.2. Santan Kelapa

Buah kelapa muda merupakan salah satu produk yang bernilai ekonomi dan bergizi tinggi. Air kelapa di samping sebagai minuman segar, juga mengandung bermacam-macam mineral, vitamin dan gula sehingga dapat dikategorikan sebagai minuman ringan yang bergizi (Koswara 2007).

2.2.1. Bagian-bagian buah kelapa

Buah kelapa terdiri dari sabut (ekskarp dan mesokarp), tempurung (endocarp), daging buah (endosperm), dan air buah. Santan kelapa di peroleh dari daging buah kelapa. Komposisi daging buah kelapa ditentukan oleh umur buah (Ketaren 2005). Bagian-bagian kelapa dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Kelapa dan bagian-bagiannya (Ketaren 2005)

Daging buah kelapa adalah bagian yang paling banyak digunakan untuk produk pangan. Daging buah kelapa merupakan salah satu sumber minyak dan protein yang penting, dan dapat diolah menjadi kopra, minyak dan santan (Koswara 2007).

2.2.2. Komposisi buah kelapa

Minyak kelapa berdasarkan kandungan asam lemak digolongkan kedalam minyak asam laurat, karena kandungan asam lauratnya paling tinggi jika dibandingkan dengan asam lemak lainnya. Asam lemak jenuh pada minyak kelapa lebih kurang 90 %. Minyak kelapa mengandung 84 % trigliserida dengan

tige molekul asam lemak jenuh, 12 % trigliserida dengan dua asam lemak jenuh, dan 4 % trigliserida dengan satu asam lemak jenuh (Koswara- 2006). Komposisi kelapa berdasarkan umur buah dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi kimia daging buah kelapa pada berbagai tingkat kematangan

Analisis (dalam 100g) Buah muda

Buah setengah

tua

Buah tua

Kalori 68,0 kkal. 180,0 kkal. 359,0 kkal.

Protein 1,0 g 4,0 g 3,4 g Lemak 0,9 g 13,09 g 34,7 g Karbohidrat 14,0 g 10,0 g 14,0 g Kalsium 17,0 mg 8,0 mg 21,0 mg Fosfor 30,0 mg 35,0 mg 21,0 mg Besi 1,0 mg 1,3 mg 2,0 mg thiamin 0,0 mg 0,5 mg 0,1 mg Asam askorbat 4,0 mg 4,0 mg 2,0 mg Air 83,3 mg 70,09 mg 46,9 mg

Sumber: Thiem (1986) dalam Ketaren (2005)

Rasa gurih santan disukai oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Untuk mendapatkan rasa yang gurih pembuatan santan kelapa dalam pangan biasanya dengan menambah air sebanyak setengah dari volume parutan kelapa. Hampir semua masakan khas Indonesia selalu menggunakan santan, misalnya rendang, sayur lodeh, kolak, kari, opor, kue-kue, dan nasi uduk (Koswara 2006). 2.2.3. Pengolahan kelapa

Santan cair adalah produk cair yang diperoleh dengan menyaring daging buah kelapa (Cocos nucifora) dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan makanan yang diizinkan (SNI 01-3816-1995). Pemanfaatan buah kelapa harus diikuti dengan penanganan pascapanennya, seperti pengawetan, pengemasan, dan penyimpanan, karena buah mudah rusak. Teknologi pengolahan buah kelapa muda yang dapat mempertahankan daya simpannya sebenarnya telah tersedia, baik untuk yang masih utuh maupun yang sudah diolah menjadi produk baru.

Teknologi ini memberi peluang bisnis kelapa muda terutama di kota-kota besar (Anonim 2007b).

2.3. Stabilitas

Stabilitas merupakan kemampuan larutan untuk bercampur secara merata. Setiap partikel dalam larutan akan memiliki karakteristik kohesif atau adesif. Kemampuan untuk bersifat kohesif inilah yang akan menentukan kualitas homogenasi dari sebuah larutan. Larutan dengan partikel lain jenis terpisah (lebih bersifat adesif) dapat dicampur salah satunya dengan menggunakan penstabil (hidrokoloid) sehingga tingkat homogenasinya jadi lebih baik (Anonim 2008).

Sifat stabilitas ini terkait dengan sifat kelarutan karagenan. Karakteristik daya larut karagenan juga dipengaruhi oleh bentuk garam dari gugus estersulfatnya. Jenis sodium pada umumnya lebih mudah larut, sedangkan jenis potasium lebih sukar larut dalam air dingin dan diperlukan panas untuk mengubahnya menjadi larutan (Purnama 2003).

2.4. Ketengikan (Rancidity)

Minyak atau lemak merupakan trigliserida yang terdiri dari satu gliserol dan tiga gugus asam lemak. Jenis asam lemak ini bermacam-macam tergantung dari jumlah karbon (C) yang dimiliki (panjang pendeknya rantai) dan jenis ikatan antar karbon. Asam lemak ini mudah mengalami perubahan oleh adanya reaksi dengan oksigen sehingga menghasilkan ketengikan yang tidak dikehendaki (Wahid 2007).

Tipe ketengikan dalam lemak dibagi atas tiga golongan, yaitu: 1). ketengikan oleh oksidasi (oxidative rancidity); 2). ketengikan oleh enzim

(enzymatic rancidity); dan 3). ketengikan oleh proses hidrolisis (hidrolitic rancidity). Oksidasi terjadi pada ikatan tidak jenuh pada asam lemak. Pada suhu kamar sampai pada suhu 100 oC, Setiap satu ikatan tidak jenuh dapat mengabsorbsi dua atom oksigen, sehingga terbentuk persenyawaan peroksida yang bersifat labil. Bentuk kerusakan, terutama ketengikan yang paling penting adalah disebabkan oksigen udara terhadap lemak. Dekomposisi lemak oleh mikroba hanya dapat terjadi jika terdapat air, senyawa nitrogen dan garam mineral, oksidasi oleh oksigen udara terjadi spontan jika bahan yang mengandung

lemak dibiarkan kontak dengan udara (Ketaren 2005). Batas maksimum kadar TBA untuk hasil pertanian adalah 1-2 mg malonaldehida/kg (Chen et al. 1996). 2.5. Antioksidan

Antioksidan ada yang sintetis dan ada yang alami. Salah satu contoh dari antioksidan sintetis adalah BHT (Butylated hydroxytoluene) (Wahid 2007). Antioksidan yang berasal dari bahan sintetis memiliki sifat pencegahan ketengikan yang lebih tahan lama dan stabil, terutama pada suhu dan cahaya yang ekstrim. Namun dari sudut kesehatan, bahan tersebut bisa mendatangkan efek negatif, seperti munculnya penyakit kanker dan gangguan liver, terutama untuk penggunaan di atas ambang batas. Berdasarkan FDA (Food Drugs Administration) batas maksimum penggunaan BHT sebesar 200 ppt (Helmenstine 2001). Struktur kimia BHT dapat dlihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Struktur kimia BHT (Butylated hydroxytoluene) (http://chemistry.about.com)

Karakteristik BHT secara kimia dikenal sebagai 3,5-di-tert -butyl-4-hydroxytoluene, methyl-di-tert-butylphenol, atau 2,6-di-tert-butyl-para-cresol dengan susunan rantai karbon dan berbentuk serbuk putih. BHT dapat menghambat reaksi oksigen dengan lemak, biasanya digunakan sebagai zat aditif. BHT biasanya digunakan pada lemak dan minyak, bahan kosmetik, dan obat-obatan (Helmenstine 2001).

Komponen lain yang juga sering digunakan sebagai antioksidan adalah hasil ekstraksi dari bahan alami. Karena berasal dari bahan alami, maka antioksidan ini jauh lebih aman dan bersahabat. Relatif tidak ada efek negatif yang muncul dari bahan tersebut yang bisa mengganggu kesehatan manusia.

Namun demikian, efektivitas dan stabilitas bahan alami ini masih kalah dibandingkan dengan antioksidan yang berasal dari bahan sintetis. Biasanya ia tidak tahan terhadap suhu tinggi dan pencahayaan langsung. Oleh karena itu daya tahan simpan minyak dan makanan berlemak yang menggunakan antioksidan tersebut biasanya lebih rendah dan tidak boleh terkena sinar langsung (Wahid 2007).

3. METODOLOGI

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksankan pada bulan November – Desember 2007. Penelitian dilakukan dalam dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan dilaksanakan di Laboratorium Fisika-Kimia Hasil Perairan dan Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Penelitian utama dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan, Laboratorium Organoleptik Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan dan Laboratorium Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain tepung

refined kappa karagenan, antioksidan BHT, buah kelapa, air, HCl 4M, pereaksi TBA. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain parutan kelapa, golok, mesin parut kelapa, waring blender, alat destilasi (destilation apparatus), dan spektrofotometer, minolta chroma meter, heater, gelas kimia, gelas ukur, pipet, timbangan meja, viskometer Brookfield LV.

3.3. Tahapan Penelitian

Penelitian dilakukan dalam dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan konsentrasi karagenan yang tepat sebagai penambah santan kelapa. Penelitian utama dilakukan untuk menentukan kemampuan kappa-karagenan sebagai penstabil kemudian dibandingkan dengan pengawet (antioksidan sintetis), santan kelapa tanpa penambahan, dan produk komersil sebagai pembanding.

3.3.1. Penelitian pendahuluan

Pertama-tama empat buah kelapa dibersihkan dari kulit dan serabut kelapa. Kemudian daging buah kelapa tersebut diparut. Sebanyak 3 kg parutan kelapa yang dihasilkan dibagi dua bagian, bagian pertama 2 kg dan bagian kedua 1 kg. Bagian yang pertama parutan kelapa langsung dilakukan pengepresan, dari sini didapatkan sampel yang pertama yang kemudian disebut santan jenis A.

Bagian yang kedua, santan kelapa ditambahkan air dengan perbandingan 2:1 yang kemudian disebut sebagai santan jenis B. Sisa ampas santan jenis A ditambahkan air dengan perbandingan 2:1 kemudian dilakukan pengepresan, hasil santan kelapa ini yang kemudian disebut sebagai santan kelapa jenis C. Langkah selanjutnya adalah mencampur kombinasi karagenan yang akan digunakan sesuai takaran konsentrasi yang telah ditentukan, yaitu 0,5 %, 0,75 %, dan 1 % tepung karagenan. Kombinasi perlakuan santan kelapa dengan penambahan konsentrasi karagenan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Kombinasi jenis santan dan konsentrasi karagenan pada penelitian pendahuluan

Keterangan :

A = Santan kelapa jenis A. B = Santan kelapa jenis B. C = Santan kelapa Jenis C.

A* = Santan kelapa jenis A yang terpilih setelah dilakukan uji organoleptik B* = Santan kelapa jenis B yang terpilih setelah dilakukan uji organoleptik C* = Santan kelapa jenis C yang terpilih setelah dilakukan uji organoleptik

Langkah selanjutnya dilakukan pemanasan pada suhu 70 oC, hal ini dilakukan untuk melarutkan tepung karagenan sehingga karagenan dengan santan

Perlakuan santan Konsentrasi karagenan (%) - Uji Organoleptik Percobaan terpilih A 0,5 A* 0,75 1 B 0,5 B* 0,75 1 C 0,5 C* 0,75 1

bercampur (Glicksman 1983). Setelah dipanaskan dalam waktu 1-3 menit dibiarkan sampai dingin kemudian dilakukan uji organoleptik pada parameter bau, rasa, warna, penampakan, dan homogenitasnya. Nilai terbaik pemilihan panelis pada berbagai konsentrasi karagenan pada masing-masing jenis santan kelapa akan digunakan pada penelitian utama. Diagram alir penelitian pendahuluan secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 5.

3.3.2. Penelitian utama

Langkah selanjutnya dilakukan komparasi dengan menambahkan karagenan sesuai dengan hasil yang didapatkan dari penelitian pendahuluan, menambahkan 200 ppt BHT (Butylated hidroxytoluene), dan santan kelapa yang tidak diberikan perlakuan pada masing-masing jenis santan.

Besarnya konsentrasi karagenan yang digunakan disesuaikan dengan konsentrasi terpilih pada uji organoleptik di penelitian pendahuluan pada masing-masing jenis santan. Langkah selanjutnya dilakukan pemanasan dengan suhu 70 0C selama 1-3 menit. Setelah dipanaskan dibiarkan sampai dingin kemudian dilakukan uji viskositas, stabilitas, dan ketengikan (bilangan TBA). Uji yang dilakukan melibatkan juga penggunaan santan komersil sebagai pembanding. Uji dilakukan dua kali yaitu uji yang dilakukan langsung setelah pendinginan dan uji yang dilakukan setelah penyimpanan pada suhu ruang. Diagram alir proses penelitian utama dapat dilihat pada Gambar 6.

3.3.3. Prosedur analisis

1) Uji organoleptik (Rahayu 1998)

Sampel sebanyak 80 ml dimasukkan ke dalam tabung 100 ml transparan kemudian sampel diberi label dari a-j, pelabelan dilakukan secara acak pada perlakuan sampel. Kemudian sampel diletakkan di atas meja tes organoleptik. Sebanyak dua puluh panelis semiterlatih akan menilai secara subyektif sampel yang ada. Panelis secara bergiliran akan menilai bau, rasa, warna, penampakan dan homogenitas dari sampel yang ada.

Uji subyektif skala hedonik dilakukan berdasarkan tingkat kesukaan panelis dalam 7 skala kesukaan 1 = sangat tidak suka, 2 = tidak suka, 3 = agak tidak suka, 4 = netral, 5 = agak suka, 6 = suka, 7 = sangat suka. Parameter yang diuji pada penelitian pendahuluan adalah santan dengan konsentrasi karagenan 0,5 %, 0,75 %, dan 1 % pada ketiga jenis santan kelapa.

2) Viskositas (Marine Colloids 1984)

Sampel yang diuji disiapkan dan ditempatkan pada sebuah wadah silender berdiameter ± 4 cm dan tinggi ± 10 cm. Setelah itu dilakukan pemilihan spindel sesuai dengan kebutuhan sampel yang diuji, yaitu spindel 4. Spindel terpilih dipasang pada alat dan santan mulai diukur dengan menyalakan alat pada kecepatan 6 rpm. Pembacaan skala dilakukan setelah jarum berputar 6x. Baru setelah itu didapatkan nilai viskositas dari santan yang diuji dari pembacaan nilai yang tertera pada viskometer brookfield.

3) Stabilitas (Sutter 1981)

Analisis stabilitas santan diukur dengan menggunakan metode yang dilakukan oleh Sutter (Obrin 1996). Prinsip analisis stabilitas adalah mengukur persentase suspensi pada santan.

Sampel sebanyak 80 ml dimasukkan pada tabung silinder transparan 100 ml. Botol yang sudah dimasukkan sampel dibiarkan pada tempat terbuka, kemudian diamati pemisahan zatnya antara lipida dan air. Diukur tinggi awal larutan santan sebelum memisah, nilai ini digunakan sebagai nilai tinggi larutan secara keseluruhan. Kemudian diukur bagian zat yang terpisah dengan menggunakan mistar. Pengukuran dilakukan pada tinggi awal larutan santan dan