• Tidak ada hasil yang ditemukan

Susu kambing yang telah dipanasi diberi kultur kerja dan diinkubasi pada suhu 37 oC. Selama inkubasi, laktosa di dalam susu kambing difementasi oleh BAL menjadi asam laktat. Menurut Scott (1986), kandungan laktosa pada susu kambing sekitar 4.6%. Terbentuknya asam laktat ditandai dengan terjadinya penurunan pH. Nilai pH susu kambing yang terukur pada penelitian ini berkisar antara 6.5–6.8, dengan rata-rata pengukuran 6.6. Menurut Daulay (1991), keasaman susu normal (keasaman susu natural) yang disebabkan oleh komponen kimia berkisar antara pH 6.4-6.8. Penurunan pH ditargetkan hingga mencapai pH 6.3, yaitu nilai pH untuk penambahan rennet.

Umumnya, kuantitas rennet yang ditambahkan sebanyak 10-45 ml untuk 100 liter susu (Daulay 1991). Untuk rennet komersial, jumlah rennet yang digunakan tergantung pada jenis dan merek rennet yang digunakan. Rennet yang digunakan pada penelitian ini merupakan rennet komersial dan jumlah yang ditambahkan untuk pembuatan keju adalah 0.06 ml/L. Jika jumlah rennet yang ditambahkan lebih dari 0.06 ml/L, proses koagulasi berlangsung lebih cepat namun keju yang dihasilkan berasa pahit. Hal tersebut dikarenakan aktivitas proteolitik yang berlebih dapat menyebabkan lebih banyak protein yang dipecah sehingga dapat terbentuk peptida yang menyebabkan rasa pahit pada keju.

Koagulasi protein susu, terutama kasein, oleh enzim proteolitik terjadi pada pH yang lebih tinggi (5.8–6.6) dibandingkan dengan koagulasi oleh asam yang terjadi pada pH 4.6–5.0 (Daulay 1991). Oleh karena itu, produk keju tidak terlalu asam seperti produk fermentasi pada

23

umumnya. Pada penelitian ini, rennet ditambahkan ketika pH susu mencapai 6.3. Walaupun begitu, koagulasi kasein tidak hanya dipengaruhi oleh pH, tetapi juga oleh keberadaan ion Ca2+.

Susu yang telah ditambah rennet kemudian diinkubasi kembali pada suhu 37 oC selama 2 jam. Selama inkubasi dengan rennet, susu harus dijaga agar tidak terguncang sehingga curd

yang terbentuk tidak terpecah-pecah atau hancur. Konsistensi curd dapat dijadikan tolok ukur untuk memperkirakan konsistensi keju yang akan terbentuk. Curd yang lemah dan terpecah- pecah akan menghasilkan tekstur keju yang lemah pula. Curd yang terbentuk pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 5. Curd yang terbentuk kompak dan tidak terpecah-pecah serta tidak hancur ketika diciduk dengan sendok. Whey yang bewarna hijau kekuningan terlihat di dasar bekas cidukan curd.

Gambar 5. Curd

Curd yang terbentuk kemudian dipotong-potong agar luas permukaannya meningkat, sehingga proses pengeluaran whey lebih efektif serta terjadi pindah panas yang seragam dan merata pada proses pemasakan di tahap selanjutnya. Pemotongan harus dilakukan dengan hati- hati agar tidak banyak lemak yang terlepas dari curd dan lolos bersama whey. Setelah dipotong, potongan curd didiamkan selama 10-15 menit agar sebagian whey keluar.

Potongan curd dipanaskan pada suhu 40 oC selama 30 menit. Pemanasan pada suhu tersebut untuk mencegah hilangnya BAL karena BAL umumnya mati pada suhu tinggi. Selama pemanasan, terjadi pengerutan matriks protein sehingga whey terdorong keluar lebih banyak (Daulay 1991). Potongan curd yang mengerut lama-lama tenggelam dalam whey dan terkumpul di dasar wadah. Ketika diciduk, tampak potongan curd dengan permukaan yang agak keras sehingga tidak mudah hancur (Gambar 6).

Proses penyaringan dilakukan dengan peralatan modifikasi yang terdiri dari kain blacu, corong, dan erlenmeyer (Lampiran 6). Whey yang berwarna hijau kekuningan tertampung di dalam erlenmeyer (Lampiran 6), sementara keju segar tertinggal di kain blacu. Keju segar yang tersaring berwarna putih dengan aroma asam yang segar. Proses penyaringan dilakukan semalaman di dalam refrigerator pada suhu 5 °C untuk menghambat aktivitas fermentasi BAL.

Penggaraman dilakukan dengan penambahan garam 2% (b/b) secara langsung pada keju segar. Keju segar kemudian diaduk agar garam tercampur merata. Pada penelitian ini, jika pemisahan whey berlangsung baik, keju segar yang diaduk dapat disatukan kembali dan dibentuk serta tidak ada yang menempel di wadah atau alat pengaduk. Sebaliknya, jika penirisan whey

24

tidak berlangsung sempurna, ada bagian-bagian keju segar yang menempel di wadah atau alat pengaduk.

Gambar 6. Curd setelah tahap pemanasan

Keju yang dihasilkan pada penelitian ini berwarna putih (yang merupakan tipikal keju dari susu kambing), memiliki konsistensi agak lunak, dan mudah rapuh (Gambar 7). Keju lunak susu kambing memiliki warna lebih putih daripada keju susu sapi. Hal itu dikarenakan susu kambing kekurangan -karoten yang seluruhnya telah diubah menjadi retinol (Raynal-Ljutovac

et al. 2008). Pada keju juga terbentuk aroma masam, karena pemakaian bakteri Lactobacillus acidophilus dan Lactobacillus casei yang umum digunakan dalam pembuatan susu masam. Aroma masam yang terbentuk dapat menutupi aroma khas pada susu kambing.

Gambar 7. Keju lunak susu kambing

Tekstur keju yang lunak disebabkan oleh tidak dilakukannya proses pengepresan keju. Pengepresan tidak hanya dilakukan untuk mendorong keluarnya cairan (whey), tetapi juga diperlukan untuk mendapatkan tektur keju yang kompak dan rapat (Walstra et al. 1999). Oleh sebab itu, keju yang dihasilkan pada penelitian ini mudah rapuh.

Kekompakan matriks keju tergantung pada kemampuan kasein untuk merangkul dan mendekap komponen-komponen susu lainnya seperti lemak, air, garam-garam, laktosa, dan protein whey (Daulay 1991). Tidak dilakukannya tahap standardisasi rasio kasein dan lemak

25

pada susu kambing juga dapat menjadi salah satu penyebab tekstur keju menjadi lunak. Untuk keju cedar, misalnya, standardisasi susu untuk rasio kasein dan lemak adalah 0.67:0.72 (Kelly 2009).

Selama proses pembuatan keju, dilakukan analisis stabilitas BAL dengan parameter nilai pH, jumlah BAL, dan angka lempeng total. Data stabilitas BAL selama proses pembuatan diperoleh dari produksi keju dengan bakteri Lactobacillus acidophilus. Ketahanan bakteri

Lactobacillus casei selama proses pembuatan diperkirakan tidak jauh berbeda. Hal tersebut dibuktikan dari tingginya jumlah BAL pada keju dengan Lactobacillus casei selama masa penyimpanan.

Nilai pH diukur mulai dari susu kambing segar sampai produk keju yang dihasilkan. Nilai pH awal susu kambing perlu diketahui untuk menentukan lama inkubasi susu kambing dengan starter hingga mencapai pH 6.3 (pH untuk penambahan rennet). Berdasarkan uji penentuan waktu inkubasi, diketahui bahwa nilai pH turun 0.1 unit setiap 2 jam.

Kecepatan penurunan pH tergantung pada jenis BAL yang digunakan. Pada penelitian ini, pH dari susu yang difermentasi oleh Lactobacillus acidophilus lebih cepat turun daripada susu yang difermentasi oleh Lactobacillus casei. Waktu yang diperlukan susu yang difermentasi oleh Lactobacillus acidophilus untuk mencapai pH 6.3 berkisar antara 4-6 jam, tergantung pH awal susu kambing, sedangkan susu yang difermentasi oleh Lactobacillus casei berkisar antara 6-7 jam. Hal itu disebabkan oleh perbedaan sifat fermentasi asam laktat diantara kedua jenis bakteri tersebut. Lactobacillus acidophilus bersifat homofermentatif sedangkan Lactobacillus casei bersifat heterofermentatif. Bakteri yang bersifat homofermentatif umumnya lebih cepat dalam menurunkan pH.

Hasil penelitian menunjukkan terjadi penurunan nilai pH, mulai dari susu segar sampai menjadi produk keju, yang mengindikasikan terjadi pertumbuhan dan aktivitas metabolisme dari BAL yang digunakan. Penurunan nilai pH dikarenakan aktivitas fermentasi laktosa menjadi asam laktat oleh BAL. Nilai pH yang diukur pada tiap tahapan produksi dapat dilihat pada Gambar 8. Data nilai pH tersebut diperoleh dari produksi keju dengan bakteri Lactobacillus acidophilus.

Gambar 8. Nilai pH di tiap tahapan proses pembuatan keju

Nilai pH dijadikan indikator dalam penambahan rennet karena kerja enzim dipengaruhi oleh pH. Enzim khimosin dalam rennet akan mengkoagulasi susu pada pH 6.0-6.4 di dua tahap

Keterangan a: susu segar b: susu terfermentasi c: curd d: whey e: keju segar

26

reaksi (Rahman et al. 1992). Pada penelitian ini, nilai pH susu terfermentasi untuk penambahan rennet adalah 6.3. Rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk penurunan pH dari 6.6 menjadi 6.30 adalah 6 jam.

Pengukuran pH curd dan whey dilakukan sebelum proses pemanasan, sedangkan pengukuran pH keju segar dilakukan setelah tahap penyaringan. Penurunan nilai pH yang besar pada keju segar (dari pH 6.1 pada curd menjadi 5.7 pada keju segar) disebabkan oleh proses pemanasan curd. Pemanasan pada suhu 40 °C diperkirakan dapat merangsang pertumbuhan BAL dan meningkatkan aktivitas BAL dalam proses fermentasi laktosa.

Data nilai pH selama proses pembuatan keju didukung oleh data analisis jumlah BAL dan angka lempeng total. Analisis angka lempeng total mulai dilakukan dari susu segar, sedangkan analisis jumlah BAL mulai dilakukan dari tahap susu setelah difermentasi oleh kultur kerja. Data stabilitas BAL selama pembuatan keju dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Jumlah ALT dan BAL di tiap tahapan proses pembuatan keju

Tahapan proses ALT (log10) BAL (log10)

susu segara 5.87 -

susu setelah pemanasan (85 oC, 30 menit)a < 1.40 - susu terfermentasi sampai pH 6,3b 8.56 8.46

curd b 8.89 8.87 wheyb 8.62 8.47 keju segarb 9.95 9.94 Keterangan: a (cfu/ml) b (cfu/gram)

Uji angka lempeng total juga dilakukan pada susu kambing yang telah dipanasi untuk mengetahui kecukupan pemanasan. Pemanasan bertujuan membunuh mikroba patogen dan mikroba lain yang terdapat dalam susu kambing, sehingga yang diharapkan tumbuh pada susu sampai menjadi produk keju hanya mikroba starter.

Jumlah BAL selama proses pembuatan keju mencapai 108 cfu/gram dan setelah tahap penyaringan mencapai 109 cfu/gram. Bentuk koloni BAL yang tumbuh pada media MRSA berbentuk cakram miring atau seperti bintang, berwarna putih susu, dan permukaannya tampak licin. Selain itu, koloni BAL juga mengeluarkan aroma masam sebagai hasil metabolisme zat- zat yang terkandung dalam media MRSA.

Bila ditinjau dari kemungkinan pemanfaatan sebagai pangan probiotik, jumlah sel probiotik dalam bahan pangan sebaiknya pada kisaran 106cfu/gram dan direkomendasikan untuk mengonsumsi 108-109 cfu dalam setiap porsi untuk memperoleh manfaat kesehatan (Araújo et al. 2010). Jumlah BAL yang terperangkap dalam matriks curd yang terbentuk setelah penambahan rennet mencapai 108 cfu/gram. Begitu juga dengan kandungan BAL dalam whey yang terbuang (108 cfu/ml). Oleh karena itu, baik keju maupun whey yang dihasilkan memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi produk pangan probiotik jika sudah ada bukti yang menunjukkan bahwa kedua starter yang digunakan memiliki aktivitas probiotik.

27

Perbedaan jumlah BAL sebesar satu log dari 108 cfu/gram (pada curd) menjadi 109 cfu/gram (pada keju setelah tahap penyaringan) disebabkan oleh proses pemanasan (40 oC) yang dilakukan sebelum tahap penyaringan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pemanasan pada suhu 40 oC diperkirakan dapat merangsang pertumbuhan BAL.

Dokumen terkait