BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS
5. Pembuatan Peta Konsep (Concept Mapping)
Dahar (1989) mengungkapkan bahwa peta konsep memegang peranan penting dalam belajar bermakna. Langkah-langkah berikut ini dapat diikuti oleh murid untuk menciptakan suatu peta konsep.
a. Mengidentifikasi ide pokok yang melingkupi sejumlah konsep.
b. Mengidentifikasi ide-ide atau konsep-konsep sekunder yang menunjang ide utama.
c. Menempatkan ide utama di tengah atau di puncak peta tersebut.
d. Mengelompokkan ide-ide sekunder di sekeliling ide utama yang secara visual menunjukan hubungan ide-ide tersebut dengan ide utama.
Berdasarkan pendapat di atas dapat dikemukakan langkah-langkah menyusun peta konsep sebagai berikut.
a. Memilih suatu bahan bacaan
b. Menentukan konsep-konsep yang relevan
c. Mengelompokkan (mengurutkan) konsep-konsep dari yang paling inklusif ke yang paling tidak inklusif
d. Menyusun konsep-konsep tersebut dalam suatu bagan, konsep-konsep yang paling inklusif diletakkan di bagian atas atau di pusat bagan tersebut.
6. Kelebihan dan Kelemahan Peta Konsep (Concept Mapping) a. Kelebihan Model Pembelajaran Peta Konsep
Adapun kelebihan model pembelajaran Concept Mapping yaitu kemampuan berpikir dengan menggunakan dua belahan otak sekaligus akan sangat membantu murid dalam mempelajari sesuatu hal/materi dengan waktu
yang lebih singkat dan daya ingat yang lebih lama. Dan dapat membantu murid dalam meningkatkan kemampuan belajar dengan menggunakan fikirannya dengan lebih efektif. Dengan penyajian peta konsep merupakan suatu cara yang baik bagi murid untuk memahami dan mengingat sejumlah informasi baru.
b. Kelemahan Model Pembelajaran Peta Konsep
Di samping memiliki kelebihan, model pembelajaran Concept Mapping juga mempunyai kelemahan. Kelemahan peta konsep tersebut adalah sebagai berikut :
1) Bila seseorang terlalu banyak menggunakan kata kunci, gambar, kode yang hanya dimengerti oleh si pembuat, maka orang lain akan kesulitan untuk memahaminya.
2) Kelemahan karena kurang fokus pada satu masalah
3) Memerlukan 2-3 kali penggambaran ulang agar peta konsep bisa terlihat lebih rapi.
7. Kegunaan Peta Konsep (Concept Mapping)
Dalam pendidikan, peta konsep dapat diterapkan untuk berbagai tujuan, antara lain:
a. Menyelidiki apa yang telah diketahui murid
Dalam mencapai proses belajar bermakna membutuhkan usaha yang sungguh-sungguh dari pihak murid untuk menghubungkan pengetahuan baru dengan konsep-konsep relevan yang telah mereka miliki. Untuk memperlancar proses ini, baik guru maupun siswa perlu mengetahui tempat awal konseptual.
Guru harus mengetahui konsep-konsep apa yang telah dimiliki siswa waktu pelajaran baru akan dimulai, sedangkan para siswa diharapkan dapat menunjukan dimana mereka berada, atau konsep-konsep apa yang telah mereka miliki dalam menghadapi pelajaran baru itu. Dengan menggunakan peta konsep guru dapat melaksanakan apa yang telah dikemukakan diatas, dan dengan demikian para siswa diharapkan akan mengalami belajar bermakna.
Salah satu pendekatan yang dapat digunakan guru untuk maksud ini ialah dengan memilih satu konsep utama (key concept) dari pokok bahasan baru yang akan dibahas. Para siswa diminta untuk menyusun peta konsep yang memperlihatkan semua konsep yang dapat mereka kaitkan pada konsep utama itu, serta memperlihatkan pula hubungan-hubungan antara konsep-konsep yang mereka gambar itu. Dengan melihat hasil peta konsep yang telah disusun para siswa itu, guru dapat mengetahui sampai berapa jauh pengetahuan para siswa mengenai pokok bahasan yang akan diajarkan itu, dan inilah yang dijadikan titik tolak pengembangan selanjutnya.
Pendekatan lain yang dapat digunakan guru ialah memilih beberapa konsep penting dari pokok bahasan yang akan diajarkan. Para murid kemudian disuruh menyusun peta konsep dengan menghubungkan konsep-konsep itu. Lalu para murid diminta untuk menambahkan konsep dan mengaitkan konsep-konsep itu hingga membentuk proposisi yang bermakna. Dari peta-peta konsep-konsep yang dihasilkan oleh para murid, guru dapat mengetahui sejauh mana pengetahuan para siswa tentang pokok bahasan yang akan diajarkan.
b. Mempelajari cara belajar
Bila seorang murid dihadapkan pada suatu bab dari buku pelajaran, ia tidak akan begitu saja memahami apa yang dibacanya. Dengan diminta untuk menyusun peta konsep dari isi bab itu, ia akan berusaha untuk mengeluarkan konsep-konsep dari apa yang dibacanya, menempatkan konsep yang paling inklusif pada puncak peta konsep yang dibuatnya, kemudian mengurutkan konsep-konsep yang lain yang kurang inklusif pada konsep yang paling inklusif, demikian seterusnya. Lalu ia mencari kata atau kata-kata penghubung untuk mengaitkan konsep-konsep itu menjadi proposisi-proposisi yang bermakna. Lebih dari itu ia akan berusaha mengingat konsep-konsep lain dari pelajaran yang lampau, atau menerapkan konsep-konsep yang sedang dihadapinya ke dalam kehidupan sehari-hari. Dengan cara demikian ia telah berusaha benar untuk memahami isi pelajaran itu. Belajar bermakna telah berlangsung pada siswa itu.
Perlu disadari bahwa belajar bermakna baru terjadi bila pembuatan peta konsep itu bukan untuk memenuhi keinginan guru, jadi seakan-akan mau menyenangkan guru, melainkan harus timbul dari keinginan murid untuk mau memahami isi pelajaran bagi dirinya sendiri. murid benar-benar harus mempunyai kesiapan dan minat untuk belajar bermakna, seperti dikatakan oleh Ausubel. Sikap ini harus dimiliki para murid agar belajar bermakna dapat terjadi. Jadi, peta konsep berfungsi untuk menolong siswa mempelajari cara belajar.
Peta konsep itu mengungkapkan konsep-konsep dan proposisi-proposisi yang dimiliki seseorang, maka guru dan murid, demikian pula murid dan murid dapat mengadakan diskusi untuk saling mengemukakan mengapa suatu hubungan
proposional itu baik atau sahih. Dengan cara ini dapat diketahui kekurangan-kekurangan dalam mengaitkan konsep-konsep, dan guru dapat menyarankan agar siswa bersangkutan lebih baik belajar.
c. Mengungkapkan konsepsi salah
Selain kegunaan-kegunaan yang telah disebutkan di atas, peta konsep dapat pula mengungkapkan konsepsi salah (misconception) yang terjadi pada siswa. Konsepsi salah biasanya timbul karena terdapat kaitan antara konsep-konsep yang mengakibatkan proposisi yang salah. Konsepsi salah yang biasa dijumpai pada siswa ialah bahwa mereka melihat kenampakan alam alami yaitu kenampakan alam yang terbentuk dengan sendirinya, misalnya gunung, pegunungan, danau, pantai, sungai, dan perkebunan.
Setelah mereka menyadari bahwa kenampakan alam itu dibedakan menjadi dua yaitu kenampakan alam alami dan kenampakan alam buatan.
Kenampakan alam alami yaitu kenampakan alam yang terbentuk dengan sendirinya, misalnya gunung, pegunungan, danau, pantai, dan sungai. Sedangkan kenampakan alam buatan yaitu kenampakan alam yang sengaja dibentuk oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, misalnya perkebunan, kawasan industri, dan bendungan. Disinilah siswa mengetahui bahwa perkebunan itu termasuk kedalam kenampakan alam buatan bukan kenampakan alam alami.
d. Alat Evaluasi
Penerapan peta konsep dalam pendidikan salah satunya adalah sebagai alat evaluasi. Selama ini alat-alat evaluasi yang dikenal oleh guru dan siswa
terutama berbentuk tes objektif atau tes essai. Walaupun cara evaluasi ini akan terus memegang peranan dalam dunia pendidikan.
Menurut Dahar, peta konsep sebagai alat evaluasi didasarkan atas tiga prinsip dalam teori kognitif Ausubel, yaitu :
1) Struktur kognitif diatur secara hierarkis dengan konsep-konsep dan proposisi-proposisi yang lebih inklusif, lebih umum superordinat terhadap konsep-konsep dan proposisi-proposisi yang kurang inklusif dan lebih khusus.
2) Konsep-konsep dalam struktur kognitif mengalami diferensiasi progresif.
Prinsip Ausubel ini menyatakan bahwa belajar bermakna merupakan proses yang kontinyu, dimana konsep-konsep baru memperoleh lebih banyak arti dengan dibentuknya lebih banyak kaitan-kaitan proporsional. Jadi konsep-konsep tidak pernah tuntas dipelajari, tetapi selalu dipelajari, dimodifikasi dan dibuat lebih inklusif.
3) Prinsip penyesuaian integratif menyatakan bahwa belajar bermakna akan meningkat apabila siswa menyadari akan perlunya kaitan-kaitan baru antara segmen-segmen konsep atau proposisi. Dalam peta konsep penyesuaian integratif ini diperlihatkan dengan kaitan-kaitan silang antara segmen-segmen konsep. Karena peta konsep bertujuan untuk memperjelas pemahaman suatu bacaan, sehingga dapat dipakai sebagai alat evaluasi dengan cara meminta siswa untuk membaca peta konsep dan menjelaskan hubungan antara konsep satu dengan konsep yang lain dalam satu peta konsep.
8. Cara Menyusun dan Menilai Peta Konsep yang dibuat Murid
Menyusun peta konsep tidaklah sulit. Guru dan murid dapat belajar menyusunnya dalam waktu yang relatif singkat. Menurut Arnaudin, et.al (1984) dalam Rusmansyah, lama waktu 3 x 20 menit diselingi dengan pekerjaan rumah sudah cukup bagi murid untuk bisa membuat peta konsep.
Beberapa langkah yang harus diikuti untuk membuat peta konsep dengan benar adalah sebagai berikut:
a. Memilih dan menentukan suatu bahan bacaan. Bahan bacaan dapat dipilih dari buku bacaan, seperti buku catatan dan LKS.
b. Menentukan konsep-konsep yang relevan. Mengurutkan konsep-konsep itu dari yang paling umum ke yang paling khusus atau contoh-contoh.
c. Menyusun/menuliskan konsep itu di atas kertas. Memetakan konsep-konsep itu berdasarkan kriteria antara lain: konsep-konsep yang paling umum di puncak, konsep-konsep yang berada pada tingkatan abstraksi yang sama diletakkan sejajar satu sama lain, konsep yang lebih khusus diletakkan di bawah konsep yang lebih umum.
d. Menghubungkan konsep-konsep dengan kata penghubung tertentu untuk membentuk proposisi atau garis penghubung.
e. Jika peta sudah selesai, perhatikan kembali letak konsep-konsepnya dan perbaiki atau susun kembali agar menjadi lebih baik dan berarti.
Memberi skor peta konsep secara sederhana dan ideal, pertama adalah konstruksi/susunan konsep yang dibuat murid pada saat dievaluasi. Secara
sederhana pemberian skor terhadap peta konsep yang dibuat oleh murid dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2.1. Pemberian skor terhadap peta konsep
Menyatakan Skor
Hubungan 11
Hirarki 3
Cabang 7
Dari umum ke khusus 3
Hubungan silang 2
Skor Total 26
Sumber: Arnaudin, et.al (1984)
9. Hakikat belajar