DAFTAR LAMPIRAN
3.3. Pembuatan Peta Genangan
Tahapan pertama sebelum pembuatan peta kerentanan pesisir adalah
pembuatan peta genangan. Peta genangan akan digunakan sebagai dasar
penentuan jarak buffer (daerah penyangga) dalam pengolahan parameter
kerentanan pesisir. Batas yang digunakan sebagai dasar pembuatan peta
genangan berdasarkan dua faktor utama, yaitu topografi dan hubungan
hidrogeologi terhadap laut (Lichter dan Felsenstein, 2012).
Peta genangan dibuat dengan menggunakan data DEM ASTER versi 2
yang diunduh melalui situs EarthExplorer-USGS (https://earthexplorer.usgs.gov)
dan data kenaikan paras laut (sea level time series) yang diperoleh dari CU Sea
Level Research Group (http://sealevel.colorado.edu). Data DEM yang akan
digunakan terlebih dahulu dikoreksi dengan perubahan kenaikan paras laut saat
ini. Perekaman data DEM ASTER tercatat pada bulan Oktober tahun 2011
sehingga kenaikan paras laut sudah berpengaruh terhadap batas daratan dan
lautan pada saat perekaman. Data kenaikan paras laut dihitung dengan asumsi
bahwa kenaikan paras laut terjadi secara linear, sehingga digunakan metode
regresi linear.
Koreksi garis pantai dilakukan dengan cara menghitung perbedaan tanggal
perekaman dan kondisi pada saat ini. Hasil dari perbedaan waktu tersebut
kemudian dibagi dengan satu tahun (365,25 hari). Data kenaikan paras laut yang telah diperoleh kemudian dikalikan dengan selisih waktu perekaman,
Sumber data geomorfologi pesisir Indramayu diperoleh dengan
mengidentifikasi citra QuickBird berdasarkan kriteria (deskripsi) geomorfologi
berdasarkan seperti yang tertera pada Tabel 7. Penjelasan mengenai klasifikasi
variabel geomorfologi yang lebih terperinci dapat dilihat pada Lampiran 4 dan 5.
Tahapan yang dilakukan dalam untuk mengidentifikasi variabel geomorfologi
ditampilkan pada Gambar 4.
3.4. Geomorfologi
Garis pantai terbaru yang telah diperoleh kemudian digunakan sebagai
dasar (ketinggian 0 meter). Tahapan selanjutnya dilakukan pembagian kelas
sesuai dengan skenario genangan pada 10, 20 dan 30 tahun mendatang.
Setelah diperoleh daerah genangan sesuai dengan skenario yang telah
ditentukan maka dilakukan konversi data dari raster menjadi vektor. Hasil dari
konversi data tersebut kemudian dilayout menjadi peta genangan (Gambar 3).
Gambar 4. Tahapan pengolahan data geomorfologi Gambar 3. Prosedur pembuatan peta genangan.
Crooping atau pemotongan merupakan tahapan pertama yang dilakukan
dalam proses pengolahan data geomorfologi. Citra QuicBird dipotong
berdasarkan kecamatan yang yang terdapat pada daerah pesisir. Citra yang
telah dipotong kemudian diidentifikasi berdasarkan klasifikasi tutupan lahan
Badan Standardisasi Nasional (2010. Hasil identifikasi yang telah diperoleh
selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan klasifikasi variabel geomorfologi oleh
Gornitz (1991) yang terdapat pada Lampiran 4. Tahapan berikutnya adalah pemberian rangking berdasarkan kelas kerentanan pada Tabel 6 atau untuk lebih
jelas dapat dilihat pada Lampiran 5.
3.5. Elevasi
Data elevasi diperoleh dengan cara mengunduh dari situs EarthExplorer-
USGS (https://earthexplorer.usgs.gov). Data yang diunduh dari situs tersebut
berupa Digital Elevation Model (DEM). Resolusi spasial yang dimiliki oleh data ini
sebesar 1 arc second atau 30×30 m. Pengolahan data elevasi dilakukan dengan
menggunakan perangkat lunak ArcGIS (Gambar 5).
Data DEM yang diperoleh dari ASTER pertama tama harus dikoreksi
dahulu dengan menggunakan data tpografi yang berasal dari Peta Rupa Bumi
Indonesia (RBI). Koreksi dilakukan dengan cara digitasi on screen (pada layar)
dengan mengambil jarak antara garis kontur dan topografi. Hasil dari koreksi
kemudian dikonversi dari kontur menjadi point. Point yang diperoleh kemudian
dikonversi menjadi data raster. Tahapan selanjutnya adalah melakukan
klasifikasi/reclassify sesuai dengan kelas kerentanan Gornitz (1991) yang terdapat pada Tabel 7.
Data raster hasil klasifikasi kemudian dikonversi menjadi bentuk format
vektor dengan grid sebesar 30×30 m. Ukuran grid dengan ukuran 30×30 m
dipilih dengan pertimbangkan resolusi spasial data ASTER berukuran 1 arc
second atau 30×30 m. Data tersebut kemudian diklasifikasikan dan diberikan
ranking sesuai dengan pada Tabel 7.
3.6. Perubahan Garis Pantai
Parameter perubahan garis pantai (erosi dan akresi) yang dipergunakan
diperoleh dengan menggunakan data citra satelit. Citra satelit yang digunakan
untuk menganalisis perubahan garis pantai adalah citra Landsat 7 ETM dengan
tahun perekaman 2000 dan 2011 dengan resolusi spasial 30 meter. Citra
tersebut diperoleh dengan cara mengunduh melalui situs EarthExplorer-USGS
(https://earthexplorer.usgs.gov). Koreksi geometrik perlu dilakukan sebelum
dilakukan pengolahan citra untuk meminimalisir kesalahan posisi. Citra yang
dipergunakan harus terkoreksi secara geometrik. Koreksi geometrik citra
dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak ERMapper 7.
Penajaman citra dilakukan dengan menggunakan False Color Composite
543 (RGB). Garis pantai Indramayu diperoleh dengan cara digitasi on screen
proyeksi Universal Transverse Mercantor (UTM) pada zona 49 Selatan.
Tahapan pengolahan data perubahan garis pantai ditampilkan pada Gambar 6.
Gambar 6. Tahapan pengolahan data perubahan garis pantai
Perhitungan laju perubahan garis pantai dilakukan dengan 2 metode yaitu
manual dan ekstensi tambahan Digital Shoreline Analisys System (DSAS).
Metode manual digunakan dengan memanfaatkan measure pada ArcGIS.
Measure digunakan untuk menghitung jarak antara garis pantai hasil digitasi
tahun 2000 dan 2011. DSAS merupakan ekstensi tambahan yang
dikembangkan oleh U.S. Geological Survey dan telah banyak digunakan untuk
menghitung laju perubahan garis pantai. Data yang diperlukan sebagai masukan
untuk ekstensi ini adalah garis pantai dalam format vektor, tanggal setiap lapisan
vektor, dan jarak transek (Himmelstoss, 2009).
Hasil dari ektraksi kedua metode tersebut kemudian dirata-ratakan untuk
mengetahui tingkat perubahan garis pantai setiap tahun. Tingkat dari
perubahan garis pantai tersebut akan dihitung untuk seluruh wilayah studi,
kemudian nilai hasil rata-rata tersebut kemudian diklasifikasikan dan diberikan
ranking sesuai dengan kelas parameternya seperti tertera pada Tabel 7.
3.7. Pasang Surut
Parameter pasang surut yang dipergunakan dalam penelitian ini diperoleh
dari perangkat lunak MIKE21 dan survei lapang. Data yang diperoleh
menggunakan MIKE21 tersebut dibangun berdasarkan global tide model data
sebagai masukan perangkat lunak ini adalah data posisi koordinat pasut pada
saat survei lapang. Pengambilan data peramalan pasang surut berdasarkan
model data global selama 1 tahun (Januari-Desember 2010) dengan interval 1
jam, untuk meminimalkan pengaruh spring tide, neap tide serta pengaruh
musiman (Dronkers, 1964).
Hasil dari program MIKE21 akan menunjukan pasang surut pada koordinat
yang diinginkan. Kisaran pasut diperoleh dengan mengurangi pasang tertinggi dikurangi dengan surut terendah (Triatmodjo, 1999).
KP HW LW
Keterangan :
KP = Kisaran pasang surut
HW = Nilai maksimum tinggi paras laut selama periode 1 tahun LW = Nilai minimum tinggi paras laut selama periode 1 tahun
Data pasang surut diperoleh dari hasil survei lapang selama 15 hari (23
November 2010 s/d 8 Desember 2010) untuk menghindari pengaruh spring tide
dan neap tide (Dronkers, 1964). Pengambilan data pasang surut dilakukan
dengan menggunakan papan pasang surut (Lampiran 6). Data kisaran pasang
surut selanjutnya akan digunakan sebagai pembanding data model.
Kisaran pasang surut hasil dari data model selanjutnya akan digunakan
pada seluruh lokasi penelitian. Nilai pasang surut tersebut kemudian
dikelompokkan sesuai dengan kelas yang tertera pada Tabel 7.
3.8. Tinggi Gelombang
Data tinggi gelombang diperoleh dari AVISO dengan data awal berbentuk
matriks. Data tinggi gelombang yang dipergunakan pada penelitian ini dibatasi
pada koordinat 105°BT - 115°BT dan 3°LS - 6°LS di wilayah sepanjang Pantai
Utara Jawa. Kemudian data tinggi gelombang diubah format datanya menjadi
bentuk kolom. Hal tersebut perlu dilakukan karena ArcGIS tidak dapat mengolah data dengan bentuk matriks. Tahapan terakhir adalah merata-ratakan data tiap
titik koordinat posisi stasiun dengan menggunakan Ms. Excel. Hasil dari rata-rata
tiap posisi stasiun tersebut kemudian dilakukan interpolasi dengan jarak 1 Km
dengan menggunakan ArcGIS. Hasil dari interpolasi tersebut kemudian
dikelaskan sesuai dengan kelas kerentanan pada Tabel 7.
3.9. Kenaikan Paras Laut
Data satelit altimeter digunakan sebagai sumber informasi utama bagi tren
kenaikan paras laut di daerah penelitian. Data kenaikan paras laut diperoleh dari data kombinasi satelit TOPEX/Poseidon, Jason-1, Jason-2/OSTM dan Envisat
yang diunduh melalui situs AVISO (http://www.aviso.oceanobs.com). Data yang
telah diunduh akan ditampilkan dengan menggunakan perangkat lunak ODV 4
untuk memperlihatkan pola kenaikan paras laut yang terjadi di Indonesia (6°LU -
11°LS dan 95°BT - 141°BT) dan Indramayu Indonesia (6°LS - 6°40‘LS dan
107°52‘BT - 108°36‘BT).
Sumber lain data kenaikan paras laut yang digunakan dalam penelitian ini
adalah data Sea level time series yang berasal dari CU Sea Level Research
Group (http://sealevel.colorado.edu). Pengolahan data CU Sea Level Research
Group dilakukan dengan menggunakan regresi linear pada perangkat lunak Ms.
Excel. Data dari CU Sea Level Research Group akan digunakan sebagai
pembanding data dari AVISO. Kenaikan paras laut yang paling besar dari kedua
data tersebut akan digunakan sebagai masukan (input) untuk pengolahan data
kerentanan pesisir. Hasil dari pengolahan data kemudian dikelaskan sesuai
dengan kisaran kerentanan kenaikan paras laut pada Tabel 7.
3.10. Analisis Spasial
Analisis spasial dilakukan dengan menggunakan seluruh parameter yang telah ditetapkan, yaitu geomorfologi, kenaikan paras laut, selang pasang surut,
Perhitungan tingkat kerentanan wilayah pesisir dihitung dengan menggunakan
rumus Indeks Kerentanan Pesisir seperti yang digunakan dalam Gornitz, 1991.
IKP a b c d e f
K
= tingkat kerentanan untuk elevasi
eterangan :
a
= tingkat kerentanan untuk perubahan garis pantai = tingkat kerentanan untuk geomorfologi
b
= tingkat kerentanan untuk pasang surut
c
= tingkat kerentanan untuk tinggi gelombang
d e
f = tingkat kerentanan untuk kenaikan paras laut
Penentuan batas indeks dalam pengkelasan ini adalah nilai yang kurang
dari sama dengan 0,2 termasuk ke dalam kelas sangat tidak rentan, nilai antara
0,2 sampai dengan 0,4 termasuk ke dalam kelas tidak rentan, nilai antara 0,4 sampai dengan 0,6 termasuk ke dalam kelas sedang, nilai antara 0,6 sampai
dengan 0,8 termasuk dalam kelas rentan dan niai lebih dari 0,8 termasuk ke
dalam kelas sangat rentan. Hasil dari pengkelasan tersebut kemudian
ditampilkan dalam bentuk peta kerentanan pesisir dengan degradasi warna yang
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Perkiraan Daerah Genangan
Pembuatan peta daerah yang terkena genangan digunakan sebagai dasar
untuk jarak buffer (penyangga) untuk daerah penelitian. Berdasaran pengolahan
data CU Sea Level Research Group (http://sealevel.colorado.edu) diperoleh
kenaikan paras laut yang terjadi pada daerah pesisir Indramayu sebesar 5,20
mm/tahun. Pengolahan data dilakukan dengan skenario kenaikan paras laut
selama 30 tahun, yaitu 54,60 mm, 106,59 mm dan 158,58 mm.
Kecamatan yang terancam akan terkena dampak kenaikan paras laut 10
hingga 30 tahun mendatang adalah Cantigi, Indramayu, dan Pasekan.
Kecamatan Cantigi memiliki luas daratan yang diperkirakan akan mengalami
ancaman kenaikan paras laut yang paling kecil. Pada 10 tahun mendatang
(2022) diperkirakan daerah seluas 3,41 ha akan tergenang dan pada 30 tahun
berikutnya (2042) menjadi 10,01 Ha. Kecamatan yang mengalami dampak
kenaikan paras laut yang paling besar adalah Pasekan. Daerah seluas 797,83
ha akan tergenang setelah 10 tahun mendatang, sedangkan pada 30 tahun
mendatang diperkirakan akan tergenang daerah seluas 804,60 ha (Tabel 8).
Luas daerah yang tergenang apabila dibandingkan dengan luas daerah Indramayu sebesar 204.011 Ha (BPS Kabupaten Indramayu, 2010) adalah
sekitar 0.4%. Hasil tersebut memang sangat kecil, tetapi apabila tidak
ditanggulangi akan memiliki dampak terhadap wilayah Indramayu pada
khususnya dan Pantura pada umumnya. Hal tersebut perlu diperhatikan
mengingat pesisir Pantura memiliki topografi yang landai serta perairan yang
Tabel 8. Luas daratan yang diperkirakan terkena dampak dari kenaikan paras laut
No. Kecamatan 10 Tahun (Ha) 20 Tahun (Ha) 30 Tahun (Ha)
1. Balongan 2. Cantigi 3,41 3,50 3,59 3. Indramayu 9,78 9,90 10,01 4. Juntiyuat 5. Kandanghaur 6. Karangampel 7. Krangkeng 8. Losarang 9. Pasekan 797,83 801,22 804,60 10. Patrol 11. Sukra TOTAL 811,02 814,62 818,20
Hasil simulasi genangan kearah darat menunjukan bahwa air laut masuk
sejauh ±1.570 meter dari garis pantai Indramayu (Gambar 7). Jarak tersebut berikutnya akan digunakan sebagai buffer untuk daerah pengamatan dengan
asumsi jarak maksimal pengaruh dari kenaikan paras laut sejauh ±1.600 meter
dari garis pantai.
4.2. Geomorfologi
Pada Gambar 8 dapat dilihat hasil identifikasi citra QuickBird berdasarkan
Gornitz (1991). Pesisir Indramayu dikelompokan menjadi 9 jenis penutupan
lahan, yaitu bangunan, delta, empang, hutan rawa, pasir pantai pemukiman,
sawah tadah hujan, tambak dan tegalan/ladang. Sawah tadah hujan merupakan
tutupan lahan yang paling luas pada pesisir Indramayu. Oleh karena itu, dapat
disimpulkan Kabupaten Indramayu didominasi oleh daratan alluvial (Lampiran 7). Pengolahan parameter geomorfologi berdasarkan citra QuickBird
menunjukan bahwa sebagian pesisir geomorfologi Indramayu didominasi daratan
alluvial, delta dan bangunan pantai (bangunan dan pemukiman). Berdasarkan
kelas kerentanan pada Tabel 7, maka daratan alluvial dengan luas ±533,68 km2
dari luas total kecamatan pesisir ±674,15 km2 memiliki tingkat resiko rentan; delta
dengan luas ±78,97 km2 memiliki tingkat resiko sangat rentan dan bangunan
pantai dengan luas ±57,39 km2 memiliki tingkat resiko sangat rentan (Gambar 9).
Kecamatan Cantigi, Losarang dan Sukra merupakan kecamatan yang
memiliki tingkat resiko kerentanan sedang hingga sangat rentan. Kecamatan
Cantigi memiliki luas ±52,89 km2 dengan tingkat resiko sedang 0,36%, rentan
5,12% dan sangat rentan 3,34%. Kecamatan Losarang memiliki luas ±73,34 km2
dengan tingkat resiko sedang 0,31%, rentan 18,32% dan sangat rentan 0,05%,
sedangkan kecamatan Sukra memiliki luas ±51,89 km2 dengan tingkat resiko
sedang 0,42%, rentan 5,84% dan sangat rentan 1,12%. Kecamatan Pasekan
memiliki daerah dengan tingkat kerentanan paling besar dengan luas 33,19km2.
Parameter geomorfologi sangat erat kaitannya antara tipe geomorfologi
dan daya tahan terhadap erosi. Gornitz (1997) menyebutkan bahwa batuan
memiliki daya tahan terhadap erosi yang lebih besar daripada tipe yang lain.
Daya tahan terhadap erosi dipengaruhi oleh komposisi mineral dan ukuran butiran.
29 Gambar 8. Formasi geomorfologi Kabupaten Indramayu
31
4.3. Elevasi
Kabupaten Indramayu sebagian besar berada pada ketinggian antara 0-
100 m di atas permukaan air laut dan sebagian besar wilayah (98,70%) berada
pada ketinggian 0-3 m di atas permukaan air laut (Dinas Perikanan Provinsi Jawa
Barat, 2007). Bagian utara Indramayu memiliki ketinggian yang rendah dan
semakin tinggi ke arah selatan (Gambar 10).
Pengolahan data DEM menunjukkan bahwa sebagian besar daerah pesisir
Indramayu dengan luas ±104,22 km2 memiliki tingkat resiko sangat rentan; ±41,10 km2 memiliki tingkat resiko rentan; ±6,21 km2 memiliki tingkat resiko
sedang; ±0,22 km2 memiliki tingkat resiko tidak rentan dan ±0,02 km2 memiliki
tingkat resiko sangat tidak rentan (Gambar 11). Kondisi tersebut tidak jauh
berbeda dengan wilayah pesisir Banten Utara (Cilegon, Serang dan Tangerang)
yang sebagian besar terdiri dari dataran rendah dengan ketinggian kurang dari 5
meter (Sujardwadi, 2010).
Berdasarkan parameter elevasi wilayah pesisir Indramayu didominasi oleh
kelas sangat rentan, yaitu Indramayu (±26,20 km2), Sukra (±13,57 km2) dan
Losarang (±11,35 km2). Kecamatan Sukra, Kandanghaur dan Juntinyuat
memiliki beberapa daerah dengan luasan ±7,95 km2, ±7,74 km2 dan ±6,64 km2
yang termasuk dalam kelas rentan. Seluruh kecamatan pada kabupaten
Indramayu memiliki wilayah dengan tingkat kerentanan sedang, diantaranya
kecamatan Kandanghaur (±2,25 km2), Balongan (±1,01 km2), dan Krangkeng
(±0,69 km2). Terdapat 5 kecamatan pesisir dengan tingkat kerentanan tidak
rentan, yaitu Kandanghaur (±0,10 km2), Losarang (±0,05 km2), Cantigi (±0,04
km2), Krangkeng (±0,03 km2) dan Sindang (±0,01 km2). Kecamatan Losarang
dan Cantigi memiliki luas kurang dari 1 km2 dengan tingkat kerentanan sangat
33 Gambar 11. Kelas resiko berdasarkan parameter elevasi
Ketinggian rata-rata pesisir Indramayu yang kurang dari 5 meter tersebut
tentunya sangat berbahaya terhadap genangan air laut yang diakibatkan oleh
kenaikan paras laut ataupun pasang surut. Genangan yang terjadi dalam waktu
tertentu dapat menggangu persedian air minum karena tercemar oleh air laut
(Dwarakish, 2009).
4.4. Perubahan Garis Pantai
Hasil analisis perubahan garis pantai dengan menggunakan citra Landsat TM tahun perekaman 2000 dan 2011 memperlihatkan bahwa sebagian besar
pesisir Indramayu mengalami kemunduran (erosi). Erosi pantai tersebut berkisar
antara 0,23 – 99,76 meter dengan kecepatan erosi -0.02 - -9,41 m/tahun
(Gambar 12).
Hasil analisa perubahan garis pantai berdasarkan pengolahan citra landsat
tahun 2000 dan 2011 memperlihatkan daerah pesisir Indramayu seluas ±47,52
km2 (±31,34 %) mengalami erosi dengan kecepatan lebih dari -2,0 m/tahun yang
termasuk dalam kelas sangat rentan. Daerah pesisir dengan kecepatan erosi
antara -1,1 sampai dengan -2,0 m/tahun termasuk kelas rentan dengan luas
daerah sebesar ±74,03 km2 (±48,82 %), sedangkan daerah seluas ±28,33 km2
(±18,68 %) termasuk dalam kelas sedang karena mengalami penambahan dan
pengurangan garis pantai dengan kecepatan antara -1,1 sampai dengan 1,0
m/tahun termasuk dalam kelas sedang.
Pada beberapa daerah masih dapat ditemukan penambahan garis pantai
(akresi). Daerah dengan luas ±1,58 km2 mengalami akresi dengan kecepatan
antara 1,0 sampai dengan 2,0 m/tahun termasuk kelas tidak rentan, sedangkan
daerah seluas ±0,15 km2 termasuk kelas sangat tidak rentan karena mengalami
Gambar 12. Hasil analisa perubahan garis pantai Indramayu dengan menggunakan citra Landsat tahun perekaman 2000 dan 2011 Kec. Losarang Kec. Cantigi Kec. Krangkeng Kec. Pasekan Kec. Kandanghaur Kec. Sukra Kec. Patrol K iyuat Kec. Indramayu Kec. Karangampel Kec. Balongan ec. Junt 108°30'0"E 108°30'0"E 108°25'0"E 108°25'0"E 108°20'0"E 108°20'0"E 108°15'0"E 108°15'0"E 108°10'0"E 108°10'0"E 108°5'0"E 108°5'0"E 108°0'0"E 108°0'0"E 107°55'0"E 107°55'0"E 6° 10 '0 "S 6° 15 '0" S 6° 15 '0" S 6° 2 0 '0" S 6° 2 0 '0" S 6° 25 '0 "S 6° 25 '0 "S 6° 3 0 '0" S 6° 3 0 '0" S
¬
0 2.5 5 10 15 20 Kilometer 6° 35 '0" STANGGAL PENCITRAAN (mm/dd/year) :
10/09/2000 05/17/2011 G INDRAMAYU BALONGAN 35
Kecamatan yang terdapat pada pesisir Indramayu mengalami perubahan
garis pantai yang berbeda-beda mulai dari kelas sangat rentan hingga sangat
tidak rentan. Kecamatan Sukra (±11,57 km2), Indramayu (±7,13 km2), Juntinyuat
(±5,70 km2) dan Cantigi (±4,94 km2) merupakan empat kecamatan dengan kelas
kerentanan sangat rentan yang paling luas. Kecamatan Indramayu merupakan
daerah dengan tingkat kerentanan rentan seluas ±17,58 km2 yang diikuti dengan
kecamatan Kandanghaur (±11,16 km2), Sukra (±9,85 km2) dan Krangkeng (±7,68
km2). Kecamatan Kandanghaur (±6,45 km2), Indramayu (±5,03 km2), Juntinyuat (±4,41 km2) dan Balongan (±3,30 km2) memiliki daerah dengan kelas kerentanan
sedang yang paling besar.
Kelas kerentanan tidak rentan terdapat pada enam kecamatan, yaitu
Losarang (±0,93 km2), Indramayu (±0,16 km2), Balongan (±0,15 km2), Krangkeng
(±0,14 km2), Kandanghaur (±0,13 km2) dan Cantigi (±0,07 km2). Hasil
pengolahan parameter perubahan garis pantai memperlihatkan empat
kecamatan dengan luas kurang dari ±0,10 km2. Kecamatan tersebut adalah
Losarang (±0,06 km2), Balongan (±0,05 km2), Krangkeng (±0,03 km2) dan Cantigi
(±0,01 km2).
Perubahan garis pantai yang didominasi oleh kelas sangat rentan, rentan
dan sedang tersebut disebabkan karena kurangnya tanaman mangrove sebagai
penghambat gelombang pada daerah pesisir. Aktifitas manusia seperti
perikanan budidaya (tambak) yang dibangun pada daerah yang tidak semestinya
serta penambangan pasir juga turut serta mempengaruhi bahkan mempercepat
proses erosi. Dampak dari aktifitas manusia tersebut dapat menyebabkan erosi
dengan kecepatan lebih dari 2 m/tahun. Setiap tahunnya garis pantai Indramayu
mengalami erosi dengan kecepatan 1 sampai dengan 3 m/tahun (Hadikusumah,
Citra dengan resolusi menengah (20-30 m/pixel) menyediakan akurasi
posisi yang cukup baik untuk penerapan aplikasi pemantauan dinamika
perubahan garis pantai global. Penggunaan citra resolusi menengah
memberikan dua keuntungan utama, yaitu ketersediaan data berseri (Landsat
telah beroperasi sejak tahun 1980) dan mengurangi biaya apabila dibandingkan
dengan data resolusi tinggi (tracking). Namun, metode ini masih memiliki
kelemahan seperti algoritma yang belum pasti (not definitive) dan harus direvisi untuk memperbaiki kesalahan sistematis yang diproyeksikan menuju ke laut
(Ruiz et al., 2007).
4.5. Pasang Surut
Posisi pengambilan data pasang surut pada 107°59'15.00"E dan
6°16'47.30"S. Tunggang pasut yang diperoleh dari survei lapang adalah sebesar
0,75 m. Pasang tertinggi setinggi 1 meter terdapat pada tanggal 23 dan 25
November 2010, sedangkan surut terendah sebesar 0,25 meter terdapat
terdapat pada tanggal 23 - 26 November 2010 dan 5 – 8 Desember 2010
(Gambar 14).
Tunggang pasut yang diperoleh berdasarkan hasil permodelan perangkat
lunak MIKE21 pada koordinat pengambilan data pasut lapang sebesar 0,52 m.
Pasang tertinggi berdasarkan hasil permodelan sebesar 0,35 m pada tanggal 3
Desember 2010, sedangkan surut terendah diperoleh sebesar -0,18 m pada
tanggal yang sama (Gambar 14). Perbedaan besar tunggang pasut hasil
pengukuran lapang dan permodelan pasang surut MIKE21 dapat disebabkan
karena ketelitian alat pengukuran pasut dan konstanta pasut pada perangkat
lunak MIKE21.
Berdasarkan hasil permodelan pasang surut dengan menggunakan perangkat lunak MIKE21 diperoleh pasang tertinggi selama setahun (2010)
Hadikusumah (2009) menyatakan tunggang pasut di Eretan paling besar
terdapat pada bulan Febuari 2006 berkisar antara 0,2 – 1,4 m dibandingkan
dengan bulan Mei (0,2 – 0,9 m) dan bulan Agustus (0,1 – 0,8 m). Kondisi
pasang di pantai Indramayu lebih lama apabila dibandingkan dengan kondisi
surutnya dengan tipe pasang surut diurnal campuran. Perbedaan waktu dari
pasang dan surut tersebut tentunya berhubungan dengan lamanya air laut
masuh ke daratan. Hal ini tentunya sangat berbahaya terhadap bahaya
genangan yang dapat ditimbulkan seperti masuknya air laut ke daerah estuari
atau lapisan air tanah (Gornitz, 1991).
sebesar 0,36 m, sedangkan surut terendah berada pada posisi 0,26 m, sehingga
tunggang pasut yang diperoleh sebesar 0,62 m. Nilai tunggang pasut sebesar
0,62 m termasuk ke dalam kelas resiko sangat tidak rentan karena berada di
bawah 1 m (Gambar 15). 11/24/10 11/27/10 11/30/10 12/3/10 12/6/10 12/9/10 Tanggal -0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 Ti n g g i ( m ) .2 0 Pasut Lapang 11/24/10 11/27/10 11/30/10 12/3/10 12/6/10 12/9/10 Tanggal -0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 Ti n g g i ( m ) .2 0 Pasut Mike
4.6. Tinggi Gelombang
Hasil analisa rata-rata tinggi gelombang signifikan berdasarkan data AVISO
untuk daerah pesisir Indramayu berkisar antara 1,47-1,55 m (Gambar 16).
Tinggi gelombang rata-rata tersebut termasuk ke dalam kelas kerentanan sangat
tidak rentan (Gornitz, 1991). Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil
pengukuran yang dilakukan pada bulan Febuari 2006 di Eretan dengan tinggi
gelombang berkisar antara 0,19-1,23 m (Hadikusumah, 2009).
Pengukuran tinggi gelombang signifikan tersebut seharusnya memiliki hasil yang tidak jauh berbeda sepanjang pantai Utara Jawa. Namun hasil yang
berbeda diperoleh pada pantai Banten yang berada di utara pulau Jawa yang
menyebutkan bahwa, tinggi gelombang signifikan di sepanjang pantai Banten
berkisar antara 0,381 sampai 0,499 m dengan rata-rata sekitar 0,440 m
(Sujarwadi, 2010). Perbedaan hasil dari penelitian tersebut kemungkinan
disebabkan perbedaan kecepatan angin, fetch, kedalaman air dan kemiringan
dasar (Triadmojo, 1999).
4.7. Kenaikan Paras Laut
Pada Gambar 17, memperlihatkan peta sebaran kenaikan paras laut relatif
di perairan Indonesia. Peta tersebut dibuat berdasarkan data kombinasi satelit
Topex/Poseidon (T/P), Jason-1, Jason-2 dan Envisat mulai dari Oktober 1992
hingga September 2011 yang diunduh melalui situs AVISO
(http://www.aviso.oceanobs.com). Data tersebut telah mengalami koreksi
tekanan atmosfer, pola musiman, pengaruh pada permukaan laut (angin,
gelombang dan pasang surut). Kenaikan paras laut relatif yang terjadi pada
Hasil yang tidak jauh berbeda diperoleh dari University of Colorado
(http://sealevel.colorado.edu) yang menunjukan bahwa kenaikan paras laut
sebesar 5,0607 mm/thn (Gambar 19). Kenaikan paras laut yang lebih dari
5mm/thn menyebabkan seluruh pesisir kabupaten Indramayu termasuk ke dalam
kelas kerentanan sangat rentan (Gambar 20).
Data kenaikan paras laut yang diperoleh dari kombinasi satelit