1
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Perubahan ketinggian paras laut dalam beberapa tahun ini cenderung
meningkat. Peningkatan tersebut diakibatkan karena perubahan iklim global.
Hal ini dapat menyebabkan dampak yang besar terhadap daerah pesisir. Hasil
pengukuran satelit altimeter TOPEX/Poseidon menunjukkan bahwa kenaikan
paras laut global dengan rata-rata 3,2 mm/thn pada tahun 1993-2010 (University
of Colorado, 2011). Rata-rata ini lebih tinggi dibandingkan dengan tren pada
abad ke 20 sebesar 0,008 mm/thn (Chruch dan White, 2006). Seiring dengan
peningkatan tersebut, daerah yang memiliki ketinggian yang lebih rendah dari
permukaan laut dapat mengalami perubahan garis pantai (erosi). Permasalahan
genangan juga dapat terjadi pada daerah yang berada pada dataran rendah atau
memiliki cekungan (lembah). Apabila genangan terjadi dalam jangka waktu yang
cukup lama dan masuk ke dalam lapisan aquifer melalui sumur, maka
pencemaran air tanah oleh air laut tentunya tidak dapat dihindari.
Masalah kenaikan paras laut juga telah terjadi di beberapa daerah di
Indonesia, seperti di daerah Jakarta Utara (Cilincing, Koja, Tanjung Priok,
Penjaringan dan Pandemangan). Daerah Jakarta Utara tersebut mengalami
erosi dengan kecepatan 1-2 meter per tahun (Krisnasari, 2007). Penelitian
lainnya di Pulau Bengkalis juga dilakukan yang berhubungan dengan model
kerentanan pantai terhadap kenaikan paras laut pada tambak perikanan.
Penelitian ini menunjukkan bahwa tanggul yang digunakan pada tambak yang
berfungsi menahan masuknya air laut ke dalam tambak rusak akibat kenaikan
paras laut (Basir, 2010). Tidak hanya kedua lokasi tersebut, masih terdapat
2011; Rudiastuti, 2011), Semarang (Astuti, 2001; Sarbidi, 2001; Marfai et al.,
2008; Pribadi, 2011) dan Surabaya (Wuryanti, 2001).
Kondisi kawasan Pantai Utara Jawa (Pantura) Indramayu saat ini
mengalami tingkat abrasi, intrusi, dan sedimentasi yang cukup tinggi. Areal
pantai yang terkena abrasi seluas 2.153,12 Ha, tersebar di 7 kecamatan dan 28
desa. Rata-rata tingkat abrasi pesisir Indramayu 2- 5 m/tahun, dengan proses
sedimentasi pada muara sungai terjadi sangat cepat (DKP Kabupaten
Indramayu, 2009). Posisi Indramayu yang berhadapan dengan laut
menyebabkan daerah ini sangat rentan terhadap perubahan lahan yang
diakibatkan kenaikan paras laut dan hantaman dari gelombang. Hal ini diperkuat
Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah (2003) yang menyatakan bahwa
Indramayu tergolong sebagai salah satu kota pantai di Kawasan Barat Indonesia
(KBI) yang memiliki potensi terkena dampak dari pemanasan global berupa
perubahan paras laut dan banjir (Lampiran 1), serta penilaian resiko dampak
kenaikan paras laut di Pantai Utara terhadap potensi genangan yang dilakukan
oleh Directorate General of Marine, Coast, and Small Island Affairs (2009).
Pengaruh iklim global dalam waktu tertentu dapat mengakibatkan dampak
berkelanjutan terhadap kehidupan masyarakat yang bertempat tinggal di
kawasan pesisir (Mimura et al., 2007). Oleh karena itu, kajian kerentanan pesisir
yang diakibatkan oleh kenaikan paras laut dapat dijadikan sebagai rujukan
perencanaan adaptasi dan mitigasi dampak ke depan.
1.2. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk memetakan lokasi-lokasi di daerah pesisir
Kabupaten Indramayu yang memiliki resiko kerentanan kenaikan paras laut
berdasarkan analisis parameter geomorfologi, elevasi, perubahan garis pantai,
3
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Posisi geografis, administratif dan kondisi topografi lokasi penelitian
Kabupaten Indramayu secara geografis terletak pada 107°52` - 108°36` BT
dan 6°15` - 6°40` LS (BPS Kabupaten Indramayu, 2010). Adapun batas wilayah
administrasi Kabupaten Indramayu adalah sebagai berikut: sebelah utara
berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten
Majalengka, Sumedang dan Cirebon, sebelah barat berbatasan dengan
Kabupaten Subang dan sebelah timur berbatasan dengan Laut Jawa dan
Kabupaten Cirebon (BAPPEDA Jawa Barat, 2007). Secara administratif
Kabupaten Indramayu terdiri dari 28 kecamatan, 302 desa dan 8 kelurahan,
5.603 RT dan 1.533 RW (DKP Provinsi Jawa Barat, 2007). Kecamatan yang
berada pada wilayah pesisir sebanyak 11 kecamatan dari 28 kecamatan yang
merupakan kecamatan di wilayah pesisir (Tabel 1).
Panjang garis pantai Kabupaten Indramayu yaitu sekitar 114 km yang
terbentang dari Kecamatan Krangkeng sampai dengan Kecamatan Sukra.
Disamping mempunyai wilayah pesisir berupa pantai, Kabupaten Indramayu juga
memiliki 3 (tiga) pulau kecil yaitu Pulau Biawak, Pulau Gosong dan Pulau
Candikian (DKP Provinsi Jawa Barat, 2007). Berdasarkan topografinya sebagian
besar wilayah Kabupaten Indramayu merupakan daratan atau daerah landai
dengan kemiringan tanah rata-rata 0-2%. Keadaan ini memiliki pengaruh yang
cukup besar terhadap sistem drainase. Apabila curah hujan cukup tinggi maka
pada daerah-daerah tertentu akan terjadi genangan air (BPS Kabupaten
Tabel 1. Panjang garis pantai dan banyaknya desa pantai menurut kecamatan di Kabupaten Indramayu
No. Kecamatan Banyaknya
Desa Pantai
Panjang Garis
Pantai (km) Keterangan
1. Krangkeng 2 5,9
2. Karangampel 1 1,1
3. Juntinyuat 6 11,15
4. Balongan 3 5,4
5. Indramayu 4 5,9
6. Cantigi 2 16,0 Pemekaran
Kecamatan Sindang
7. Pasekan 5 30,6
8. Losarang 1 11,9
9. Kandanghaur 5 12,6
10. Patrol 4 7,8
11. Sukra 2 5,4
Sumber : DKP Provinsi Jawa Barat, 2007.
2.2. Kondisi sosial ekonomi
Indramayu merupakan salah satu kabupaten yang terletak di pesisir utara
Pulau Jawa. Daerah ini merupakan salah satu daerah dengan pertumbuhan
cepat di Pantura Jawa. Indramayu memiliki luas tanah sebesar 204.011 ha yang
terdiri dari 114.663 ha tanah sawah (58%) dan 22.803 ha sawah tadah hujan dan
85.348 ha atau sebesar 42% tanah kering di Kabupaten Indramayu (BPS
Kabupaten Indramayu, 2010).
Berdasarkan dari data penggunaaan tanah tersebut dapat diketahui bahwa
masyarakat Indramayu sebagian besar hidup dari bercocok tanam dan
merupakan daerah penghasil padi terbesar di Jawa Barat pada tahun 2009 (BPS
Provinsi Jawa Barat, 2010). Apabila tidak dalam musim tanam, sebagian
masyarakat beralih profesi menjadi nelayan. Oleh karena itu, masyarakat
Indramayu cenderung memilih untuk tinggal di wilayah pesisir. Hal tersebut
diperkuat dengan data Potensi Desa (PODES) Indramayu tahun 2009 yang
menyebutkan bahwa sekitar 35.82% dari 1.734.227 masyarakat Indramayu
2.3. Definisi wilayah pesisir
Wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut
yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut (UU No.27/2007 pasal 1 ayat
2). Perairan pesisir adalah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi
perairan sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang
menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa
payau dan laguna (UU No.27/2007 pasal 1 ayat 7).
Kegiatan pembangunan di wilayah pesisir cukup pesat, baik kegiatan
perikanan, pertanian, pertambangan, pariwisata dan industri. Pemanfaatan
wilayah pesisir dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat pesisir namun
pengelolaan lingkungan pesisir yang tidak baik dapat menimbulkan masalah
lingkungan pada wilayah pesisir itu sendiri seperti degradasi ekosistem alami.
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 10 tahun 2002 tentang
Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu menyatakan bahwa
pesisir merupakan wilayah peralihan dan interaksi antara ekosistem darat dan
laut. Wilayah ini sangat kaya akan sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang
disebut sumberdaya pesisir. Sumberdaya pesisir terdiri dari sumberdaya hayati
dan non-hayati. Unsur hayati terdiri atas ikan, mangrove, terumbu karang,
padang lamun dan biota laut lain beserta ekosistemnya, sedangkan unsur
non-hayati terdiri atas sumberdaya mineral dan abiotik lain di lahan pesisir,
permukaan air, kolom air dan dasar laut.
2.4. Dampak yang ditimbulkan oleh kenaikan paras laut
Rekaman data selama 100 tahun terakhir menunjukkan bahwa permukaan
laut telah mengalami kenaikan dengan laju 1-2 mm/thn karena ekspansi termal
dari laut dan mencairnya gletser dari benua dan pegunungan (Houghton et al.,
dalam 100 tahun terakhir, dapat menyebabkan peningkatan rata-rata suhu
permukaan udara dunia 1 - 5 ° C. Peningkatan suhu udara tersebut dapat
dikurangi dengan mengurangi tingkat emisi CO2 dan gas rumah kaca (Houghton
et al., 1996 dan Warrick et al., 1993). Apabila pemanasan tersebut terjadi dalam
jangka waktu yang panjang, maka dapat berubah menjadi ekspansi termal dari
laut dan mencairnya gletser pada benua dan pegunungan.
Perubahan iklim akan mempengaruhi daerah pesisir. Variasi iklim dalam
jangka pendek menunjukan adanya pengaruh intensitas maksimum dan
frekuensi dari badai (Emanuel, 1988). Dampak lain yang dapat ditimbulkan
diantaranya percepatan atau perlambatan tingkat erosi garis pantai (Dolan et al.,
1988; Gornitz, 1991), genangan (inundation), dan masukan (intrusion) air laut ke
daerah estuari dan lapisan air tanah (aquifer) (Gornitz, 1991). Perubahan yang
tidak dapat diprediksi tersebut dapat mengakibatkan korban jiwa dan harta benda
(Case dan Mayfield, 1990).
2.5. Pembangunan Indeks Kerentanan Pesisir
Membangun sebuah indeks kerentanan pesisir terhadap kenaikan paras
laut membutuhkan satu atau lebih parameter yang berperan. Gornitz (1991)
menyebutkan parameter yang berperan tersebut diantaranya: 1) geomorfologi, 2)
ketinggian, 3) perubahan garis pantai, 4) pasang surut, 5) tinggi gelombang dan
6) kenaikan paras laut. Gornitz dan Kanciruk (1989) menjelaskan indeks
kerentanan pesisir (IKP) dapat diturunkan dengan menggabungkan beberapa
kombinasi dari variabel genangan (elevasi) dan variabel erodibility (geomorfologi,
tinggi gelombang dan tunggang pasang surut).
Setiap variabel dibagi menjadi beberapa peringkat, dari peringkat 1 hingga
rentan. Beberapa parameter dan skoring yang digunakan untuk kerentanan
pesisir ditampilkan pada Tabel 2, Tabel 3, Tabel 4 dan Tabel 5.
Tabel 2. Sistem pembagian ranking variabel kerentanan pesisir yang digunakan
pada U.S.A West Coast
Ranking Variabel Sangat Tidak Rentan 1 Tidak Rentan 2 Sedang 3 Rentan 4 Sangat Rentan 5 Geomorfologi Rocky, Cliffed coast, Fjords,Fiard Medium cliffs, Indented coasts
Low cliffs, Glacial drift, Salt marsh,
Coral Reefs, Mangrove Beaches (pebbles), Estuary, Lagoon, Alluvial plains Barrier beaches, Beaches (sand), Mudflats, Deltas
Elevasi (m) ≥ 30,1 20,1 - 30,0 10,1 - 20,0 5,1 - 10,0 0 - 5,0 Perubahan garis
pantai (m/tahun) ≥ 2,1 1,0 – 2,0 - 1,0 - +1,0 - 1,1 - -2,0 ≤ -2,0 Pasang surut
(m) ≤ 0,99 1,0 - 1,9 2,0 - 4,0 4,1 - 6,0 ≥ 6,1 Tinggi
gelombang (m) 0 – < 3 3 - < 5 5 - < 6 6 - < 6,9 6,9 Kenaikan paras
laut (mm/thn) < 1,8 1,81 – 2,5 2,51 – 3,0 3,01 – 3,4 > 3,4
Sumber : Gornitz, 1997.
Tabel 3. Sistem pembagian ranking variabel kerentanan pesisir yang digunakan di Atlantic dan Gulf Coast
Ranking Variabel Sangat Tidak Rentan 1 Tidak Rentan 2 Sedang 3 Rentan 4 Sangat Rentan 5 Geomorfologi Rocky, Cliffed coast, Fjords,Fiard Medium cliffs, Indented coasts Low cliffs, Glacial drift, Alluvial plains Cobble Beaches, Estuary, Lagoon
Barrier beaches, Sand beaches, Salt marsh,
Mud flats, Deltas, Mangrove, Coral reefs
Kemiringan
pantai (%) > 1,20 1,20 – 0,90 0,90 – 0,60 0,60 – 0,30 < 0,30 Perubahan garis
pantai (m/tahun) ≥ 2,1 1,0 – 2,0 - 1,0 - +1,0 - 1,1 - -2,0 ≤ -2,0 Pasang surut
(m) > 6,0 4,0 – 6,0 2,0 – 4,0 1,0 – 2,0 < 1,0 Tinggi
gelombang (m) < 0,55 0,55 – 0,85 0,85 – 1,05 1,05 – 1,25 , Kenaikan paras
laut (mm/thn) < 1,8 1,8 – 2,5 2,5 – 3,0 3,0 – 3,4 > 3,4
Sumber : Pendleton et al,. 2004; Pendleton et al,. 2005c.
Tabel 4. Sistem pembagian ranking variabel kerentanan pesisir yang digunakan di U.S. Pasific Coast
Ranking Variabel Sangat Tidak Rentan 1 Tidak Rentan 2 Sedang 3 Rentan 4 Sangat Rentan 5 Geomorfologi Rocky, Cliffed coast, Fjords,Fiard Medium cliffs, Indented coasts Low cliffs, Glacial drift, Alluvial plains Cobble Beaches, Estuary, Lagoon
Barrier beaches, Sand beaches, Salt marsh,
Mud flats, Deltas, Mangrove, Coral reefs
Kemiringan
pantai (%) > 14.70
10.90 -
14.69 7.75 - 10.89 4.60 - 7.74 < 4.59 Perubahan garis
pantai (m/tahun) ≥ 2,1 1,0 – 2,0 - 1,0 - +1,0 - 1,1 - -2,0 ≤ -2,0 Pasang surut
(m) > 6.0 4.0 - 6.0 2.0 - 4.0 1.0 - 2.0 < 1.0 Tinggi
gelombang (m) < 1,1 1,1 -2.0 2.01 - 2.25 2.26 - 2.6 > 2.6 Kenaikan paras
laut (mm/thn) < 1,8 1,8 – 2,5 2,5 – 3,0 3,0 – 3,4 > 3,4
Tabel 5. Sistem pembagian ranking variabel kerentanan pesisir yang digunakan di Orissa State, Pantai Timur India
Ranking Variabel Tidak Rentan 1 Sedang 2 Rentan 3
Geomorfologi Inundated
coasts, cliffs
Estuaries,vegetated coasts (other than mangroves)
Sandy beaches, deltas, spits, mangroves, mud flat
Kemiringan pantai (%) > 1,0 > 0,2 - ≤ 1,0 ≥ 0 - ≤ 0,2 Perubahan garis
pantai (m/tahun) > 0 ≥ -10 dan < 0 < -10 Pasang surut (m) ≤ 2,5 > 2,5 dan ≤ 3,5 > 3,5 Tinggi gelombang (m) – 1.25–1.40 – Kenaikan paras laut
(mm/thn) ≤ 0 > 0 and ≤ 1,0 > 1,0 and ≤ 2.0 Elevasi (m) > 6 > 3,0 dan ≤ 6,0 ≥ 3,0 dan ≤ 3,0
Ketinggian tsunami
(m) ≥ 0 dan ≤ 1,0 > 1,0 dan ≤ 2,0 > 2,0
Sumber : Kumar et al,. 2010.
2.5.1. Geomorfologi
Geomorfologi digunakan untuk mengidentifikasi keteraturan antara bentuk
permukaan bumi dan proses penyebabnya. Geomorfologi meliputi dua proses,
yaitu proses endogen dan proses eksogen. Proses endogen meliputi aktifitas
vulkanik, tektonik, banjir, badai, tsunami, patahan dan lipatan, sedangkan proses
eksogen meliputi pelapukan, erosi, transportasi, dan deposisi (Kumar et al.,
2010). Pada umumnya daerah dengan relief rendah (barrier coast, estuari,
laguna, delta, dll) memiliki tingkat kerentanan yang tinggi, sedangkan daerah
dengan substrat yang keras dan relief yang tinggi (flords, pantai berbatu, tebing
tinggi dll) memiliki tingkat kerentanan yang lebih kecil terhadap erosi (Gornitz dan
Kanciruk, 1989).
Kenaikan paras laut akan menyebabkan perubahan bentuk lahan pesisir
yang terdiri dari hamparan daerah subtidal, dataran intertidal, rawa payau,
shingle banks, bukit pasir, tebing, dan dataran rendah pesisir (Pethick dan
Crooks, 2000). Tiap jenis bentuk lahan pesisir tersebut memiliki perbedaan
geomorfologi yang juga menunjukkan daya tahan terhadap erodibilitas atau
kerentanannya terhadap erosi (Thieler, 2000). Perubahan geomorfologi (evolusi
geomorfologi) yang diakibatkan dari kenaikan paras laut tidak hanya akan
ekosistem mereka tetapi juga tingkat kerentanan satwa liar, manusia, serta
infrastruktur pada daerah pesisir (Kumar et al., 2010).
Pada penelitian ini, klasifikasi yang digunakan dibagi menjadi dua
kelompok utama, yang dibentuk oleh erosi dan sedimentasi (Lampiran 2). Kedua
kelompok ini dikelompokan kembali menjadi beberapa kategori seperti marine,
non-marine, glacial, non, glacial dan volcanic (Gornitz, 1991). Kategori dari
kelompok yang telah ditentukan, selanjutnya dibagi menjadi 5 kelas kerentanan
seperti yang terdapat pada Lampiran 3.
2.5.2. Ketinggian (elevasi) daerah pesisir
Ketinggian daerah pesisir mengacu kepada rata-rata ketinggian pada
daerah tertentu yang berada di atas permukaan laut. Kajian mengenai
ketingggian daerah pesisir sangat penting untuk dipelajari secara mendalam
untuk mengidentifikasi dan mengestimasi luas daratan yang terancam oleh
dampak kenaikan paras laut di masa yang akan datang (Kumar et al., 2010).
Kenaikan paras laut 100 tahun yang akan datang diperkirakan berada pada
rentang 0,5 – 1,5 m (National Research Council, 1987). Apabila hal tersebut
terjadi, maka daerah dengan ketinggian 0,5 – 1,5 m akan memiliki kemungkinan
paling besar untuk mengalami genangan permanen. Daerah pesisir dengan
ketinggian 0 - 5 meter dari ketinggian rata-rata paras laut memiliki resiko yang
rentan hingga sangat rentan terhadap pengaruh dari pasang surut yang normal
atau storm surge (seruak badai). Daerah dengan selang setiap 10 meter
berikutnya menunjukkan adanya peningkatan kerentanan terhadap badai yang
ekstrem (Gornitz dan Kanciruk, 1989). Beberapa pembagian pembagian kelas
kerentanan berdasarkan elevasi dapat dilihat pada Tabel 2, Tabel 3, Tabel 4 dan
2.5.3. Perubahan garis pantai
Pantai merupakan suatu zona yang dinamik karena merupakan zona
persinggungan dan interaksi antara udara, daratan dan lautan. Zona pantai
senantiasa mengalami proses penyesuaian yang terus menerus menuju ke suatu
kesetimbangan alami terhadap dampak dari pengaruh eksternal dan internal baik
yang bersifat alami maupun campur tangan manusia. Faktor-faktor yang bersifat
alami diantaranya adalah gelombang, arus, pasang surut, angin, aktivitas
tektonik maupun vulkanik. Pengaruh dalam bentuk campur tangan manusia
antara lain perikanan, pelabuhan, pertambangan dan pemukiman (Hegde dan
Reju, 2007).
Garis pantai pesisir merupakan subjek yang selalu digunakan untuk melihat
proses perubahan yang terjadi di daerah pesisir, dimana selalu dipengaruhi oleh
karakteristik gelombang dan resultan dari sirkulasi yang terjadi dekat dengan
pantai, karakteristik sedimen, bentuk pantai, dll (Kumar et al., 2010). Selain itu,
tingkat perubahan garis pantai adalah salah satu pengukuran yang paling umum
digunakan oleh para ilmuwan pesisir, insinyur, dan perencanaan tanah untuk
menunjukkan dinamika dan bahaya dari pantai (Hedge dan Vijaya, 2007).
Laju pengukuran perubahan garis pantai pada umumnya memiliki
kesalahan pengukuran (error). Tingkat pengukuran dengan kisaran ±1 m
dianggap memiliki kondisi stabil. Pantai dengan tingkat pergeseran +1 m/tahun
dikatakan terjadi akresi oleh karena itu tingkat kerentanannya relatif lebih rendah,
sebaliknya pantai dengan tingkat pergeseran -1m/tahun dikatakan mengalami
erosi (abrasi) dan relatif memiliki tingkat resiko yang lebih tinggi (Gornitz dan
2.5.4. Pasang surut
Pasang surut dihasilkan oleh gaya tarik bulan dan matahari. Pasang surut
memiliki sifat yang periodik dan dapat diprediksi. Perbedaan vertikal antara air
tertinggi (puncak air pasang) dan air terendah (lembah air surut) yang berurutan
disebut sebagai tunggang pasang surut (Triatmodjo, 1999). Tunggang pasang
surut perlu diketahui karena keterkaitannya dengan bahaya genangan yang
bersifat sementara (sewaktu-waktu) dan permanen (Gornitz dan Kanciruk, 1989;
Gornitz, 1991; Kumar et al,. 2010; Pendleton, 2004; Pendleton, 2005a;
Pendleton, 2005b; Pendleton, 2005c).
Wilayah pesisir dengan kisaran pasang surut yang tinggi (> 4 m) dianggap
memiliki kerentanan yang tinggi dan wilayah yang memiliki kisaran pasang surut
rendah (< 2 m) dianggap memiliki kerentanan rendah (Gornitz dan Kanciruk,
1989; Gornitz, 1991). Selain itu pasang surut dapat menyebabkan masukan air
laut ke dalam daratan (Triatmodjo, 1999) yang dapat menjadi ancaman terhadap
persediaan air dalam tanah (Gornitz, 1991).
2.5.5. Rata-rata tinggi gelombang signifikan
Tinggi gelombang signifikan, periode gelombang dan arah gelombang
merupakan beberapa parameter yang digunakan pada model gelombang.
Ketiga parameter tersebut dinamakan parametric wave models. Tinggi
gelombang signifikan sendiri sangat sering digunakan oleh para coastal engineer
(insinyur pesisir) untuk memperkirakan energi yang dihasilkan oleh gelombang
(Hearn, 2008). Energi tersebut diperoleh dengan mengambil rata-rata dari 33%
nilai tertinggi dari pencatatan gelombang (Triatmodjo, 1999).
Energi yang diperoleh berdasarkan rata-rata tinggi gelombang signifikan
memiliki peranan dalam sistem transfer sedimen (Pendleton, 2005b). Di sisi lain,
merupakan langkah penting untuk mempersiapkan peringatan akan bahaya dan
sistem manajemen penanggulangannya (USGS, 2005). Energi gelombang
meningkat seiring dengan peningkatan tinggi gelombang. Hal ini mengakibatkan
hilangnya lahan karena erosi dan genangan di sepanjang pantai, sehingga
daerah-daerah pesisir dengan tinggi gelombang yang tinggi dianggap sebagai
pantai yang lebih rentan dan daerah dengan tinggi gelombang rendah sebagai
pantai yang kurang rentan (Gornitz, 1991; Kumar et al., 2010).
2.5.6. Rata-rata kenaikan paras laut
Kenaikan paras laut merupakan konsekuensi penting dari perubahan iklim,
baik untuk masyarakat dan lingkungan. Rata-rata paras laut di pantai
didefinisikan sebagai tinggi laut terhadap patokan lahan lokal, rata-rata selama
periode, seperti bulan atau tahun yang cukup panjang dengan asumsi fluktuasi
yang disebabkan oleh gelombang dan pasang surut diabaikan (Church and
Gregory, 2001).
Kenaikan paras laut dapat berasal dari pemanasan global melalui dua
proses utama yaitu peningkatan suhu air laut dan pencairan daratan es.
Pemanasan global diperkirakan akan menyebabkan kenaikan yang signifikan
pada permukaan laut selama abad ke dua puluh satu. Oleh karena itu, pengaruh
kenaikan permukaan laut di wilayah pesisir perlu dipelajari. Berdasarkan pada
sudut pandang kerentanan pada daerah pesisir, pantai dengan tingkat kenaikan
paras laut yang tinggi dianggap sebagai daerah yang sangat rentan dan juga
sebaliknya (Kumar et al., 2010; Gornitz, 1991).
2.6. Indeks Kerentanan Pesisir
Coastal Vulnerability Index (CVI) atau Indeks Kerentanan Pesisir (IKP)
ditetapkan dengan mengkombinasikan beberapa parameter resiko untuk
daerah yang memiliki risiko terhadap bahaya erosi, genangan permanen maupun
genangan sementara (Gornitz, 1991).
Setiap masukan (input) parameter resiko dikelompokan berdasarkan kelas resiko
1, 2, 3, 4 dan 5. Parameter tersebut dikelompokan berdasarkan dampak
kerusakan yang dihasilkan tergolong sangat rendah, rendah, sedang, tinggi dan
sangat tinggi terutama pada wilayah pesisir. Setelah proses ini maka setiap
daerah di wilayah pesisir akan memiliki peringkat resiko setelah
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian mencakup seluruh pesisir Kabupaten Indramayu yang
terdiri dari 11 kecamatan pesisir (Gambar 1). Secara geografis, wilayah studi
terletak pada 107°54`54,6``-108°32`25,1`` BT dan 6°13`45,64``-6°31`5,35`` LS.
Pada penelitian ini daerah penelitian dibatasi dengan jarak sejauh 1,6 km dari
garis pantai ke arah darat, dengan asumsi air laut akan masuk sejauh 1,6 km
untuk 30 tahun mendatang.
Gambar 1. Peta lokasi penelitian beserta daerah pengamatan
Penelitian ini dilakukan mulai dari bulan Agustus 2010 hingga September
2011. Survei lapang dilakukan pada bulan November-Desember 2010.
Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Penginderaan Jauh dan Sistem
Informasi Geografis Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
3.2. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan untuk penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu
perlengkapan pengolahan data dan perlengkapan survey. Perlengkapan
pengolahan data terdiri dari sebuah Personal Computer (PC) dengan perangkat
lunak ArcGIS 9.3 (untuk pengolahan data spasial), Ocean Data View 4 (untuk
mengekstrak data dengan format *.nc), WinRAR (untuk mengekstrak data
dengan format *.zip), MIKE21 (permodelan data pasang surut global), Grapher 7
(pembuatan grafik), Ms. Excel 2007 (untuk pengolahan data numerik) dan Ms.
Word 2007 (untuk penulisan skripsi). Alat yang digunakan untuk survei lapang
terdiri dari Global Positioning System/GPS (Lampiran 2), kamera digital dan
papan berskala (untuk pengukuran pasut).
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan data
in situ (Tabel 6). Data sekunder yang digunakan berupa data citra yang
diperoleh dari beberapa jenis satelit melalui beberapa penyedia data (website),
data prediksi dengan menggunakan perangkat lunak Mike21 serta data yang
telah disediakan oleh instansi pemerintah yang terkait. Pengukuran data in situ
dengan menggunakan papan pasang surut (pasut). Data citra, elevasi, kenaikan
paras laut dan data tinggi gelombang diperoleh dengan cara mengunduh dari
beberapa situs resmi penyedia data. Data administrasi dan landsystem diperoleh
dari instansi yang terkait. Pengukuran pasang surut di lapangan selama 15 hari,
sedangkan data pemodelan pasang surut diambil selama 1 tahun.
3.3. Metode Penelitian
Data yang diperoleh selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan tingkat
kerentanan pesisir menurut Gornitz (1991) seperti yang terdapat pada Tabel 7.
Hasil dari klasifikasi tersebut selanjutnya dihitung nilai kerentanan dengan
beberapa perangkat lunak, seperti yang dijabarkan pada bagian 3.2.
Pengolahan parameter kerentanan akan dijabarkan pada sub bab selanjutnya.
Metode penelitian yang dipergunakan untuk pembuatan peta kerentanan
pesisir Indramayu dapat dilihat pada diagram alir metode penelitian (Gambar 2).
Penelitian ini dikerjakan dengan menggunakan metode penginderaan jauh dan
sistem informasi geografis. Penelitian ini terdiri dari 3 tahapan yaitu: perolehan
data, pengolahan data dan pembuatan peta kerentanan pesisir.
Tabel 6. Data yang digunakan untuk studi kerentanan pesisir.
No. Paramater Data yang
digunakan Sumber data Resolusi Periode
1. Geomorfologi Citra
QuickBird Kementerian Pertanian 0,6 m 2010 – 2011
2. Elevasi
GDEM ASTER Versi 2
EarthExplorer – USGS
(https://earthexplorer.usgs.gov) 30 m
Oktober 2011
Peta RBI BAKOSURTANAL 1:25.000 2006
3. Perubahan
Garis Pantai
LANDSAT 7 ETM
EarthExplorer – USGS
(https://earthexplorer.usgs.gov) 30 m
9 Okt 2000 17 Mei 2011
4. Pasang
Surut
Pengukuran
In-Situ Survei Lapang
23 Nov 2010 – 8 Des 2010
Prediction
Tool Mike21
1 Jan 2010 – 31 Des 2010
5. Tinggi
Gelombang
Significant Wave Height
AVISO
(http://www.aviso.oceanobs.com) 1°
11 Des 2005 – 28 Feb 2010
6. Kenaikan
Paras Laut Mean Sea Level product and image selection AVISO
(http://www.aviso.oceanobs.com) 0,25°
Okt 1992 – Sep 2011
Sea Level Time Series
CU Sea Level Research Group
(http://sealevel.colorado.edu) 1993 - 2011
Tabel 7. Sistem pembagian ranking variable kerentanan pesisir yang digunakan
pada U.S.A East Coast
Ranking Variabel Sangat Tidak Rentan 1 Tidak Rentan 2 Sedang 3 Rentan 4 Sangat Rentan 5 Geomorfologi Rocky, Cliffed coast, Fjords,Fiard Medium cliffs, Indented coasts
Low cliffs, Glacial drift, Salt marsh,
Coral Reefs, Mangrove Beaches (pebbles), Estuary, Lagoon, Alluvial plains Barrier beaches, Beaches (sand), Mudflats, Deltas
Elevasi (m) ≥ 30,1 20,1 – 30,0 10,1 – 20,0 5,1 – 10,0 0 – 5,0 Perubahan garis
pantai (m/tahun) ≥ 2,1 1,0 – 2,0 - 1,0 - +1,0 - 1,1 - -2,0 ≤ -2,0 Pasang surut
(m) ≤ 0,99 1,0 – 1,9 2,0 – 4,0 4,1 – 6,0 ≥ 6,1 Tinggi
gelombang (m) 0 – 2,9 3,0 – 4,9 5,0 – 5,9 6,0 – 6,9 ≥ 7,0 Kenaikan paras
laut (mm/thn) ≤ -1,1 - 1,0 – 0,99 1,0 – 2,0 2,1 – 4,0 ≥ 4,1
Peta lokasi kerentanan pesisir dibuat berdasarkan nilai dari perhitungan
Indeks Kerentanan Pesisir. Indeks tersebut digolongkan menjadi 5 kelas, yaitu
kelas pertama yang mempresentasikan sangat tidak rentan sampai indeks ke
lima yang mempresentasikan sangat rentan.
3.3. Pembuatan Peta Genangan
Tahapan pertama sebelum pembuatan peta kerentanan pesisir adalah
pembuatan peta genangan. Peta genangan akan digunakan sebagai dasar
penentuan jarak buffer (daerah penyangga) dalam pengolahan parameter
kerentanan pesisir. Batas yang digunakan sebagai dasar pembuatan peta
genangan berdasarkan dua faktor utama, yaitu topografi dan hubungan
hidrogeologi terhadap laut (Lichter dan Felsenstein, 2012).
Peta genangan dibuat dengan menggunakan data DEM ASTER versi 2
yang diunduh melalui situs EarthExplorer-USGS (https://earthexplorer.usgs.gov)
dan data kenaikan paras laut (sea level time series) yang diperoleh dari CU Sea
Level Research Group (http://sealevel.colorado.edu). Data DEM yang akan
digunakan terlebih dahulu dikoreksi dengan perubahan kenaikan paras laut saat
ini. Perekaman data DEM ASTER tercatat pada bulan Oktober tahun 2011
sehingga kenaikan paras laut sudah berpengaruh terhadap batas daratan dan
lautan pada saat perekaman. Data kenaikan paras laut dihitung dengan asumsi
bahwa kenaikan paras laut terjadi secara linear, sehingga digunakan metode
regresi linear.
Koreksi garis pantai dilakukan dengan cara menghitung perbedaan tanggal
perekaman dan kondisi pada saat ini. Hasil dari perbedaan waktu tersebut
kemudian dibagi dengan satu tahun (365,25 hari). Data kenaikan paras laut
yang telah diperoleh kemudian dikalikan dengan selisih waktu perekaman,
Sumber data geomorfologi pesisir Indramayu diperoleh dengan
mengidentifikasi citra QuickBird berdasarkan kriteria (deskripsi) geomorfologi
berdasarkan seperti yang tertera pada Tabel 7. Penjelasan mengenai klasifikasi
variabel geomorfologi yang lebih terperinci dapat dilihat pada Lampiran 4 dan 5.
Tahapan yang dilakukan dalam untuk mengidentifikasi variabel geomorfologi
ditampilkan pada Gambar 4.
3.4. Geomorfologi
Garis pantai terbaru yang telah diperoleh kemudian digunakan sebagai
dasar (ketinggian 0 meter). Tahapan selanjutnya dilakukan pembagian kelas
sesuai dengan skenario genangan pada 10, 20 dan 30 tahun mendatang.
Setelah diperoleh daerah genangan sesuai dengan skenario yang telah
ditentukan maka dilakukan konversi data dari raster menjadi vektor. Hasil dari
konversi data tersebut kemudian dilayout menjadi peta genangan (Gambar 3).
Crooping atau pemotongan merupakan tahapan pertama yang dilakukan
dalam proses pengolahan data geomorfologi. Citra QuicBird dipotong
berdasarkan kecamatan yang yang terdapat pada daerah pesisir. Citra yang
telah dipotong kemudian diidentifikasi berdasarkan klasifikasi tutupan lahan
Badan Standardisasi Nasional (2010. Hasil identifikasi yang telah diperoleh
selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan klasifikasi variabel geomorfologi oleh
Gornitz (1991) yang terdapat pada Lampiran 4. Tahapan berikutnya adalah
pemberian rangking berdasarkan kelas kerentanan pada Tabel 6 atau untuk lebih
jelas dapat dilihat pada Lampiran 5.
3.5. Elevasi
Data elevasi diperoleh dengan cara mengunduh dari situs
EarthExplorer-USGS (https://earthexplorer.usgs.gov). Data yang diunduh dari situs tersebut
berupa Digital Elevation Model (DEM). Resolusi spasial yang dimiliki oleh data ini
sebesar 1 arc second atau 30×30 m. Pengolahan data elevasi dilakukan dengan
menggunakan perangkat lunak ArcGIS (Gambar 5).
Data DEM yang diperoleh dari ASTER pertama tama harus dikoreksi
dahulu dengan menggunakan data tpografi yang berasal dari Peta Rupa Bumi
Indonesia (RBI). Koreksi dilakukan dengan cara digitasi on screen (pada layar)
dengan mengambil jarak antara garis kontur dan topografi. Hasil dari koreksi
kemudian dikonversi dari kontur menjadi point. Point yang diperoleh kemudian
dikonversi menjadi data raster. Tahapan selanjutnya adalah melakukan
klasifikasi/reclassify sesuai dengan kelas kerentanan Gornitz (1991) yang
terdapat pada Tabel 7.
Data raster hasil klasifikasi kemudian dikonversi menjadi bentuk format
vektor dengan grid sebesar 30×30 m. Ukuran grid dengan ukuran 30×30 m
dipilih dengan pertimbangkan resolusi spasial data ASTER berukuran 1 arc
second atau 30×30 m. Data tersebut kemudian diklasifikasikan dan diberikan
ranking sesuai dengan pada Tabel 7.
3.6. Perubahan Garis Pantai
Parameter perubahan garis pantai (erosi dan akresi) yang dipergunakan
diperoleh dengan menggunakan data citra satelit. Citra satelit yang digunakan
untuk menganalisis perubahan garis pantai adalah citra Landsat 7 ETM dengan
tahun perekaman 2000 dan 2011 dengan resolusi spasial 30 meter. Citra
tersebut diperoleh dengan cara mengunduh melalui situs EarthExplorer-USGS
(https://earthexplorer.usgs.gov). Koreksi geometrik perlu dilakukan sebelum
dilakukan pengolahan citra untuk meminimalisir kesalahan posisi. Citra yang
dipergunakan harus terkoreksi secara geometrik. Koreksi geometrik citra
dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak ERMapper 7.
Penajaman citra dilakukan dengan menggunakan False Color Composite
543 (RGB). Garis pantai Indramayu diperoleh dengan cara digitasi on screen
proyeksi Universal Transverse Mercantor (UTM) pada zona 49 Selatan.
Tahapan pengolahan data perubahan garis pantai ditampilkan pada Gambar 6.
Gambar 6. Tahapan pengolahan data perubahan garis pantai
Perhitungan laju perubahan garis pantai dilakukan dengan 2 metode yaitu
manual dan ekstensi tambahan Digital Shoreline Analisys System (DSAS).
Metode manual digunakan dengan memanfaatkan measure pada ArcGIS.
Measure digunakan untuk menghitung jarak antara garis pantai hasil digitasi
tahun 2000 dan 2011. DSAS merupakan ekstensi tambahan yang
dikembangkan oleh U.S. Geological Survey dan telah banyak digunakan untuk
menghitung laju perubahan garis pantai. Data yang diperlukan sebagai masukan
untuk ekstensi ini adalah garis pantai dalam format vektor, tanggal setiap lapisan
vektor, dan jarak transek (Himmelstoss, 2009).
Hasil dari ektraksi kedua metode tersebut kemudian dirata-ratakan untuk
mengetahui tingkat perubahan garis pantai setiap tahun. Tingkat dari
perubahan garis pantai tersebut akan dihitung untuk seluruh wilayah studi,
kemudian nilai hasil rata-rata tersebut kemudian diklasifikasikan dan diberikan
ranking sesuai dengan kelas parameternya seperti tertera pada Tabel 7.
3.7. Pasang Surut
Parameter pasang surut yang dipergunakan dalam penelitian ini diperoleh
dari perangkat lunak MIKE21 dan survei lapang. Data yang diperoleh
menggunakan MIKE21 tersebut dibangun berdasarkan global tide model data
sebagai masukan perangkat lunak ini adalah data posisi koordinat pasut pada
saat survei lapang. Pengambilan data peramalan pasang surut berdasarkan
model data global selama 1 tahun (Januari-Desember 2010) dengan interval 1
jam, untuk meminimalkan pengaruh spring tide, neap tide serta pengaruh
musiman (Dronkers, 1964).
Hasil dari program MIKE21 akan menunjukan pasang surut pada koordinat
yang diinginkan. Kisaran pasut diperoleh dengan mengurangi pasang tertinggi
dikurangi dengan surut terendah (Triatmodjo, 1999).
KP HW LW
Keterangan :
KP = Kisaran pasang surut
HW = Nilai maksimum tinggi paras laut selama periode 1 tahun LW = Nilai minimum tinggi paras laut selama periode 1 tahun
Data pasang surut diperoleh dari hasil survei lapang selama 15 hari (23
November 2010 s/d 8 Desember 2010) untuk menghindari pengaruh spring tide
dan neap tide (Dronkers, 1964). Pengambilan data pasang surut dilakukan
dengan menggunakan papan pasang surut (Lampiran 6). Data kisaran pasang
surut selanjutnya akan digunakan sebagai pembanding data model.
Kisaran pasang surut hasil dari data model selanjutnya akan digunakan
pada seluruh lokasi penelitian. Nilai pasang surut tersebut kemudian
dikelompokkan sesuai dengan kelas yang tertera pada Tabel 7.
3.8. Tinggi Gelombang
Data tinggi gelombang diperoleh dari AVISO dengan data awal berbentuk
matriks. Data tinggi gelombang yang dipergunakan pada penelitian ini dibatasi
pada koordinat 105°BT - 115°BT dan 3°LS - 6°LS di wilayah sepanjang Pantai
Utara Jawa. Kemudian data tinggi gelombang diubah format datanya menjadi
bentuk kolom. Hal tersebut perlu dilakukan karena ArcGIS tidak dapat mengolah
titik koordinat posisi stasiun dengan menggunakan Ms. Excel. Hasil dari rata-rata
tiap posisi stasiun tersebut kemudian dilakukan interpolasi dengan jarak 1 Km
dengan menggunakan ArcGIS. Hasil dari interpolasi tersebut kemudian
dikelaskan sesuai dengan kelas kerentanan pada Tabel 7.
3.9. Kenaikan Paras Laut
Data satelit altimeter digunakan sebagai sumber informasi utama bagi tren
kenaikan paras laut di daerah penelitian. Data kenaikan paras laut diperoleh dari
data kombinasi satelit TOPEX/Poseidon, Jason-1, Jason-2/OSTM dan Envisat
yang diunduh melalui situs AVISO (http://www.aviso.oceanobs.com). Data yang
telah diunduh akan ditampilkan dengan menggunakan perangkat lunak ODV 4
untuk memperlihatkan pola kenaikan paras laut yang terjadi di Indonesia (6°LU -
11°LS dan 95°BT - 141°BT) dan Indramayu Indonesia (6°LS - 6°40‘LS dan
107°52‘BT - 108°36‘BT).
Sumber lain data kenaikan paras laut yang digunakan dalam penelitian ini
adalah data Sea level time series yang berasal dari CU Sea Level Research
Group (http://sealevel.colorado.edu). Pengolahan data CU Sea Level Research
Group dilakukan dengan menggunakan regresi linear pada perangkat lunak Ms.
Excel. Data dari CU Sea Level Research Group akan digunakan sebagai
pembanding data dari AVISO. Kenaikan paras laut yang paling besar dari kedua
data tersebut akan digunakan sebagai masukan (input) untuk pengolahan data
kerentanan pesisir. Hasil dari pengolahan data kemudian dikelaskan sesuai
dengan kisaran kerentanan kenaikan paras laut pada Tabel 7.
3.10. Analisis Spasial
Analisis spasial dilakukan dengan menggunakan seluruh parameter yang
telah ditetapkan, yaitu geomorfologi, kenaikan paras laut, selang pasang surut,
Perhitungan tingkat kerentanan wilayah pesisir dihitung dengan menggunakan
rumus Indeks Kerentanan Pesisir seperti yang digunakan dalam Gornitz, 1991.
IKP a b c d e f
K
= tingkat kerentanan untuk elevasi
eterangan :
a
= tingkat kerentanan untuk perubahan garis pantai = tingkat kerentanan untuk geomorfologi
b
= tingkat kerentanan untuk pasang surut
c
= tingkat kerentanan untuk tinggi gelombang
d e
f = tingkat kerentanan untuk kenaikan paras laut
Penentuan batas indeks dalam pengkelasan ini adalah nilai yang kurang
dari sama dengan 0,2 termasuk ke dalam kelas sangat tidak rentan, nilai antara
0,2 sampai dengan 0,4 termasuk ke dalam kelas tidak rentan, nilai antara 0,4
sampai dengan 0,6 termasuk ke dalam kelas sedang, nilai antara 0,6 sampai
dengan 0,8 termasuk dalam kelas rentan dan niai lebih dari 0,8 termasuk ke
dalam kelas sangat rentan. Hasil dari pengkelasan tersebut kemudian
ditampilkan dalam bentuk peta kerentanan pesisir dengan degradasi warna yang
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Perkiraan Daerah Genangan
Pembuatan peta daerah yang terkena genangan digunakan sebagai dasar
untuk jarak buffer (penyangga) untuk daerah penelitian. Berdasaran pengolahan
data CU Sea Level Research Group (http://sealevel.colorado.edu) diperoleh
kenaikan paras laut yang terjadi pada daerah pesisir Indramayu sebesar 5,20
mm/tahun. Pengolahan data dilakukan dengan skenario kenaikan paras laut
selama 30 tahun, yaitu 54,60 mm, 106,59 mm dan 158,58 mm.
Kecamatan yang terancam akan terkena dampak kenaikan paras laut 10
hingga 30 tahun mendatang adalah Cantigi, Indramayu, dan Pasekan.
Kecamatan Cantigi memiliki luas daratan yang diperkirakan akan mengalami
ancaman kenaikan paras laut yang paling kecil. Pada 10 tahun mendatang
(2022) diperkirakan daerah seluas 3,41 ha akan tergenang dan pada 30 tahun
berikutnya (2042) menjadi 10,01 Ha. Kecamatan yang mengalami dampak
kenaikan paras laut yang paling besar adalah Pasekan. Daerah seluas 797,83
ha akan tergenang setelah 10 tahun mendatang, sedangkan pada 30 tahun
mendatang diperkirakan akan tergenang daerah seluas 804,60 ha (Tabel 8).
Luas daerah yang tergenang apabila dibandingkan dengan luas daerah
Indramayu sebesar 204.011 Ha (BPS Kabupaten Indramayu, 2010) adalah
sekitar 0.4%. Hasil tersebut memang sangat kecil, tetapi apabila tidak
ditanggulangi akan memiliki dampak terhadap wilayah Indramayu pada
khususnya dan Pantura pada umumnya. Hal tersebut perlu diperhatikan
mengingat pesisir Pantura memiliki topografi yang landai serta perairan yang
Tabel 8. Luas daratan yang diperkirakan terkena dampak dari kenaikan paras laut
No. Kecamatan 10 Tahun (Ha) 20 Tahun (Ha) 30 Tahun (Ha)
1. Balongan
2. Cantigi 3,41 3,50 3,59
3. Indramayu 9,78 9,90 10,01
4. Juntiyuat
5. Kandanghaur
6. Karangampel
7. Krangkeng
8. Losarang
9. Pasekan 797,83 801,22 804,60
10. Patrol
11. Sukra
TOTAL 811,02 814,62 818,20
Hasil simulasi genangan kearah darat menunjukan bahwa air laut masuk
sejauh ±1.570 meter dari garis pantai Indramayu (Gambar 7). Jarak tersebut
berikutnya akan digunakan sebagai buffer untuk daerah pengamatan dengan
asumsi jarak maksimal pengaruh dari kenaikan paras laut sejauh ±1.600 meter
dari garis pantai.
4.2. Geomorfologi
Pada Gambar 8 dapat dilihat hasil identifikasi citra QuickBird berdasarkan
Gornitz (1991). Pesisir Indramayu dikelompokan menjadi 9 jenis penutupan
lahan, yaitu bangunan, delta, empang, hutan rawa, pasir pantai pemukiman,
sawah tadah hujan, tambak dan tegalan/ladang. Sawah tadah hujan merupakan
tutupan lahan yang paling luas pada pesisir Indramayu. Oleh karena itu, dapat
disimpulkan Kabupaten Indramayu didominasi oleh daratan alluvial (Lampiran 7).
Pengolahan parameter geomorfologi berdasarkan citra QuickBird
menunjukan bahwa sebagian pesisir geomorfologi Indramayu didominasi daratan
alluvial, delta dan bangunan pantai (bangunan dan pemukiman). Berdasarkan
kelas kerentanan pada Tabel 7, maka daratan alluvial dengan luas ±533,68 km2
dari luas total kecamatan pesisir ±674,15 km2 memiliki tingkat resiko rentan; delta
dengan luas ±78,97 km2 memiliki tingkat resiko sangat rentan dan bangunan
pantai dengan luas ±57,39 km2 memiliki tingkat resiko sangat rentan (Gambar 9).
Kecamatan Cantigi, Losarang dan Sukra merupakan kecamatan yang
memiliki tingkat resiko kerentanan sedang hingga sangat rentan. Kecamatan
Cantigi memiliki luas ±52,89 km2 dengan tingkat resiko sedang 0,36%, rentan
5,12% dan sangat rentan 3,34%. Kecamatan Losarang memiliki luas ±73,34 km2
dengan tingkat resiko sedang 0,31%, rentan 18,32% dan sangat rentan 0,05%,
sedangkan kecamatan Sukra memiliki luas ±51,89 km2 dengan tingkat resiko
sedang 0,42%, rentan 5,84% dan sangat rentan 1,12%. Kecamatan Pasekan
memiliki daerah dengan tingkat kerentanan paling besar dengan luas 33,19km2.
Parameter geomorfologi sangat erat kaitannya antara tipe geomorfologi
dan daya tahan terhadap erosi. Gornitz (1997) menyebutkan bahwa batuan
memiliki daya tahan terhadap erosi yang lebih besar daripada tipe yang lain.
Daya tahan terhadap erosi dipengaruhi oleh komposisi mineral dan ukuran
31
4.3. Elevasi
Kabupaten Indramayu sebagian besar berada pada ketinggian antara
0-100 m di atas permukaan air laut dan sebagian besar wilayah (98,70%) berada
pada ketinggian 0-3 m di atas permukaan air laut (Dinas Perikanan Provinsi Jawa
Barat, 2007). Bagian utara Indramayu memiliki ketinggian yang rendah dan
semakin tinggi ke arah selatan (Gambar 10).
Pengolahan data DEM menunjukkan bahwa sebagian besar daerah pesisir
Indramayu dengan luas ±104,22 km2 memiliki tingkat resiko sangat rentan;
±41,10 km2 memiliki tingkat resiko rentan; ±6,21 km2 memiliki tingkat resiko
sedang; ±0,22 km2 memiliki tingkat resiko tidak rentan dan ±0,02 km2 memiliki
tingkat resiko sangat tidak rentan (Gambar 11). Kondisi tersebut tidak jauh
berbeda dengan wilayah pesisir Banten Utara (Cilegon, Serang dan Tangerang)
yang sebagian besar terdiri dari dataran rendah dengan ketinggian kurang dari 5
meter (Sujardwadi, 2010).
Berdasarkan parameter elevasi wilayah pesisir Indramayu didominasi oleh
kelas sangat rentan, yaitu Indramayu (±26,20 km2), Sukra (±13,57 km2) dan
Losarang (±11,35 km2). Kecamatan Sukra, Kandanghaur dan Juntinyuat
memiliki beberapa daerah dengan luasan ±7,95 km2, ±7,74 km2 dan ±6,64 km2
yang termasuk dalam kelas rentan. Seluruh kecamatan pada kabupaten
Indramayu memiliki wilayah dengan tingkat kerentanan sedang, diantaranya
kecamatan Kandanghaur (±2,25 km2), Balongan (±1,01 km2), dan Krangkeng
(±0,69 km2). Terdapat 5 kecamatan pesisir dengan tingkat kerentanan tidak
rentan, yaitu Kandanghaur (±0,10 km2), Losarang (±0,05 km2), Cantigi (±0,04
km2), Krangkeng (±0,03 km2) dan Sindang (±0,01 km2). Kecamatan Losarang
dan Cantigi memiliki luas kurang dari 1 km2 dengan tingkat kerentanan sangat
Ketinggian rata-rata pesisir Indramayu yang kurang dari 5 meter tersebut
tentunya sangat berbahaya terhadap genangan air laut yang diakibatkan oleh
kenaikan paras laut ataupun pasang surut. Genangan yang terjadi dalam waktu
tertentu dapat menggangu persedian air minum karena tercemar oleh air laut
(Dwarakish, 2009).
4.4. Perubahan Garis Pantai
Hasil analisis perubahan garis pantai dengan menggunakan citra Landsat
TM tahun perekaman 2000 dan 2011 memperlihatkan bahwa sebagian besar
pesisir Indramayu mengalami kemunduran (erosi). Erosi pantai tersebut berkisar
antara 0,23 – 99,76 meter dengan kecepatan erosi -0.02 - -9,41 m/tahun
(Gambar 12).
Hasil analisa perubahan garis pantai berdasarkan pengolahan citra landsat
tahun 2000 dan 2011 memperlihatkan daerah pesisir Indramayu seluas ±47,52
km2 (±31,34 %) mengalami erosi dengan kecepatan lebih dari -2,0 m/tahun yang
termasuk dalam kelas sangat rentan. Daerah pesisir dengan kecepatan erosi
antara -1,1 sampai dengan -2,0 m/tahun termasuk kelas rentan dengan luas
daerah sebesar ±74,03 km2 (±48,82 %), sedangkan daerah seluas ±28,33 km2
(±18,68 %) termasuk dalam kelas sedang karena mengalami penambahan dan
pengurangan garis pantai dengan kecepatan antara -1,1 sampai dengan 1,0
m/tahun termasuk dalam kelas sedang.
Pada beberapa daerah masih dapat ditemukan penambahan garis pantai
(akresi). Daerah dengan luas ±1,58 km2 mengalami akresi dengan kecepatan
antara 1,0 sampai dengan 2,0 m/tahun termasuk kelas tidak rentan, sedangkan
daerah seluas ±0,15 km2 termasuk kelas sangat tidak rentan karena mengalami
Gambar 12. Hasil analisa perubahan garis pantai Indramayu dengan menggunakan citra Landsat tahun perekaman 2000 dan 2011 Kec. Losarang Kec. Cantigi Kec. Krangkeng Kec. Pasekan Kec. Kandanghaur Kec. Sukra Kec. Patrol K iyuat Kec. Indramayu Kec. Karangampel Kec. Balongan ec. Junt 108°30'0"E 108°30'0"E 108°25'0"E 108°25'0"E 108°20'0"E 108°20'0"E 108°15'0"E 108°15'0"E 108°10'0"E 108°10'0"E 108°5'0"E 108°5'0"E 108°0'0"E 108°0'0"E 107°55'0"E 107°55'0"E 6° 10 '0 "S 6° 15 '0" S 6° 15 '0" S 6° 2 0 '0" S 6° 2 0 '0" S 6° 25 '0 "S 6° 25 '0 "S 6° 3 0 '0" S 6° 3 0 '0" S
¬
0 2.5 5 10 15 20
Kilometer
6°
35
'0"
S
TANGGAL PENCITRAAN (mm/dd/year) :
Kecamatan yang terdapat pada pesisir Indramayu mengalami perubahan
garis pantai yang berbeda-beda mulai dari kelas sangat rentan hingga sangat
tidak rentan. Kecamatan Sukra (±11,57 km2), Indramayu (±7,13 km2), Juntinyuat
(±5,70 km2) dan Cantigi (±4,94 km2) merupakan empat kecamatan dengan kelas
kerentanan sangat rentan yang paling luas. Kecamatan Indramayu merupakan
daerah dengan tingkat kerentanan rentan seluas ±17,58 km2 yang diikuti dengan
kecamatan Kandanghaur (±11,16 km2), Sukra (±9,85 km2) dan Krangkeng (±7,68
km2). Kecamatan Kandanghaur (±6,45 km2), Indramayu (±5,03 km2), Juntinyuat
(±4,41 km2) dan Balongan (±3,30 km2) memiliki daerah dengan kelas kerentanan
sedang yang paling besar.
Kelas kerentanan tidak rentan terdapat pada enam kecamatan, yaitu
Losarang (±0,93 km2), Indramayu (±0,16 km2), Balongan (±0,15 km2), Krangkeng
(±0,14 km2), Kandanghaur (±0,13 km2) dan Cantigi (±0,07 km2). Hasil
pengolahan parameter perubahan garis pantai memperlihatkan empat
kecamatan dengan luas kurang dari ±0,10 km2. Kecamatan tersebut adalah
Losarang (±0,06 km2), Balongan (±0,05 km2), Krangkeng (±0,03 km2) dan Cantigi
(±0,01 km2).
Perubahan garis pantai yang didominasi oleh kelas sangat rentan, rentan
dan sedang tersebut disebabkan karena kurangnya tanaman mangrove sebagai
penghambat gelombang pada daerah pesisir. Aktifitas manusia seperti
perikanan budidaya (tambak) yang dibangun pada daerah yang tidak semestinya
serta penambangan pasir juga turut serta mempengaruhi bahkan mempercepat
proses erosi. Dampak dari aktifitas manusia tersebut dapat menyebabkan erosi
dengan kecepatan lebih dari 2 m/tahun. Setiap tahunnya garis pantai Indramayu
mengalami erosi dengan kecepatan 1 sampai dengan 3 m/tahun (Hadikusumah,
Citra dengan resolusi menengah (20-30 m/pixel) menyediakan akurasi
posisi yang cukup baik untuk penerapan aplikasi pemantauan dinamika
perubahan garis pantai global. Penggunaan citra resolusi menengah
memberikan dua keuntungan utama, yaitu ketersediaan data berseri (Landsat
telah beroperasi sejak tahun 1980) dan mengurangi biaya apabila dibandingkan
dengan data resolusi tinggi (tracking). Namun, metode ini masih memiliki
kelemahan seperti algoritma yang belum pasti (not definitive) dan harus direvisi
untuk memperbaiki kesalahan sistematis yang diproyeksikan menuju ke laut
(Ruiz et al., 2007).
4.5. Pasang Surut
Posisi pengambilan data pasang surut pada 107°59'15.00"E dan
6°16'47.30"S. Tunggang pasut yang diperoleh dari survei lapang adalah sebesar
0,75 m. Pasang tertinggi setinggi 1 meter terdapat pada tanggal 23 dan 25
November 2010, sedangkan surut terendah sebesar 0,25 meter terdapat
terdapat pada tanggal 23 - 26 November 2010 dan 5 – 8 Desember 2010
(Gambar 14).
Tunggang pasut yang diperoleh berdasarkan hasil permodelan perangkat
lunak MIKE21 pada koordinat pengambilan data pasut lapang sebesar 0,52 m.
Pasang tertinggi berdasarkan hasil permodelan sebesar 0,35 m pada tanggal 3
Desember 2010, sedangkan surut terendah diperoleh sebesar -0,18 m pada
tanggal yang sama (Gambar 14). Perbedaan besar tunggang pasut hasil
pengukuran lapang dan permodelan pasang surut MIKE21 dapat disebabkan
karena ketelitian alat pengukuran pasut dan konstanta pasut pada perangkat
lunak MIKE21.
Berdasarkan hasil permodelan pasang surut dengan menggunakan
Hadikusumah (2009) menyatakan tunggang pasut di Eretan paling besar
terdapat pada bulan Febuari 2006 berkisar antara 0,2 – 1,4 m dibandingkan
dengan bulan Mei (0,2 – 0,9 m) dan bulan Agustus (0,1 – 0,8 m). Kondisi
pasang di pantai Indramayu lebih lama apabila dibandingkan dengan kondisi
surutnya dengan tipe pasang surut diurnal campuran. Perbedaan waktu dari
pasang dan surut tersebut tentunya berhubungan dengan lamanya air laut
masuh ke daratan. Hal ini tentunya sangat berbahaya terhadap bahaya
genangan yang dapat ditimbulkan seperti masuknya air laut ke daerah estuari
atau lapisan air tanah (Gornitz, 1991).
sebesar 0,36 m, sedangkan surut terendah berada pada posisi 0,26 m, sehingga
tunggang pasut yang diperoleh sebesar 0,62 m. Nilai tunggang pasut sebesar
0,62 m termasuk ke dalam kelas resiko sangat tidak rentan karena berada di
bawah 1 m (Gambar 15).
11/24/10 11/27/10 11/30/10 12/3/10 12/6/10 12/9/10 Tanggal -0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 Ti n g g i ( m ) .2 0 Pasut Lapang
11/24/10 11/27/10 11/30/10 12/3/10 12/6/10 12/9/10 Tanggal -0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 Ti n g g i ( m ) .2 0 Pasut Mike
4.6. Tinggi Gelombang
Hasil analisa rata-rata tinggi gelombang signifikan berdasarkan data AVISO
untuk daerah pesisir Indramayu berkisar antara 1,47-1,55 m (Gambar 16).
Tinggi gelombang rata-rata tersebut termasuk ke dalam kelas kerentanan sangat
tidak rentan (Gornitz, 1991). Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil
pengukuran yang dilakukan pada bulan Febuari 2006 di Eretan dengan tinggi
gelombang berkisar antara 0,19-1,23 m (Hadikusumah, 2009).
Pengukuran tinggi gelombang signifikan tersebut seharusnya memiliki hasil
yang tidak jauh berbeda sepanjang pantai Utara Jawa. Namun hasil yang
berbeda diperoleh pada pantai Banten yang berada di utara pulau Jawa yang
menyebutkan bahwa, tinggi gelombang signifikan di sepanjang pantai Banten
berkisar antara 0,381 sampai 0,499 m dengan rata-rata sekitar 0,440 m
(Sujarwadi, 2010). Perbedaan hasil dari penelitian tersebut kemungkinan
disebabkan perbedaan kecepatan angin, fetch, kedalaman air dan kemiringan
dasar (Triadmojo, 1999).
4.7. Kenaikan Paras Laut
Pada Gambar 17, memperlihatkan peta sebaran kenaikan paras laut relatif
di perairan Indonesia. Peta tersebut dibuat berdasarkan data kombinasi satelit
Topex/Poseidon (T/P), Jason-1, Jason-2 dan Envisat mulai dari Oktober 1992
hingga September 2011 yang diunduh melalui situs AVISO
(http://www.aviso.oceanobs.com). Data tersebut telah mengalami koreksi
tekanan atmosfer, pola musiman, pengaruh pada permukaan laut (angin,
gelombang dan pasang surut). Kenaikan paras laut relatif yang terjadi pada
Hasil yang tidak jauh berbeda diperoleh dari University of Colorado
(http://sealevel.colorado.edu) yang menunjukan bahwa kenaikan paras laut
sebesar 5,0607 mm/thn (Gambar 19). Kenaikan paras laut yang lebih dari
5mm/thn menyebabkan seluruh pesisir kabupaten Indramayu termasuk ke dalam
kelas kerentanan sangat rentan (Gambar 20).
Data kenaikan paras laut yang diperoleh dari kombinasi satelit
Topex/Poseidon, Jason-1, Jason-2 dan Envisat mulai dari Oktober 1992 hingga
September 2011 dari AVISO memperlihatkan adanya perubahan tinggi paras laut
sebesar 4,695 – 5,199 mm/thn pada daerah pesisir Indramayu. Kenaikan paras
laut sebesar 4,695 – 5,199 mm/thn pada pesisir Indramayu berdasarkan Gornitz
(1991), menjadikan daerah tersebut menjadi kelas kerentanan sangat rentan
(Gambar 18).
Gambar 17. Peta tren kenaikan paras laut relatif (mm/thn) di perairan Indonesia dari Oktober 1992 – September 2011.
Kenaikan paras laut tersebut memiliki hasil yang lebih besar dari hasil
penelitian Gornitz (1991) yang menyatakan bahwa, kenaikan paras laut global
akibat mencairnya es di kutub utara sebesar 0,5 – 3,0 mm/thn. Penelitian
mengenai kenaikan paras laut yang dilakukan oleh Sujarwadi (2010) di pesisir
Gambar 18. Peta tren kenaikan paras laut relatif (mm/thn) di perairan Indramayu dari Oktober 1992 – September 2011.
(Sumber data : http://www.aviso.oceanobs.com)
Gambar 19. Tren kenaikan paras laut (1993 – 2011) (Sumber : http://sealevel.colorado.edu)
Kenaikan Paras Laut = 5.0607 (mm/
‐300
‐200
‐100
0 100 200 300 400
1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010
Sea
Level
Anomaly
(mm/thn)
Tahun
thn) 2012
4.8. Analisa Kerentanan Pesisir
Analisa kerentanan pesisir menunjukan bahwa sebagian besar pesisir
Indramayu didominasi oleh kelas kerentanan rentan seluas ±60,69 km2 yang
diikuti dengan kelas kerentanan sangat rentan seluas ±49,94 km2, sedang
±23,45 km2, tidak rentan seluas ±7,85 km2 dan sangat tidak rentan seluas ±1,28
km2 (Gambar 21). Terdapat tiga kecamatan yang didominasi dengan kelas
kerentanan sangat rentan (Gambar 22) yaitu, kecamatan Pasekan (±22,47 km2),
Cantigi (±6,27 km2) dan Kandanghaur (±2,09 km2).
Kelas kerentanan rentan terdapat pada Kecamatan Losarang (±9,06 km2),
Patrol (±7,09 km2), Juntinyuat (±6,88 km2), Sukra (±6,38 km2), Krangkeng (±5,43
km2), Indramayu (±3,89 km2) dan Karangampel (±3,84 km2). Daerah yang
didominasi oleh kelas kerentanan sedang hanya terdapat pada kecamatan
Balongan seluas ±2,26 km2 (Gambar 22). Daerah dengan kelas kerentanan
tidak rentan tersebar pada sepuluh kecamatan, yaitu kecamatan Losarang,
Juntinyuat, Balongan, Indramayu, Krangkeng, Kandanghaur, Pasekan, Cantigi,
Karangampel dan Sukra. Kecamatan Losarang dan Juntinyuat memiliki luas
daerah tidak rentan yang lebih besar dari 1 km2. Hasil analisa seluruh parameter
kerentanan pesisir pada seluruh kecamatan pesisir Indramayu diperoleh enam
kecamatan yang memiliki daerah dengan kelas kerentanan sangat tidak rentan.
Kecamatan tersebut adalah kecamatan Losarang seluas ±1,03 km2, Krangkeng
seluas ±0,14 km2, Balongan seluas ±0,07 km2, Kandanghaur seluas ±0,03 km2,
Cantigi seluas ±0,02 km2 dan Indramayu seluas ±0,01 km2 (Gambar 22).
Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat (2007) membagi Kabupaten
Indramayu menjadi 8 kawasan berdasarkan identifikasi nilai-nilai sumberdaya.
Nilai tersebut didasarkan pada kepentingan para pemangku-kepentingan
(stakeholder), khususnya bagi keperluan budidaya perairan, wisata, pemukiman,
Gambar 22. Distribusi kelas kerentanan pada kecamatan pesisir Indramayu 0.00 3.00 6.00 9.00 12.00 15.00 18.00 21.00 0.07 0.02 0.01 0.03 0.14 1.03 0.97 0.20 0.74 1.37 0.46 0.19 0.59 3.09 0.23 0.01 2.26 2.51 1.05 2.90 1.94 0.10 1.09 5.55 5.47 0.19 0.38 2.19 3.73 3.89 6.88 1.70 3.48 5.43 9.06 0.12 7.09 6.38 1.72 6.27 3.53 3.89 2.09 1.64 4.88 8.04 22.47 3.22 2.95 km2 Kecamatan
Pembagian kawasan tersebut adalah sebagai berikut: Kawasan I
(Krangkeng, Karangampel dan Juntinyuat), Kawasan II (Balongan), Kawasan III
(Indramayu), Kawasan IV (Pasekan), Kawasan V (Cantigi dan Losarang),
Kawasan VI (Kandanghaur), Kawasan VII (Patrol dan Sukra), Kawasan VIII
mencakup daerah pemasangan pipa bawah laut (Tabel 9). Rencana pembagian
zonasi kawasan pesisir dan laut terdapat pada Marine Coastal Management Area
- MCMA Kabupaten Indramayu pada Gambar 23.
Tabel 9. Daftar Keberadaan Zona dan Sub Zona`pada setiap Kawasan MCMA Kabupaten Indramayu
No. Zona/Sub Zona Kawasan
I II III IV V VI VII VIII
I. Zona Pemanfaatan
Sub Zona Perikanan
Tangkap √ √ √ √ √ √ √
Sub Zona Budidaya Tambak √ √ √ √ √ √ √
Sub Zona Budidaya Kolam
Air Tawar √ √
Sub Zona Budidaya Laut √
Sub Zona Ekowisata dan
Wisata Pantai √ √ √ √
Sub Zona Sentra Industri
Pengolahan Hasil Perikanan √ √ √
Sub Zona Pertanian √ √ √ √ √ √ √ √
Sub Zona Indsutri Garam
Rakyat √
Sub Zona Pemukiman √ √ √ √ √ √ √ √
II. Zona Konservasi
Sub Zona Taman Wisata
Alam Laut √
Sub Zona Rehabilitasi √ √ √ √ √ √ √ √
Sub Zona Konservasi
Mangrove √ √ √ √
III. Zona Penggunaan Khusus
Sub Zona Industri (Terbatas) √ √
Sub Zona Pelabuhan Khusus √ √
Sub Zona Pangkalan
Pendaratan Ikan (PPI) √ √ √ √ √ √ √ √
IV. Zona Lorong (Pipa Dasar
Laut) √ √ √ √
Hampir seluruh kawasan pesisir Indramayu diusulkan sebagai zona
pemanfaatan. Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat mengarahkan sub zona
pemanfaatan perikanan tangkap, budidaya tambak, pertanian dan pemukiman.
Berdasarkan rencana zonasi kawasan pesisir dan laut pada tahun 2007 serta
hasil dari pengolahan parameter kerentanan pesisir, sebaiknya lebih banyak
kawasan yang dijadikan kawasan konservasi dibandingkan pemanfaatan. Hal
tersebut diperlukan untuk meminimalisir dampak kerusakan dari perubahan iklim.
Pemanfaatan yang berlebihan tentunya dapat merusak lingkungan, oleh
karena itu perlu direncanakan adanya zona konservasi. Zona konservasi ini
dapat berupa taman wisata laut, rehabilitasi dan konservasi mangrove. Selain
dari pertanian, masyarakat Indramayu juga hidup dari perikanan (BPS
Kabupaten Indramayu, 2010), sehingga penggunaan zona khusus untuk
pangkalan pendaratan ikan perlu direncanakan.
Berdasarkan rencana zonasi kawasan pesisir dan laut pada tahun 2007
serta hasil dari pengolahan parameter kerentanan pesisir, sebaiknya lebih
banyak kawasan yang dijadikan kawasan konservasi dibandingkan pemanfaatan.
Hal tersebut diperlukan untuk meminimalisir dampak kerusakan dari perubahan
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa ±42,37% (±60,69 km2) dari
pesisir Kabupaten Indramayu termasuk ke dalam kategori sangat rentan,
±34,87% (±49,94 km2) termasuk dalam kategori rentan, ±16,38% (±23,45 km2)
termasuk kategori sedang, ±7,85% (±5,48 km2) termasuk dalam kategori tidak
rentan dan ±0,90% (±1,28 km2) termasuk kategori sangat tidak rentan.
Peta hasil pengolahan parameter kerentanan pesisir menunjukan bahwa
kecamatan Pasekan, Cantigi dan Kandanghaur didominasi oleh kelas
kerentanan sangat rentan. Daerah tersebut merupakan daerah budidaya tambak
yang berasal dari konversi hutan mangrove. Kecamatan Losarang, Krangkeng,
Balongan, Kandanghaur, Cantigi dan Indramayu merupakan daerah yang masih
memiliki daerah dengan kategori sangat tidak rentan.
5.2. Saran
Geomorfologi, elevasi, perubahan garis pantai, pasang surut, tinggi
gelombang dan kenaikan paras laut merupakan komponen utama untuk
menganalisa kerentanan pesisir untuk skala global, tetapi perlu dilakukan
perkiraan kerentanan pesisir untuk skala yang lebih detail karena parameter
seperti tinggi gelombang dan perubahan garis pantai yang digunakan pada
penelitian ini kurang signifikan apabila digunakan pada skala besar.
Penambahan parameter yang turut berpengaruh terhadap kerentanan (seperti
kepadatan penduduk dan sumber pendapatan) juga perlu dilakukan untuk kajian
PEMETAAN KERENTANAN PESISIR TERHADAP
KENAIKAN PARAS LAUT DI WILAYAH PESISIR
KABUPATEN INDRAMAYU, JAWA BARAT
DANIEL JANUAR PRAKARSA HARANITA SIAHAAN
SKRIPSI
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:
PEMETAAN KERENTANAN PESISIR TERHADAP
KENAIKAN PARAS LAUT DI WILAYAH PESISIR
KABUPATEN INDRAMAYU, JAWA BARAT
adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir Skripsi ini.
Bogor, Juni 2012
SUMMARY
DANIEL JANUAR PRAKARSA HARANITA SIAHAAN. Mapping of Coastal Vulnerability Caused by Rising Sea Levels in the Coastal Area of
Indramayu, West Java. Supervised by JONSON LUMBAN GAOL and RISTI ENDRIANI ARHATIN.
Rising sea levels are on the rise in recent decades due to global warming, such as shown by scanning of multi-temporal satellite TOPEX/Poseidon from 1993 to 2010, about 3.2 mm/year. The impacts of rising sea levels mainly occur in coastal areas that have a low elevation because it can cause the puddle and erosion. Indramayu, in Java’s north coast region, currently experienced high level of abrasion, intrusion, and sedimentation, so that a study on the impact of global climate change on coastal Indramayu needs to be carried out. The purpose of this research is to map the locations in the coastal region of Indramayu that have the risk of vulnerabilities due to the increase of sea levels.
This research was carried out starting from August 2010 to September 2011 in Indramayu, West Java. Geographically, the location of the research was at 107 ° 54 ' 54,6 ''-108 ° 32 ' 25.1 '' E and 6 ° 13 ' 45,64 ''-6 ° 31 ' 5,35 '' S, with coverage area of 1.6 km from the coastline. Coastal Vulnerability Index used divided the six parameters, namely geomorphology, elevation, change the shoreline, tidal wave, and rate of increase in sea levels.
Based on the class parameter vulnerability of geomorphology, 16,37% of Indramayu coastal was found to be in the category of highly vulnerable, about 83.46% was in the category of vulnerable, and around 0.28% are included in the category of quite vulnerable. Elevation vulnerability classes showed about 68,67% belonged to the class of highly vulnerable, 27,08% belonged to the vulnerable class, and about 4.09% was in the category of quite vulnerable. Less than one percent of the Indramayu is included in the categories of not vulnerable and not very vulnerable. Parameter of changes in the shoreline showed that approximately 31,14% of Indramayu’s coastal is in the category of vulnerable while less than 1% belongs to the category are particularly vulnerable. Wave and tidal parameters indicated that coastal of Indramayu is in category of not very vulnerable, while increase in sea levels indicated the Indramayu belonged to the category of highly vulnerable.
RINGKASAN
DANIEL JANUAR PRAKARSA HARANITA SIAHAAN. Pemetaan Kerentanan Pesisir Terhadap Kenaikan Paras Laut di Wilayah Pesisir Kabupaten
Indramayu, Jawa Barat. Dibimbing oleh JONSON LUMBAN GAOL dan RISTI ENDRIANI ARHATIN.
Kenaikan paras laut yang terus meningkat dalam beberapa dekade belakangan ini terjadi akibat pemanasan global seperti hasil pemindaian multitemporal satelit TOPEX/Poseidon dari 1993 hingga 2010 sekitar 3,2
mm/tahun. Dampak kenaikan paras laut terutama terjadi di wilayah pesisir yang memiliki elevasi rendah