• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Metode Pengamatan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Pembuatan Tepung Jagung

Jagung merupakan jenis serealia yang memiliki ukuran biji terbesar diantara jenis serealia lainnya. Selain itu, karakteristik biji jagung yang keras menyebabkan biji jagung lebih sulit diolah menjadi tepung. Penggilingan biji jagung menjadi tepung umumnya dilakukan dengan dua cara yaitu penggilingan kering dan penggilingan basah. Perbedaan kedua cara penggilingan ini terletak pada penggunaan air untuk mempermudah proses penggilingan. Menurut Suprapto (1998), penggilingan kering (dry process) umumnya dilakukan dalam skala besar.

Jagung Srikandi yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan tepung merupakan jagung QPM (Quality Protein Maize). Jagung ini dipilih karena kualitas proteinnya yang tinggi dan saat ini penanaman jagung ini sedang digalakkan oleh Departemen Pertanian. Jagung Srikandi memiliki bentuk biji mirip dengan jagung mutiara. Gambar jagung Srikandi dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Jagung varietas Srikandi

Pada prinsipnya, penggilingan biji jagung menjadi tepung merupakan proses untuk memisahkan endosperm dari bagian biji yang lain seperti lembaga, kulit (perikarp) dan tip cap (Hoseney, 1998). Endosperm merupakan bagian terbesar dari biji jagung. Kandungan kimia terbesar endosperm adalah

pati (karbohidrat) sehingga endosperm yang merupakan komponen utama dalam pembuatan tepung jagung dapat berfungsi sebagai sumber energi. Pemisahan kulit dan tip cap bertujuan agar tepung jagung yang dihasilkan tidak memiliki tekstur yang kasar, sedangkan pemisahan lembaga dilakukan agar tepung jagung yang dihasilkan tidak cepat tengik. Menurut Johnson (1991), bagian lembaga jagung memiliki kandungan lemak terbesar yaitu sebesar 33,2%. Untuk mempermudah penggilingan, biasanya dilakukan perendaman selama 6-12 jam pada jagung kering pipil untuk memperlunak tekstur jagung.

Pembuatan tepung jagung pada penelitian ini dilakukan dengan metode penggilingan kering. Metode yang digunakan berdasarkan pada metode penepungan jagung yang telah dilakukan oleh Juniawati (2003). Pada metode ini, penggilingan jagung dilakukan dua kali. Penggilingan pertama dilakukan dengan menggunakan multi mill (hammer mill). Prinsip kerja alat ini adalah gaya pukul yang diberikan oleh pin mesin pada sampel dengan kecepatan yang tinggi secara berulang. Hal ini akan menyebabkan biji jagung terbelah sehingga lebih mudah untuk memisahkan bagian – bagian biji jagung.

Proses penepungan jagung kemudian dilanjutkan dengan perendaman dan pencucian yang bertujuan untuk memisahkan bagian endosperm (grits jagung) dengan lembaga, kulit dan tip cap (degerminasi). Proses perendaman dan pencucian biji jagung ini merupakan tahapan proses yang disesuaikan dengan peralatan yang ada. Secara tidak langsung, proses degerminasi dengan menggunakan air lebih merugikan sebab meningkatkan biaya produksi. Untuk skala industri, proses degerminasi umumnya dilakukan dengan menggunakan hembusan angin. Lembaga dan kulit ari yang memiliki densitas lebih kecil dibandingkan grits (endosperma) akan terdorong oleh angin dan kemudian dihisap dan dipisahkan.

Grits jagung (endosperma) hasil pencucian dikeringkan secukupnya agar lebih mudah digiling kedalam bentuk tepung. Penggilingan kedua menggunakan discmill dilakukan untuk memperkecil ukuran grits jagung menjadi tepung. Mesin discmill terdiri atas feeder, cakram (dinamis dan statis) serta pin. Prinsip kerja discmill adalah gaya pukul antara pin pada cakram

dengan sampel. Pengayakan 80 mesh bertujuan untuk menyesuaikan ukuran tepung jagung dengan standar tepung yang ada yaitu sekitar 75 mesh.

Hasil penepungan jagung pipil kering dengan menggunakan metode Juniawati menunjukkan rendemen tepung jagung yang tidak terlalu besar (3- 5%). Besar kecilnya rendemen tepung jagung yang dihasilkan disebabkan oleh perbedaan jenis jagung yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan tepung jagung. Juniawati (2003) menggunakan jagung varietas Arjuna yang termasuk kategori semi mutiara sedangkan jagung Srikandi (QPM) termasuk dalam kategori jagung mutiara. Menurut Hoseney (1998), jagung mutiara memiliki kandungan endosperma keras yang lebih banyak dibandingkan jenis jagung lain sehingga akan lebih sulit dijadikan tepung.

Untuk meningkatkan rendemen tepung jagung yang dihasilkan, perlu dilakukan modifikasi terhadap proses penggilingan biji jagung. Modifikasi proses dilakukan pada tahapan pengayakan tepung jagung menjadi 80 mesh. Menurut Rooney dan Sergio (2003), tepung yang dihasilkan dari jagung memiliki ukuran kurang dari 0,191 mm atau setara dengan 75 mesh. Sehingga modifikasi proses dengan pengayakan 80 mesh masih dapat menghasilkan tepung jagung dengan karakteristik yang ditentukan. Modifikasi proses yang dilakukan pada tahapan pengayakan dapat meningkatkan rendemen tepung jagung menjadi 40%.

Gambar 11 menunjukkan proses penepungan jagung yang dilengkapi dengan kesetimbangan massa pada setiap tahapan proses. Diagram alir kesetimbangan massa ini diperlukan untuk mengukur rendemen yang dihasilkan serta untuk melihat tahapan proses yang memiliki nilai penyusutan rendemen terbesar. Gambar 11 menunjukkan bahwa pengurangan massa terbesar terjadi pada saat proses pencucian yaitu sebesar 2,5 kg. Proses pencucian dan perendaman bertujuan untuk memisahkan grits (endosperm) dengan lembaga dan kulit serta memperlunak jaringan endosperm jagung agar lebih mudah digiling kedalam bentuk tepung. Lembaga, kulit ari dan tip cap memiliki berat sekitar 20% dari berat jagung kering pipil. Pemisahan ketiga bagian biji tersebut tentunya berpengaruh terhadap rendemen tepung jagung yang dihasilkan. Selain itu, penghilangan bagian – bagian biji selain

endosperm juga dapat mempengaruhi kandungan gizi tepung jagung yang dihasilkan.

Soraya (2006) melakukan proses penepungan jagung dengan metode penggilingan basah. Pada metode penggilingan basah, proses penepungan jagung dilakukan dengan menggunakan penggiling batu yang ditambahkan air secara kontinyu. Proses penepungan ini memang lebih aplikatif di masyarakat tetapi tepung jagung yang dihasilkan akan memiliki kadar air yang tinggi (sekitar 50%) sehingga lebih cepat rusak dan memiliki umur simpan yang pendek. Oleh karena itu, proses penepungan jagung untuk skala besar akan lebih efektif dilakukan dengan metode penggilingan kering dengan beberapa modifikasi proses tertentu khususnya tahapan proses degerminasi.

Gambar 11. Diagram kesetimbangan massa proses penepungan jagung

Jagung kering pipil (10 kg)

Penggilingan I (multimill) Tepung kasar (1,5 kg)

Pencucian, perendaman, dan pengeringan

Penggilingan II (discmill)

Tepung jagung 80 mesh (4 kg) Pengayakan (80 mesh)

Sebagian lembaga, tip cap

dan kulit ari (2,5 kg)

Tepung kasar dan sebagian lembaga (0,5 kg)

Endosperma keras (1,5 kg) Grits, lembaga, tip cap dan kulit ari (8,5 kg)

Grits / endosperma (6 kg)

2. Karakterisasi Bahan Baku a. Warna tepung jagung

Tepung jagung yang dihasilkan memiliki warna putih kekuningan (Gambar 10). Secara kuantitatif, warna tepung jagung diukur menggunakan kromameter dengan menggunakan metode Hunter (Hutching, 1999). Pengukuran warna tepung jagung menggunakan metode ini akan memberikan tiga parameter pengukuran yaitu nilai L, a, dan b. Nilai L menunjukkan tingkat kecerahan sampel, semakin cerah sampel yang diukur maka nilai L akan mendekati 100. Sebaliknya semakin gelap sampel akan menunjukkan nilai L yang mendekati 0.

Gambar 12. Tepung jagung varietas Srikandi (80 mesh)

Nilai a dan nilai b merupakan parameter pengukuran warna kromatik. Nilai a merupakan parameter pengukuran warna kromatik campuran merah hijau. Bila nilai a positif menunjukkan bahwa sampel cenderung berwarna merah sebaliknya bila nilai a bernilai negatif maka sampel cenderung berwarna hijau. Sama halnya dengan pengukuran nilai a, nilai b merupakan parameter pengukuran warna kromatik campuran biru kuning. Bila nilai b positif menunjukkan bahwa sampel berwarna kuning dan sebaliknya bila nilai b bernilai negatif maka sampel berwarna biru.

Tabel 9 menunjukkan bahwa tepung jagung varietas Srikandi memiliki nilai rata-rata L, a, dan b berturut-turut sebesar 62,30; 2,98; dan 7,89. Data pengukuran warna tepung jagung menunjukkan bahwa tepung jagung yang digunakan sebagai bahan baku mi basah memiliki

karakteristik cerah dan berwarna merah kekuningan. Hal ini diakibatkan oleh kandungan pigmen karotenoid pada biji jagung (Johnson, 1991).

Tabel 9. Hasil pengukuran warna tepung jagung

Ulangan Pengukuran L a b 1 1 63,61 +2,99 +7,84 2 63,62 +2,96 +7,85 3 63,62 +2,94 +7,86 2 1 62,99 +2,99 +7,92 2 62,97 +3,00 +7,93 3 62,98 +3,00 +7,93 Rata-rata 62,30 +2,98 +7,89

Warna kuning pada tepung jagung tentunya akan berpengaruh terhadap warna mi yang dihasilkan. Lebih lanjut warna kuning pada tepung jagung juga menunjukkan karakteristik khas dari mi yang dihasilkan. Fadlillah (2005) menyatakan bahwa mi jagung yang berwarna kuning merupakan keunggulan mi jagung dibandingkan mi terigu mengingat tidak diperlukan lagi bahan tambahan pewarna untuk menghasilkan mi matang yang berwarna kuning. Warna kuning pada mi basah jagung disebabkan oleh pigmen xantofil yang terdapat pada biji jagung (Inglett, 1970). Xantofil termasuk dalam pigmen karotenoid yang memiliki gugus hidroksil (Winarno, 1997).

b. Suhu gelatinisasi dan viskositas tepung jagung (Brabender Amylograf) Uji amilograf dilakukan untuk mengukur tingkat gelatinisasi. Tiga parameter penting yang diukur dalam uji amilograf adalah suhu awal gelatinisasi, suhu puncak gelatinisasi dan viskositas maksimum. Suhu awal gelatinisasi yaitu suhu pada saat kurva mulai menaik sedangkan suhu puncak gelatinisasi diukur pada saat puncak maksimum viskositas tercapai. Nilai viskositas maksimum yang dihasilkan pada pengukuran ini dinyatakan dalam Brabender Unit (BU).

Suhu awal gelatinisasi ditentukan berdasarkan perhitungan hasil konversi waktu yang dibutuhkan pada saat kurva mulai naik dikalikan dengan kenaikan suhu (1,50C/menit) kemudian ditambahkan dengan suhu

awal yang digunakan pada saat pengukuran. Sedangkan suhu puncak gelatinisasi ditentukan berdasarkan perhitungan hasil konversi waktu yang dibutuhkan pada saat kenaikan kurva mencapai maksimum dikalikan dengan kenaikan suhu (1,50C/menit) kemudian ditambahkan dengan suhu awal yang digunakan pada saat pengukuran. Suhu awal yang digunakan pada saat pengukuran adalah 300C. Kurva amilogram menunjukkan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suhu awal dan suhu puncak gelatinisasi pada ulangan pertama berturut-turut adalah 28 dan 42 menit sedangkan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suhu awal dan suhu puncak gelatinisasi pada ulangan kedua berturut-turut adalah 29 dan 43 menit.

Uji amilograf dilakukan terhadap sampel tepung jagung yang telah diayak 80 mesh. Sampel ditimbang sebanyak 45 gram dan dilarutkan dalam 450 ml air aquades. Suhu awal pemanasan diatur pada suhu 30oC sedangkan suhu akhir 97oC. Hasil uji berupa kurva amilogram dapat dilihat pada Lampiran 1 dan Lampiran 2, sedangkan data pengukuran parameter amilograf dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Hasil uji amilograf tepung jagung

Ulangan SAG (oC) SPG (oC) Viskositas Maksimum (BU)

1 72,0 93,0 600

2 73,5 94,5 615

Rata-rata 72,75 93,75 607,5

Keterangan :

SAG : Suhu awal gelatinisasi SPG : Suhu puncak gelatinisasi BU : Barbender Unit

Data pada Tabel 10 menunjukkan bahwa suhu awal gelatinisasi tepung jagung yaitu 72 oC untuk ulangan pertama dan 73,5 oC untuk ulangan kedua. Hal ini menunjukkan bahwa pemanasan tepung jagung pada kisaran suhu 72 oC hingga 73,5 oC sudah cukup untuk memulai proses gelatinisasi. Suhu awal gelatinisasi ditandai dengan mulai menaiknya kurva pada amilogram yang awalnya berbentuk garis mendatar.

Nilai suhu gelatinisasi tepung jagung berada diatas kisaran suhu gelatinisasi pati jagung yaitu antara 61 oC hingga 72 oC (Fennema, 1985). Tepung jagung memiliki komposisi yang lebih lengkap dibandingkan dengan pati jagung termasuk kandungan protein dan lemak. Menurut Lorenz dan Karel (1991), protein dan lemak pada bahan pangan dapat membentuk lapisan yang melingkupi pati sehingga membutuhkan lebih banyak energi untuk menggelatinisasi pati. Hal ini tentu akan berdampak pada peningkatan suhu gelatinisasi.

Pemanasan yang terus diberikan pada suspensi tepung dengan air akan menyebabkan peningkatan viskositas suspensi. Hal ini ditunjukkan dengan kurva yang menaik. Peningkatan viskositas terjadi karena granula pati mengembang akibat menyerap air (pasting). Pemanasan terus dilanjutkan hingga suhu 97 oC dan pada suatu titik tertentu akan terjadi penurunan viskositas secara drastis yang disebabkan oleh lepasnya molekul amilosa dari pati. Fenomena ini disebut dengan shear thinning (Hoseney, 1998).

Hasil uji amilograf menunjukkan bahwa suhu puncak gelatinisasi tepung jagung sebesar 93 oC pada ulangan pertama dan sebesar 94,5 oC pada ulangan kedua. Nilai suhu puncak gelatinisasi rata-rata tepung jagung berada pada suhu 93,75 oC dengan nilai viskositas maksimum rata-rata sebesar 607,5 BU.

c. Karakteristik kimia tepung jagung

Pengujian terhadap karakteristik kimia dilakukan untuk mengetahui nilai kandungan gizi tepung jagung sebagai bahan baku utama dalam pembuatan mi basah. Sifat kimia tepung jagung yang diuji meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat dan kadar amilosa. Komposisi kimia tepung jagung dapat dilihat pada Tabel 11.

Hasil analisis proksimat pada Tabel 11menunjukkan bahwa tepung jagung yang dihasilkan masih memiliki kandungan protein yang cukup

tinggi (6,52%) dan rendah akan lemak (1,03%). Kandungan lemak yang rendah disebabkan adanya proses degerminasi (pemisahan lembaga) pada waktu proses penepungan. Lembaga merupakan bagian biji jagung yang kaya akan lemak sehingga akan menyebabkan tepung jagung cepat menjadi tengik bila tidak dipisahkan.

Tabel 11. Karakteristik kimia tepung jagung varietas Srikandi

Parameter Tepung Jagung Tepung jagunga Jagung Srikandi* (kering panen) Kadar air (%) 8,70 10,9 9,86 Kadar abu (%) 0,33 0,4 1,61 Kadar protein (%) 6,52 5,8 10,50 Kadar lemak (%) 1,03 0,9 5,67 Kadar karbohidrat (%) (by difference) 83,42 82,0 72,36 Kadar amilosa (%) 29,52 - - Keterangan : a : Juniawati (2003)

* Jagung Srikandi kering panen didapatkan dari Balai Penelitian Biotropika, Cimanggu, Bogor.

Jagung yang digunakan pada penelitian ini merupakan jagung Quality Protein Maize (QPM). Menurut Balitbang Pertanian (2005), jagung Srikandi yang termasuk kedalam jenis jagung QPM memiliki kandungan protein lebih dari 10%. Meskipun demikian, kandungan protein yang dikandung oleh tepung jagung pada penelitian ini menunjukkan nilai yang lebih kecil dari 10% (6,52%) tetapi lebih besar dibandingkan kandungan protein pada tepung jagung Juniawati (2003). Jumlah kandungan protein tepung jagung yang lebih rendah dibandingkan jagung kering panen dapat disebabkan adanya kehilangan sebagian komponen

pada saat proses penepungan. Gambar 11 (diagram kesetimbangan massa) menunjukkan bahwa bagian lembaga, kulit dan tip cap biji jagung sengaja dipisahkan dari tepung jagung. Padahal bagian – bagian biji jagung tersebut berpengaruh terhadp kandungan gizi biji jagung secara keseluruhan. Menurut Johnson (1991), bagian lembaga biji jagung dapat mengandung protein hingga 18,4%. Sehingga pemisahan lembaga dalam proses penepungan jagung akan mempengaruhi kandungan protein pada tepung jagung yang dihasilkan.

Kandungan amilosa tepung jagung sebesar 29,52% (b.k). Nilai ini lebih tinggi dibandingkan data kadar amilosa jagung seperti yang diungkapkan oleh Bellitz dan Grosch (1999). Menurut Bellitz dan Grosch (1999), kandungan amilosa pada jagung sebesar 28%. Perbedaan nilai amilosa dapat disebabkan oleh perbedaan varietas jagung. Kandungan amilosa yang cukup tinggi merupakan salah satu hal yang diharapkan dalam pembuatan mi non-terigu karena dapat memiliki daya ikat yang lebih kuat (Kim et al., 1996).

3. Kajian Pembuatan Mi Basah Jagung

Mi basah berbahan baku tepung jagung merupakan produk baru yang dikembangkan dalam rangka diversifikasi pangan. Prinsip pembuatan mi basah berbahan baku tepung jagung pada dasarnya sama dengan pembuatan mi basah berbasis terigu. Namun, tepung jagung tidak memiliki protein gluten seperti halnya terigu yang mampu membentuk adonan yang lengket dan elastis dengan penambahan air. Oleh karena itu, dalam proses pembuatan mi basah dari tepung jagung diperlukan adanya proses pengukusan untuk membentuk massa adonan yang lunak, kohesif, elastis tetapi tidak lengket sehingga adonan dapat dicetak dalam bentuk lembaran mi.

a. Desain Proses Mi Basah Jagung

Proses pembuatan mi basah dari tepung jagung terdiri atas pencampuran bahan-bahan, pengukusan, pengulian, pencetakan (pressing,

slitting, dan cutting) dan perebusan. Proses pencampuran merupakan tahapan untuk menghomogenkan bahan-bahan dalam pembuatan mi. Selain itu, proses pencampuran bertujuan untuk meratakan distribusi air ke dalam tepung sehingga adonan tidak membentuk gumpalan. Keseragaman distribusi partikel mempengaruhi waktu penetrasi air ke dalam granula pati.

Proses pengukusan bertujuan untuk membentuk pati tergelatinisasi yang akan berperan sebagai zat pengikat dalam proses pembentukan lembaran mi. Apabila tidak dilakukan pengukusan maka adonan yang terbentuk tidak dapat dicetak menjadi mi. Hal ini disebabkan protein total endosperm dalam jagung sebagian besar terdiri atas zein dan glutelin sedangkan protein total endosperm dalam gandum sebagian besar terdiri atas gliadin dan glutenin yang merupakan jenis protein yang mempunyai sifat mampu membentuk massa yang elastic-cohesive dengan penambahan air. Walaupun demikian, proses pengukusan hanya bertujuan agar tepung mengalami gelatinisasi sebagian (pregelatinisasi). Bila tepung telah mengalami gelatinisasi sempurna maka adonan yang dihasilkan akan menjadi lengket.

Gambar 13 menunjukkan adonan tepung setelah pengukusan. Bila dibandingkan dengan adonan tepung sebelum pengukusan (Gambar 12) terlihat bahwa adonan tepung setelah pengukusan berukuran relatif lebih besar. Hal ini dapat disebabkan oleh masuknya air kedalam granula pati yang berakibat pembengkakan pati (starch swelling). Menurut Eliasson dan Gudmundsson (1996) pembengkakan pati (swelling) merupakan salah satu tahapan yang terjadi dalam proses gelatinisasi pati. Proses gelatinisasi diawali dengan pengembangan granula pati karena molekul-molekul air berpenetrasi ke dalam granula dan terperangkap pada susunan molekul amilosa dan amilopektin. Pengembangan granula pati akan berpengaruh terhadap massa adonan. Dalam pembuatan mi basah jagung, proses pengukusan merupakan tahapan yang paling kritis karena tahap ini akan mempengaruhi jumlah pati tergelatinisasi yang akan berperan sebagai zat pengikat adonan.

Gambar 13. Adonan tepung setelah pengukusan

Proses pencetakan merupakan tahapan yang dilakukan untuk membentuk untaian-untaian mi dengan karakter yang diinginkan. Beberapa karakter mi yang diinginkan antara lain : memiliki ukuran diameter 1,5 mm; tidak lengket; tidak ada noda dan seragam. Proses pencetakan ini terdiri atas tiga tahap yaitu pembentukan lembaran adonan tepung jagung yang telah dikukus, pembentukan dan pemotongan untaian mi. Ketiga proses ini biasanya dilakukan dalam satu alat.

Dalam rangka penggandaan skala, tahapan yang perlu diperhatikan pada saat proses pencetakan adalah proses pembentukan lembaran. Pembuatan mi basah dalam skala yang lebih besar tentunya menggunakan proses yang kontinyu sehingga perlu ada standar operasi yang teratur. Dalam penelitian ini, proses pembentukan lembaran untuk mencapai tingkat ketebalan lembaran mi yang diinginkan masih kurang seragam. Oleh karena itu, diperlukan suatu tahapan proses yang dapat membantu proses pembentukan lembaran mi. Tahapan tersebut adalah proses pengulian adonan setelah pengukusan. Proses pengulian adonan akan memeratakan air ke dalam seluruh adonan sehingga adonan akan lebih mudah dibentuk.

Gambar 14. Proses pencetakan lembaran mi

Adonan setelah pengukusan akan masuk ke dalam roll press yang akan mengubah adonan menjadi bentuk lembaran-lembaran (Gambar 14). Saat pengepresan, adonan akan ditarik ke satu arah sehingga seratnya sejajar. Hal ini akan mengakibatkan meningkatnya kehalusan, kekenyalan dan elastisitas mie (Fadlillah, 2005). Adonan dapat ditekan berulang-ulang dan menghasilkan ketebalan yang diinginkan. Menurut Hou dan Kruk (1998) untaian mi basah memiliki ukuran diameter 1,5 mm. Lembaran yang tipis selanjutnya masuk ke mesin pencetak mie (slitter) yang berfungsi mencetak lembaran mie menjadi untaian mie (Gambar 15). Kemudian untaian mi yang terbentuk dipotong sesuai dengan panjang yang diinginkan (cutting). Tahapan ini akan menghasilkan mi mentah. Mi mentah yang dihasilkan dapat ditaburi dengan tepung untuk menjaga kelembaban mi sehingga tidak cepat menjadi kering.

Gambar 15. Proses pencetakan untaian mi

Untaian mi yang sudah diperoleh harus segera dimatangkan dengan cara perebusan. Penundaan perebusan dapat menyebabkan untaian mi menjadi keras dan kering akibat dari proses retrogradasi. Retrogradasi merupakan istilah bagi perubahan kondisi larutan pati dari terdisosiasi menjadi terasosiasi selama proses pendinginan yang menyebabkan penurunan kelarutan molekul pati. Perebusan merupakan proses yang bertujuan untuk mematangkan mi mentah. Selama perebusan, mi mentah akan mengalami proses gelatinisasi sempurna sehingga tekstur mi akan menjadi lebih lunak, kenyal dan elastis. Menurut Hou dan Kruk (1998), proses perebusan biasanya dilakukan antara 45-90 detik. Mi yang telah direbus, direndam dengan air dingin selama sepuluh detik. Perendaman ini diperlukan untuk mengurangi kelengketan antar untaian mi. Mi matang kemudian dilapisi dengan minyak goreng (vegetable oil) sebanyak 1-2% (dari berat mi matang) untuk mencegah kelengketan antar untaian mi.

b. Penentuan Formula Mi Basah Jagung

Tahapan ini merupakan penentuan formula dasar yang akan dioptimasi dalam pembuatan mi jagung basah. Formula yang dijadikan dasar pembuatan mi basah diambil dari penelitian yang dilakukan oleh Juniawati (2003). Secara garis besar, kesempurnaan gelatinisasi pati dipengaruhi oleh kadar air dan suhu proses (Muchtadi et al., 1988). Berdasarkan teori ini maka tahapan pertama yang dilakukan dalam

penelitian ini adalah mengetahui jumlah penambahan air yang diperlukan untuk mencapai tingkat gelatinisasi tertentu tanpa membuat adonan menjadi lengket.

Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan mi jagung basah adalah tepung jagung, air, garam 1% dan baking powder 0,3%. Garam digunakan sebagai komponen pemberi rasa, memperkuat tekstur, mengikat air, meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas mi (Budiyah, 2005). Selain itu, garam dapur dapat menghambat aktivitas enzim protease dan amilase sehingga adonan tidak bersifat lengket dan tidak mengembang secara berlebihan (Astawan, 2002). Baking powder merupakan Na2CO3:K2CO3 (2:1) mix. Baking powder dapat memperhalus tekstur mi yang dihasilkan. Untuk keseragaman, tepung jagung yang digunakan dalam setiap adonan sebanyak 100 gram. Penambahan air dilakukan mulai dari 20% hingga 60% terhadap berat tepung jagung. Sebagai pembanding digunakan penambahan air 75% dan 100% (dari berat tepung jagung) yang merupakan formula Juniawati (2003). Lama pengukusan untuk membentuk adonan yang kohesif-elastis adalah 10 menit. Penentuan waktu pengukusan ini merupakan verifikasi terhadap formula Juniawati.

Penambahan air dengan jumlah yang berbeda pada tepung jagung akan menyebabkan adonan tepung memiliki tingkat kekentalan yang berbeda pula. Namun, untuk setiap penambahan air mulai dari 20% hingga 100% (terhadap berat tepung) belum dapat dihasilkan massa adonan yang dapat dicetak dalam bentuk lembaran mi. Proses pengukusan akan menyebabkan suspensi tepung dengan air yang ditambahkan mengalami proses gelatinisasi. Pada saat gelatinisasi, granula pati tepung jagung akan mengembang karena molekul-molekul air berpenetrasi masuk ke dalam granula pati dan terperangkap pada susunan molekul-molekul amilosa dan amilopektin. Pati yang telah tergelatinisasi mampu bertindak sebagai zat pengikat sehingga adonan tepung jagung dapat dibentuk menjadi lembaran mi.

Pengukuran karakteristik mi basah untuk menentukan formula terpilih berdasarkan jumlah air yang ditambahkan dilakukan secara visual

yang meliputi kemudahan adonan untuk dibentuk menjadi mi (sifat adonan), keseragaman pembentukan untaian mi dan keseragaman kematangan mi setelah perebusan. Menurut Hou dan Kruk (1998), evaluasi karakteristik mi umumnya dititikberatkan pada tiga hal pokok yaitu proses

Dokumen terkait