• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHUULUAN

F. Tinjauan Kepustakaan

5. Pembuktian Dan Alat Bukti Yang Sah Menurut Hukum

acara pidana (formeel strafrecht/strafprocesrecht) pada khususnya, aspek

“pembuktian” memegang peranan menentukan untuk menyatakan kesalahan seseorang sehingga dijatuhkan pidana oleh hakim.51

Dikaji secara umum, “pembuktian” berasal dari kata “bukti” yang berarti suatu hal (peristiwa dan sebagainya) yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran suatu hal (peristiwa tersebut).52 Membuktikan sama dengan memberi (memperlihatkan) bukti, melakukan sesuatu sebagai kebenaran, melaksanakan,

49 Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Op.cit, hlm. 107

50 Tongat, Hukum Pidana Materil: Tinjauan atas Tindak Pidana Terhadap Subyek Hukum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta, Djambatan, 2003), hlm. 5

51 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana : Normatif, Teoretis, Praktik, dan Permasalahannya, (Bandung, P.T. Alumni, 2007), hlm. 158

52 Ibid, hlm. 159

60

menandakan, menyaksikan, dan meyakinkan.53 Martiman Prodjohamidjojo dalam Aristo M.A. Pangaribuan, dkk54 berpendapat bahwa proses pembuktian atau membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas suatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut. Selain itu Darwan Prinst dalam Aristo M.A. Pangaribuan, dkk55 berpendapat bahwa pembuktian mengandung arti bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus mempertanggungjawabkannya.

Pasal 6 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa

“Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.”

Dari bunyi pasal yang telah diuraikan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa keberadaan alat bukti merupakan syarat mutlak dalam menyatakan terbukti atau tidak terbuktinya suatu tindak pidana yang didakwakan terhadap seseorang.

Pengertian mengenai alat bukti tidak dinyatakan secara jelas di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, namun terdapat beberapa pengertian dari “alat bukti” yang dikemukakan para ahli, yaitu:

a) Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan

53 Ibid.

54 Aristo M.A. Pangaribuan dkk, Pengantar Hukum Acara Pidana Di Indonesia, (Depok, Rajawali Pers, 2018), hlm. 273

55 Ibid.

61

sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.56 b) Andi Hamzah menyatakan alat-alat bukti ialah upaya pembuktian melalui

alat-alat yang diperkenrankan untuk dipakai membuktikan dalil-dalil atau dalam pidana perkara dakwaan di siding pengadilann misalnya keterangan terdakwa, kesaksian, keterangan ahli, surat dan petunjuk, dalam perkara pidana termasuk persangkaan dan sumpah.57

c) Sudarsono mengatakan “alat bukti adalah apa saja yang menurut undang-undang dapat dipakai untuk membuktikan sesuatu, maksudnya segala sesuatu yang menurut undang-undang dapat dipakai untuk membuktikan benar atau tidaknya suatu tuduhan/ gugatan.”58

Alat bukti yang sah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 184 Ayat (1) adalah:

a) Keterangan saksi

Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.59 Dari rumusan pasal di atas dapat dilihat bahwa keterangan atau kesaksian yang diberikan oleh seseorang dari apa yang ia dengar dari keterangan orang lain (testimonium de auditu) seharusnya tidak dapat dikatakan sebagai keterangan

56 Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana (Surabaya, Mandar Maju, 2003), hlm. 11

57 Bambang waluyo, Sistem Pembuktian Dalam Peradilan Indonesia, (Jakarta, Sinar Grafika, Jakarta, 1996), hlm. 2

58 Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta, PT. Rineka Cipta, 2007), hlm. 28

59 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 Angka 27

62

saksi, namun Mahkamah Konstitusi dalam putusannya No. 65/PUU-VIII/2010 hakim memutuskan bahwa pengertian saksi dan keterangan saksi yang ada dalam Pasal 1 angka 26 dan angka 27 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang pengertian saksi dalam Pasal 1 angka 26 tidak dimaknai termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri” dan pasal 1 angka 27 tidak dimaknai termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”

sehingga dapat kita lihat bahwa keterangan seseorang yang diberikan berdasarkan apa yang ia dengar dari orang lain (testimonium de auditu) juga dapat digolongkan sebagai keterangan saksi.

Perlu diketahui secara umum terdapat 2 (dua) jenis saksi, yaitu saksi a charge yaitu saksi yang membuktikan dakwaan penuntut umum (saksi yang memberatkan terdakwa), serta saksi a de charge yakni saksi dari terdakwa yang berfungsi untuk membela terdakwa atau mematahkan dakwaan penuntut umum (saksi yang meringankan terdakwa).60

Selain itu terdapat pula jenis saksi yang masih menjadi perdebatan hingga saat ini yaitu saksi mahkota. Saksi mahkota adalah terdakwa dalam hal ikut serta (medeplegen) perkaranya dipisah (splitsing) dan kemudian bergantian menjadi

60 Aristo M.A. Pangaribuan dkk, Op.cit, hlm. 299

63

saksi.61 Praktik pengambilan yang kesaksian demikian menurut Andi Hamzah adalah kekeliruan besar karena bertentangan dengan larangan self-incrimination.62 Terdapat dua syarat yang harus dipenuhi agar keterangan saksi dapat digunakan sebagai alat bukti, yaitu:63

a. Syarat Formil

Bahwa keterangan saksi hanya dapat dianggap sah apabila diberikan memenuhi syarat formil, yaitu saksi yang memberikan keterangan di bawah sumpah, sehingga keterangan saksi yang tidak disumpah hanya boleh digunakan sebagai penambahan penyaksian yang sah lainnya.

b. Syarat Materiel

Bahwa keterangan seorang atau satu saksi tidak dapat dianggap sah sebagai alat pembuktian (unus testis nulus testis) karena tidak memenuhi syarat materiel, akan tetapi keterangan seorang atau satu orang saksi adalah cukup untuk alat pembuktian salah satu unsur kejahatan yang dituduhkan. Namun terdapat pengecualian mengenai keabsahan seorang atau satu orang saksi di dalam Pasal 185 ayat (3) KUHAP yang menyebutkan bahwa “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.

b) Keterangan ahli;

61 Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1985), hlm. 271 dalam Aristo M.A. Pangaribuan dkk, Op.cit, hlm. 307-308

62 Ibid.

63 Andi Sofyan dan Abdul Asis, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, (Jakarta, Prenadamedia Group, 2014), hlm. 239

64

Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.64

c) Surat;

Alat bukti surat diatur di dalam Pasal 187 KUHAP. Surat yang dimaksud dalam Pasal 187 KUHAP mencakup:

a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, di lihat atau yang di alaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu.

b. Surat keterangan yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yangt ermasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggungjawabnya dan diperuntukkan bagi pembuktian.

c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal yang atau suatu keadaan yang diminta secara resmi padanya.

d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

d) Petunjuk;

64 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 Angka 28

65

Pasal 188 Ayat (1) KUHAP Menyebutkan “Petunjuk adalah perbuatan, kejadian, atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya”

Lebih lanjut diatur di dalam ayat (2) “Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari:

a. Keterangan saksi;

b. Surat;

c. Keterangan terdakwa.

Rumusan tentang pengertian alat bukti petunjuk dalam Pasal 188 ayat (1) dan ayat (2), maka unsur atau syarat alat bukti petunjuk adalah:65

a. adanya perbuatan, kejadian, dan keadaan yang bersesuaian;

b. ada 2 (dua) persesuaian, ialah:

1. Bersesuaian antara masing-masing perbuatan, kejadian, dan keadaan satu dengan yang lain, maupun

2. Bersesuaian antara perbuatan, kejadian, dan atau keadaan dengan tindak pidana yang didakwakan.

c. dengan adanya persesuaian yang demikian itu menandakan (menjadi suatu tanda) atau menunjukkan adanya dua hal in casu kejadian, ialah:

1. menunjukkan bahwa benar telah terjadi suatu tindak pidana, dan 2. menunjukkan siapa pembuatnya.

e) Keterangan terdakwa

65 Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung, Alumni, 2006), hlm. 74

66

Pengaturan mengenai keterangan terdakwa terdapat dalam Pasal 189-193 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mengartikan mengenai keterangan terdakwa yaitu: “keterangan terdakwa ialah apa yang didakwakan di siding tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketauhi sendiri atau alami sendiri.”

Keterangan terdakwa secaraa limitative diatur oleh Pasal 189 KUHAP, yang berbunyi :

1. Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di siding tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri;

2. Keterangan terdakwa yang diberikan di luar siding dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di siding, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal didakwakan kepadanya;

3. Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri;

4. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti lain.

Dokumen terkait