UNSUR KESENGAJAAN DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DAN PEMBUKTIANNYA DIKAITKAN DENGAN
YURISPRUDENSI NO. 1/Yur/Pid/2018
(Studi Putusan No. 6/Pid.Sus-Anak/2019/PN Psr Dan No.
683/Pid.B/2019/PN Sky) SKRIPSI
Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
OLEH:
ANDERSON PERUZZI SIMANJUNTAK NIM : 170200355
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2021
i KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang berkat limpahan rahmat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi guna memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dengan judul penelitian yaitu, “Unsur Kesengajaan Dalam Tindak Pidana Pembunuhan Dan Pembuktiannya Dikaitkan Dengan Yurisprudensi No.
1/Yur/Pid/2018 (Studi Putusan No. 6/Pid.Sus-Anak/2019/Pn Psr Dan No.
683/Pid.B/2019/Pn Sky)”. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak luput dari kekurangan dan ketidaksempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis mengharap kritik dan saran yang membangun agar dapat menghasilkan karya ilmiah yang lebih baik kedepannya.
Selama skripsi ini, penulis mendapat banyak dukungan, semangat, saran motivasi dan doa dari berbagai pihak. Terkhusus untuk kedua orangtua penulis, Ayah, Erwin Simanjuntak, dan Ibu, Asrida Sitohang. Terimakasih atas semua doa, dukungan, bimbingan, dan kasih sayang yang begitu besar dan tulus yang tidak dapat dinilai dengan apapun kepada penulis selama ini hingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar- besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Usu;
2. Bapak Prof. Dr. O.K Saidin, S.H., M.Hum., sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum USU;
ii
3. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum., sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Hukum USU;
4. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Hukum USU;
5. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum., sebagai Pelaksana Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU;
6. Ibu Nurmalawaty, S.H., M.Hum., sebagai Dosen Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, ilmu, dan saran bagi penulis dalam pengerjaan skripsi ini;
7. Ibu Rafiqoh Lubis, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, ilmu, kritik dan saran bagi penulis dalam skripsi ini;
8. Bapak Drs. Nazaruddin, S.H., M.A., selaku Dosen Pembimbing Akademik di Fakultas Hukum USU;
9. Seluruh Dosen dan staf pada Fakultas Hukum USU yang telah memberi banyak ilmu bagi penulis selama masa perkuliahan;
10. Untuk saudara penulis, Evlin Yosephin Natazza, Billy Groom Simanjutak, dan Naya Irene Simanjuntak. Terimakasih atas semua doa dan semangat kepada penulis selama ini. Semoga kita dapat sukses akan tujuan kita masing-masing dan menjadi anak yang berbakti dan berguna, bagi Bangsa dan Tanah Air.
11. Untuk teman baik penulis sejak awal perkuliahan, Rivaldo Kimbum, Jekson Brian, Johanes Diazvora, Theo Yose, Emil, Aldi Yoshua, dan Fathiya,
iii
Yolanda. Terimakasih atas semuanya selama kurang lebih 4 tahun masa perkuliahan ini. Semoga kita semua sukses dalam tujuan masing-masing, dan dapat berkumpul kembali sebagai seorang teman lama;
12. Untuk teman-teman penulis dalam Grup F 2017 dan teman-teman penulis stambuk 2017 lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
Terimakasih atas semua kenangan selama masa perkuliahan ini;
13. Untuk Eka Shintya, selaku teman sekaligus sahabat penulis yang senantiasa selalu mengingatkan dan memberikan motivasi kepada penulis agar mensegerakan penelitian dan berhasil dalam tujuan penulis. Terimakasih atas semua doa dan segala dukungan yang diberikan selama ini. Semoga kita sehat selalu dan apa yang kita impikan dapat tercapai.
14. Untuk Josua Sitorus, Pedro Sitanggang, Togap Nainggolan, Kevin Ondol, Andre Sumbayak, Budi Purba, Brata Purba, Adrian Liberson Siahaan, Moses Siringoringo, dan Habibi Siregar, selaku teman sepermainan dan teman baik yang selalu ada saat kapanpun, terimakasih atas segala dukungan dan hiburan selama kita bersama. Semoga kita semua dapat berhasil dalam tujuan masing-masing.
15. Untuk teman-teman penulis semasa SMA, James Ratur Sembiring, Ruth Debora Saragih, Handika Aritonang, Ruth Amel, Jelita Welly, Christoper Cilik, Goki Purba, Izhaq Mahendra, Dian Rotua Damanik, Dan Ahmad Syauqi. Terimakasih atas dukungan dan motivasi selama penulis menjalani perkuliahan. Semoga kita semua dapat berhasil dalam tujuan masing- masing.
iv
16. Untuk Henry Soaduon Simanjuntak selaku bapak tua penulis. Terimakasih atas segala doa dan semangat yang diberikan selama ini. Semoga kita diberi kesehatan dan umur yang panjang.
17. Untuk Tioneni Sigiro Dan Garry Fischer Simanjuntak selaku orang yang sangat berperan aktif dalam membantu penulis dalam segala hal.
Terimakasih atas segala perhatian dan doa yang diberikan selama ini.
Semoga kita semua diberkati oleh Tuhan dan dapat mencapai apa yang sudah direncanakan.
18. Untuk Bibik Kost Berdikari dan Bibik warung makan pasar 1 yang telah senantiasa memberikan makanan yang lezat dan telah membantu penulis apabila tidak ada uang untuk makan. Semoga rezekinya lancar dan kelak dapat bertemu kembali.
Akhir kata, Besar harapan penulisan semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas kebaikan dan Keikhlasan yang telah diberikan dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi siapapun yang membacanya dan dapat memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi perkembangan ilmu pengetahuan serta untuk menambah wawasan bagi setiap pembaca.
Medan, 15 Januari 2021 Penulis
ANDERSON PERUZZI SIMANJUNTAK
v ABSTRAKSI
Anderson Peruzzi Simanjuntak Nurmalawaty
Rafiqoh Lubis
Untuk menyatakan seseorang telah melakukan tindak pidana perlulah terlebih dahulu dibuktikan terpenuhi atau tidak nya seluruh unsur yang terdapat di dalam rumusan delik pidana. Tindak pidana pembunuhan dan tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan mati merupakan suatu tindak pidana yang memiliki unsur yang hampir serupa yang mana hanya terdapat perbedaan di Unsur
“dengan sengaja merampas nyawa orang lain”. Unsur ini dalam prakteknya sangatlah sulit untuk dibuktikan mengingat bahwa yang mengetahui maksud dan tujuan seseorang melakukan tindak pidana adalah dirinya sendiri. Permasalahan yang kerap terjadi adalah dalam beberapa kasus sering sekali seseorang yang merampas nyawa orang lain mengakui kalau dirinya tidak ada niat sama sekali untuk membunuh korban namun hanya menganiayanya. Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah bagaimana pembuktian unsur dengan sengaja dalam tindak pidana pembunuhan menurut Yurisprudensi Nomor 1/Yur/Pid/2018 sebagai salah satu sumber hukum pidana di Indonesia dan bagaimana penerapannya pada Putusan Pengadilan Negeri Nomor 6/Pid.Sus-Anak/2019/PN Psr dan Putusan Pengadilan Negeri Nomor 683/Pid.B/2019/PN Sky. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif melalui penelitian kepustakaan guna memperoleh data-data sekunder yang digunakan, meliputi bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang terkait dengan permasalahan. Keseluruhan data tersebut dikumpulkan dengan menggunakan metode pengumpulan data studi kepustakaan. Hasil penelitian disajikan dengan cara deskriptif guna memperoleh penjelasan dari masalah yang dibahas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan Yurisprudensi Nomor 1/Yur/Pid/2018 seseorang dapat dikatakan dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain apabila ia menggunakan alat seperti senjata tajam atau senjata api dan menyerang korban di bagian tubuh yang terdapat organ vital seperti kepala, dada, dan perut dan bagian tubuh lain yang seharusnya patut diketahuinya apabila diserang dengan menggunakan senajta tajam atau senjata api dapat menimbulkan kematian tanpa mempersoalkan apakah luka yang timbul pada bagian tubuh tersebut memang dilakukan dengan sengaja oleh pelaku.
Kata Kunci : Pembunuhan, Unsur Kesengajaan, Tindak Pidana
Mahasiswa Fakultas hukum USU
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
vi DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
ABSTRAKSI ... v
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL... ix
BAB I PENDAHUULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penulisan ... 8
D. Manfaat Penulisan ... 8
E. Keaslian Penulisan ... 8
F. Tinjauan Kepustakaan ... 10
1. Tindak Pidana Dan Unsur-Unsur Tindak Pidana ... 10
2. Yurisprudensi Sebagai Salah Satu Sumber Hukum Di Indonesia ... 19
3. Kesengajaan (Dolus) Sebagai Salah Satu Bentuk Kesalahan ... 21
4. Tindak Pidana Pembunuhan Sebagai Kejahatan Terhadap Nyawa ... 22
5. Pembuktian Dan Alat Bukti Yang Sah Menurut Hukum Acara Pidana ... 24
G. Metode Penelitian ... 31
F. Sistematika Penulisan ... 34
BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA.. 36
A. Tindak Pidana Pembunuhan Dengan Sengaja ... 36
1. Tindak Pidana Pembunuhan Pokok ... 36
2. Tindak Pidana Pembunuhan Yang Dikualifikasikan ... 37
3. Tindak Pidana Pembunuhan Berencana ... 40
vii
4. Tindak Pidana Pembunuhan Terhadap Anak ... 41
5. Tindak Pidana Pembunuhan Atas Permintaan Korban ... 42
6. Tindak Pidana Menghasut Untuk Bunuh Diri ... 43
7. Tindak Pidana Pengguguran Kandungan ... 44
B. Tindak Pidana Pembunuhan Dengan Tidak Sengaja ... 49
BAB III PEMBUKTIAN UNSUR DENGAN SENGAJA DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN MENURUT YURISPRUDENSI NOMOR 1/Yur/Pid/2018 ... 52
A. Kesengajaan Dalam Hukum Pidana ... 52
B. Pembuktian Unsur Dengan Sengaja Dalam Tindak Pidana Pembunuhan Menurut Yurisprudensi No. 1/Yur/Pid/2018 ... 58
BAB IV PENERAPAN YURISPRUDENSI NOMOR 1/Yur/Pid/2018 PADA PEMBUKTIAN UNSUR “DENGAN SENGAJA” DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Putusan No. 6/Pid.Sus-Anak/2019/PN Psr Dan No. 683/Pid.B/2019/PN Sky) ... 64
A. Yurispridensi Sebagai Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Perkara Pidana ... 64
B. Penerapan Yurisprudensi Nomor 1/Yur/Pid/2018 Pada Pembuktian Unsur Kesengajaan Dalam TIndak Pidana Pembunuhan (Studi Putusan No. 6/Pid.Sus-Anak/2019/PN Psr Dan No. 683/Pid.B/2019/PN Sky ... 66
1. Kasus Posisi Putusan No. 6/Pid.Sus-Anak/2019/PN Psr 66 a. Kronologis ... 66
b. Pasal Yang Didakwakan... 67
c. Tuntutan ... 68
d. Fakta Hukum ... 70
e. Pertimbangan Hakim ... 74
viii
f. Putusan ... 89
2. Kasus Posisi Putusan No. 683/Pid.B/2019/PN Sky ... 90
a. Kronologis ... 90
b. Pasal Yang Didakwakan... 93
c. Tuntutan ... 94
d. Fakta Hukum ... 95
e. Pertimbangan Hakim ... 99
f. Putusan ... 111
3. Analisis Kasus Putusan Nomor 6/Pid.Sus-Anak/2019/PN Psr Dan Putusan Nomor 683/Pid.B/2019/PN Sky ... 112
a. Analisis Kronologis ... 112
b. Analisis Dakwaan ... 115
c. Analisis Tuntutan ... 119
d. Analisis Fakta Hukum ... 121
e. Analisis Putusan ... 136
f. Analisis Pertimbangan Hakim ... 139
BAB V PENUTUP ... 147
A. Kesimpulan ... 147
B. Saran ... 148
DAFTAR PUSTAKA ... 150
ix DAFTAR TABEL
Tabel 1 Ringkasan Kronologi Kasus Putusan No. 6/Pid.Sus-Anak/2019/PN Psr Dan No. 683/Pid.B/2019/PN Sky ... 112 Tabel 2 Dakwaan Jaksa Dalam Kasus Putusan No. 6/Pid.Sus-Anak/2019/PN Psr Dan No. 683/Pid.B/2019/PN Sky ... 117 Tabel 3 Tuntutan Jaksa Dalam Kasus Putusan No. 6/Pid.Sus-Anak/2019/PN Psr
Dan No. 683/Pid.B/2019/PN Sky ... 119 Tabel 4 Fakta Hukum Dalam Kasus Putusan No. 6/Pid.Sus-Anak/2019/PN Psr
Dan No. 683/Pid.B/2019/PN Sky ... 121 Tabel 5 Putusan Majelis Hakim Dalam Kasus Putusan No. 6/Pid.Sus-
Anak/2019/PN Psr Dan No. 683/Pid.B/2019/PN Sky ... 136
36 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia adalah Negara hukum, berdasarkan Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD NRI 1945). Setiap orang yang berada di wilayah Indonesia harus tunduk pada hukum yang berlaku di Indonesia dan tidak ada seseorang yang dapat kebal terhadap hukum, dan segala perbuatan harus didasarkan dan memiliki konsekuensi sesuai dengan hukum dan perundang-undangan di Negara Republik Indonesia, yang bertujuan mewujudkan kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara yang tertib, sejahtera, dan berkeadilan dalam rangka mencapai tujuan Negara sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan UUD NRI 1945.
Hukum mempunyai suatu sistem pada asas-asas yang dikemukakan dan dikembangkan secara terperinci dengan perantaraan tulisan para ahli hukum, putusan pengadilan, dan himpunan hukum dalam suatu undang-undang.1 Kegunaan hukum dalam kejadian yang konkrit tidak hanya bersandaran kepada ketentuan hukum dalam undang-undang saja, karena undang-undang tidak dapat memuat kaidah terperinci untuk peristiwa apa yang akan terjadi, melainkan ia bersandaran juga pada premise umum untuk dasar pemikiran tentang apa yang seharusnya dan apa yang senyatanya menurut hukum yang dikembangkan oleh
1 Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, (Yogyakarta, Ghalia Indonesia, 1992), hlm. 15
37
para ahli hukum.2 Berhubung dengan itulah (peraturan perundang-undangan yang statis dan
masyarakat yang dinamis), maka hakim sering harus memperbaiki undang- undang itu agar sesuai dengan kenyataan-kenyataan yang hidup di masyarakat.3
Pada Hakekatnya Indonesia sebagai negara yang berorientasi pada sistem undang-undang (codified-law) dimana peraturan perundang-undangan sebagai basis legalitas hukum dalam tradisi Rechtstaats, memiliki keterbatasan tersendiri.
Peraturan perundang-undangan tidak pernah mengatur secara lengkap dan detail bagaimana pemenuhan aturan hukum dalam setiap peristiwa hukum, oleh karenanya yurisprudensi lah yang akan melengkapinya. Selain untuk mengisi kekosongan hukum, yurisprudensi merupakan instrumen hukum dalam rangka menjaga kepastian hukum. Diantara berbagai definisi yurisprudensi, salah satu definisi yang umum dipahami dari pengertian yurisprudensi adalah pengertian yang digunakan oleh Soebekti yang menyebutkan pengertian yurisprudensi sebagai putusan-putusan hakim atau pengadilan yang tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung (MA) sebagai pengadilan kasasi, atau putusan-putusan MA sendiri yang tetap.4
Menurut sifatnya hukum dapat dibedakan menjadi dua yakni hukum publik dan hukum privat. Hukum publik adalah hukum yang mengatur hubungan antara
2 Ibid.
3 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta, Balai Pustaka, 2002), hlm. 70
4 Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Peningkatan Yurisprudensi Sebagai Sumber Hukum, Penelitian Hukum, (Jakarta, Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1992), hlm. 8
38
negara dan perseorangan atau mengatur kepentingan umum, seperti hukum pidana.
Hukum pidana adalah hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan apa yang dilarang dan memberikan pidana kepada siapa yang melanggarnya serta mengatur bagaimana cara-cara mengajukan perkara ke muka pengadilan.5 Pengertian yang lain yakni bahwa Hukum pidana merupakan salah satu bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di masyarakat atau dalam suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan perbuatan- perbuatan mana yang dilarang yang disertai ancaman berupa nestapa atau penderitaan bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.6
Pada dasarnya semua hukum bertujuan untuk menciptakan suatu keadaan dalam pergaulan hidup bermasyarakat, baik dalam lingkungan yang kecil maupun dalam lingkungan yang lebih besar, agar di dalamnya terdapat suatu keserasian, suatu ketertiban, suatu kepastian hukum dan lain sebagainya, akan tetapi di dalam satu hal hukum pidana itu menunjukkan adanya suatu perbedaan dari hukum- hukum yang lain pada umumnya, yaitu bahwa di dalamnya orang mengenal suatu kesengajaan untuk memberikan suatu akibat hukum berupa suatu bijzondere leed atau suatu penderitaan yang bersifat khusus dalam bentuk suatu hukuman kepada mereka yang telah melakukan suatu pelanggaran terhadap keharusan-keharusan atau larangan-larangan yang telah ditentukan di dalamnya.7
5 Ibid, hlm. 47
6 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta, Rineka Cipta, 2008)), hlm. 1
7 P.A.F, Lamintang dan Fransiscus Theojunior Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Di Indonesia, (Jakarta, Sinar Grafika, 2016), hlm. 16-17
39
Di dalam suatu rumusan delik pidana terdapat unsur-unsur yang harus dipenuhi agar suatu perbuatan itu dapat dikategorikan sebagai tindak pidana atau tidak, Simons menyebutkan terdapat dua unsur yang terkandung dalam rumusan delik pidana, yakni unsur objektif dan unsur subjektif dari tindak pidana (Strafbaar feit)
Unsur Objektif:8 a) Perbuatan orang
b) Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu
c) Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti dalam Pasal 281 KUHP sifat openbaar atau “dimuka umum”
Unsur Subjektif:9
a) Orang yang mampu bertanggung jawab b) Adanya kesalahan (dolus atau culpa)
c) Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan.
Setiap unsur yang terkandung dalam rumusan delik pidana harus dapat dinyatakan terbukti dan terpenuhi baru dapat dikatakan suatu perbuatan itu merupakan tindak pidana, maka daripada itu unsur “adanya kesalahan” pada unsur subjektif haruslah terpenuhi. Berkaitan dalam asas hukum pidana yaitu Geen straf zonder schuld, actus non facit reum nisi mens sir rea, bahwa tidak dipidana jika tidak ada kesalahan, maka pengertian tindak pidana itu terpisah dengan yang dimaksud pertanggungjawaban tindak pidana. Tindak pidana hanyalah menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan itu dengan suatu pidana, kemudian apakah
8 Mulyati Pawennei Dan Rahmanuddin Tomalili, Hukum Pidana, (Jakarta, Mitra Wacana Media, 2015), hlm. 11
9 Ibid.
40
orang yang melakukan perbuatan itu juga dijatuhi pidana sebagaimana telah diancamkan akan sangat tergantung pada soal apakah dalam melakukan perbuatannya itu si pelaku juga mempunyai “kesalahan”. Dalam kebanyakan rumusan tindak pidana, unsur kesengajaan atau yang disebut dengan opzet merupakan salah satu unsur yang terpenting. Dalam kaitannya dengan unsur kesengajaan ini, maka apabila di dalam suatu rumusan tindak pidana terdapat perbuatan dengan sengaja atau biasa disebut dengan opzettelijk, maka unsur dengan sengaja ini menguasai atau meliputi semua unsur lain yang ditempatkan dibelakangnya dan harus dibuktikan. Namun dalam prakteknya terkadang terjadi kesulitan dalam membuktikan unsur “Adanya kesalahan” mengingat ia melekat di dalam diri pelaku dan hanya diketahui secara pasti oleh pelaku.
Sulitnya membuktikan “unsur kesalahan” ini menimbulkan suatu polemik hukum mengenai pasal mana yang harus diterapkan dalam suatu tindak pidana yang memiliki kemiripan dalam unsur-unsurnya seperti antara tindak pidana pembunuhan yang dirumuskan dalam Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan Penganiayaan yang mengakibatkan kematian sebagaimana diatur dalam Pasal 351 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Kedua perbuatan tersebut sama-sama mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang, namun terdapat unsur pembeda yaitu apakah pelaku berniat untuk membunuh atau hanya berniat untuk menganiaya.
Kesengajaan adalah salah satu unsur yang harus dipenuhi apabila ingin menyatakan bahwa seorang terdakwa telah terbukti melakukan pembunuhan.
Sengaja berarti juga adanya kehendak yang disadari yang ditujukan untuk
41
melakukan kejahatan tertentu. Maka berkaitan dengan pembuktian bahwa perbuatan yang dilakukannya itu dilakukan dengan sengaja, terkandung pengertian menghendaki dan mengetahui atau biasa disebut dengan willens en wetens. Yang dimaksudkan disini adalah seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja itu haruslah memenuhi rumusan willens atau haruslah menghendaki apa yang ia perbuat dan memenuhi unsur wettens atau haruslah mengetahui akibat dari apa yang ia perbuat. Dikaitkan dengan teori kehendak yang dirumuskan oleh Von Hippel maka dapat dikatakan bahwa yang dimaksudkan dengan sengaja adalah kehendak membuat suatu perbuatan dan kehendak untuk menimbulkan suatu akibat dari perbuatan itu atau akibat dari perbuatannya itu yang menjadi maksud dari dilakukannya perbuatan itu.10
Jika unsur kehendak atau menghendaki dan mengetahui dalam kaitannya dengan unsur kesengajaan tidak dapat dibuktikan dengan jelas secara materil karena memang maksud dan kehendak seseorang itu sulit untuk dibuktikan secara materil maka pembuktian adanya unsur kesengajaan dalam pelaku melakukan tindakan melanggar hukum sehingga perbuatannya itu dapat dipertanggungjawabkan kepada si pelaku seringkali hanya dikaitkan dengan keadaan serta tindakan si pelaku pada waktu ia melakukan perbuatan melanggar hukum yang dituduhkan kepadanya tersebut. Dalam beberapa kasus, dapat ditemukan keadaan dimana terdakwa mengaku hanya berniat untuk menganiaya dan tidak berniat menghilangkan nyawa korban, namun ternyata, serangan
10 Nefa Claudia Meliala, “Beberapa Catatan Mengenai Unsur Sengaja Dalam Hukum Pidana”,https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5ee99dda4a3d2/beberapa-catatan-mengenai- unsur-sengaja-dalam-hukum-pidana-oleh--nefa-claudia-meliala?page=2 Diakses pada tanggal 20 Maret 2021 Pukul 10.11 AM
42
terdakwa terhadap korban mengakibatkan korban meninggal dunia karena terdakwa menggunakan alat tertentu dan menyerang korban di bagian tubuh tertentu. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan hukum apakah terdakwa dapat dikatakan memiliki kesengajaan untuk menghilangkan nyawa korban.
Ketidakjelasan mengenai hal inilah yang kemudian banyak menimbulkan perbedaan-perbedaan atau disparitas putusan yang dijatuhkan oleh hakim dalam beberapa kasus yang identik, sehingga untuk menjawab pertanyaan hukum di atas, Mahkamah Agung mengeluarkan Yurisprudensi No. 1/Yur/Pid/2018 yang berfungsi sebagai pedoman bagi hakim dalam memutus perkara tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan yang mengakibatkan mati.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka perlulah kita mengkaji lebih jauh mengenai “UNSUR KESENGAJAAN DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DAN PEMBUKTIANNYA DIKAITKAN DENGAN YURISPRUDENSI NO. 1/Yur/Pid/2018 (Studi Putusan No.
6/Pid.Sus-Anak/2019/PN Psr Dan No. 683/Pid.B/2019/PN Sky)”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana pengaturan hukum mengenai tindak pidana pembunuhan di dalam hukum pidana Indonesia?
2. Bagaimana pembuktian unsur “dengan sengaja” dalam tindak pidana pembunuhan menurut Yurisprudensi Nomor 1/Yur/Pid/2018 ?
43
3. Bagaimana penerapan Yurisprudensi Nomor 1/Yur/Pid/2018 pada pembuktian unsur “dengan sengaja” dalam tindak pidana pembunuhan pada Putusan No.6/Pid.Sus-Anak/2019/PN Psr Dan No. 683/Pid.B/2019/PN Sky
?
C. Tujuan Penulisan
Dalam suatu penulisan haruslah terdapat tujuan dalam penulisan tersebut sehingga dapat memberikan arah dan jawaban atas permasalahan yang ada dalam penulisan tersebut. Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengaturan hukum terhadap tindak pidana pembunuhan dalam hukum pidana Indonesia
2. Untuk mengetahui Bagaimana pembuktian unsur “dengan sengaja” dalam tindak pidana pembunuhan menurut Yurisprudensi Nomor 1/Yur/Pid/2018 3. Untuk mengetahui penerapan Yurisprudensi Nomor 1/Yur/Pid/2018 pada
pembuktian unsur “dengan sengaja” dalam tindak pidana pembunuhan pada Putusan No.6/Pid.Sus-Anak/2019/PN Psr Dan No. 683/Pid.B/2019/PN Sky
D. Manfaat Penulisan
1. Secara teoritis, dengan adanya penulisan skripsi ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang ilmu hukum secara umum, dan pengetahuan tentang tindak pidana pembunuhan dan pembuktian unsur
“dengan sengaja” dalam tindak pidana pembunuhan
2. Secara praktis dengan penelitian ini dapat membantu menangani masalah dalam membuktikan unsur “dengan sengaja” dalam tindak pidana pembunuhan.
44 E. Keaslian Penulisan
Dalam Skripsi “Unsur Kesengajaan Dalam Tindak Pidana Pembunuhan Dan Pembuktiannya Dikaitkan Dengan Yurisprudensi No. 1/Yur/Pid/2018 (Studi Putusan No. 6/Pid.Sus-Anak/2019/Pn Psr Dan No. 683/Pid.B/2019/Pn Sky” ini, sepengetahuan penulis meyakini skripsi ini belum pernah ditulis oleh siapapun di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Apabila di kemudian hari terdapat judul dan objek pembahasan yang sama sebelum tulisan ini dibuat makan penulis mampu untuk mempertanggungjawabkan secara moral dan ilmiah.
Adapun judul-judul yang telah ada diteliti oleh peneliti-peneliti sebelumnya yang mempunyai kemiripan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yaitu:
1. Nama : PANTRIADY LIMBONG NIM : 140200429
Judul : DISPARITAS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM
PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DAN
TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG
MENGAKIBATKAN KEMATIAN (Analisis Putusan Nomor 151/Pid.B/2016/PN Sim Dan Putusan Nomor 407/Pid.B/2016/PN Tjb )
Rumusan Masalah :
1. Bagaimana pengaturan mengenai tindak pidana pembunuhan dan tindak pidana penganiayaan mengakibatkan kematian menurut hukum pidana positif di Indonesia?
45
2. Bagaimana disparitas pertimbangan hakim dalam pembuktian tindak pidana pembunuhan dan tindak pidana penganiayaan mengakibatkan kematian pada Putusan Pengadilan Negeri Nomor 151/Pid.B/2016/PN Sim dan Putusan Pengadilan Negeri Nomor 407/Pid.B/2016/PN Tjb?
2. Nama : LAURA CLARA HERENA TARIGAN NIM : 130200517
Judul : PERANAN AUTOPSI DALAM MENGUNGKAPKAN TINDAK
PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Putusan Nomor 265/Pid.B/2018/PN Kbj)
Rumusan Masalah :
1. Bagaimana Pengaturan Hukum tentang Otopsi dan Pengaturan Hukum tentang Tindak Pidana Pembunuhan dalam Hukum Pidana Indonesia ?
2. Bagaimana Hubungan Otopsi dalam Proses Penyidikan Tindak Pidana ?
3. Bagaimana Kendala-kendala yang dihadapi Penyidik dan Dokter forensik dalam mengungkapkan tindak pidana Pembunuhan ? Adapun hal yang membedakan antara judul “Unsur Kesengajaan Dalam Tindak Pidana Pembunuhan Dan Pembuktiannya Dikaitkan Dengan Yurisprudensi No. 1/Yur/Pid/2018 (Studi Putusan No. 6/Pid.Sus-Anak/2019/Pn Psr Dan No. 683/Pid.B/2019/Pn Sky” dengan kedua judul di atas adalah skripsi ini membahas mengenai bagaimana Yurisprudensi No. 1/Yur/Pid/2018 tersebut
46
diterapkan dalam membuktikan unsur dengan sengaja dalam tindak pidana pembunuhan.
F. Tinjauan Kepustakaan
1. Tindak Pidana Dan Unsur-Unsur Tindak Pidana a. Tindak Pidana
Pembahasan tentang istilah, pengertian dan unsur unsur tindak pidana akan memperlihatkan berbagai istilah yang dipergunakan dalam pembicaraan tentang hukum pidana, berbagai definisi atau batasan pengertian tentang tindak pidana serta unsur-unsur tindak pidana baik menurut teori maupun menurut peraturan perundangundangan. Pembahasan tentang unsur-unsur tindak pidana ini juga memperlihatkan dua aliran atau pandangan tentang pengertian dan unsur-unsur tindak pidana jika dilihat dari syarat-syarat pemidanaan.11
Para pakar asing hukum pidana menggunakan istilah “Tindak Pidana”,
“Perbuatan Pidana”, atau “Peristiwa Pidana” dengan istilah :12 1. Strafbaar Feit adalah peristiwa pidana;
2. Strafbare Handlung diterjemahkan dengan “Perbuatan Pidana”, yang digunakan oleh para sarjana hukum pidana jerman; dan
3. Criminal Act diterjemahkan dengan istilah “Perbuatan Kriminal”
Delik yang dalam bahasa Belanda disebut Strafbaar feit, terdiri atas tiga kata, yaitu straf, baar, dan feit. Yang masing masing memiliki arti:13
1. Straf diartikan sebagai pidana dan hukum;
11 Sudaryono Dan Natangsa Surbakti, Hukum Pidana Dasar-Dasar Hukum Pidana Berdasarkan KUHP dan RUU KUHP, (Surakarta, Muhammadiyah University Press, 2017), hlm.
92
12 Mulyati Pawennei Dan Rahmanuddin Tomalili, Op.cit, hlm. 5
13 Ibid.
47 2. Baar diartikan sebagai dapat dan boleh;
3. Feit diartikan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan.
Jadi, istilah strafbaarfeit adalah peristiwa yang dapat dipidana atau perbuatan yang dapat dipidana.14
Menurut Pompe, pengertian strafbaarfeit dibedakan atas :15
a. Definisi menurut teori memberikan pengertian “strafbaar feit” adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan sipelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum;
b. Definisi menurut hukum positif, merumuskan pengertian “strafbaar feit”
adalah suatu kejadian (feit) yang oleh peraturan undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.
Berkaitan dengan definisi tersebut, yang membedakan antara pengertian menurut teori dan menurut hukum positif juga dikemukakan oleh J.E. Jonkers yang telah memberikan definsi strafbaarfeit menjadi dua pengertian yakni: 16
a) Definisi pendek memberikan pengertian “strafbaar feit” adalah suatu kejadian (feit) yang dapat diancam pidana oleh undang-undang;
b) “Strafbaar feit” adalah suatu kelakuan yang melawan hukum berhubung dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.
14 Ibid.
15 Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, (Yogyakarta, Ghalia Indonesia, 1992), hlm. 91
16 Ibid.
48
Prof. Mulyatno, S.H.menerjemahkan istilah strafbaarfeit dengan perbuatan pidana.17 Menurut pendapat beliau istilah “perbuatan pidana” menunjuk kepada makna adanya suatu kelakuan manusia yang menimbulkan akibat tertentu yang dilarang hukum dimana pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana.18
Di peraturan perundang-undangan sendiri juga terdapat berbagai istilah untuk menunjukkan pada pengertian kata strafbaar feit. Menurut Sudarto dalam Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi19 beberapa istilah yang digunakan undang- undang tersebut antara lain:
1. Peristiwa pidana, istilah ini antara lain digunakan dalam Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) tahun 1950 khususnya dalam Pasal 14.
2. Perbuatan pidana, istilah ini digunakan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan, dan acara pengadilan-pengadilan sipil.
3. Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, istilah ini digunakan dalam Undang-Undang Darurat Nomor 2 Tahun 1951 tentang Perubahan Ordonantie Tidelijke Byzondere Strafbepalingen.
4. Hal yang diancam dengan hukum, istilah ini digunakan dalam Undang- Undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan.
17 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Depok, RajaGrafindo Persada, 2017), hlm.48
18 Ibid.
19 Ismu Gunadi Dan Jonaedi Efendi, Cepat & Mudah Memahami Hukum Pidana, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2014), hlm. 36-37
49
5. Tindak pidana, istilah ini digunakan dalam berbagai undang-undang, misalnya:
a. Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.
b. Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1953 tentang Kewajiban Kerja Bakti dalam rangka pemasyarakatan bagi terpidana karena melakukan tindak pidana yang merupakan kejahatan.
Disamping Peraturan Perundang-Undangan yang sudah disebutkan oleh sudarto diatas, istilah tindak pidana juga digunakan dalam banyak undang-undang lain seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan lainnya.
Menurut Tongat dalam Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi20 penggunaan berbagai istilah tersebut pada hakikatnya tidak menjadi persoalan, sepanjang penggunaannya disesuaikan dengan konteksnya dan dipahami maknanya, karena itu dalam tulisannya berbagai istilah tersebut digunakan secara bergantian, bahkan dalam konteks yang lain juga digunakan istilah kejahatan untuk menunjukkan maksud yang sama.
b. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Tindak pidana selalu diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan pidana. Menurut Moeljatno dalam Mulyati Pawennei dan Rahmanuddin
20 Ibid, hlm. 37
50
Tomalili21 tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
Di awal sudah di bicarakan bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang sering dilarang atau suatu aturan hukum, sehingga untuk mengetahui adanya tindak pidana harus terlebih dahulu dirumuskan di dalam peraturan perundang- undangan pidana tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dan disertai dengan sanksi.22 Rumusan-rumusan tersebut menentukan beberapa unsur atau syarat yang menjadi ciri atau sifat khas dari larangan tadi sehingga dengan jelas dapat dibedakan dari perbuatan lain yang tidak dilarang.23
Menurut Simons, unsur-unsur tindak pidana (strafbaar feit) adalah:24
1. Perbuatan manusia (positif atau negative, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan)
2. Diancam dengan pidana (stadbaar gesteld) 3. Melawan Hukum (onrechtmatig)
4. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband stand) oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatoaar person).
Simons juga menyebutkan adanya unsur objektif dan unsur subjektif dari tindak pidana (Strafbaar feit)
Unsur Objektif:25 a) Perbuatan orang
21 Mulyati Pawennei dan Rahmanuddin Tomalili, Op.cit, hlm. 10
22 Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Op.cit, hlm. 39
23 Ibid.
24 Mulyati Pawennei dan Rahmanuddin Tomalili, Op.cit, hlm 10-11
25 Ibid.
51 b) Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu
c) Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti dalam Pasal 281 KUHP sifat openbaar atau “dimuka umum”
Unsur Subjektif:26
a) Orang yang mampu bertanggung jawab b) Adanya kesalahan (dolus atau culpa)
c) Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan.
Menurut Van Apeldoorn dalam Mohammad Ekaputra27 elemen delik itu terdiri dari elemen objektif yang berupa adanya suatu kelakuan (perbuatan) yang bertentangan dengan hukum (onrechtmatig/wederrechtelijk) dan elemen subjektif yang berupa adanya seorang pebuat (dader) yang mampu bertanggung jawab atau dapat dipersalahkan (toerekeningsvatbaarheid) terhadap kelakuan yang bertentangan dengan hukum itu.
Van Bemmelen menyatakan bahwa elemen-elemen dari strafbaarfeit dapat dibedakan menjadi :28
a) Elementen voor destrafbaarheid van het feit, yang terletak dalam bidang objektif karena pada dasarnya menyangkut tata kelakuan yang melanggar hukum;
b) Mengenai elementen voor strafbaarheid van dedader, yang terletak dalam bidang subjektif karena pada dasarnya menyangkut keadaan/sikap bathin orang yang melanggar hukum, yang kesemuanya itu merupakan elemen
26 Ibid.
27 Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana Edisi 2, (Medan, USU Press, 2017), hlm. 107-108
28 Ibid, hlm. 108
52
yang diperlukan untuk menentukan dijatuhkannya pidana sebagaimana diancamkan.
D, Hazewinkel Suringa dalam Sudarto mengemukakan unsur unsur tindak pidana yang diambil dari rumusan undang-undang, yaitu sebagai berikut:29
1. Dalam setiap delik terdapat unsur tindak/perbuatan seseorang;
2. Untuk beberapa delik, undang-undang menyebutkan apa yang dinamakan akibat konstitutif dan ini terdapat dalam delik materiil;
3. Banyak delik memuat unsur-unsur yang bersifat psychisch misalnya: dengan tujuan dan dolus atau culpa;
4. Pelbagai delik menghendaki adanya keadaan objektif, misalnya delik penghasutan (Pasal 160 KUHP), pelanggaran kesusilaan (Pasal 182 KUHP), mabuk (Pasal 536 KUHP), Mengemis (Pasal 504 KUHP). Pada delik-delik tersebut dikehendaki keadaan objektif yaitu “dimuka umum”. Pada delik delik yang lain ada pula menyebutkan faktor-faktor subjektif yang bersifat psychisch misalnya terdapat di dalam delik pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP). Faktor subjektif yang tidak bersifat psychisch misalnya terdapat di dalam Pasal 305 KUHP dan delik membunuh anak segera setelah anak itu dilahirkan (Pasal 341 dan 342 KUHP);
5. Beberapa delik memuat apa yang disebut dengan “syarat tambahan untuk dapat dipidana” (bijkomende voor waarde van strafbaarheid), yang dimaksud adalah:
29 Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang, Yayasan Sudarto, 1990), hlm. 46-47
53
a) Terjadi sesudah terjadinya perbuatan yang diuraikan dalam undang- undang, bisa juga disertai dengan akibat konstitutifnya.;
b) Justru memberikan sifat dapat dipidananya (Pasal 123, 164, dan 165 KUHP) yaitu, dapat ditandai dengan adanya kata “jika……”. misalnya:
ada suatu usaha untuk membunuh presiden, dan bila ada yang mengetahui dan diam saja, ia dapat dituntut jika betul-betul terjadi maksud tersebut. Contoh lainnya adalah (1) Pasal 182 KUHP: jika duel terjadi dan (2) Pasal 531 KUHP: jika yang perlu ditolong mati.
6. Sifat melawan hukum juga memegang peranan sebagai unsur delik, seperti tersebut dalam Pasal 167 KUHP yaitu (merusak ketenteraman rumah/huisvredebreuk), Pasal 333 KUHP (merampas kemerdekaan seseorang), dan Pasal 406 KUHP (merusak barang.) Sifat melawan hukum itu hanya merupakan unsur dari Strafbaar feit apabila dalam rumusan delik nyata-nyata disebut. Jika tidak disebutkan, sifat itu bukan unsur tapi hanya tanda ciri (kenmerk) saja dari setiap delik, sebab suatu perbuatan dilarang dan diancam dengan pidana, karena tidak dapat dibenarkan oleh hukum atau karena bertentangan dengan hukum. Barang siapa memenuhi rumusan delik, maka ia berbuat melawan hukum atau ia melakukan strafbaar feit, kecuali jika ada hal-hal yang merubah perbuatan yang biasanya tidak dapat diterima menjadi perbuatan yang dapat diterima, atau bahkan sangat diharapkan.
Dalam hal-hal seperti ini maka hilanglah sifat dapat dipidananya feit itu menjadi rechtmatig (sah).
54
2. Yurisprudensi Sebagai Salah Satu Sumber Hukum Di Indonesia
Di dalam praktik terdapat hukum yurisprudensi (yurisprudentie recht) yang timbul dari putusan-putusan pengadilan, terutama putusan-putusan dari pengadilan negara tertinggi (MA).30
Menurut Purnadi Purbacaraka dalam R. Soeroso31 istilah jurisprudensi berasal dari kata yurisprudentia (bahasa latin) yang berarti pengetahuan hukum (rechtsgeleerdheid). Kata yurisprudensi sebagai istilah teknis Indonesia sama artinya dengan kata “yurisprudentie” dalam bahasa Perancis, yaitu peradilan tetap atau bukan peradilan.
Prof. Mr. Subekti dalam Paulus Effendie Lotulung32 menyebutkan bahwa yurisprudensi diartikan sebagai putusan-putusan hakim atau pengadilan yang tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Kasasi, atau putusan Mahkamah Agung sendiri yang sudah tetap (konstan). Ditegaskan oleh beliau, bahwa barulah dapat dikatakan ada hukum ciptaan yurisprudensi apabila Hukum atau Pengadilan dalam hal tidak terdapatnya suatu ketentuan yang dapat dipakai atau dijadikan landasan untuk memutus suatu perkara yang dihadapkan kepadanya.33
Dalam salah satu penelitian hukum tentang Peningkatan Yurisprudensi sebagai sumber hukum yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional
30 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta, Sinar Grafika, 2018), hlm. 158
31 Ibid, hlm. 159
32 Paulus Effendie Lotulung, Peranan Yurisprudensi Sebagai Sumber Hukum, (Jakarta, Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1998), hlm. 7
33 Ibid.
55
Tahun 1991/1992 telah dikumpulkan beberapa definisi pengertian yurisprudensi, yaitu antara lain:34
a) Yurisprudensi, yaitu peradilan yang tetap atau hukum peradilan (Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto);
b) Yurisprudensi adalah ajaran hukum yang dibentuk dan dipertahankan oleh pengadilan (Kamus Pockema Andrea);
c) Yurisprudensi adalah pengumpulan yang sistematis dari keputusan Mahkamah Agung dan Keputusan Pengadilan Tinggi yang diikuti oleh Hakim lain dalam memberi keputusan dalam soal yang sama (kamus Pockema Andrea).
Badan Pembinaan Hukum Nasional Tahun 1994/1995 juga melakukan penelitian yang menyatakan bahwa suatu putusan hakim dapat disebut sebagai yurisprudensi apabila putusan itu sekurang-kurangnya memiliki 5 (lima) unsur pokok yaitu:35
a) Keputusan atas suatu peristiwa apa hukumnya apabila belum jelas pengaturan peraturan perundang-undangan;
b) Keputusan tersebut harus merupakan keputusan tetap;
c) Telah berulang-kali diputus dengan putusan yang sama dalam kasus yang sama;
d) Memenuhi rasa keadilan;
e) Keputusan itu dibenarkan oleh mahkamah agung.
34 Ibid, hlm. 7-8
35 Ibid, hlm. 8
56
Dalam prakteknya masih pula dibedakan antara yurisprudensi tetap dan tidak tetap. Yurisprudensi tetap adalah keputusan-keputusan hakim yang berulang kalidipergunakan pada kasus-kasus yang sama.36 Jadi yurisprudensi tetap terjadi karena suatu rangkaian keputusan-keputusan yang serupa atau karena beberapa keputusan yang diberi nama standaardarresten, ialah keputusan MA yang menjadi dasar bagi pengadilan untuk mengambil keputusan (Arrest adalah keputusan MA dan Standar adalah dasar atau baku).37
Melalui yurisprudensi, tugas hakim justru menjadi faktor pengisi kekosongan hukum manakala undang-undang tidak mengatur atau ketinggalan jaman.38 Tugas itu dilakukannya dengan cara menggali nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
Hal ini sesuai dengan kewajiban hakim sebagaimana telah dicantumkan di dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 Ayat (1) yang menyebutkan “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
3. Kesengajaan (Dolus) Sebagai Salah Satu Bentuk Kesalahan
Ilmu Hukum pidana mengenal dua bentuk kesalahan yakni kesengajaan atau dolus dan kealpaan atau culpa. Wetboek van Strafrecht tahun 1908 mengartikan kesengajaan sebagai kehendak untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-
36 R. Soeroso, Op.cit, hlm. 163
37 Ibid.
38 Paulus Effendie Lotulung, Op.cit, hlm. 16
57
perbuatan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang.39 Sedangkan menurut Memorie van Toelichting kesengajaan sama dengan “willen en wettens”
atau diketahui atau dikehendaki.40
Menurut Crimineel Wetboek Nederland tahun 1809 (Pasal 11) opzet (sengaja) itu adalah maksud untuk membuat atau tidak membuat sesuatu yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang.41
Apabila dilihat dari penjelasan-penjelasan di atas maka dapat dikatakan bahwa kesengajaan memiliki kaitan erat dengan maksud atau kehendak, namun maksud atau kehendak seseorang sangat lah sulit untuk diketahui sehingga di Eropa Barat dan Indonesia kesengajaan seorang terdakwa oleh hakim sering diperoleh dari tindakan dan keadaan terdakwa pada waktu melakukan perbuatan yang melawan hukum.42
4. Tindak Pidana Pembunuhan Sebagai Kejahatan Terhadap Nyawa Kejahatan terhadap nyawa (misdrijven tegen bet leven) adalah berupa penyerangan terhadap nyawa orang lain.43 Kepentingan hukum yang dilindungi dan yang merupakan obyek kejahatan ini adalah (leven) nyawa manusia.44
Kejahatan terhadap nyawa dalam KUHP dapat dibedakan atau dikelompokkan atas 2 dasar, yaitu:45 (1) atas dasar unsur kesalahannya dan (2) atas dasar obyeknya (nyawa).
39 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta Timur, Sinar Grafika, 2012), hlm. 174
40 Ibid, hlm. 175
41 H.A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, (Jakarta, Sinar Grafika, 2014), hlm. 266
42 Ibid, hlm. 268
43 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh Dan Nyawa, (Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2001), hlm. 55
44 Ibid.
45 Ibid.
58
Atas dasar kesalahannya ada 2 kelompok kejahatan terhadap nyawa ialah:46 1) Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja (dolus
misdrijven), adalah kejahatan yang dimuat dalam BAB XIX KUHP, Pasal 338 s/d 350.
2) Sedangkan kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan tidak dengan sengaja (culpose misdrijven), dimuat dalam BAB XXI (khusus Pasal 359).
Sedangkan atas dasar obyeknya (kepentingan hukum yang dilindungi), maka kejahatan terhadap nyawa dengan sengaja dibedakan dalam 3 macam, yakni:47
1) Kejahatan terhadap nyawa orang pada umumnya, dimuat dalam Pasal: 338, 339, 340, 344, 345.
2) Kejahatan terhadap nyawa bayi pada saat atau tidak lama setelah dilahirkan, dimuat dalam Pasal: 341, 342, dan 343.
3) Kejahatan terhadap nyawa bayi yang masih ada dalam kandungan ibu (janin), dimuat dalam Pasal 346, 347, 348, dan 349.
Pembunuhan adalah kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain, untuk menghilangkan nyawa orang lain itu, seorang pelaku harus melakukan sesuatu atau suatu rangkaian tindakan yang berakibat dengan meninggalnya orang lain dengan catatan bahwa opzet dari pelakunya harus ditujukan pada akibat berupa meninggalnya orang lain tersebut.48
46 Ibid.
47 Ibid, hlm. 55-56
48 P.A.F, Lamintang dan Theo Lamintang, Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh, dan Kesehatan, (Jakarta, Sinar Grafika, 2012), hlm. 1
59
Tindak pidana pembunuhan atau sering dinamakan tindak pidana pembunuhan dalam bentuk pokok (doodslag).49 Tindak pidana ini diatur di dalam Pasal 338 KUHP, yang mengatakan “Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.”
Apabila rumusan Pasal 338 KUHP di atas diperinci, maka unsur-unsur tindak pidana pembunuhan biasa yang diatur dalam Pasal 338 KUHP terdiri dari:50
a) Unsur Obyektif: menghilangkan nyawa orang lain b) Unsur Subyektif: dengan sengaja
5. Pembuktian Dan Alat Bukti Yang Sah Menurut Hukum Acara Pidana Dikaji dari perspektif Sistem Peradilan Pidana pada umumnya dan hukum acara pidana (formeel strafrecht/strafprocesrecht) pada khususnya, aspek
“pembuktian” memegang peranan menentukan untuk menyatakan kesalahan seseorang sehingga dijatuhkan pidana oleh hakim.51
Dikaji secara umum, “pembuktian” berasal dari kata “bukti” yang berarti suatu hal (peristiwa dan sebagainya) yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran suatu hal (peristiwa tersebut).52 Membuktikan sama dengan memberi (memperlihatkan) bukti, melakukan sesuatu sebagai kebenaran, melaksanakan,
49 Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Op.cit, hlm. 107
50 Tongat, Hukum Pidana Materil: Tinjauan atas Tindak Pidana Terhadap Subyek Hukum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta, Djambatan, 2003), hlm. 5
51 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana : Normatif, Teoretis, Praktik, dan Permasalahannya, (Bandung, P.T. Alumni, 2007), hlm. 158
52 Ibid, hlm. 159
60
menandakan, menyaksikan, dan meyakinkan.53 Martiman Prodjohamidjojo dalam Aristo M.A. Pangaribuan, dkk54 berpendapat bahwa proses pembuktian atau membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas suatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut. Selain itu Darwan Prinst dalam Aristo M.A. Pangaribuan, dkk55 berpendapat bahwa pembuktian mengandung arti bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus mempertanggungjawabkannya.
Pasal 6 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa
“Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.”
Dari bunyi pasal yang telah diuraikan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa keberadaan alat bukti merupakan syarat mutlak dalam menyatakan terbukti atau tidak terbuktinya suatu tindak pidana yang didakwakan terhadap seseorang.
Pengertian mengenai alat bukti tidak dinyatakan secara jelas di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, namun terdapat beberapa pengertian dari “alat bukti” yang dikemukakan para ahli, yaitu:
a) Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan
53 Ibid.
54 Aristo M.A. Pangaribuan dkk, Pengantar Hukum Acara Pidana Di Indonesia, (Depok, Rajawali Pers, 2018), hlm. 273
55 Ibid.
61
sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.56 b) Andi Hamzah menyatakan alat-alat bukti ialah upaya pembuktian melalui
alat-alat yang diperkenrankan untuk dipakai membuktikan dalil-dalil atau dalam pidana perkara dakwaan di siding pengadilann misalnya keterangan terdakwa, kesaksian, keterangan ahli, surat dan petunjuk, dalam perkara pidana termasuk persangkaan dan sumpah.57
c) Sudarsono mengatakan “alat bukti adalah apa saja yang menurut undang- undang dapat dipakai untuk membuktikan sesuatu, maksudnya segala sesuatu yang menurut undang-undang dapat dipakai untuk membuktikan benar atau tidaknya suatu tuduhan/ gugatan.”58
Alat bukti yang sah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 184 Ayat (1) adalah:
a) Keterangan saksi
Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.59 Dari rumusan pasal di atas dapat dilihat bahwa keterangan atau kesaksian yang diberikan oleh seseorang dari apa yang ia dengar dari keterangan orang lain (testimonium de auditu) seharusnya tidak dapat dikatakan sebagai keterangan
56 Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana (Surabaya, Mandar Maju, 2003), hlm. 11
57 Bambang waluyo, Sistem Pembuktian Dalam Peradilan Indonesia, (Jakarta, Sinar Grafika, Jakarta, 1996), hlm. 2
58 Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta, PT. Rineka Cipta, 2007), hlm. 28
59 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 Angka 27
62
saksi, namun Mahkamah Konstitusi dalam putusannya No. 65/PUU-VIII/2010 hakim memutuskan bahwa pengertian saksi dan keterangan saksi yang ada dalam Pasal 1 angka 26 dan angka 27 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang pengertian saksi dalam Pasal 1 angka 26 tidak dimaknai termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri” dan pasal 1 angka 27 tidak dimaknai termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”
sehingga dapat kita lihat bahwa keterangan seseorang yang diberikan berdasarkan apa yang ia dengar dari orang lain (testimonium de auditu) juga dapat digolongkan sebagai keterangan saksi.
Perlu diketahui secara umum terdapat 2 (dua) jenis saksi, yaitu saksi a charge yaitu saksi yang membuktikan dakwaan penuntut umum (saksi yang memberatkan terdakwa), serta saksi a de charge yakni saksi dari terdakwa yang berfungsi untuk membela terdakwa atau mematahkan dakwaan penuntut umum (saksi yang meringankan terdakwa).60
Selain itu terdapat pula jenis saksi yang masih menjadi perdebatan hingga saat ini yaitu saksi mahkota. Saksi mahkota adalah terdakwa dalam hal ikut serta (medeplegen) perkaranya dipisah (splitsing) dan kemudian bergantian menjadi
60 Aristo M.A. Pangaribuan dkk, Op.cit, hlm. 299
63
saksi.61 Praktik pengambilan yang kesaksian demikian menurut Andi Hamzah adalah kekeliruan besar karena bertentangan dengan larangan self-incrimination.62 Terdapat dua syarat yang harus dipenuhi agar keterangan saksi dapat digunakan sebagai alat bukti, yaitu:63
a. Syarat Formil
Bahwa keterangan saksi hanya dapat dianggap sah apabila diberikan memenuhi syarat formil, yaitu saksi yang memberikan keterangan di bawah sumpah, sehingga keterangan saksi yang tidak disumpah hanya boleh digunakan sebagai penambahan penyaksian yang sah lainnya.
b. Syarat Materiel
Bahwa keterangan seorang atau satu saksi tidak dapat dianggap sah sebagai alat pembuktian (unus testis nulus testis) karena tidak memenuhi syarat materiel, akan tetapi keterangan seorang atau satu orang saksi adalah cukup untuk alat pembuktian salah satu unsur kejahatan yang dituduhkan. Namun terdapat pengecualian mengenai keabsahan seorang atau satu orang saksi di dalam Pasal 185 ayat (3) KUHAP yang menyebutkan bahwa “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
b) Keterangan ahli;
61 Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1985), hlm. 271 dalam Aristo M.A. Pangaribuan dkk, Op.cit, hlm. 307-308
62 Ibid.
63 Andi Sofyan dan Abdul Asis, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, (Jakarta, Prenadamedia Group, 2014), hlm. 239
64
Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.64
c) Surat;
Alat bukti surat diatur di dalam Pasal 187 KUHAP. Surat yang dimaksud dalam Pasal 187 KUHAP mencakup:
a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, di lihat atau yang di alaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu.
b. Surat keterangan yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang- undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yangt ermasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggungjawabnya dan diperuntukkan bagi pembuktian.
c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal yang atau suatu keadaan yang diminta secara resmi padanya.
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
d) Petunjuk;
64 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 Angka 28
65
Pasal 188 Ayat (1) KUHAP Menyebutkan “Petunjuk adalah perbuatan, kejadian, atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya”
Lebih lanjut diatur di dalam ayat (2) “Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari:
a. Keterangan saksi;
b. Surat;
c. Keterangan terdakwa.
Rumusan tentang pengertian alat bukti petunjuk dalam Pasal 188 ayat (1) dan ayat (2), maka unsur atau syarat alat bukti petunjuk adalah:65
a. adanya perbuatan, kejadian, dan keadaan yang bersesuaian;
b. ada 2 (dua) persesuaian, ialah:
1. Bersesuaian antara masing-masing perbuatan, kejadian, dan keadaan satu dengan yang lain, maupun
2. Bersesuaian antara perbuatan, kejadian, dan atau keadaan dengan tindak pidana yang didakwakan.
c. dengan adanya persesuaian yang demikian itu menandakan (menjadi suatu tanda) atau menunjukkan adanya dua hal in casu kejadian, ialah:
1. menunjukkan bahwa benar telah terjadi suatu tindak pidana, dan 2. menunjukkan siapa pembuatnya.
e) Keterangan terdakwa
65 Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung, Alumni, 2006), hlm. 74
66
Pengaturan mengenai keterangan terdakwa terdapat dalam Pasal 189-193 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mengartikan mengenai keterangan terdakwa yaitu: “keterangan terdakwa ialah apa yang didakwakan di siding tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketauhi sendiri atau alami sendiri.”
Keterangan terdakwa secaraa limitative diatur oleh Pasal 189 KUHAP, yang berbunyi :
1. Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di siding tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri;
2. Keterangan terdakwa yang diberikan di luar siding dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di siding, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal didakwakan kepadanya;
3. Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri;
4. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti lain.
G. Metode Penelitian
Menurut Nasir dalam Soerjono Soekanto menjelaskan bahwa metode penelitian ialah cara utama yang dipergunakan peneliti untuk mencapai tujuan dan menentukan jawaban atas masalah yang diajukan. Penelitian juga merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi.
Hal ini disebabkan oleh karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan
67
kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten. Melalui proses tersebut diadakan analisa dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah.66
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini adalah adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum dan penelitian terhadap sinkronisasi hukum67. Metode penelitian normatif disebut juga penelitian doctrinal (dokrtinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis dalam buku (law as it is in the book), maupun hukum yang diperlukan hakim melalui proses pengadilan (law is detected by the judge through judicial progress).68
2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder.
Data sekunder adalah data atau bahan hukum, yang terdiri dari doktrin (pendapat ahli), dokumen-dokumen pendukung (misalnya bahan sejarah hukum, hukum dari negara lain, dan sebagainya), hasil penelitian hukum yang sudah perna ada, dan lain-lain.69 Adapun sumber data penelitian dalam skripsi ini diperoleh dari bahan- bahan hukum sebagai berikut:
a. Bahan hukum primer, yaitu :Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
66 Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta, Raja Grafindo, 2001), hlm.1
67 Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Peneltian Hukum Normatif, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2006), hlm.38
68 Ibid, hlm.39
69 Munir Fuady, Metode Riset Hukum, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2018), hlm. 158