PERAN INTERNATIONAL COMMITTE OF THE RED CROSS UNTUK MELINDUNGI KORBAN AGRESI DI PALESTINA BERDASARKAN
KONVENSI JENEWA 1949 DAN PROTOKOL TAMBAHAN I 1997
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
DISUSUN OLEH :
HAFNI ZANNA DEWI 130200313
DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2017
PERAN INTERNATIONAL COMMITTE OF THE RED CROSS UNTUK MELINDUNGI KORBAN AGRESI DI PALESTINA BERDASARKAN KONVENSI JENEWA 1949 DAN PROTOKOL TAMBAHAN I 1997
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
OLEH :
HAFNI ZANNA DEWI NIM : 130200313
DISETUJUI OLEH :
KETUA DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL
Abdul Rahman, SH, MH NIP: 195710301984031002
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Dr. Chairul Bariah, SH, M.Hum Arif, SH, MH
NIP: 19551986120011210 NIP: 196403301993031002
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2017
ABSTRACT
ROLE OF THE INTERNATIONAL COMMITTEE OF THE RED CROSS TO PROTECT VICTIMS OF AGGRESSION IN PALESTINE UNDER THE 1949
GENEVA CONVENTIONS AND ADDITIONAL PROTOCOL I 1997
Hafni Zanna Dewi* Dr. Chairul Bariah**
Arif***
War is the most thorniest issues in the world, reflect on the conflict which broke out into a cold war in Palestine made the world should be more sensitive to see that with the establishment of written rules regarding the Regulations on Human Rights are still not enough to cope with casualties falling, for this the ICRC stands, where the ICRC as a neutral institution that handles humanitarian issues from time to time are increasingly required by the international community.
The ICRC has a major role in efforts to provide assistance and relief to victims of armed conflict, whether occurring in the territory of a country or between countries. This is evidenced also by the mandate given to the ICRC by the international community. ICRC has also shaped by the 1949 Geneva Conventions and Additional Protocol I and Additional Protocol II as a principal instrument in carrying out the functions and role in helping humanitarian work in conflict areas.
The method used is a normative legal research methods with data collection procedures are the main source material of a legal nature normative law. Data were acquired and processed in a normative legal research is secondary data derived from literature sources.
The research result of this paper shows that the authority of the ICRC in carrying out the functions and role in providing humanitarian assistance has been listed in the 1949 Geneva Conventions and their Additional Protocols I & II 1997, the Statutes of the Movement of Red Cross and Red Crescent International, and two protocols in addition, the process of its formulation supported actively by the ICRC. Going forward, the ICRC managed to deliver real action and the ICRC required role in dealing with victims of war.
Keywords: International Committee of the Red Cross, the 1949 Geneva Convention,Additional Protocol I and II of 1977, the Israeli- Palestinian conflict.
* Student of Faculty of Law University of North Sumatra
** Lecturer Faculty of Law University of North Sumatra
*** Lecturer Faculty of Law University of North Sumatra
ABSTRAK
PERAN INTERNATIONAL COMMITTE OF THE RED CROSS UNTUK MELINDUNGI KORBAN AGRESI DI PALESTINA BERDASARKAN
KONVENSI JENEWA 1949 DAN PROTOKOL TAMBAHAN I 1997 Hafni Zanna Dewi*
Dr. Chairul Bariah**
Arif***
Perang merupakan persoalan yang paling sulit dihadapi dunia internasional, berkaca pada konflik yang pecah menjadi perang dingin di Palestina membuat dunia seharusnya lebih peka melihat bahwa dengan dibuatnya aturan tertulis mengenai Peraturan-Peraturan tentang Hak Asasi Manusia saja masih belum cukup untuk menanggulangi korban-korban yang berjatuhan. Untuk inilah ICRC berdiri, keberadaan ICRC sebagai salah satu lembaga netral yang menangani masalah kemanusiaan dari waktu ke waktu semakin dibutuhkan oleh masyarakat internasional.ICRC memiliki peran yang besar dalam upaya memberikan bantuan dan pertolongan bagi korban konflik bersenjata, baik yang terjadi di dalam wilayah suatu negara maupun antar negara.Hal tersebut dibuktikan pula dengan diberikannya mandat oleh masyarakat internasional kepada ICRC.ICRC yang juga didasari oleh Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan I dan Protokol Tambahan II sebagai instrument pokok dalam menjalankan fungsi dan perannya membantu bidang kemanusiaan di wilayah konflik.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif dengan prosedur pengumpulan data yang sumber utamanya bahan hukum yang bersifat hukum normatif.Data yang diperoleh dan diolah dalam penelitian hukum normatif adalah data sekunder yang berasal dari sumber kepustakaan.
Hasil penelitian dari penulisan ini menunjukan bahwa kewenangan ICRC dalam menjalankan fungsi dan peranannya dalam memberikan bantuan kemanusiaan telah tercantum pada Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan I & II tahun 1997, Statuta Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah internasional, dan dua protokol tambahannya, yang proses perumusannya di dukung secara aktif oleh ICRC.Kedepannya, ICRC berhasil memberikan aksi yang nyata dan ICRCdibutuhkanperannya dalam menangani korban perang.
Kata Kunci : International Committee of the Red Cross, Konvensi Jenewa 1949, Protokol Tambahan I & II Tahun 1977, Konflik Israel-Palestina.
* MahasiswaFakultasHukumUniversitas Sumatera Utara
** DosenFakultasHukumUniversitas Sumatera Utara
***DosenFakultasHukumUniversitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR Bismillahirahmanirrahim.
Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmad, nikmat dan karunia-Nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi “PERAN INTERNATIONAL COMMITTEE OF THE RED CROSS UNTUK MELINDUNGI KORBAN AGRESI DI PALESTINA BERDASARKAN KONVENSI JENEWA 1949 DAN PROTOKOL TAMBAHAN I 1997” ini sebagai salah satu syarat mutlak bagi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum. Serta shalawat beriringkan salam Penulis sampaikan kepada nabi besar Muhammad SAW yang telah menuntun umatnya dari jaman kegelapan menuju jaman terang benderang yang diridhoi Allah SWT.
Penulis menyadari benar bahwa skripsi ini memiliki begitu banyak kekurangan di dalam penulisannya, oleh karena itu Penulis berharap adanya masukan dan saran yang membangun dimasa yang akan datang.
Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari kesulitan, hambatan serta suka maupun duka. Maka dalam kesempatan ini Penulis ingin menyampaikan terima kasih dan apresiasi setinggi-tingginya kepada kedua orang tua Penulis, Iwan Krisnawan Sinaga dan Dewi Ayu Purnamasari atas segala hal yang telah kalian lakukan kepada Penulis sejak kecil hingga sekarang, adalah hal yang tidak mungkin bisa Penulis balas dengan apapun. Untuk itu Penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M. Hum selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting S.H., M. Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Dr. Saidin S.H., M. Hum selaku Wakil Dekan I
4. Ibu Puspa Melati Hasibuan S.H., M. Hum selaku Wakil Dekan II 5. Bapak Dr. Jelly Leviza S.H., M. Hum selaku Wakil Dekan III
6. Bapak Abdul Rahman, SH, MH selaku Ketua Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
7. Ibu Dr. Chairul Bariah, S.H., M. Hum selaku Dosen Pembimbing I Penulis yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan skripsi ini.
8. Bapak Arif S.H., M.H selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan dukungan, bantuan serta bimbingan yang sangat banyak dan berarti bagi penulis dalam penyusunan skripsi ini.
9. Seluruh dosen dan staf fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara khususnya dosen dan staf Departemen Hukum Internasional, terkhusus lagi kepada bang Dedi.
10. Orang tua Penulis. Untuk Papa Iwan Krisnawan Sinaga dan Bunda Dewi Ayu Purnamasari, yang tiada henti memeberikan semangat dan doa yang tidak ada habisnya, memberikan kebaikan serta kasih sayang yang tidak akan bisa Penulis balas dengan apapun. Hanny selalu berusaha untuk membuat kalian bahagia dan bangga. Semoga Allah SWT tetap meridhoi hingga akhir hayat.
Amin.
11. Adik Penulis. Muhammad Farhaz Akbar Krisnawan dan KeizhaYunzira Dewi Krisnawan. Walaupun bukan diumur anak kuliah, kalian selalu punya pola pikir yang jauh melampaui anak-anak seusia kalian, dan bisa membantu
penulisan skripsi kakak tanpa kalian sadari dari perkataan kalian tentang perang yang tidak berprikemanusian yang menjatuhkan korban-korban muslim saudara kita di Palestina. Tidak ada yang lebih menyenangkan selain ikutan ribut dan berantem bareng kalian setiap hari. Dan ingat, sekeras apapun papa, bunda dan kakak marahin kalian, itu semua karena papa, bunda dan kakak sayang sama abang dan adek.
12. Keluarga besar Papa dan Bunda Penulis yang tidak bisa Penulis tuliskan satu per satu. Hanny bisa merasakan doa-doa kalian walaupun jarak kita sangat berjauhan.
13. Sepupu tercinta dan yang paling dekat denganPenulis, Wandha Ramadhani aka Awan, Muhammad Khadi Firdaus aka bang Epin, dan Novia Rahma Dewi aka Opi. Yang sudah Penulis anggap sebagai seseorang yang bukan hanya sekedar saudara, tapi adalah segalanya untuk Penulis. Tidak ada hal yang lebih Hanny inginkan selain menghabiskan waktu sebanyak mungkin dengan kalian.
14. Teman Penulis. Bebi Harahap, Indah Mei Ruth, Martina Gracia dan Wira Paskah. Hanny beruntung masuk Departemen Hukum Internasional dan bertemu kalian semua. Seperti elemen berbeda yang melengkapi satu sama lain, kalian adalah tempat Hanny membagi susah dan senang selama proses belajar mengajar di Departemen Hukum Internasional ini. Kenangan kita saat Study Tour ke Malaysia-Thailand tidak akan pernah Hanny lupakan, begitu juga semua hal yang sudah kita lalui bersama-sama yang hampir semua adalahkegilaan tragis yang terus terjadi setiap kita berkumpul. Kalian terus mendorong Hanny menjadi sosok yang lebih baik dalam segala hal, kita
saling mendorong satu sama lain dan menyemangati. Terima kasih, dan sukses selalu untuk kalian semua. Semoga pertemanan ini tetap terjalin sampai akhir hayat kita.
15. CHABE. Adalah kelompok na’as yang isinya adalah orang-orang luarbiasa.
Menjadi teman dan Keluarga, Amanda Pioner, Bebi Harahap, Fawwaz Ghina, Giani Anes, Indah Mei Ruth, Martina Gracia dan Wira Paskah, Terima Kasih.
16. Teman Penulis. Renata Tilanda Maharani Hasibuan, yang tidak suka namanya ditulis selengkap ini tapi mau tidak mau tetap harus ditulis lengkap, yang terus bareng sama Hanny dari awal perkuliahan di Fakultas Hukum USU hingga saat ini, yang tetap bareng sama Hanny sebanyak apapun Hanny sudah menimbulkan masalah dan kesusahan buat Rere. Terima kasih dan sukses untuk Rere, kamu sudah seperti kakak Hanny sendiri.
17. Semua teman, sahabat dan keluarga ILSA 2013. Terima kasih banyak untuk kegiatan bersenang-senang kita yang berkedok Program Kerja ILSA.
Terutama kalian yang ikut Rapat Kerja di Berastagi, Marine Spirit di di Pulau Berhala dan Study Tour di Malaysia-Thailand, inilah kerabat baru Penulis.
18. Teman-teman Grup B dan teman-teman dari Stambuk 2013 serta teman- teman Penulis yang lain. Bantuan kalian selama masa perkuliahan berpengaruh sangat besar untuk Penulis.
19. Seluru hpihak yang tidak bisa disebutkan namanya satu-persatu. Terima kasih banyak atas bantuan moril, materiil maupun sumbangan pemikiran kepada Penulis.
Penulis menyadari segala keterbatasan dan kemampuan Penulis sehingga dalam penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, dengan segala kerendahan hati Penulis mengharapkan Banyak kritik dan saran yang sifatnya membangun dari pembaca sekalian demi perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata, semoga segala amal baik yang telah di berikan kepada Penulis mendapatkan imbalan yang setimpal dari Tuhan dan mudah-mudahan ilmu yang telah di peroleh Penulis dapat berguna bagi Agama, Negara, Nusa dan Bangsa.
Medan, 17 April 2017
Hafni Zanna Dewi 130200313
DAFTAR ISI
ABSTRAK……… i
KATA PENGANTAR………. iii
DAFTAR ISI……… viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………. 1
B. Rumusan Masalah ……… 8
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan……….... 9
D. Keaslian Penulisan……….. 10
E. Tinjauan Pustaka………. 10
F. Metode Penelitian……….... 30
G. Sistematika Penulisan………. 31
BAB II PENGATURAN KONVENSI JENEWA 1949 DAN PROTOKOL TAMBAHAN I 1997 TERKAIT PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN PERANG A. Asal Mula Serta Kronologi dan Anatomi Terjadinya Konflik di Palestina………. 34
B. Perlindungan Hukum Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan I 1997 terhadap KorbanPerang……….. 53
C. Penerapan Konvensi Jenewa 1949 Pada Kenyataannya saat Perang Palestina……… 88 BAB III TINJAUAN HUKUM INTERNATIONAL COMMITTEE
OF THE REDCROSS DAN STATUSNYA SEBAGAI
SUBYEK HUKUM INTERNASIONAL YANG MELINDUNGI KORBAN-KORBAN PERANG
A. Subyek-Subyek Hukum Internasional……… 92 B. Status International Committee of the Red Cross
Sebagai Subyek Hukum……….. 96 C. Pengakuan International Committee of the Red
Cross Sebagai Subyek Hukum Internasional
Yang Bertugas Menangani Korban Perang………. 104 BAB IV PERLINDUNGAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN
INTERNATIONAL COMMITTEE OF THE RED CROSS
TERHADAP KORBAN PERANG PALESTINA A. Fungsi dan Peran International Committee of the
Red Cross Dalam Perkembangan
Hukum Humaniter………. 107
B. Kiprah International Committee of the Red Cross Dalam Menghadapai Korban
di Palestina………... 115 C. Pelaksanaan Fungsi dan Perkembangan
International Committee of the Red Cross
Dewasa Ini di Indonesia……… 126 BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan……….. 140
B. Saran……… 142
DAFTAR PUSTAKA………... 144
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Dalam kurun waktu sekitar 50 tahun semenjak diadopsinya Konvensi- konvensi Jenewa 1949, umat manusia mengalami konflik bersenjata dalam jumlah yang mencemaskan, terutama konflik yang tidak berperikemanusiaan yang terjadi di Palestina1. Dalam kurun waktu tersebut, keempat Konvensi Jenewa 1949 beserta kedua Protokol Tambahan 1977 menyediakan perlindungan hukum bagi orang-orang yang tidak, ataupun yang tidak lagi, ikut serta secara langsung dalam konflik perang (yaitu korban luka, korban sakit, korban karam, orang yang ditahan sehubungan dengan konflik bersenjata, dan orang sipil). Meskipun demikian, dalam kurun waktu yang sama juga telah terjadi banyak sekali pelanggaran terhadap perjanjian-perjanjian internasional tersebut, sehingga timbul penderitaan dan korban tewas yang mungkin dapat dihindari seandainya Hukum Humaniter Internasional (HHI) dihormati dengan lebih baik.
Orang awam atau orang-orang yang bukan dalam bidang hukum sering beranggapan bahwa perang yang disebabkan Israel di Palestina dikarenakan persoalan agama. Fakta yang cukup sulit untuk dibantah, bahwa konflik Israel- Palestina berhasil membangun stigma di tengah masyarakat Islam sebagai konflik yang bernuansakan agama. Pandangan ini setidaknya dibangun berdasarkan asumsi bahwa Palestina diyakini sebagai salah satu simbol spiritualitas Islam, dan korban yang berjatuhan di tanah Palestina secara umum adalah masyarakat Islam.
1Alistair Drysdale & Gerald Blake, The Middle East and North Africa, 1985, New York, Oxford University Press p.195.
Istilah "jihad" sendiri merupakan terminologi dalam ajaran Islam yang mengandung pengertian perang yang dilakukan di jalan Allah SWT2 sehingga jika jihad dapat ditolerir dalam kasus ini, maka semakin sulit membangun fondasi keyakinan di tengah masyarakat Islam tentang adanya "fakta lain" di balik situasi konflik yang sejak lama terjadi antara Israel dan Palestina.
Fakta lain yang penulis maksud adalah dimensi politik yang juga demikian kental dalam konflik Israel-Palestina. Fakta ini setidaknya ditunjukkan dengan keberpihakan Amerika Serikat sebagai negara adidaya kepada Israel3. Keberpihakan tersebut semakin terlihat jelas ketika tidak kurang dari puluhan resolusi yang dikeluarkan oleh United Nations (Perserikatan Bangsa-Bangsa) untuk perdamaian konflik Israel-Palestina kerap "dimentahkan" Amerika. Ada hal lain yang lebih menarik, sunyinya suara negara-negara Arab (khususnya Saudi Arabia yang dalam banyak hal dianggap sebagai "kampung halaman Islam", dan berteman dekat dengan Amerika Serikat) semakin memperlihatkan nuansa politik yang cukup kontras dalam kasus ini.
Konflik ini dimulai setelah perang dunia kedua, ketika masyarakat Israel berpikir untuk memiliki negara sendiri.4 Pilihan letak negara Palestina merupakan tanah leluhur Israel yang pada saat itu merupakan tanah jajahan Inggris karena
2 Kata "Jihad" seringkali dipahami -jika bukan diarahkan- sebagai perang yang melibatkan insiden fisik (lihat misalnya: Safuan al Fandi. tt. Jihad: Makna dan Keutamaannya dalam Sudut Panndang Islam. Solo: Sendang Ilmu, hlm:20), padahal ayat al Qur’an -sebagaimana yang perrnah penulis lacak- tidak menempatkan kata "jihad" sebagai padanan perang, terlebih lagi kata "Jihad" yang ditemukan dalam al Qur’an sering didahului dengan kata "māl" (harta) daripada
"nafs" (jiwa), ini menunjukkan bahwa istilah jihad lebih mengutamakan pengorbanan harta dari pada jiwa.
3Banyak pandangan yang menganggap Amerika bertanggung jawab terhadap konflik di Timur Tengah.Sebelum terjadi Perang Dunia II, negara adidaya (adikuasa) dipegang juga oleh negara Uni Soviet, Amerika Serikat, dan Britania Raya.
4Menurut sejarah mereka keluar dari tanah Israel setelah Perang Salib karena dituduh pro- Kristen oleh tentara Islam, yang kemudian tanah tersebut ditinggali oleh orang-orang Palestina.
secara leluhur Israel berhak memilikinya juga secara religius ada beberapa tempat keagamaan Yahudi di Palestina.
Dibalik semua intrik politik, keuntungan serta kerugian politik, strategis, dan lainnya, Inggris secara sukarela mundur dari negara dan memberikan klaim bagi siapa saja yang akan berhak memiliki wilayah tersebut. Berhubung Isreal lebih siap maka mereka lebih dahulu memproklamirkan negara.
Sebaliknya orang-orang Palestina yang telah tinggal dan besar disana tidak mau terima menjadi bagian negara Yahudi, sehingga bangsa Israel kemudian melihat orang Palestina sebagai ancaman dalam negeri, begitu juga dengan bangsa Palestina yang menganggap Israel sebagai penjajah baru. Atas dasar ini, maka pecahlah konflik diantara dua negara tersebut.5
Konflik Israel-Palestina merupakan konflik yang memakan waktu paling panjang sejak Perang Salib usai.6 Prediksi Amerika Serikat melalui Menteri Luar Negeri, Condoleezza Rice, pada Konfrensi Perdamaian Timur Tengah November 2008 lalu, menyebutkan bahwa konflik ini sebagai "Pekerjaan sulit namun bukan
5 Charles D. Smith, 2006. Palestine and the Arab-Israeli Conflict: A History with Documents, Paperback p.200
6 Perang Salib seringkali dipahami sebagai perang yang dipicu oleh persoalan agama dengan sendirinya menjadi konotasi "Perang Agama", padahal jika dianalisis lebih jauh, Perang Salib pada prinsipnya merupakan benturan antara peradaban Timur dan Barat, dua peradaban yang digambarkan Samuel P Huntington sebagai peradaban yang hampir sulit diakurkan. Terbukti bahwa, banyak pihak dari kalangan Yahudi dan sejumlah kalangan Nasrani turut berjuang melawan "Tentara Salib" di pihak Timur yang berada dalam kekuasaan khalifah Islam. Penyebab utamanya adalah upaya Syaljuk merebut Syria dari Fatimiyah pada 1070 M. Ketidakmampuan Alexius Comnenus I, Raja Bizantium ketika itu, dalam menghentikan kemajuan Turki menyebabkannya meminta bantuan kepada Paus pada 1901, dan Paus Urban II mengumumkan Perang Salib I. (Lihat: Karen Armstrong. 2003. Islam: A Short History. Alih Bahasa: Funky Kusnaendy Timur. Islam Sejarah Singkat.Yogyakarta: Jendela, hlm:112-13; lihat juga: James Turner Johnson. 1997 The Holy War Idea in Western and Islamic Tradtion. Terjemah: Perang Suci Atas Nama Tuhan: Dalam Tradisi Barat dan Islam. Bandung: Mizan).
berarti tidak dapat ditempuh dengan kerja keras dan pengorbanan”.7Pernyataan menohok tersebut menunjukkan bahwa perdamaian Israel–Palestina memang sulit diwujudkan.
Pasalnya, akhir 2008 yang diprediksi dunia Internasional (dalam hal ini Amerika Serikat) sebagai puncak penyelesaian konfik Israel-Palestina justru menampakkan kondisi sebaliknya. Agresi meliter Israel ke Jalur Gaza yang dilancarkan semakin memperkuat keraguan banyak pihak atas keberhasilan konfrensi tersebut.
Banyaknya korban jiwa yang berjatuhan akibat konflik ini membuat perhatian dunia internasional langsung tergerak. Tercatat tidak kurang dari 7.000 lebih warga Palestina mengalami korban jiwa dan 2.000 lainnya adalah anak-anak dibawah umur delapan belas tahun, lebih dari 11.000 orang terluka dan 100.000 orang terlantar, terhitung sejak tahun 1967 sampai 20148. Angka korban yang jatuh dari pihak Palestina bahkan tidak menyentuh setengah dari grafik banyaknya korban yang jatuh dari pihak Israel yang hanya sebanyak dua ribu orang sudah terhitung korban sipil dan anak-anak.9
Meski telah berkali-kali dilakukan upaya perdamaian sampai pada tingkat perjanjian Internasional yang dilakukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa sampai mengeluarkan ratusan resolusi serta menambahkan permasalahan konflik ini ke dalam agenda utama Perserikatan Bangsa-Bangsa, namun hingga sekarang konflik ini belum terselesaikan. Pada kenyataannya bentuk resolusi serta pencapaian
7 Charles D. Smith, 2006 Palestine and the Arab-Israeli Conflict: A History with Documents, Paperback p.133
8http://nationalgeorgapic.id/office-for-the-coordination-of-humanitarian-affairs,- fragmented-lives-reported-israel-killed-more-palestinians-in-2014-than-in-any-other-year-since- 1967 diakses pada tanggal 6 Januari 2016.
9<http://www.International Committee of the Red Cross .org/eng/assets/files/other/palestine.pdf>diakses pada tanggal 6 Januari 2016.
tersebut tidak mampu secara langsung menyelesaikan permasalahan antara dua negera yang tengah berkonflik ini.
Adanya Organisasi International Committee of the Red Cross sebagai organisasi yang didasarkan pada Konvensi Jenewa 1949, Protokol-protokol Tambahan, dan Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional, serta resolusi Konferensi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merahyang bertujuan untuk menjamin perlindungan dan bantuan kemanusiaan bagi korban konflik bersenjata dan situasi kekerasan lainnya. International Committee of the Red Cross melakukan aksi untuk merespon keadaan darurat dan pada saat yang sama mempromosikan penghormatan terhadap hukum humaniter internasional dan implementasinya dalam hukum nasional.10
International Committee of Red Cross berperan dalam penanganankorban perang atau konflik. Misi International Committee of Red Cross ialah melindungi dan membantu korban konflik bersenjata dan situasi gangguan dalam negeri, sipil maupun militer, secara netral dan tidak memihak.11International Committee of Red Cross memiliki prinsip bahwa perang tetap memiliki batasan dalam pelaksanaannya. Mandat International Committee of Red Cross, yaitu melindungi dan membantu korban konflik bersenjata, diperolehnya dari negara-negara melalui keempatKonvensi Jenewa tahun 1949 beserta Protokol-protokol Tambahannya Tahun 1977 dan 2005 yang menggantikan Konvensi Jenewa Pertama Tahun 1864.12
10International Committee of the Red Cross, TentangInternational Committee of the Red Cross: International Committee of the Red Cross, 2009, Jakarta, Delegasi Regional International Committee of Red Cross untuk Indonesia & Timor Leste, p. 12.
11International Committee of the Red Cross, Ibid. p. 3
12International Committee of the Red Cross, Ibid. p. 6
Dewasa ini, semua Negara terikat oleh empat Konvensi Jenewa 1949 yang pada masa konflik, memberikan perlindungan kepada anggota angkatan bersenjata yang terluka, sakit dan kapal karam, tawanan perang dan warga sipil13. Begitupun dengan perlindungan korban-korban perang di Palestina yang selain di lindungi oleh hukum yang berlaku juga dilindungi oleh International Committee of the Red Cross. Walau pergerakan International Committee of the Red Cross adalah untuk melindungi korban Palestina, lembaga ini tetap bersifat netral, dalam arti tidak hanya membantu korban yang jatuh di satu pihak, namun tetap memberikan pertolongan pada pihak lain secara efektif dan efisien14.
Dalam perkembangannya, International Committee of the Red Cross menunjukkan keberadaannya sebagai salah satu lembaga netral yang bergerak di bidang humaniter benar-benar dibutuhkan.International Committee of the Red Cross memberikan banyak pertolongan bagi korban-korban pertikaian senjata. Hal ini terlihat dengan diberikannya mandat oleh masyarakat internasional kepada International Committee of the Red Cross untuk menjalankan fungsi dan perannya terutama dalam lingkup hukum humaniter.
Selain International Committee of Red Crosssebagai organisasi yang menjadi wadah perlindungan bagi para korban-korban perang, adanya Konvensi Jenewa Tahun 1949 dan Protokol Tambahan I dan II tahun 1977 adalah konvensi yang mengatur tentang Perlindungan Korban Perang (Geneva Convention of 1949 for the Protection of Victims of war) secara langsung juga menjadi dinding
13 Terjemahan Konvensi Jenewa Tahun 1949
14International Committee of the Red Cross, Kenali International Committee of the Red Cross, “Tentang International Committee of the Red Cross :International Committee of the Red Cross Sekilas”, 2009, Jakarta, Delegasi Regional International Committee of the Red Cross untuk Indonesia&Timor Leste, Komite Internasional Palang Merah adalah sebuah organisasi yang tidak memihak, netral, dan mandiri yang misinya semata-mata bersifat kemanusiaan – International Committee of the Red Cross.
batasan apabila terjadi konflik antara dua kubu atau lebih, sehingga diantaranya dapat meminimalisir korban jiwa, korban luka maupun kerusakan–kerusakan.
Konvensi Jenewa secara luas didefinisikan pada hak-hak dasar para tahanan perang (warga sipil dan personel militer); mendirikan perlindungan untuk yang terluka; dan mendirikan perlindungan bagi warga sipil di dan sekitar zona perang.
Konvensi Jenewa 1949 tidak bisa dilepaskan dari suatu peristiwa besar dunia, yaitu Perang Dunia II yang berakhir pada tahun 1945. Dampak yang begitu besar dari peperangan yang tidak berperikemanusiaan yang pada akhirnya membuat tiap-tiap negara sepakat untuk membuat beberapa aturan, guna meminimalisirkan dampak negatif dari Perang Dunia II pada waktu silam.
Keempat konvensi ini dirumuskan secara ekstensif, yakni berisikan klausula-klausula yang memberikan penetapan tentang hak-hak dasar bagi orang yang tertangkap dalam konflik militer, klausula-klausula yang menetapkan perlindungan bagi korban luka, serta klausula-klausula yang menyikapi masalah perlindungan bagi orang sipil yang berada di dalam dan di sekitar kawasan perang. Keempat konvensi ini telah diratifikasi, secara utuh ataupun dengan sedikit perubahan oleh negara-negara yang total nya mencapai 196 negara.15
Pada dasarnya, tujuan utama dari dibentuknya keempat konvensi ini ialah untuk memberikan perlindungan terhadap pihak-pihak yang menjadi korban selama peperangan, baik yang berasal dari kombatan atau warga sipilnya. Artinya adalah bahwa perlindungan harus diberikan secara merata dan adil bagi seluruh pihak tanpa melihat golongannya. Hal ini sungguh jelas tertuang dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa1949. Dengan kata lain, orang-orang yang dilindugi oleh
15 https://id.wikipedia.org/wiki/Konvensi_Jenewa diakses pada tanggal 27 Januari 2016.
konvensi ini haruslah "In all circumstances be treated humanely, without any adverse distinction founded on race, color, religion or faith, sex, birth, or wealth, or other similar criteria." Menurut apa yang menjadi materi dari Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 jelas bertentangan dengan keadaan sebelum tahun 1949, dimana perlindungan hukum hanya diberikan kepada personel militer.
Dalam keempat Konvensi Jenewa Tahun 1949, terdapat beberapa ketentuan-ketentuan yang sifatnya umum. Selain ketentuan umum, keempat konvensi tersebut memuat prinsip fundamental yang dirumuskan sama.
Ketentuan-ketentuan inilah yang pada akhirnya disebut “Article coommon to all four Conventions; common articles” atau dalam bahasa Indonesia disebut sebagai Ketentuan-ketentuan yang bersamaan. Ketentuan-ketentuan yang bersamaan ini dibagi dalam tiga golongan, diantaranya:16
1. ketentuan umum;
2. ketentuan hukum terhadap pelanggaran dan penyalahgunaan;
3. ketentuan-ketentuan pelaksanaan dan ketentuan penutup.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka Penulis dapat merumuskan permasalahannya sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaturan Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan I 1997 terkait dengan perlindungan korban perang?
2. Bagaimana peran ICRC (International Committee of the Red Cross) dalam menangani korban perang?
16KGPH. Haryomataram, Op Cit., hlm 54.
3. Bagaimana perlindungan dan pertanggungjawaban ICRC (International Committee of the Red Cross) terhadap para korban perang di Palestina?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Adapun tujuan penulisan ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengaturan Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan I 1997 sebagai bentuk hukum internasional untuk melindungi para korban perang, terkhusus korban perang Palestina.
2. Untuk mengetahui bagaimana sejarah dan kontribusi International Committee of the Red Cross selama ini dalam melindungi korban-korban perang.
3. Untuk mengetahui kewenangan International Committee of the Red Cross dalam perlindungan korban di Palestina.
Adapun manfaat penulisan di dalam pembahasan skripsi ditujukan kepada berbagai pihak terutama :
1. Secara Praktis sebagai bahan masukan bagi masyarakat luas agar memahami dan mengetahui keberadaan International Committee of the Red Cross sebagai salah satu organisasi yang bertujuan untuk menjamin perlindungan dan bantuan kemanusiaan bagi korban konflik bersenjata dan situasi kekerasan lain, terkhusus terhadap korban perang.
2. Secara Teoritis sebagai bahan masukan bagi masyarakat luas mengenai refrensi dan perkembangan International Committee of the Red Cross dalam menangani korban perang.
D. Keaslian Penulisan
Penulisan skripsi ini didasarkan atas ide atau gagasan penulisan dan telah dilakukan penelusuran di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara oleh Petugas Pustaka bahwa judul skripsi “Peran International Committee of the Red Cross Untuk Melindungi Korban Agresi di Palestina Berdasarkan Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan I 1997” tidak ditemukan dan tidak ada yang mirip. Sehingga bukan hasil dari penggandaan karya tulis orang lain dan oleh karena itu keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggung jawabkan.
Dalam proses penulisan skripsi ini, Penulis juga memperoleh data-data dari buku-buku, jurnal ilmiah, media cetak serta media elektronik. Jika ada kesamaan dalam pendapat dan kutipan, hal itu adalah semata-mata digunakan sebagai refrensi dan penunjang yang Penulis perlukan demi penyempurnaan penulisan skripsi ini.
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Komite Internasional Palang Merah (ICRC)
Didirikan oleh lima warga negara Swiss pada tahun 1863 yaitu (Henry Dunant, Guillaume-Henri, Gustave Moynier, Louis Appia, dan Thêodore Maunoir) International Committee of the Red Cross merupakan cikal bakal Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional. Untuk lebih mudahnya, International Committee of the Red Cross adalah:
Lembaga kemanusiaan yang tidak memihak, netral, dan mandiri.
Lahir karena terjadinya perang lebih dari 130 tahun yang lalu.
Merupakan organisasi yang unik.
Memperoleh mandatnya dari masyarakat internasional.
Bertindak sebagai penengah yang netral antara pihak-pihak yang berperang.
Dalam kapasitasnya sebagai promotor dan pemelihara Hukum Hukamniter
Internasional berupaya melindungi dan menolong para korban konflik bersenjata, gangguan dalam negeri, dan situasi kekerasan dalam negeri lainnya.
International Committee of the Red Cross bekerja aktif di sekitar 80
negara dan mempunyauikurang lebih 12.000 karyawan.17
Komite Internasional Palang Merah (ICRC) dan Perhimpunan- Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Nasional mempunyai begitu banyak kegiatan yang bergerak di bidangnya, bersama-sama dengan federasi Internasional, PerhimpunanInternasional, Perhimpunan-Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Nasional, bergabung membentuk Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah internasional. Sebagai kebiasaan, perwakilan dari organisasi-organisasi tersebut bertemu setiap empat tahun sekali dengan perwakilan negara-negara peserta Konvensi Jenewa dalam sebuah konfrensi Palang Merah dan Bulan Sabit Merah.
Dasar hukum aksi serta gerakan kemanusiaan International Committee of the Red Cross adalah sebagai berikut18:
1. Keempat Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan I memberi mandat khusus kepada International Committee of the Red Cross untuk
17Terjemahan Comite Internasional Geneva. Data 2010.
18 Yoshinobu Nagamine, 2015 “The legitimization strategy of Talibans’s code of conduct: through the one-way mirror” Palgrave Macmillan, p.137.
melaksanakan aksi kemanusiaan dalam situasi konflik bersenjata internasional. Secara khusus, International Committee of the Red Cross mempunyai hak untuk mengunjungi tawanan perang dan interniran sipil.
Konvensi-konvensi tersebut juga memberi International Committee of the Red Cross hak inisiatif.
2. Dalam konflik bersenjata non-internasional, International Committee of the Red Cross bisa menggunakan hak inisiatif kemanusiaan yang diakui oleh masyarakat internasional dan tercantum pada Pasal 3 ketentuan sama keempat Konvensi Jenewa.
3. Dalam hal terjadinya gangguan dan ketegangan dalam negeri, dan dalam situasi lain yang membutuhkan aksi kemanusiaan, International Committee of the Red Cross juga mempunyai hak inisiatif, yang diakui dalam Anggaran Dasar Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional. Dengan demikian, ketika hukum humaniter internasional tidak berlaku, International Committee of the Red Crossdapat menawarkan pelayanannya kepada pemerintah yang mana tawaran tersebut bukan merupakan campur tangan terhadap urusan internal negara yang bersangkutan.
Komite Internasional Palang Merah (ICRC) adalah organisasi yang tidak memihak, netral, dan independen, yang misinya semata-mata bersifat kemanusiaan, yaitu untuk melindungi kehidupan dan martabat para korban konflik bersenjata dan situasi-situasi kekerasan lainnya, dan memberi mereka bantuan.
International Committee of the Red Crossjuga berusaha mencegah penderitaan dengan mempromosikan dan memperkuat hukum humaniter dan prinsip-prinsip kemanusiaan universal.
International Committee of the Red Cross memiliki landasan dalam tugasnya menegakkan kewajibannya. Selama konflik bersenjata internasional, International Committee of the Red Cross melakukan kegiatannya berdasarkan keempat Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan I dan II Tahun 1977.
Perjanjian-perjanjian ini memberikan hak kepada International Committee of the Red Crossuntuk menyelenggarakan kegiatan tertentu seperti memberikan pertolongan kepada personil militer yang terluka, yang sakit, atau yang kapalnya karam, mengunjungi tawanan perang (Prisoner of War), memberikan bantuan kepada penduduk sipil dan, secara umum, memastikan agar orang-orang yang dilindungi hukum humaniter diperlakukan sesuai dengan hukum tersebut.19
2. Hukum Humaniter Internasional
Hukum Humaniter Internasional adalah seperangkat aturan yang, karena alasan kemanusiaan dibuat untuk membatasi akibat-akibat dari pertikaian senjata.
Hukum ini melindungi mereka yang tidak atau tidak lagi terlibat dalam pertikaian, dan membatasi cara-cara dan metode berperang. Hukum Humaniter Internasional adalah istilah lain dari hukum perang (laws of war) dan hukum konflik bersenjata (laws of armed conflict)20.
Istilah hukum humaniter atau lengkapnya disebut International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict, pada awalnya dikenal sebagai
19 The legitimization strategy of Talibans’s code of conduct : through the one-way mirror.
20 J.G. Starke, “Pengantar Hukum Internasional, Terj.Bambang Iriana”, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hal. 11.
hukum perang (laws of war), yang kemudian berkembang menjadi hukum konflik bersenjata (laws of arms conflict), dan pada akhirnya dikenal dengan istilah hukum humaniter.
Mochtar Kusumaatmadja21 mengemukakan bahwa definisi hukum humaniter adalah: “Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang Itu sendiri”.
Hukum Humaniter Internasional mengenal adanya tiga asas utama di dalamnya, ini yang merupakan sebuah landasan terciptanya peraturan hukum, yaitu:
1. Asas kepentingan militer (military necessity), Asas ini dalam pelaksanaannya sering pula dijabarkan dengan adanya penerapan prinsip – prinsip sebagai berikut:
a. Prinsip pembatasan (Limitation Principle), adalah suatu prinsip yang menghendaki adanya pembatasan terhadap sarana atau alat serta cara atau metode berperang yang dilakukan oleh pihak yang bersengketa.
b. Prinsip proporsionalitas (Proportionality Principle), yang menyatakan bahwa kerusakan yang akan diderita oleh penduduk sipil atau objek sipil harus proporsional sifatnya.
21 Konvensi-Konvensi Palang Merah 1949, Alumni, Bandung, 2002.
2. Asas Perikemanusiaan (humanity), adalah keharusan pihak bersengketa untuk memperhatikan rasa perikemanusiaan, dimana mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka berlebih atau penderitaan yang tidak perlu.
3. Asas kesatriaan (chivalry), Asas ini mengandung arti bahwa di dalam perang, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang tidak terhormat, berbagai macam tipu muslihat dan cara-cara yang bersifat pengkhianatan dilarang.
Selain itu juga terdapat satu asas, yang membedakan atau membagi penduduk dari suatu negara yang sedang berperang atau sedang terlibat dalam konflik bersenjata kedalam dua golongan yaitu, kombatan yang merupakan golongan penduduk yang secara aktif turut serta dalam peperangan dan penduduk sipil adalah golongan penduduk yang tidak turut serta dalam peperangan.Inilah yang disebut dengan “asas pembedaan” atau “prinsip pembedaan “.
Prinsip yang berlaku pada hukum humaniter internasional antara lain:
1. Prinsip kepentingan Militer (Militery Necessity).
Yang dimaksud dengan prinsip ini ialah hak bagi pihak yang berperang agar menentukan kekuatan yang diperlukan, untuk menaklukan musuh dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dengan biaya yang serendah-rendahnya dan dengan korban yang sekecil-kecilnya. Namun demikian, perlu diingat pula bahwa hak pihak yang berperang untuk memiliki alat/senjata untuk menaklukan musuh adalah tidak terbatas.
2. Prinsip Kemanusiaan (Humanity)
Prinsip ini melarang penggunaan semua macam atau tingkat kekerasan (violence) yang tidak diperlukan untuk mencapai tujuan perang. Orang-orang yang luka atau sakit, dan juga mereka yang telah menjadi tawanan perang, tidak lagi merupakan ancaman, dan oleh karena itu mereka harus dirawat dan dilindungi. Demikian pula dengan penduduk sipil yang tidak turut serta dalam konflik harus dilindungi dari akibat perang.
3. Prinsip Kesatriaan (Chivalry)
Prinsip ini tidak membenarkan pemakaian alat/senjata dan cara berperang yang tidak terhormat.
4. Prinsip pembedaan
Prinsip pembedaan (distinction principle) adalah suatu prinsip atau asas yang membedakan atau membagi penduduk dari suatu negara yang sedang berperang atau sedang terlibat dalam konflik bersenjata ke dalam dua golongan, yaitu kombatan (combatan) dan penduduk sipil (civilian). Kombatan adalah golongan penduduk yang secara aktif turut serta dalam permusuhan (hostilities), sedangkan penduduk sipil adalah golongan penduduk yang tidak turut serta dalam permusuhan. Perlunya prinsip pembedaan ini adalah untuk mengetahui mana yang boleh dijadikan sasaran atau obyek kekerasan dan mana yang tidak boleh dijadikan obyek kekerasan. Dalam pelaksanaannya prinsip ini memerlukan penjabaran lebih jauh lagi dalam sebuah asas pelaksanaan (principles of application), yaitu :
a. Pihak-pihak yang bersengketa setiap saat harus bisa membedakan antara kombatan dan penduduk sipil untuk menyelamatkan penduduk sipil dan obyek-obyek sipil.
b. Penduduk sipil tidak boleh dijadikan obyek serangan walaupun untuk membalas serangan (reprisal).
c. Tindakan maupun ancaman yang bertujuan untuk menyebarkan terror terhadap penduduk sipil dilarang.
d. Pihak yang bersengketa harus mengambil langkah pencegahan yang memungkinkan untuk menyelamatkan penduduk sipil atau setidaknya untuk menekan kerugian atau kerusakan yang tidak sengaja menjadi kecil.
e. Hanya angkatan bersenjata yang berhak menyerang dan menahan musuh.
f. Rule of Engagement22
Untuk mengetahui sumber-sumber hukum internasional, kita dapat mengacu pada Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional yang menyebutkan mengenai sumber hukum yang dapat diterapkan, yaitu:
a. International Convention, whether general of particular, establishing rules expressly recognized by the contesting states;
b. International custom, as evidence of a general practice accepted as law;
c. The general principles of law recognized by civilized nations;
22Aturan keterlibatan (ROE) adalah peraturan atau arahan untuk kekuatan militer (termasuk perorangan) yang menentukan keadaan, kondisi, tingkat, dan cara di mana penggunaan kekerasan, atau tindakan yang dapat dianggap provokatif, dapat diterapkan.
d. Subject to the provisions of Article 59, “Judicial decisions and the teaching of the most highly qualified publicist of the various nations, as subsidiary means for the determinations of rules of law.”23
Selama ini hukum humaniter terdiri dari Hukum Jenewa dan Hukum Den Haag. Hukum Jenewa mengatur perlindungan terhadap korban perang, sedangkan hukum Den Haag mengatur mengenai cara dan alat berperang. Kedua ketentuan hukum tersebut merupakan sumber hukum humaniter yang utama, selain konvensi-konvensi lain yang telah disebutkan terdahulu.
1. Konvensi Den Hag (Hague Convention)
Hukum Den Haag merupakan ketentuan hukum humaniter yang mengatur mengenai cara dan alat berperang. Membicarakan Hukum Den Haag berarti kita akan membicarakan hasil-hasil konferensi Perdamaian I yang diadakan pada tahun 1899 dan konferensi perdamaian II yang diadakan pada tahun 1907.
Konvensi-konvensi Den Haag tahun 1899 merupakan hasil Konferensi Perdamaian I di Den Haag (18 Mei–29 Juli 1899). Konferensi ini merupakan prakarsa Tsar Nicolas II dari Russia yang berusaha mengulangi usaha pendahulunya Tsar Alexander I yang menemui kegagalan dalam mewujudkan suatu Konferensi Internasional di Brussel pada tahun 1874. Ide fundamental untuk menghidupkan lagi Konferensi Internasional yang gagal itu adalah Rencana Konsepsi Persekutuan Suci (Holy Alliance tanggal 26 September 1815 antara Austria, Prussia dan Russia. Seperti diketahui bahwa Quadruple Alliance yang ditandatangani oleh Austria, Prussia dan Inggris tanggal 20 November 1815 merupakan kelanjutan dari Kongres Wina september 1814–Juni 1815 untuk
23 Akehurst, Michael,1978, A Modern Introduction to International Law, George Allen and Unwin, London-Boston-Sydney,1978. Page 130
mengevaluasi kembali keadaan di Eropa setelah Napoleon Bonaparte dikalahkan di Waterloo pada tanggal 18 Juni 1815. Untuk melaksanakan kehendak Tsar Nicolas II itu maka pada tahun 1898 menteri Luar Negeri Russia Count Mouravieff mengedarkan surat kepada semua kepala Perwakilan Negara-negara yang diakreditir di St. Petersburg berupa ajakan Tsar untuk berusaha mempertahankan perdamaian Dunia dan mengurangi persenjataan.24
Konferensi yang dimulai pada tanggal 20 Mei 1899 itu berlangsung selama 2 bulan menghasilkan tiga konvensi dan tiga deklarasi pada tanggal 29 Juli 1899. Adapun tiga konvensi yang dihasilkan adalah :
1. Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional 2. Konvensi II tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat
3. Konvensi III tentang Adaptasi Azas-azas Konvensi Jenewa Tanggal 22 Agustus 1864 tentang hukum perang di laut.
Sedangkan tiga deklarasi yang dihasilkan adalah sebagai berikut:
1. Melarang penggunaan peluru–peluru dum–dum (peluru–peluru yang bungkusnya tidak sempurna menutupi bagian dalam sehingga dapat pecah dan membesar dalam tubuh manusia).
2. Peluncuran proyektil–proyektil dan bahan-bahan peledak dari balon, selama jangka lima tahun yang berakhir di tahun 1905 juga dilarang.
3. Penggunaan proyektil–proyektil yang menyebabkan gas–gas cekik dan beracun dilarang.
Konferensi perdamaian yang kedua diadakan pada tahun 1907. Konferensi ini secara umum gagal dan hanya menghasilkan beberapa keputusan. Namun,
24 Ibid 148.
bertemunya negara-negara besar dalam konferensi ini menjadi model bagi upaya–
upaya kerja sama internasional yang dilakukan di kemudian hari di abad ke–20.
Konferensi yang kedua ini sebenarnya telah diserukan akan diadakan pada tahun 1904, atas saran Presiden Theodore Roosevelt, tetapi ditunda karena terjadinya perang antara Rusia dan Jepang. Konferensi Perdamaian Kedua tersebut kemudian diadakan dari tanggal 15 Juni sampai dengan 18 Oktober 1907 untuk memperluas isi Konvensi Den Haag yang semula, dengan mengubah beberapa bagian dan menambahkan sejumlah bagian lain, dengan fokus yang lebih besar pada perang laut. Pihak Inggris mencoba mengegolkan ketentuan mengenai pembatasan persenjataan, tetapi usaha ini digagalkan oleh sejumlah negara lain, dengan dipimpin oleh Jerman, karena Jerman khawatir bahwa itu merupakan usaha Inggris untuk menghentikan pertumbuhan armada Jerman. Jerman juga menolak usulan tentang arbitrase wajib. Namun, konferensi tersebut berhasil memperbesar mekanisme untuk arbitrase sukarela dan menetapkan sejumlah konvensi yang mengatur penagihan utang, aturan perang, dan hak serta kewajiban negara netral.25
Perjanjian Final ditandatangani pada tanggal 18 Oktober 1907 dan mulai berlaku pada tanggal 26 Januari 1910. Perjanjian ini terdiri dari tiga belas seksi, yang dua belas di antaranya diratifikasi dan berlaku.
Konvensi ini merupakan konvensi yang juga tidak bisa di lepaskan kaitannya dengan Konvensi Jenewa. Dimana Konvesi Den Hag membahas tentang ketentuan dalam hal persenjataan dalam berperang semantara Konvensi Jenewa membahas tentang perlindungan korban perang.
1. I - Penyelesaian Damai atas Sengketa Internasional
25 Ibid 157
2. II - Pembatasan Penggunaan Kekuatan untuk Penagihan Utang Kontrak 3. III - Pembukaan Permusuhan
4. IV - Hukum dan Kebiasaan Perang Darat
5. V - Hak dan Kewajiban Negara dan Orang Netral Bilamana Terjadi Perang Darat
6. VI - Status Kapal Dagang Musuh Ketika Pecah Permusuhan 7. VII - Konversi Kapal Dagang Menjadi Kapal Perang
8. VIII - Penempatan Ranjau Kontak Bawah Laut Otomatis 9. IX - Pemboman oleh Pasukan Angkatan Laut di Masa Perang
10. X - Penyesuaian Prinsip-prinsip Konvensi Jenewa terhadap Perang Laut 11. XI - Pembatasan Tertentu Menyangkut Pelaksanaan Hak Menangkap
dalam Perang Laut
12. XII - Pendirian Pengadilan Hadiah Internasional (Tidak diratifikasi]
13. XIII - Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam Perang Laut Selain itu ditandatangani pula dua deklarasi:
1. Deklarasi I - yang isinya memperluas isi Deklarasi II dari Konferensi 1899 untuk mencakup jenis-jenis lain dari pesawat terbang.
2. Deklarasi II - mengenai arbitrase wajib.
Delegasi Brazil dipimpin oleh negarawan Ruy Barbosa, yang kontribusinya sangat penting bagi dipertahankannya prinsip kesetaraan hukum negara-negara. Delegasi Inggris beranggotakan antara lain 11th Lord Reay (Donald James Mackay), Sir Ernest Satow, dan Eyre Crowe. Delegasi Rusia dipimpin oleh Fyodor Martens.
Protokol Jenewa untuk Konvensi Den Haag Meskipun tidak dirundingkan di Den Haag, Protokol Jenewa untuk Konvensi Den Haag dianggap sebagai tambahan untuk Konvensi tersebut. Protokol yang ditandatangani pada tanggal 17 Juni 1925 dan mulai berlaku pada tanggal 8 Februari 1928 ini secara permanen melarang penggunaan segala bentuk cara perang kimia dan cara perang biologi.
Protokol yang hanya mempunyai satu seksi ini berjudul “Protokol Pelarangan atas Penggunaan Gas Pencekik, Gas Beracun, atau Gas-gas Lain dalam Perang dan atas Penggunaan Cara-Cara Berperang dengan Bakteri” (Protocol for the Prohibition of the Use in War of Asphyxiating, Poisonous or Other Gases, and of Bacteriological Methods of Warfare). Protokol ini disusun karena semakin meningkatnya kegusaran publik terhadap perang kimia menyusul dipergunakannya gas mustard dan agen-agen serupa dalam Perang Dunia I dan karena adanya kekhawatiran bahwa senjata kimia dan senjata biologi bisa menimbulkan konsekuensi-konsekuensi mengerikan dalam perang di kemudian hari. Hingga hari ini, protokol tersebut telah diperluas dengan Konvensi Senjata Biologi(Biological Weapons Convention 1972) dan Konvensi Senjata Kimia (Chemical Weapons Convention 1993).
Dalam hubungannnya dengan ratifikasi Indonesia atas Konvensi–konvensi Deen Haag pada tahun 1907 itu maka F.Sugeng Istanto menjelaskan bahwa pada waktu berlangsungnya Konferensi itu Indonesia masih bernama Hindia Belanda yang merupakan jajahan Kerajaan Belanda sehingga ratifikasi yang ditetapkan oleh Kerajaan Belanda dengan Undang-Undang (Wet Book) tanggal 1 Juli 1909 dan keputusan Raja tanggal 22 Februari 1919 berlaku pula bagi Hindia Belanda.
Ketika terjadi pengakuan kedaulatan oleh Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia Serikat pada taggal 27 Desember 1949, maka hak dan kewajiban Hindia–Belanda beralih kepada Republik Indonesia Serikat melalui Persetujuan Peralihan yang merupakan Lampiran Induk Perjanjian KMB di Den Haag.
Ketika susunan Negara mengalami perubahan dari Republik Indonesia Serikat menjadi Republik Indonesia Kesatuan, maka ketentuan peralihan UUDS 1950 telah menjadi jembatan penghubung tetap sahnya ratifikasi itu, demikian juga ketika UUD 1945 berlaku kembali melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1969, Pasal II Aturan Peralihan telah menampung hal-hal yang belum diatur oeh UUD 1945 termasuk Ratifikasi terhadap Konvensi Den Haag tersebut.
2. Konvensi Jenewa (Geneva Convention)
Apabila Konvensi Den Haag lebih membahas tentang tata cara serta alat yang dipergunakan dalam berperang, maka dalam Konvensi Jenewa sendiri lebih mengarah kepada tata cara dalam memperlakukan dan melindungi korban dari perang yang terjadi. Konvensi ini juga sama dengan Konvensi Den Haag, dimana nama yang diambil berasal dari daerah tempat lahirnya Konvensi ini, yaitu Konvensi Jenewa yang merupakan salah satu wilayah di Swiss.Konvensi ini terjadi pada tahun 1949. Dalam Konvensi ini terdapat banyak pasal yang sangat mengarah atau membahas tentang cara memperlakukan korban maupun penduduk sipil yang tidak boleh tersentuh ketika perang berlangsung.
Setelah perang dunia kedua, Konvensi ini disempurnakan menjadi empat Konvensi, yang kesemua isinya menyangkut tentang pasal-pasal yang menyangkut tentang perlindungan bagi warga sipil, orang-orang yang tertangkap
saat perang, perlindungan bagi korban perang, serta para pelayan kesehatan dalam perang.
Konvensi 1949 menghasilkan empat hukum yang isinya :
Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the
Wounded and Sick in Armed Forces in the Field (Convention I) – Mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka dan Sakit di Darat.
Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of
Wounded, Sick and Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea (Convention II) – Mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka, Sakit, dan Karam di Laut.
Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoners of War (Convention II) – Mengenai Perlakuan Terhadap Tawanan Perang.
Geneva Convention relative to Protection of Civilian Persons in Time
of War (Convention IV) – Mengenai Perlindungan Orang Sipil di Masa Perang.
Kemudian selain empat Konvensi yang dihasilkan diatas, terdapat dua protokol tambahan yang dihasilkan padaDiplomatic Conference 8 Juni 1977 :
Protocol Additional to the Geneva Convention of 1949, and relating
to the Protection of Victims of International Armed Conflicts [Protokol I].
Protocol Additional to the Geneva Conventions of 1949, and relating to the Protection of Victims of Non-International Armed Conflicts [Protokol II].
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan secara berdasarkan bahan hukum utama dengan cara menelaah dan menganalisis teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum serta peraturan perundang-undangan dan keputusan hakim yang berhubungan dengan penelitian ini. Pendekatan yuridis normatif ini dilakukan untuk meneliti seperti apa pengaturan serta norma-norma hukum yang mengatur asas-asas perlindungan korban perang sebagaimana yang terdapat di dalam perangkat hukum internasional.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian yang bersifat deskriptif yaitu metode penelitian yang memaparkan data-data kemudian dianalisis dan dibandingkan berdasarkan kenyataan yang sedang berlangsung dan selanjutnya mencoba untuk memberikan pemecahan masalahnya.
2. Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yang merupakan landasan utama yang digunakan dalam penelitian ini. bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan I 1997 tentang Perlindungan Korban Perang dan Perlindungan Korban-Korban Pertikaian-Pertikaian Bersenjata Internasional.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang menunjang dan memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti tulisan-tulisan serta
jurnal ilmiah, buku-buku, makalah, artikel dari media cetak dan media elektronik dan pendapat para ahli hukum internasional yang terkait dengan masalah penulisan.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan Penulis melalui Penelitian Pustaka (Library Research). Pengumpulan data yang dilakukan ini dilakukan dengan cara mempelajari dan menganalisis berbagai macam bahan bacaan yang berkaitan dengan objek kajian dalam skripsi ini antara lain berupa, buku-buku, jurnal-jurnal, dokumen-dokumen, artikel serta karya tulis dalam bentuk media cetak yang dapat di percaya secara langsung maupun tidak langsung (media internet). Dengan demikian akan diperoleh kesimpulan yang lebih terarah dari pokok pembahasan.
G. Sistematika penulisan
Untuk memudahkan pemahaman dalam upaya kearah mendapatkan jawaban atas rumusan permasalahan, maka pembahasan akan diuraikan secara garis besar melalui sistematika penulisan. Tujuannya agar tidak terjadi kesimpangsiuran pemikiran dalam menguraikan lebih lanjut mengenai inti sari permasalahan yang akan dicari jawabannya. Pada bagian ini terdapat ringkasan garis besar dari lima bab yang terdapat di dalam skripsi.
Setiap bab terdiri dari beberapa sub-bab yang akan mendukung keutuhan pembahasan setiap bab. Sistematikanya adalah sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam BAB I ini dibahas mengenai latar belakang yang menjelaskan alasan penulis memilih judul penelitian yang
kemudian akan dilanjutkan dengan perumusan masalah dan diikuti dengan tujuan penelitian serta mandaat dari penelitian ini. Bab ini juga membahas mengenai keaslian penulis, tinjauan kepustakaan serta metodologi penelitian yang digunakan dan diakhiri dengan sistematika penulisan.
BAB II PENGATURAN KONVENSI JENEWA 1949 DAN PROTOKOL TAMBAHAN I 1997 TERKAIT PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN PERANG
Dalam BAB II ini dibahas mengenai asal mula terjadinya konflik di Palestina termasuk juga memaparkan kronologi dan anatomi konflik di Palestina, kronologi dan anatomi konflik Israel- Palestina, serta bagaimana perlindungan hukum Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan I 1997 terhadap korban perang, serta bagaimana penerapan Konvensi Jenewa 1949 pada kenyataannya saat Perang Palestina.
BAB III TINJAUAN HUKUM INTERNATIONAL COMMITTEE OF THE RED CROSS DAN STATUSNYA SEBAGAI SUNYEK
HUKUM INTERNASIONAL YANG MELINDUNGI KORBAN-KORBAN PERANG
Dalam BAB III ini dibahas mengenai peran subyek-subyek hukum internasional, yang di dalamnya dipaparkan mengenai status, International Committee of the Red Cross sebagai subyek hukum, serta bagaimana pengakuan International Committee of the Red
Cross sebagai subyek Hukum yang Bertugas Menangani Korban- Korban Perang.
BAB IV PERLINDUNGAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN ICRC (INTERNATIONAL COMMITTEE OF THE RED CROSS)
TERHADAP KORBAN PERANG PALESTINA
Dalam BAB IV ini dibahas mengenai fungsi dan peran International Committee of the Red dalam perkembangan hukum internasional, termasuk juga menjelaskan bagaimana kiprah International Committee of the Red Cross dalam menghadapi korban konflik di Palestina konflik, serta seperti apa pelaksanaan fungsi dan perkembangan International Committee of the Red Cross dewasa ini di Indonesia.
BAB V PENUTUP
Terdiri dari kesimpulan dan saran. Sebagai bagian akhir dari skripsi, maka dalam bab ini dirangkum intisari dari hasil penelitian yang telah dilakukan, serta memberikan saran terhadap perlindungan korban khususnya korban perang di Palestina.
BAB II
PENGATURAN KONVENSI JENEWA 1949 DAN PROTOKOL TAMBAHAN I 1997TERKAIT PERLINDUNGAN TERHADAP
KORBAN PERANG
A. Asal Mula Serta Kronologi dan Anatomi Terjadinya Konflik di Palestina Konflik Israel-Palestina ini bukanlah sebuah konflik dua sisi yang sederhana, seolah-olah seluruh bangsa Israel (atau bahkan seluruh orang Yahudi yang berkebangsaan Israel) memiliki satu pandangan yang sama, sementara seluruh bangsa Palestina memiliki pandangan yang sebaliknya. Di kedua komunitas terdapat orang-orang dan kelompok-kelompok yang menganjurkan penyingkiran teritorial total dari komunitas yang lainnya, sebagian menganjurkan solusi dua negara, dan sebagian lagi menganjurkan solusi dua bangsa dengan satu negara sekuler yang mencakup wilayah Israel masa kini, Jalur Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur.
Konflik yang terjadi di Palestina pada dasarnya tidak terjadi karena penduduk Palestina mayoritas Muslim sedangkan penduduk Israel itu beragama Yahudi. Konflik ini dimulai setelah perang dunia kedua, ketika masyarakat Israel berpikir untuk memiliki negara sendiri.26 Letak negara Palestina adalah tanah leluhur Israel yang pada saat itu merupakan tanah jajahan Inggris karena secara leluhur mereka memilikinya, selain itu secara religius ada beberapa tempat ibadah Yahudi di Palestina.
Tidak hanya dilihat dalam dimensi politik, teologi serta latar belakangnya, konflik Israel–Palestina dengan sendirinya dapat diposisikan sebagai konflik
26Menurut sejarah mereka keluar dari tanah Israel setelah Perang Salib karena dituduh pro-Kristen oleh tentara Islam, yang kemudian ditinggali oleh orang-orang Palestina.
sosial mengingat kasus ini dapat disoroti dari beberapa aspek. Konflik sosial sendiri –sebagaimana dikatakan Oberschall mengutip Coser– diartikan sebagai
"...A strugle over values or claims to status, power, and scare resource, in wich the aims of the conflict groups are not only to gain the desired values, but also to neutralise injure or eliminate rivals.”27Pengertian ini menunjukkan bahwa konflik sosial meliputi spektrum yang lebar dengan melibatkan berbagi konflik yang membingkainya, seperti: konflik antar kelas (social class conflict), konflik ras (ethnics and racial conflicts), konflik antar pemeluk agama (religions conflict), konflik antar komunitas (communal conflict), dan lain sebagainya.
Dalam kasus Israel–Palestina, aspek politik bukanlah satu-satunya dimensi yang dapat digunakan untuk menyoroti konflik kedua negara tersebut, demikian halnya dengan dimensi teologis yang oleh banyak pihak dianggap tidak ada hubungannya dengan konflik ini. Sebagian pihak memandang konflik Israel- Palestina murni sebagai konflik politik, sementara sebagian yang lain memandang konflik ini sarat dengan nuansa teologis. Nuansa teologis dalam konflik Israel- Palestina bukan saja ditunjukkan dengan terbangunnya stigma perang Yahudi- Islam, akan tetapi kekayikan terhadap "tanah yang dijanjikan" sebagai tradisi teologis Yahudi juga tidak dapat dipisahkan dalam kasus ini. Oleh karenanya, tidak ada dari kedua aspek di atas (politik dan teologi) yang dapat dianggap lebih tepat sebagai pemicu konflik Israel-Palestina, karena sepanjang sejarahnya kedua aspek tersebut turut mewarnai konflik ini.
Membentangkan sejarah kelam hubungan Israel-yang kerap dikerumuni konflik berkepanjangan sama rumitnya dengan melacak sejarah Yahudi itu
27 A. Oberschall. 1978. "Theories of Social Conflict". Annual Review of Sociology.Vol. 4.
Page: 291-315.