• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN KONVENSI JENEWA 1949 DAN

C. Penerapan Konvensi Jenewa 1949 Pada

Satu-satunya pasal yang mengatur sengketa bersenjata non internasional dalam Konvensi Jenewa 1949 adalah Pasal 3.Disebut Pasal 3 yang bersamaan dengan Konvensi Jenewa 1949, karena pasal ini dicantumkan dalam keempat Konvensi Jenewa dengan bunyi yang sama.Ketentuan yang tercantum di dalamnya dianggap sangat penting sehingga memerlukan perhatian dari semua pihak negara yang terlibat, atau merekasemuayang terlibat dalam sengketa bersenjata non internasional atau konflik dalam negeri (internal conflict) atau perang saudara (civil war). Karena demikian pentingnya, pasal ini bahwa disebut sebagai Mini Convention, atau Convention Within the Convention.95

Pasal 3 merupakan instrument yang sangat lentur, mungkin merupakan jawaban terbaik atas sengketa-sengketa dalam negeri (internal conflict), yang secara politik biasanya sangat rawan. Syarat-syarat penerapannya yang dirumuskan secara samar berarti bahwa dalam kasus khusus, penerapan Pasal 3 mungkin diperlukan tanpa keadaan aktual yang harus dijelaskan dari sudut pandang hukum. Dalam beberapa keadaan pemimpin yang memegang kekekuasaan (authority) diselamatkan dari kewajiban menerima kelemahan posisi mereka.96

Dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan hukum humaniter yang berlaku dalam sengketa bersenjata internasional yang dengan mudah dapat dilihat atau dipahami, ketentuan pasal 3 yang diterapkan pada sengketa bersenjata dalam negeri (internal conflict) atau sengekata bersenjata non internasional (non

95 Kalshoven and Zegveld, op. cit., p. 69.

96 Hans Haug, op. cit., p. 558.

international armed conflict) masih memerlukan penelitian. Ini disebabkan karena cara perang yang dulunya masih bersifat tradisional telah mengalami perubahan pesat dan dewasa ini banyak sekali perang yang tidak diumumkan, menimbulkan suatu pertanyaan mengenai bagaimana lingkup hukum humaniter yang berlaku pada keadaan tersebut.97

Sama halnya seperti perang yang terjadi di Palestina, alasan politik dan kepentingan suatu urusan maupun organ hukum tidak lagi mementingkan undang-undang serta ketentuan yang berlaku yang menjadi limiter dalam berperang.

Disatu sisi, Israel tanpa segan terus menggencarkan serangannya dan tidak memikirkan titik-titik khusus dimana dilarang keras untuk menjatuhkan bom disana, atau memikirkan dampak berkepanjangan yang akan dialami orang-orang terkhusus kepada anak-anak.

Pasal 3 mengharuskan perlakuan yang baik, tanpa pembedaan, mereka yang tidak aktif mengambil bagian dalam permusuhan, termasuk para anggota angkatan bersenjata (regular dan sebaliknya) yang telah menyerah atau yang uzur tempur (hors de combat) karena sakit, luka, penahanan, atau sebab-sebab lain.

Adapun tindakan-tindakan yang dilarang untuk orang-orang ini, yaitu :

1. Kekerasan terhadap nyawa dan pribadi, terutama semua jenis pembunuhan, pemotongan anggota badan, perlakuan kejam dan penyiksaan;

2. Penyanderaan;

3. Perendahan atas martabat prinbadi, khususnya penghinaan dan perlakuan yang bersifat merendahkan;

97http://defensewiki.ibj.org/index.php/Common_Article_3_of_the_four_Geneva_Conventi ons_of_1949_and_Additional_Protocols_I_and_II diakses pada tanggal 1 Desember 2016.

4. Menjatuhkan hukuman dan melaksanakan eksekusi tanoa putusan hakim lebih dahulu yang diumumkan oleh pengadilan yang dilaksanakan sebagaimana lazimnya yang mewmberikan semua jaminan yang sangat diperlukan oleh bangsa-bangsa yang beradab.

Kalshoven dan Zegveld98 mencatat bahwa kata respect dan protection tidak tercantum dalam teks ini.Juga tidak disebutkan mengenai status tawanan perang, juga soal untuk siapa status itu, dan tidak pula disebutkan hukuman bagi mereka yang mengambil bagian dalam permusuhan.Satu-satunya syarat adalah peradilan yang jujur (fair trial).Terkait dengan bantuan kemanusiaan, pasal 3 tidak mengharuskan lebih dari sekedaryang luka dan sakit harus dikumpulkan dan dirawat saja.Soal-soal seperti pendaftaran, informasi, status personil kesehatan, rumah sakit, dan ambulan tidak disebutkan sama sekali.99

Karena hukum kebiasaan internasional tidak menetapkan syarat-syarat terkait dengan, “As customary international law imposed no requirements with regard to the treatment of the participants of civil conflict, the determination as to the minimum protection to be given to the victims of non-international armed conflicts had been deliberated and negotiated by states and the outcome of that is the Geneva Conventions of 1949. The idea projected in these Conventions and by the subsequent state practice is that to the international armed conflicts the Hague and Geneva regime would apply and to non-international conflicts common article 3 of the Geneva Conventions of 1949 and Protocol II to Geneva Conventions would apply. Common article 3 appears to have been constructed

98Kalshoven, Frits and Liesbeth Zegveld (March 2001). Constraints on the waging of war: An introduction to international humanitarian law. Geneva: International Committee of the Red Cross.

99 Kalshovena and Zegveld, op. cit., p. 69-70.

ambiguously with a view to achieve a delicate compromise acceptable to states which are in favour of the restrictive application of humanitarian law to non-international armed conflict. However recent efforts to expand the scope of common article 3 by national legislation and through judicial interpretation by national courts offer much more protection to the victims of non-international armed conflicts than its implementation through international ad-hoc tribunals.”

“Sebagai hukum kebiasaan internasional yang tidak memiliki syarat sehubungan dengan pengobatan peserta dari konflik sipil, penentuan untuk perlindungan minimum yang harus diberikan kepada para korban konflik bersenjata non-internasional telah dibahas dan dinegosiasikan oleh negara-negara dan hasilnya adalah Konvensi Jenewa 1949. Ide memproyeksikan Konvensi ini kedalam kehidupan nyata oleh praktek negara adalah bahwa untuk konflik bersenjata internasional, rezim Den Haag dan Jenewa akan berlaku dan konflik non-internasional umum pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol II untuk Konvensi Jenewa akan berlaku. Pasal 3 tampaknya telah membuat statmen ambigu dengan maksud untuk mencapai kompromi secara halus agar dapat diterima negara-negara yang mendukung penerapan pembatasan hukum kemanusiaan untuk konflik bersenjata.Namun upaya terakhir untuk memperluas lingkup umum pasal 3 oleh undang-undang nasional dan melalui interpretasi hukum oleh pengadilan nasional menawarkan lebih banyak perlindungan kepada korban konflik bersenjata non-internasional daripada pelaksanaannya melalui pengadilan ad-hoc internasional.”

BAB III

TINJAUAN HUKUM INTERNATIONAL COMMITTEE OF THE RED CROSS SEBAGAI SUBYEK HUKUM INTERNASIONAL YANG

MELINDUNGI KORBAN-KORBAN PERANG A. Subyek-Subyek Hukum Internasional

Subyek hukum secara umum berarti segala sesuatu yang dianggap menjadi pendukung hak dan kewajiban.Pada mulanya, yang dianggap sebagai subyek hukum nasional hanyalah individu. Tetapi karena perkembangan zaman, maka badan hukum juga dapat dianggap sebagai subyek hukum (rechtspersoon),karena ia memiliki hak dan kewajiban tersendiri dalam lalu lintas hukum.

Dalam hukum internasional, pengertian subyek hukum dapat ditemukan dalam definisi yang dibuat oleh beberapa pakar hukum internasional, antara lain:

Menurut Ian Brownlie, pengertian subyek hukum internasional merupakan entitas yang menyandang hak-hak dan kewajiban-kewajiban internasional, dan mempunyai kemampuan untuk mempertahankan hak-haknya dengan mengajukan klaim-klaim internasional.100 Selanjutnya ia menambahkan bahwa subyek hukum internasional juga mempunyai kemampuan untuk mengajukan klaim-klaim dalam hal terjadinya pelanggaran-pelanggaran hukum internasional, kemampuan untuk membuat perjanjian-perjanjian dan persetujuan-persetujuan yang sah dalam latar internasional, dan dapat menikmati hak-hak istimewa (privileges) dan kekebalan-kekebalan (immunities) dari yurisdiksi-yurisdiksi nasional.

Sedangkan menurut Mochtar Kusumaatmadja pengertian subyek hukum internasional adalah pemegang (segala) hak dan kewajiban menurut hukum

100Ian Brownlie, Principles of Public International Law, The English Language Book Society and Oxford University Press, 1977, halaman. 60.

internasional. Subyek hukum semacam ini disebut subyek hukum internasional penuh, mencakup pula keadaan-keadaan dimana yang dimilikinya itu hanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban terbatas, misalnya kewenangan untuk mengadakan penuntutan hak yang diberikan oleh hukum internasional di muka pengadilan berdasarkan suatu konvensi, misalnya individu, dan subyek hukum internasional memperoleh kedudukan berdasarkan hukum kebiasaan internasional karena perkembangan sejarah.101

Pada awalnya, bahkan sampai sekarang ini, negara masih diakui sebagai subyek hukum internasional yang paling utama.Negara adalah subyek hukum internasional dalam arti klasik sejak lahirnya hukum internasional dan sampai sekarang masih ada anggapan bahwa hukum internasional itu pada hakekatnya adalah hukum antar negara.Hal ini disebabkan negara mempunyai hak dan kewajiban yang utuh yang diakui hukum internasional.Tetapi karena perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat internasional dari abad keabad, negara saat ini bukanlah satu-satunya subyek hukum internasional.

Ketentuan hukum internasional terutama berkenaan dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban, serta kepentingan-kepentingan negara.Biasanya ketentuan hukum internasional merupakan ketentuan yang harus ditaati negara-negara, dan dalam traktat-traktat dapat membedakan kewajiban yang disetujui sendiri untuk dilaksanakan oleh negara penandatanganan. Anggapan bahwa negara adalah satu-satunya subyek hukum internasional merupakan anggapan yang wajar sekali dimana hubungan antara negara identik dengan hubungan internasional.

101Mochtar Kusumaatmadja, “Pengantar Hukum Internasiona”l, Op.cit, halaman. 88.

Anggapan semacam ini dianut pada awal perkembangan hukum internasional sampai pada awal abad ke-20.

Anggapan ini antara lain dibantah oleh Kelsen, sebagaimana dikutip oleh Mochtar Kusumaatmadja, yang mengajukan teori bahwa apa yang dinamakan hak-hak dan kewajiban negara sebenarnya merupakan hak-hak dan kewajiban manusia-manusia yang merupakan anggota masyarakat yang mengorganisir dirinya dalam negara itu. Teori Kelsen ini intinya adalah bahwa subyek hukum internasional yang sesungguhnya adalah individu.102

Dalam perkembangan hukum internasional selanjutnya, ternyata jenis-jenis subyek hukum internasional bertambah sejalan dengan perkembangan hubungan internasional. Jenis-jenis subyek hukum internasional yang telah diakui secara umum sampai saat ini adalah negara, organisasi internasional, pemberontakan (insurgency), belligerency (pihak yang terlibat dalam perang), tempat kedudukan Paus di Vatican (The Holy See), wilayah mandat/ perwalian, wilayah koloni, Gerakan Pembebasan, dan individu.103

Dalam perkembangan hubungan internasional dewasa ini, organisasi internasional merupakan subyek hukum yang penting selain negara, mengingat kontribusinya yang sangat besar dalam berbagai bidang kehidupan manusia.

Organisasi internasional adalah organisasi yang timbul dari hubungan internasional yang menampung kehendak banyak negara. Negara melalui organisasi itu akan berusaha mencapai tujuan yang menjadi kepentingan bersama dan kepentingan ini menyangkut bidang kehidupan internasional yang sangat luas sehingga diperlukan peraturan internasional agar kepentingan masing-masing

102Ibid.,halaman. 90.

103Ibid.,halaman. 89-105.

negara dapat terjamin.104 Oppenheim, seorang pakar bidang hukum internasional memberi rumusan mengenai defenisi internasional yaitu:“An association of states of potentially universal character for the ultimate fulfillment of purposes which, in relation to indivifuals organised in political society, are realized by the state.”105

Menurut Bowett, perkembangan organisasi internasional merupakan jawaban atas kebutuhan nyata yang timbul dari pergaulan internasional.

Pertumbuhan pergaulan internasional, dalam arti perkembangan hubungan antara rakyat yang beragam merupakan cirri konstan dari peradaban yang matang, kemajuan dalam bidang komunikasi dan perdaganngan menciptakan tingkat hubungan yang akhirnya memerlukan pengaturan melalui cara-cara kelembagaan.106

Sumaryo Suryokusumo mencatat beberapa jenis organisasi internasional, yaitu comission, union, council, league, association, united nations, commonwealth, community, dan cooperation.107

Pada awalnya, organisasi internasional ini berbentuk suatu perhimpunan atau perserikatan (union), yang bergerak di bidang publik dan perdata (public and private international union).Anggota public international union biasanya adalah negara-negara (yang kemudian berkembang menjadi organisasi internasional), sedangkan private international union dibentuk oleh lembaga non pemerintah, baik individual atau suatu asosiasi, yang memiliki kepentingan yang bersifat internasional. Bowett membuat kriteria private international union ini sebagai berikut :

104 Sumaryo Suryokusumo, Hukum Organisasi Internasional, Jakarta, 1990, halaman 1.

105 L. Oppenheim, International Law : a treatise, vol 1, New York, 1955, halaman. 370.

106D.W.Bowett, The Law of International Institutions, London, 1982, halaman. 1.

107 Sumaryo Suryokusumo, Op. Cit, halaman. 1.

1. The Possesssion of a permanent organ (Kepemilikan sebuah organ yang permanen)

2. The object must be interest to all or some nations, and not one of profit (Obyeknya harus berkepentingan semua bangsa atau beberapa, dan tidak satu keuntungan)

3. The membership should be open to individuals or group from different countries (Keanggotaan harus terbuka untuk individu atau kelompok dari beberapa negara)

4. Emphazied the need for permanent organization and for periodic, regular meeting (Menekankan perlunya bagi organsisasi permanen dan periodik, pertemuan rutin)

5. Set up a small, permanent secretariat (Mendirikan sekretariat kecil yang permanen)

Menurut Sumaryo Suryokusumo, organisasi dalam arti luas meliputi organisasi internasional publik dan organisasi internasional privat, tetapi pada hakikatnya yang disebut organisasi internsional publik, adalah yang anggotanya terdiri dari negara.108

B. Status International Committee of the Red Cross Sebagai Subyek Hukum Mengenai status International Committee of the Red Cross sebagai subyek hukum internasional, ternyata masih terdapat perbedaan pendapat dikalangan pakar hukum internasional, apakah International Committee of the Red Cross dapat diklasifikasikan sebagai suatu organisasi internasional atau memiliki status tersendiri.

108 Sumaryo Suryokusumo, Op.Cit., halaman 12

Mochtar Kusumaatmadja dalam pembahasan mengenai subyek hukum internasional memberikan tempat yang terpisah dari organisasi internasional bagi International Committee of the Red Cross.Beliau juga menyebutkan bahwa

“Sekarang Palang Merah Internasional (International Committee of the Red Cross) secara umum diakui sebagai organisasi internasional yang memiliki kedudukan sebagai subyek hukum internasional walaupun dengan ruang lingkup yang terbatas.”109

Sedangkan Bowett tampaknya menolak anggapan bahwa International Committee of the Red Crosstermasuk organisasi internasional. Hal ini terlihat dari pendapat beliau yang menggolongkan International Committee of the Red Cross sebagai private international union, sedangkan yang dianggap awal perkembangan organisasi internasional menurut beliau adalah public international union.110

Selain itu, Oppenheim, Goodspeed, dan umumnya pendapat para sarjana lain yang secara tegas menyatakan bahwa keanggotaan organisasi internasional adalah negara-negara, tentunya akan menolak untuk menggolongkan International Committee of the Red Cross terdiri dari individu, walaupun memang harus diakui bahwa International Committee of the Red Crossmemenuhi sebagian besar kriteria sebagai suatu organisasi internasional, misalnya :

1. Memiliki organisasi yang tetap untuk menjalankan fungsi-fungsinya, berupa organ-organ khusus yang akan menjalankan fungsi International Committee of the Red Cross sebagaimana tercantum dalam Statuta Gerakan International Committee of the Red Cross, dan Konvensi Jenewa.

109 Mochtar Kusumaatmadja, Loc. Cit, halaman. 94

110 Bowett, Op. Cit., halaman. 4.

2. Memiliki instrument dasar berupa Statuta International Committee of the Red Cross yang diadopsi tanggal 21 Juni 1973, dimana di dalamnya dicantumkan struktur organisasi International Committee of the Red Cross(pasal 8-10), metode operasi berupa “Rules of Procedur” (pasal 13), baik untuk International Committee of the Red Crosssendiri maupun dalam kapasitasnya sebagai bagian dari Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional.

3. Memiliki lembaga konsultatif berupa Konferensi Internasional Palang Merah yang diadakan setiap 4 tahun sekali. Pada konferensi ini dihasilkan berbagai resolusi yang akan menjadi pedoman kerja bagi seluruh unsur GerakanInternational Committee of the Red Cross. Konferensi ini dihadiri oleh International Committee of the Red Cross, Federasi, Perhimpunan Nasional, serta negara-negara penandatanganan Konvensi Jenewa. Selain itu ada pula lembaga Council of Delegates yang terdiri dari wakil-wakil International Committee of the Red Cross, Federasi, dan Perhimpunan Nasional yang bertemu 2 tahun sekali untuk memberikan pendapat atas kebijakan dan masalah umum bagi semua unsur Gerakan.

4. Memiliki sekretariat tetap yang berpusat di Jenewa yang menjalankan fungsi-fungsi administratif, riset, dan informasi secara terus menerus.

Dalam perkembangan dewasa ini, terminologi ‘organisasi internasional’

memang lebih ditekankan pada organisasi yang didirikan oleh negara-negara dan anggotanya adalah negara-negara pula, dan adanya suatu perjanjian internasional yang menjadi instrument dasar organisasi tersebut.Dengan demikian, maka dapat

dikatakan bahwa International Committee of the Red Crossmemiliki kedudukan tersendiri dalam hal statusnya sebagai subyek hukum internasional.

International Committee of the Red Crossadalah produk dari inisiatif pribadi (bukan negara). Pembentukan International Committee of the Red Crosstidak berdasarkan inisiatif atau perjanjian internasional antar beberapa negara sebagaimana organisasi internasional umumnya, tetapi adalah atas inisiatif pribadi Henry Dunant dan rekan-rekannya. International Committee of the Red Cross dibentuk berdasarkan hukum perdata Swiss. Tetapi melalui berbagai tugas yang dibebankan kepadanya oleh Konvensi Jenewa dan protokol tambahannya, International Committee of the Red Cross memperoleh status internasionalnya, yang mana status tersebut memberikan hak bagi International Committee of the Red Cross untuk melaksanakan misinya di seluruh dunia. Mandat yang diberikan itu juga memungkinkan International Committee of the Red Cross untuk melakukan hubungan dengan negara-negara dengan membuka perwakilan dan menyebarkan delegasinya. Hubungan yang dibuat International Committee of the Red Crossdengan pemerintah dalam rangka pengawasan korban perang tidak akan mempengaruhi status kedua belah pihak.

Dimensi internasional International Committee of the Red Cross dikuatkan dengan headquarter agreement atau seat agreement yang telah dibuat 50 negara dimana International Committee of the Red Cross membuka kantor perwakilan (misalnya regional delegation). Dengan adanya perjanjian ini, negara mengakui International Committee of the Red Cross sebagai suatu kesatuan hukum dan menjamin hak-hak istimewa serta kekebalannya seperti anggota korps diplomatik.

Hal ini termasuk kekebalan dari proses hukum, yang melindungi staf

International Committee of the Red Cross dari proses administrasi dan yudisial, serta tidak mengganggu arsip dan dokumen International Committee of the Red Cross.111

Hak-hak istimewa dan kekebalan bagi International Committee of the Red Crossini perlu diberikan untuk menjamin sifat netral dan kemandirian International Committee of the Red Cross.Karena sifat dan keanggotaannya yang non pemerintah, International Committee of the Red Crosssecara organisasional berada di luar sistem Perserikatan Bangsa-Bangsa atau organisasi interbasional lainnya. Disinilah antara lain letak kemandirian International Committee of the Red Cross. Namun, walaupun International Committee of the Red Crossbersifat non-pemerintahan karena tidak dibuat berdasarkan kesepakatan negara internasional, namun dalam sistemnya, International Committee of the Red Cross tetap menjalin kerjassama dengan lembaga internasional yang bersifat kemanusiaan seperti Unitied Nations atau United Nations Children’s Fund..

Jelaslah bahwa International Committee of the Red Crossmerupakan badan hukum privat yang dibentuk berdasarkan Hukum Perdata Swiss.Hal ini berbeda dengan sebuah organisasi internasional, yang dibentuk berdasarkan sebuah perjanjian internasional antara negara-negara pendirinya. Keanggotaan International Committee of the Red Cross juga bukan negara, tetapi individu yang direkrut langsung oleh International Committee of the Red Crossdari kalangan warga negara Swiss saja. Walaupun demikian International Committee of the Red Cross dapat merekrut staf dari warga lokal tempat aktivitasnya dijalankan.

111International Committee of the Red Cross Journal, International Committee of the Red Crossanswes to your questions, Geneva, 1996, halaman. 6

Komposisi keanggotaan International Committee of the Red Crossseluruhnya berasal dari suatu negara yang telah diakui kenetralannya oleh masyarakat internasional dan bersifat individual.Dengan kondisi ini International Committee of the Red Crossdiharapkan dapat menjalankan tugas yang diembannya dengan baik berdasarkan prinsip netralitas dan kemandirian dan tidak dipengaruhi oleh kepentingan politik negara.112

International Committee of the Red Crossmemperoleh mandat untuk melaksanakan fungsinya sebagai penegah yang netral dalam konflik bersenjata, dapat menawarkan jasa baiknya dalam situasi yang bukan merupakan bidang hukum humaniter internasional, misalnya gangguan intern International Committee of the Red Crossbertanggung jawab menyebarluaskan hukum dan prinsip-prinsip humaniter dan mengamati perkembangan serta pelaksanaanya di dalam dan di luar tubuh Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional. Dengan demikian, International Committee of the Red Cross memiliki kewenangan yang terbatas, yaitu dalam bidang hukum humaniter, khususnya perlindungan korban perang.113

Sifat internasional dariInternational Committee of the Red Crosssebagi sebuah organisasi bukan dilihat dari keanggotaannya, tetapi dari misi dan wilayah kerjanya yang berada hamper di seluruh dunia. Hilaire Mc. Coubrey memberikan penegasan bahwa “International Committee of the Red Crossis being

‘international’ in function rather than in membership or corporate

112International Committee of the Red Cross, What it is, What it does, Geneva, 1993, halaman. 6.

113Ibid.,halaman. 4

identity.”114Selain itu, sifat internasional dariInternational Committee of the Red Crossjuga dibuktikan dari pemberian mandat masyarakat internasional melelui Konvensi Jenewa 1949. Untuk dapat menjalankan tugasnya, International Committee of the Red Cross juga memiliki dasar hukum yang terdiri dari dua jenis, yaitu :

1. Perjanjian Internasional (Konvensi Jenewa 1949 dan protokolnya)

Selama konflik bersenjata internasional, International Committee of the Red Crossdiatur dalam Konvensi Jenewa dan Protokol tambahannya, yang mengakui hak International Committee of the Red Crossuntuk melakukan kegiatan tertentu, antara lain membantu korban yang luka, sakit, dan karam, mengunjungi tawanan perang, dan menolong penduduk sipil. Selama konflik intern, International Committee of the Red Crossbekerja berdasarkan pasal 3 Bagian Umum Konvensi Jenewa dan Protokol II, dimana International Committee of the Red Crossdiakui haknya untuk menawarkan operasi bantuan dan kunjungan kepada tahanan kepada para pihak.

2. Statuta Gerakan Palang Merah Internasional

Dalam situasi kekacauan lainnya yang bukan berupa konflik bersenjata, misalnya gangguan keamanan dalam negeri, International Committee of the Red

Dalam situasi kekacauan lainnya yang bukan berupa konflik bersenjata, misalnya gangguan keamanan dalam negeri, International Committee of the Red

Dokumen terkait