• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KEKUATAN PEMBUKTIAN SURAT HIBAH ATAS

B. Kekuatan Pembuktian Surat Hibah Atas Peralihan Tanah

1. Pembuktian Dalam Hukum Acara Perdata

Hukum pembuktian (law of evidence) dalam berperkara merupakan bagian yang sangat kompleks dalam proses litigasi. Keadaan kompleksitasnya makin rumit, karena pembuktian berkaitan dengan kemampuan merekonstruksi kejadian peristiwa masa lalu dan suatu kebenaran (truth).86

Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan.87

Dalam membagi beban pembuktian hakim harus benar-benar adil, pedoman umum bagi hakim dalam membagi beban pembuktian termuat dalam pasal 163 HIR/283 RBg/1865 BW yang menentukan :

“Barangsiapa yang mendalilkan mempunyai sesuatu hak atau mengemukakan suatu peristiwa untuk menegaskan hak-nya atau untuk membantah adanya hak orang lain, haruslah membuktikan adanya hak itu atau adanya peristiwa itu”.88 Berdasarkan ketentuan undang-undang di atas, maka kedua belah pihak yang berperkara baik penggugat maupun tergugat dapat dibebani pembuktian. Penggugat yang menuntut suatu hak wajib membuktikan adanya hak itu atau peristiwa yang menimbulkan hak tersebut, sedangkan tergugat yang membantah adanya hak orang

86Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 75.

87Ibid.

lain (penggugat) wajib membuktikan peristiwa yang menghapuskan atau membantah hak penggugat tersebut. Kalau penggugat tidak dapat membuktikan kebenaran peristiwa atau hubungan hukum yang menimbulkan hak yang dituntutnya ia harus dikalahkan. Sebaliknya, jika tergugat tidak dapat membuktikan kebenaran peristiwa yang menghapuskan hak yang dibantahnya maka ia harus dikalahkan.89

Alat-alat bukti dalam acara perdata yang disebutkan oleh undang-undang dalam pasal 164 HIR/284 RBg/1866 BW ialah : alat bukti tertulis, saksi-saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah.90

a. Alat Bukti Tertulis

Alat bukti tertulis diatur dalam Pasal 138, 165, 167 HIR, 164, 285, 305 Rbg, S.1867 no. 29 dan pasal 1867-1894 BW. Alat bukti tertulis atau surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang bisa dimengerti dan mengandung suatu pikiran tertentu. Surat sebagai alat bukti tertulis dibagi dua yaitu surat yang merupakan akta dan surat-surat lainnya yang bukan akta.

Akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar dari suatu hak atau perikatan yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. Keharusan ditandatanganinya surat untuk dapat disebut akta ternyata dari pasal 1869 BW yang berbunyi :91

89Ibid.

90Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1988), hal. 116.

“Suatu akta, yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai termaksud di atas, atau karena suatu cacad dalam bentuknya, tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, namun demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan jika ia ditanda-tangani oleh para pihak”. Dipersamakan dengan tanda tangan pada suatu akta di bawah tangan ialah sidik jari (cap jempol atau cap jari) yang dikuatkan dengan suatu keterangan yang diberi tanggal oleh seorang notaris atau pejabat lain yang ditunjuk oleh undang-undang (Pasal 1874 BW, Stb. 1867 No.29 Pasal 1, 286 Rbg).92

Akta dapat dibedakan atas 2 (dua) macam yaitu akta otentik dan akta di bawah tangan.93

1) Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu menurut ketentuan undang-undang (pasal 165 HIR, pasal 1868 BW, 285 Rbg) yang bunyinya sebagai berikut :94

“Akta otentik yaitu suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu merupakan bukti yang lengkap antara para pihak dan para ahli warisnya dan mereka yang mendapat hak dari padanya tentang yang tercantum di dalamnya dan bahkan tentang di dalamnya sebagai pemberitahuan belaka, akan tetapi yang terakhir ini hanyalah sepanjang yang diberitahukan itu erat hubungannya dengan pokok dari pada akta”.

Dengan demikian akta otentik dibagi menjadi dua yaitu akta yang dibuat oleh pejabat (acte ambtelijk, procesverbaal acte) , dan akta yang dibuat oleh para pihak (acte partij). Pejabat yang berwenang membuat akta otentik adalah notaris,

92Ibid.

93Riduan Syahrani, Op. Cit., hal. 84

camat, panitera, pegawai pencatat perkawinan dan sebagainya. Berita acara pemeriksaan suatu perkara di persidangan pengadilan dibuat panitera, berita acara penyitaan dan pelelangan barang-barang tergugat yang dibuat oleh jurusita , dan berita acara pelanggaran lalu lintas yang dibuat oleh polisi, merupakan akta-akta otentik yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang yaitu panitera,jurusita dan polisi. Sedangkan akta jual beli tanah dibuat dihadapan camat atau notaris merupakan akta otentik yang dibuat dihadapan pejabat umum yang berwenang selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yaitu camat dan notaris.95

Berdasarkan ketentuan dalam pasal 165 HIR, 285 Rbg, pasal 1870 BW di atas, para ahli menyimpulkan bahwa akta otentik merupakan alat bukti yang mengikat dan sempurna. Mengikat dalam arti bahwa apa yang dicantumkan dalam akta tersebut harus dipercaya oleh hakim yaitu harus dianggap sebagai sesuatu yang benar, selama ketidakbenarannya tidak dibuktikan. Dan sempurna dalam arti bahwa dengan akta otentik tersebut sudah cukup untuk membuktikan sesuatu peristiwa atau hak tanpa perlu penambahan pembuktian dengan alat-alat bukti lain.96

Kekuatan bukti yang sempurna dari akta otentik partai (acte partij) hanya berlaku antara kedua belah pihak dan ahli warisnya serta orang-orang yang mendapatkan hak daripadanya, sebagaimana diterangkan pasal 165 HIR/285 Rbg/1870 BW. Sedangkan terhadap orang lain (pihak ketiga), akta tersebut tidak mempunyai

95Riduan Syahrani, Loc. Cit.

kekuatan bukti yang sempurna melainkan hanya sebagai alat pembuktian bebas artinya penilaiannya diserahkan kepada hakim. Berbeda dengan akta otentik yang dibuat oleh pejabat (acte ambtelijk), akta ini mempunyai kekuatan sebagai keterangan resmi dari pejabat yang bersangkutan, ialah keterangan tentang apa yang ia alami. Akta otentik ini berlaku terhadap setiap orang.97

2) Akta di bawah tangan adalah akta yang dibuat sendiri oleh pihak-pihak yang berkepentingan tanpa bantuan pejabat umum. Akta di bawah tangan ini tidak diatur dalam HIR, tetapi diatur dalam peraturan yang termuat dalam Stb. 1867 No. 29 (untuk Jawa dan Madura), sedang untuk luar Jawa dan Madura diatur dalam pasal 286 sampai dengan 305 Rbg (lihat juga pasal 1874 - 1880 BW). Termasuk dalam pengertian surat di bawah tangan menurut pasal 1 Stb. 1867 No. 29/286 Rbg/1878 BW ialah akta di bawah tangan, surat-surat, daftar (register), catatan mengenai rumah tangga dan surat-surat lainnya yang dibuat tanpa bantuan seorang pejabat.98

Pasal 1b Stb. 1867 No.29/288 Rbg/1875 BW menentukan, bahwa :99

“kalau tanda tangan suatu akta di bawah tangan sudah diakui atau dianggap diakui menurut undang-undang, maka akta tersebut bagi yang menandatangani (mengakui), ahli waris dan orang-orang yang mendapat hak dari mereka, merupakan bukti yang sempurna seperti akta otentik. Tanda Tangan dari si penanda tangan akta memberi pengesahan atas kebenaran isi materiil yang tertera (tercantum) dalam akta itu”.

97Ibid.

98Sudikno Mertokusumo, Loc. Cit.

Apakah akta di bawah tangan demikian sama sepenuhnya dengan akta otentik? Persoalan ini merupakan persoalan tentang kekuatan pembuktian suatu akta, yang dapat dibedakan antara : kekuatan pembuktian formil, kekuatan pembuktian materiil, dan kekuatan pembuktian lahir atau keluar.100

Pada suatu akta otentik terdapat 3 (tiga) macam kekuatan pembuktian akta yaitu:101

a) Mempunyai kekuatan pembuktian formil, yang membuktikan antara para pihak bahwa mereka sudah menerangkan apa yang tertulis dalam akta tersebut.

b) Mempunyai kekuatan pembuktian materiil, yang membuktikan antara para pihak bahwa apa-apa yang mereka terangkan, kemudian ditulis dalam akta, sungguh-sungguh terjadi.

c) Mempunyai kekuatan lahir atau keluar, yang membuktikan tidak saja antara para pihak yang bersangkutan akan tetapi juga terhadap pihak ketiga, bahwa pada tanggal yang tertulis dalam akta itu kedua belah pihak telah menghadap pejabat umum dan menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.102 Apa yang dimaksud Pasal 1b Stb. 1867 No. 29/288 Rbg/1875 BW, bahwa kalau tanda tangan pada suatu akta di bawah tangan sudah diakui maka akta di bawah tangan tersebut merupakan bukti yang sempurna seperti akta otentik, tidak lain

hanyalah ditujukan kepada kekuatan pembuktian formil dan kekuatan

pembuktian materiil. Sedangkan kekuatan pembuktian lahir atau keluar terhadap pihak ketiga, sama sekali tidak ada pada akta di bawah tangan,103 melainkan

100Ibid., hal. 88.

101Ibid.

102Ibid.

terhadap pihak ketiga suatu akta dibawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian yang bebas.104

Dengan demikian akta di bawah tangan hanya dapat diterima sebagai permulaan bukti tertulis (pasal 4 Stb. 1867 No. 29/1871 BW/29 Rbg).105

3) Surat-surat lainnya yang bukan akta adalah setiap tulisan yang tidak sengaja dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan/atau tidak ditandatangani oleh pembuatnya. HIR, Rbg maupun BW tidak ada mengatur tentang kekuatan pembuktian tulisan-tulisan yang bukan akta ini. Namun ada beberapa surat/ tulisan yang bukan akta yang oleh undang-undang ditetapkan sebagai alat bukti yang mengikat artinya harus dipercaya oleh hakim, yang disebut dalam Pasal 1881, 1883 BW, yaitu buku daftar (register), surat-surat rumah tangga dan catatan-catatan yang dibubuhkan oleh seorang kreditur pada suatu alas hak yang selamanya dipegangnya.

Kekuatan pembuktian surat-surat yang bukan akta adalah sebagai alat bukti bebas, artinya hakim mempunyai kebebasan untuk mempercayai atau tidak mempercayai surat-surat yang bukan akta tersebut (diserahkan kepada pertimbangan hakim).106

Alat bukti tertulis yang disampaikan kepada pengadilan harus diberi materai, kecuali sudah berada di atas kertas segel, kalau tidak maka bukti tulisan/surat tersebut akan

104Sudikno Mertokusumo, Op. Cit., hal. 126.

105Ibid., hal. 121.

dikesampingkan hakim (Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 28 Agustus 1975 No. 983 K/Sip/1972).

b. Alat Bukti Saksi

Pembuktian dengan saksi bagi Pengadilan Negeri, terutama dalam

pemeriksaan perkara perdata antara orang-orang Indonesia asli, adalah sangat penting sekali, karena pada umumnya perbuatan-perbuatan hukum di kalangan orang-orang Indonesia asli tidak dibuat tulisan, karena satu sama lain saling mempercayai.107 Alat bukti saksi diatur dalam Pasal 139 sampai dengan 152 HIR, 168 sampai dengan 172 HIR, 165 sampai dengan 179 Rbg, 309 Rbg, 1895 BW, 1902 sampai dengan 1908 BW.

Oleh sebab itu apabila terjadi sengketa maka pihak-pihak yang bersengketa (berperkara) berusaha mengajukan saksi-saksi yang dapat memberikan keterangan yang membenarkan atau menguatkan dalil-dalil yang diajukan di muka persidangan. Pada asasnya semua orang yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum (rechtsbekwaamheid) dapat menjadi saksi, dan ia wajib memberi kesaksian bilamana diminta.108

Dapat tidaknya seorang saksi dipercaya tergantung pada banyak hal, yang harus diperhatikan hakim. Pasal 172 HIR (pasal 309 Rbg, 1908 BW) menentukan bahwa dalam mempertimbangkan nilai kesaksian hakim harus memperhatikan kesesuaian atau kecocokan antara keterangan para saksi, kesesuaian kesaksian dengan

107Riduan Syahrani, Op. Cit., hal. 92.

apa yang diketahui dari segi lain tentang perkara yang disengketakan, pertimbangan yang mungkin ada pada saksi untuk menuturkan kesaksiannya, cara hidup, adat istiadat serta martabat para saksi dan segala sesuatu yang sekiranya mempengaruhi tentang dapat tidaknya dipercayai seorang saksi, dalam hal ini diserahkan kepada pertimbangan hakim.109

Pasal 169 HIR/306 Rbg/1905 BW menentukan bahwa “keterangan seorang saksi saja tanpa alat bukti lainnya tidak dianggap sebagai pembuktian yang cukup. Karenanya sering dikatakan “seorang saksi bukan saksi” (unus testis nullus testis). Keterangan seorang saksi saja baru merupakan permulaan pembuktian”.110

c. Alat Bukti Persangkaan

Persangkaan dalam Pasal 164 HIR/284 Rbg/1866 BW dikatakan sebagai salah satu alat bukti dalam perkara perdata. Persangkaan adalah kesimpulan yang diambil dari suatu peristiwa yang dikenal atau dianggap terbukti, dengan mana diketahui adanya suatu peristiwa yang tidak dikenal. Bilamana yang menarik kesimpulan tersebut undang, maka persangkaan tersebut dinamakan persangkaan undang-undang, sedangkan bilamana yang menarik kesimpulan itu hakim, maka dinamakan persangkaan hakim.111 Karena itu pada hakikatnya yang dimaksud dengan persangkaan adalah alat bukti yang bersifat tidak langsung.

Oleh karena persangkaan hanyalah merupakan suatu kesimpulan maka sementara ahli berpendapat bahwa persangkaan sesungguhnya bukanlah alat bukti

109Sudikno Mertokusumo, Op. Cit., hal. 130.

110Ibid., hal. 132.

karena yang dipakai sebagai alat bukti sebenarnya bukan persangkaan itu sendiri, melainkan alat-alat bukti lainnya, sehingga sebagai alat bukti disamping alat-alat bukti lainnya dapat ditinggalkan.112

Menurut ilmu pengetahuan persangkaan merupakan bukti yang tidak langsung dan dibedakan seperti berikut :113

1) Persangkaan berdasarkan kenyataan (feitelijke atau rechterlijke vermeedens)

Pada persangkaan berdasarkan kenyataan, hakimlah yang memutuskan

berdasarkan kenyataannya, apakah mungkin dan sampai berapa jauh

kemungkinannya untuk membuktikan suatu peristiwa tertentu dengan

membuktikan peristiwa lain.

2) Persangkaan berdasarkan undang-undang (wettelijke atau rechtsvermeedens) Pada persangkaan berdasarkan hukum, maka undang-undanglah yang menetapkan hubungan antara peristiwa yang diajukan dan harus dibuktikan dengan peristiwa yang tidak diajukan. Persangkaan berdasarkan hukum dibagi dua yaitu :

a) Praesumptiones juris tantum, yaitu persangkaan berdasarkan hukum yang memungkinkan adanya pembuktian lawan (missal: pasal 159, 633, 658, 662, 1394, 1439 BW)

b) Praesumptiones juris et de jure, yaitu persangkaan berdasarkan hukum yang tidak memungkinkan pembuktian lawan diatur dalam pasal 1921 BW, yaitu

112 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Bandung: Sumur Bandung, Cet. VI, 1975), hal. 116.

yang dapat menjadi dasar untuk membatalkan perbuatan-perbuatan tertentu (missal: pasal 184, 911, 1681 BW).

d. Alat Bukti Pengakuan

Alat bukti pengakuan diatur dalam pasal-pasal 174, 175, dan 176 HIR/311, 312 dan 313 Rbg/1923-1928 BW. Pengakuan merupakan keterangan baik tertulis maupun lisan yang membenarkan peristiwa, hak atau hubungan hukum yang dikemukakan pihak lawan.114

Pengakuan dapat dibagi atas 2 (dua) macam yaitu :115

1) Pengakuan yang dilakukan di depan sidang pengadilan, menurut pasal 174 HIR/311 Rbg/1925 BW merupakan bukti yang sempurna terhadap siapa yang melakukannya, baik sendiri maupun dengan perantaraan orang lain yang telah mendapat kuasa khusus untuk itu. Dengan demikian apabila tergugat melakukan pengakuan di depan siding pengadilan terhadap gugatan penggugat, maka penggugat tidak perlu lagi mengadakan pembuktian, karena dengan pengakuan tergugat tersebut sudah cukup untuk membuktikan peristiwa atau hubungan hukum yang membuktikan hak baginya. Sehingga dengan adanya pengakuan tergugat tersebut maka perselisihannya dianggap selesai, sekalipun mungkin pengakuan itu tidak benar, namun hakim tidak perlu meneliti kebenaran tersebut (MA. Tanggal 27-10-1971 No. 858 K/Sip/1971).

114Riduan Syahrani, Op. Cit., hal. 101.

2. Pengakuan yang dilakukan di luar sidang pengadilan, menurut ketentuan pasal 175 HIR/312 Rbg/1927, 1928 BW tidak merupakan bukti yang mengikat tetapi bukti bebas. Apabila pengakuan di luar sidang pengadilan dilakukan secara tertulis, maka tulisan yang memuat pengakuan tersebut dapat digolongkan sebagai bukti tulisan bukan akta, yang juga mempunyai kekuatan bebas. Pengakuan di luar sidang pengadilan dapat ditarik kembali.

Oleh karena itu pada hakikatnya pengakuan bukanlah merupakan pernyataan tentang kebenaran, sekalipun biasanya memang mengandung kebenaran, akan tetapi lebih merupakan pernyataan kehendak untuk menyelesaikan perkara. Maka sekalipun dimuat sebagai alat bukti dalam pasal 164 HIR/284 Rbg/1866 BW, pada hakikatnya pengakuan bukanlah merupakan alat bukti.116

e. Alat Bukti Sumpah

Alat bukti sumpah diatur dalam pasal 155 sampai dengan 158 HIR dan 177 HIR/182 sampai dengan 185 Rbg dan 314 Rbg/1929 sampai dengan 1945 BW. Sumpah pada umumnya adalah suatu pernyataan yang khidmat yang diucapkan pada waktu memberi keterangan dengan mengingat akan sifat maha kuasa Tuhan dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya. Jadi pada hakikatnya sumpah merupakan tindakan yang bersifat religius yang digunakan dalam peradilan.117

116Sudikno Mertokusumo, Op. Cit., hal. 143.

Dalam pemeriksaan perkara perdata, sumpah diucapkan oleh salah satu pihak yang berperkara pada waktu memberi keterangan mengenai perkaranya. Oleh karenanya, menurut Wirjono Prodjodikoro :

“Sebenarnya sumpah bukanlah sebagai alat bukti. Yang sebenarnya menjadi alat bukti ialah keterangan salah satu pihak yang berperkara yang dikuatkan dengan sumpah”.118

Dituangkannya putusan dalam bentuk tertulis, yang merupakan akta otentik, tidak lain bertujuan untuk dapat digunakan sebagai alat bukti bagi para pihak, yang mungkin diperlukan untuk mengajukan banding, kasasi atau pelaksanaannya. Arti putusan itu sendiri dalam hukum pembuktian ialah bahwa dengan putusan telah diperoleh suatu kepastian tentang sesuatu.119

2. Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 2771 K/PDT/2010 tentang Kekuatan Pembuktian Surat Hibah Atas Peralihan Tanah Pertanian

a. Pihak-pihak yang berperkara dalam perkara gugatan perdata Nomor 12/PDT.G/2008/PN.LBS., dalam tingkat pertama Peradilan Umum.

1) Penggugat : NA dan AH

2) Tergugat 1 : NM, RN, AN, MN, RF, RGP Tergugat 2 : NBG, ZK, AFL, BPN

3) Objek Gugatan

Tanah pertanian/kebun getah milik para penggugat lebih kurang 14.000 m2 (empat belas ribu meter persegi) yang ikut masuk dalam permohonan 118Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit., hal. 122.

sertifikat prona tergugat berdasarkan pengumuman data fisik/peta bidang tanah Nomor 263/BPN.2007 seluas 25.477 M2 (dua puluh lima ribu empat ratus tujuh puluh tujuh meter persegi).

b. Duduk Perkara

Dasar gugatan Penggugat dalam perkara ini adalah :

Penggugat adalah pemilik sah sebidang tanah pertanian/kebun karet seluas 3 (tiga) hektar yang terletak di Nagari Tanjung Beringin Kecamatan Lubuk Sikaping Kabupaten Pasaman berdasarkan surat izin nomor 5 tertanggal 24 September 1927 yang tercantum dalam surat hibah yang dibuat oleh orang tua para penggugat pada tanggal 24 November 1935 diatas kertas segel dengan diketahui segala waris-waris yang menurut adat dan syarak Nagari Tanjung Beringin yang duduk dalam sidang kerapatan adat dengan batas-batas : sebelah Timur berbatas dengan Jalan Besar ford de kock (sekarang namanya jalan Bonjol); sebelah Barat berbatas dengan rimba belukar; sebelah Utara berbatas dengan kebun getah Nurdin; sebelah Selatan berbatas dengan kebun getah tuanku Kuning.

Kemudian oleh orang tua para penggugat tanah pertanian tersebut

dipercayakan kepada UA Dt. PM (orang tua tergugat b.1) untuk mengelola tanah pertanian tersebut dengan menanam pohon karet. Setelah orang tua para penggugat meninggal dunia pada tahun 1967 maka tanah pertanian tersebut tidak

ditanami lagi oleh UA Dt. PM tetapi masih tetap berada dalam pengelolaan/penguasaannya.

Mengingat para penggugat banyak yang merantau ke luar Nagari Tanjung Baringin Kecamatan Lubuk Sikaping, maka pada tahun 1990 Penggugat 1 (dengan kesepakatan dan sepengetahuan ahli waris penerima hibah) menjual sebagian tanah pertanian/kebun karet tersebut seluas 15.520 M2 (lima belas ribu lima ratus dua puluh ribu meter persegi) berdasarkan Akta Jual Beli Nomor 18/c/VIII/1990 yang dibuat oleh Camat, Kepala Wilayah Kecamatan Bonjol, yang dalam hal ini bertindak sebagi Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Sehingga sisa tanah pertanian milik para penggugat lebih kurang 14.000 M2

(empat belas ribu meter persegi) berdasarkan Akta Jual Beli Nomor

18/c/VIII/1990 batas-batasnya menjadi: sebelah Utara berbatas dengan Hasnul, sebelah Selatan berbatas dengan AR (kawan tanah), sebelah Barat berbatas dengan Tjiptono, dan sebelah Timur berbatas dengan Jalan Bonjol – Lubuk Sikaping.

Bahwa pada bulan Februari tahun 2007 UA Dt. PM meninggal dunia dan pada tanggal 16 Maret 2007 tanpa sepengetahuan para penggugat, ahli waris alm UA Dt. PM yaitu tergugat 1 mengajukan permohonan sertifikat prona kepada tergugat 2. atas tanah seluas 25.477 M2 (dua puluh lima ribu empat ratus tujuh puluh tujuh meter persegi).

Kemudian pada tanggal 14 Agustus 2007 tergugat 2 mengeluarkan pengumuman Nomor : HM/PRONA/PENG-2007 tentang data fisik dan data yuridis permohonan sertifikat prona tergugat 1. Hal ini diketahui oleh penggugat yang mengajukan keberatan secara tertulis pada tanggal 25 Oktober 2007 kepada tergugat 2 (BPN) dengan dasar keberatan penggugat 1 adalah data fisik/peta bidang tanah Nomor 263/BPN.2007 seluas 25.477 M2 (dua puluh lima ribu empat ratus tujuh puluh tujuh meter persegi) dimana di dalamnya termasuk tanah hibah orang tua penggugat/objek sengketa seluas 14.000 M2 (empat belas ribu meter persegi).

Bahwa penggugat mengetahui bukti dasar permohonan sertifikat prona tergugat adalah berdasarkan surat penyerahan hak tanah ulayat Nagari Tanjung Baringin kepada alm. UA Dt. PM.

c. Pertimbangan Hakim Pada Putusan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung

1) Pertimbangan Putusan Pengadilan Negeri Nomor 12/PDT.G/2008/PN.LBS. Pertimbangan Yuridis Hakim Tingkat Pertama : bahwa tergugat tidak pernah membantah bahwa para pengggugat adalah anak-anak sah dari almarhum M. Y Glr Dt. SNO dan berdasarkan bukti surat hibah yang disampaikan oleh para penggugat, surat hibah tersebut telah dibuat oleh M. Y Glr Dt. SNO pada tanggal 24 November 1935, dimana tercantum sebidang kebun getah seluas 3 (tiga) hektar yang terletak di bagian Tanjung Beringin dihibahkan kepada anak-anaknya (para

penggugat), dan dalam surat hibah tersebut juga telah dibuat dengan sepengetahuan waris-warisnya dan telah pula dibuat dihadapan penghulu-penghulu adat dan syara’Nagari Tanjung Beringin serta ditandatangani.

Keterangan saksi-saksi yang diajukan di persidangan oleh penggugat, menyatakan bahwa tanah objek sengketa merupakan milik M. Y Glr Dt. SNO yang diperoleh M. Y Glr Dt. SNO dari pencarian dalam hal ini pembelian, dimana harta yang diperoleh dari pencarian yaitu pembelian dalam hukum adat Minangkabau termasuk ke dalam harta pusaka rendah.

Berdasarkan Yurisprudensi MA-RI Nomor 1646 K/Sip/1974 tanggal 9 November 1977, disebutkan harta pusaka tinggi yang telah mendapat persetujuan dari seluruh anggota kaum apabila akan dihibahkan kepada seseorang adalah sah, sedangkan terhadap tanah objek sengketa tanah yang dihibahkan merupakan tanah pusaka rendah, dimana dalam surat hibah yang diajukan sebagai bukti oleh para penggugat tercantum pula tandatangan dari anggota-anggota kaum sebagai tanda persetujuan, dengan demikian hibah yang tercantum sebagaimana dalam surat hibah tertanggal 24 November 1935 adalah sah menurut hukum adat

Dokumen terkait