• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEKUATAN HUKUM PEMBUKTIAN SURAT HIBAH ATAS PERALIHAN TANAH PERTANIAN (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2771 K/PDT/2010) TESIS.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEKUATAN HUKUM PEMBUKTIAN SURAT HIBAH ATAS PERALIHAN TANAH PERTANIAN (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2771 K/PDT/2010) TESIS."

Copied!
127
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Oleh

BEBI MUHASNAH

147011126/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

BEBI MUHASNAH

147011126/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Nomor Pokok : 147011126

Program Studi : KENOTARIATAN

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)

Pembimbing Pembimbing

(Dr.Idha Aprilyana Sembiring,SH,MHum) (Dr.Utary Maharany Barus,SH,MHum)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH,MS,CN) (Prof.Dr.Budiman Ginting,SH,MHum)

(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN Anggota : 1. Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, MHum

2. Dr. Utary Maharany Barus, SH, MHum 3. Notaris Syafnil Gani, SH, MHum

(5)

Nim : 147011126

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : KEKUATAN HUKUM PEMBUKTIAN SURAT HIBAH

ATAS PERALIHAN TANAH PERTANIAN (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2771 K/PDT/2010)

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama : BEBI MUHASNAH

(6)

ditentukan oleh Hukum Adat Minangkabau. Namun kekuatan pembuktiannya dihadapan hukum belum menjamin ahli waris penerima hibah tanah pertanian sebagai pemilik sah atas tanah tersebut, karena secara administratif hibah tanah pertanian tidak terdaftar di Badan Pertanahan Nasional yang mengakibatkan pihak lain mengklaim tanah pertanian sebagai miliknya yang berasal dari tanah ulayat nagari. Pada akhirnya menimbulkan sengketa kepemilikan atas tanah dengan diajukannya gugatan perdata oleh ahli waris penerima hibah ke pengadilan.Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas maka yang menjadi permasalahan yaitu : bagaimana kekuatan pembuktian surat hibah atas peralihan tanah pertanian terkait Putusan Mahkamah AgungNomor 2771 K/PDT/2010. Bagaimana akibat hukum surat hibah tanah pertanian yang tidak terdaftar di Badan Pertanahan Nasional bagi ahli waris penerima hibah terkait Putusan Mahkamah Agung Nomor 2771 K/PDT/2010. Bagaimana upaya ahli waris penerima hibah tanah pertanian agar mendapatkan kepastian hukum Pasca Putusan Mahkamah Agung Nomor 2771 K/PDT/2010.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatifuntuk mempelajari peraturan perundang-undangan, juga mengacu kepada norma yang terdapat dalam peraturan-peraturan, kaedah-kaedah hukum maupun putusan pengadilan yang berkaitan dengan kekuatan hukum pembuktian surat hibah atas peralihan tanah pertanian terkait putusan Mahkamah Agung Nomor 2771 K/PDT/2010.

Hasil Penelitian diketahui bahwa kekuatan hukum pembuktian surat hibah atas peralihan tanah pertanian terkait Putusan MA Nomor 2771 K/PDT/2010 dinyatakan permulaan bukti tertulis.Artinya surat hibah tersebut sah sebagai alat bukti tulisan dalam bentuk akta di bawah tangan yang telah memenuhi syarat formil untuk adanya suatu perbuatan hukum, namun pembuktiannya belum sempurna atau lengkap karena harus didukung/dilengkapi dengan alat bukti lain. Akibat hukum kekuatan surat hibah terkait Putusan Kasasi MA Nomor 2771 K/PDT/2010, peralihan hak atas tanah pertanian berdasarkan surat hibah secara hukum adat hanya dapat diakui sebagai bukti permulaan tertulis (alas hak) atas tanah dan untuk mendapatkan bukti hak atas tanah secara yuridis harus dimohonkan pendaftarannya ke Badan Pertanahan Nasional (Pasal 24, dan Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah). Upaya ahli waris penerima hibah untuk mendapatkan kepastian hukum peralihan hak atas tanah pasca Putusan MA Nomor 2771 K/PDT/2010, adalah mengajukan permohonan pendaftaran tanah objek

sengketa untuk pertama kali ke Badan Pertanahan Nasional Kabupaten

Pasaman.Disarankanuntuk setiap peralihan hak atas tanah yang dilakukan semasa hidup dengan cara hibah sebaiknya dibuat secara notarill dihadapan pejabat

(7)

tertinggi dalam masyarakat adat Minangkabau untuk menginventarisasi dan memberikan informasi yang benar serta dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat adat nagari terhadap tanah adat milik perorangan maupun tanah ulayat nagari yang terdaftar maupun yang belum terdaftar di Badan Pertanahan Nasional.

(8)

evidence does not guarantee the heirs, the receivers of the hibah on the farm land, as valid owners because administratively the hibah is not registered in the National Land Agency so that the other parties can claim it as the land which comes from ulayat nagari (community-owned) land. As a result, there is the dispute on the land by filing the complaint to the Court. The problems of the research are as follows: how about the force of evidence of the hibah (transfer of the farm land) certificate relating to the Supreme Court’s Ruling No. 2771 K/PDT/2010, how about the legal consequence of the hibah certificate on the farm land transfer which is not registered in the National Land Agency for the heirs relating to the Supreme Court’s Ruling No. 2771 K/PDT/2010, and how about the effort of the heirs to get legal certainty after the issuance of the Supreme Court’s Ruling No. 2771 K/PDT/2010.

The research used judicial normative method which was aimed to study legal provisions, norms which were referred to regulations, legal principles, and court’s verdicts relating to the force of legal evidence of the hibah certificate on farm land transfer, relating to the Supreme Court’s Ruling No. 2771 K/PDT/2010.

The result of the research shows that the legal force of the evidence on the hibah certificate, relating to the Supreme Court’s Ruling No. 2771 K/PDT/2010, is stated as the initial written evidence. It means that the hibah certificate is valid as written evidence which also means that it is valid as an underhanded deed which has met formal requirement for a legal act. However, the evidence is not complete because it has to be supported /completed by other evidence. The legal consequence of the hibah certificate, relating to the Supreme Court’s Ruling No. 2771 K/PDT/2010, based on the hibah certificate in the adat law, is only recognized as the initial written evidence (legal base) on land. Judicial evidence on the land has to be requested to the National Land Agency (Article 24 and Article 31 of the Government Regulation No. 24/1997 on Land Registration). The effort of the heirs to get legal certainty on the land rights transfer after the issuance of the Supreme Court’s Ruling No. 2771 K/PDT/2010 is by requesting land registration of disputable object for the first time to the National Land Agency of Pasaman Regency. Every land transfer during the testator is still alive should be made by notarial deed before the official empowered to draw up land deeds. The Pasaman people should register land rights transfer when it occurred in the past time (before the Indonesian independence) in the form of hibah to the National Land Agency to get a land certificate in order to get legal certainty of the land rights. The Kerapatan Adat Nagari (KAN) in Pasaman Regency as the highest institution in the Minangkabau adat community should actively take inventory and give correct information which can be accounted for the adat nagari community on the adat land owned by individuals, and ulayat nagari land which is registered and unregistered in the National Land Agency.

(9)

Alhamdulillah puji dan syukur kehadirat Allah S.W.T serta shalawat dan salam kepada junjungan Nabi Besar Muhammad S.A.W karena berkat rahmat dan ridhanya saya dapat menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul “KEKUATAN

HUKUM PEMBUKTIAN SURAT HIBAH ATAS PERALIHAN TANAH PERTANIAN (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR: 2771 K/PDT/2010)”. Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk

memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dalam bentuk penyusunan kata-kata maupun materinya.Hal ini merupakan suatu kewajaran karena penulis masih dalam tahap belajar sekaligus sebagai manusia yang tidak luput dari kesalahan dan kesilapan.Berkat bantuan dan dorongan dari banyak pihak berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Sehubungan dengan itu pada kesempatan ini saya ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH. MS. CN., Ibu Dr. Idha

Aprilyana Sembiring, SH. MHum. dan Ibu Dr. Utary Maharany Barus, SH. MHum, selaku komisi pembimbing dan juga kepada Bapak Dr. Dedi Harianto, SH. MHum. Serta Bapak Notaris Syafnil Gani, SH. MHum. selaku dosen penguji yang

dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan saran serta arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

Selanjutnya ucapan terimakasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH. MHum, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan selama menyelesaikan pendidikan di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(10)

Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan dorongan kepada penulis untuk segera menyelesaikan penulisan teseis ini.

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A. SH, CN, MHum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan dorongan kepada penulis untuk segera menyelesaikan penulisan tesis ini.

5. Bapak Prof. Dr. M. Solly Lubis, SH, yang telah membantu dan memberikan kesempatan kepada penulis untuk sampai kepada jenjang Magister Kenotariatan. 6. Bapak dan Ibu Dosen Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara, yang telah memberikan ilmu pengetahuan, bimbingan serta arahan yang sangat bermanfaat selama penulis mengikuti proses kegiatan perkuliahan.

7. Seluruh staff/pegawai di Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kelancaran administrasi kepada penulis selama menjalankan pendidikan.

8. Rekan-rekan mahasiswa dan mahasiswi Program Magister Kenotariatan

Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan dorongan dan masukan kepada penulis.

Teristimewa penulis sampaikan sembah sujud keharibaan Ibunda Dra Hj. Basyariah Harahap dan Ayahanda Drs. Sofyan Y. Yamin yang telah mengasuh, membesarkan, mendidik serta memberikan dorongan baik moril maupun materil kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan jenjang Strata Dua pada Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara. Juga kepada Bapak Mertua Ir. H.

(11)

penulis menyelesaikan pendidikan ini.

Tak lupa ucapan terimakasih kepada kakak, adik dan ponakan, Dra Zamlikha Siswanti, Dodi Suhana, SH.Annisa Khairina atas doanya.

Penulis tak kuasa untuk membalasnya, hanya kepada Illahi Rabbi penulis berserah diri, kiranya berkenan membalas segala kebaikan yang telah diberikan kepada penulis.

Harapan penulis mudah-mudahan tesis ini berguna dan bermanfaat bagi pembaca.Semoga ilmu yang telah penulis peroleh selama perkuliahan dapat penulis abdikan untuk Nusa, Bangsa dan Agama.

Demikian sekapur sirih dari penulis, dengan mengucapkan Wabillahi Taufik Walhidayah Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Medan, Agustus 2016

Penulis,

(12)

Nama : Bebi Muhasnah

Tempat/Tanggal Lahir : Medan/17 November 1973

Agama : Islam

Alamat : Jalan Rente Raya, Komplek Puri Zahara I

Blok C Nomor 13 Medan

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Mahasiswa

Kewarganegaraan : Indonesia

Anak ke : 2 (dua) dari 3 (tiga) bersaudara

II. KELUARGA

Nama Ayah : Drs. Sofyan Y. Yamin

Nama Ibu : Dra. Hj. Basyariah Harahap

Nama Suami : Indra Dermawan, ST

Nama Anak : Alya Khalisa Zavira

III. PENDIDIKAN

Taman Kanak-kanak : TK. Yaspendhar Medan (1978-1980)

Sekolah Dasar : SD. Yaspendhar Medan (1980-1986)

Sekolah Menengah Pertama : SMP 2 Yaspendhar Medan (1986-1989)

Sekolah Menengah Atas : SMAN-11 Medan (1989-1992)

Strata Satu (S-1) : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Swadaya

Medan (1992-1997)

Strata Dua (S-2) : Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

(13)

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR ISTILAH ASING... x

DAFTAR SINGKATAN... xi BAB I PENDAHULUAN ... 1 A. Latar Belakang ... 1 B. Permasalahan ... 9 C. Tujuan Penelitian ... 9 D. Manfaat Penelitian ... 10 E. Keaslian Penelitian ... 11

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 13

1. Kerangka Teori ... 13

2. Konsepsi ... 20

G. Metode Penelitian ... 22

BAB II KEKUATAN PEMBUKTIAN SURAT HIBAH ATAS PERALIHAN TANAH PERTANIAN TERKAIT PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2771 K/PDT/2010 ... 29

A. Hibah Menurut Hukum Adat Minangkabau ... 29

1. Hibah dalam Hukum Islam ... 29

2. Hibah dalam Hukum Adat Minangkabau ... 34

B. Kekuatan Pembuktian Surat Hibah Atas Peralihan Tanah Pertanian terkait Putusan Mahkamah Agung Nomor 2771 K/PDT/2010 ... 41

(14)

NASIONAL TERHADAP AHLI WARIS PENERIMA HIBAH TERKAIT PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR

2771/K/PDT/2010 ... 73

A. Keabsahan Surat Hibah Atas Peralihan Tanah Pertanian ... 73

B. Akibat Hukum Surat Hibah Tanah Pertanian Yang Tidak Terdaftar Di Badan Pertanahan Nasional Bagi Ahli Waris Penerima Hibah ... 77

BAB IV UPAYA AHLI WARIS UNTUK MENDAPATKAN KEPASTIAN HUKUM ATAS KEPEMILIKAN TANAH PERTANIAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2772 K/PDT/2010 ... 85

A. Pendaftaran Peralihan Hak Atas Tanah Untuk Pertama Kali .. 85

B. Upaya Ahli Waris untuk mendapatkan Kepastian Hukum Atas Kepemilikan Tanah Pertanian ... 89

C. Peranan KAN (Kerapatan Adat Nagari) dalam Proses Pendaftaran Tanah... 93

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 104

A. Kesimpulan ... 104

B. Saran ... 106

(15)

Rechtzekerheid : Kepastian hukum

Rechtsbekwaamheid : Cakap melakukan perbuatan hukum

Rechtshandelingen : Tindakan hukum/perbuatan hukum

Real Legal Certaunty : Kepastian hukum yang nyata

Accessible : Konsisten dan mudah diperoleh

Independnt and Impartial Judges : Mandiri dan tidak berpihak

Case Approach : Pendekatan Kasus

Statute Approach : Pendekatan Undang-Undang

Library Research : Studi Kepustakaan

Field Research : Pedoman Wawancara

Ijab : Kata-kata yang diucapkan penghibah

Qabul : Diucapkan yang menerima hibah

Teruko : Pembukaan lahan

Menaruko : Hasil dari pembukaan lahan

Ganggam Bauntuak : Tanah yang sudah dimiliki

Matrilineal : Garis keturunan ibu

Ranji : Silsilah keturunan

Law of evidence : Hukum Pembuktian

Truth : Kebenaran

Acte Ambtelijk : Akta yang dibuat pejabat

Acte Partij : Akta yang dibuat para pihak

Unus testis nullus testis : Seorang saksi bukan saksi

Considerans : Dasar dari putusan

Dictum : Putusan

Illegal : Tidak ada landasan hak

Initial Registration : Pendaftaran Tanah Pertama Kali

(16)

HIR : Herzien Indonesia Reglement

RBg : Rechtsreglement Buitengesweten

S : Staatsblad

RvJ : Raad van Justitie

HR : Hoge Raad

IS : Indische Staatsregeling

Landr : Landraad

RID : Reglemen Indonesia yang Diperbaharui

AB : Algemene Bepaling van Wetgeving

UUPA : Undang-Undang Pokok Agraria

BPN : Badan Pertanahan Nasional

PMA : Peraturan Menteri Agraria

PMPA : Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria

PP : Peraturan Pemerintah

PN : Pengadilan Negeri

PT : Pengadilan Tinggi

MA : Mahkamah Agung

S.E.M.A. : Surat Edaran Mahkamah Agung

LKAAM : Lembaga Kerapatan Adat Alam

Minangkabau

KAN : Kerapatan Adat Nagari

LAN : Lembaga Adat Nagari

PERDA : Peraturan Daerah

SK : Surat Keputusan

(17)

A. Latar Belakang

HukumAdat Minangkabau adalah salah satu dari seluruh hukum adat yang ada di Indonesia yang hidup dan terus berkembang.1Selain itu perkembangan hukum adat Minangkabau bertambah pesat kemajuannya, karena secara yuridis formal banyaknya kasus perdata adat yang terjadi di daerah ini harus diselesaikan menurut hukum adat Minangkabau melalui lembaga-lembaga hukum adat baik oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN) yaitu suatu perwakilan musyawarah para ninik mamak atau pemangku adat atau instansi lainnya. Secara yuridis formal hukum adat dijadikan dasar hukum untuk meyelesaikan sengketa-sengketa adat yang diterapkan dalam pengambilan putusan oleh Badan-badan Peradilan yang bukan saja oleh pengadilan di daerah hukum Pengadilan Tinggi Sumatera Barat, tetapi juga oleh pengadilan selain dari daerah Sumatera Barat yang putusannya dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung.2

Masyarakat Minangkabau sudah ada sejak 5.000 (lima ribu) tahun yang lalu. Selama masa itu, masyarakat Minangkabau telah diatur oleh adatnya.Sejak abad ke-7 (tujuh) agama Islam telah turut mengatur kehidupan masyarakat Minangkabau selama

1 Suardi Mahyuddin, dan Rustam Rahman, Hukum Adat Minangkabau Dalam Sejarah

Perkembangan Nagari Rao-Rao Ranah Katitiran Di Ujung Tunjuak, (Jakarta: CV. Citatama Mandiri, 2002), hal. 1.

(18)

kurang lebih 13 (tiga belas) abad atau sekitar 1300 (seribu tiga ratus) tahun sampai sekarang. Selama 13 (tiga belas) abad itu telah terjadi suatu proses penyesuaian antara kedua aturan hidup orang Minang dalam masyarakat.3

Terpisahnya pengertian harta pencaharian dari harta pusaka terjadi semenjak Islam masuk ke Minangkabau.Dengan semakin dominannya peran orang tua (ayah) dalam keluarga dan anak-anaknya, maka harta pusaka yang tidak mencukupi lagi untuk dijadikan penopang ekonomi rumah tangganya memaksa si ayah mencari penghasilan di luar harta pusaka.Hal tersebut mendorongnya untuk mengeluarkan hasil kerja atau usahanya dari kelompok harta pusaka, yang kemudian menyebabkan terjadinya pemisahan antara harta pencaharian dari harta pusaka.4

Terjadinya pemisahan harta pencaharian dari harta pusaka tersebut pada dasarnya adalah pemisahan dalam fungsi dan kegunaan harta tersebut.Harta pusaka sepenuhnya digunakan untuk kepentingan keluarga Matrilineal.Dengan demikian pada harta pencaharian ada kebebasan pribadi yang mengusahakannya untuk menggunakan bagi kepentingannya tanpa harus memerlukan izin atau persetujuan terlebih dahulu dari keluarga Matrilineal. Disamping itu pemisahan tersebut menyebabkan timbulnya pengakuan akan adanya hak istri atas harta tersebut, serta hak anak dari pencaharian ayahnya.5

3Amir M.S., Pewarisan Harato Pusako Tinggi & Pencaharian, (Jakarta: Citra Harta Prima,

2011), hal. 16.

4Edison Piliang, dan Nasrun Dt. Marajo Sungut, Tambo Minangkabau : Budaya dan Hukum

Adat di Minangkabau, (Bukittinggi: Kristal Multimedia, 2010), hal. 323. 5Ibid., hal. 324.

(19)

Menurut yang dialami anak-anak zaman dulu di Minangkabau yang diperlakukan adat bahwa kedudukan anak terhadap harta pencaharian melalui fase yang panjang mulai dari tidak dapat warisan sama sekalisampai kepada memperoleh hak untuk menerima warisan. Perkembangan hak anak atas harta keluarga dapat dibagi ke dalam empat fase :6

1. Anak-anak tidak berhak atas harta ayah, tetapi hanya berhak terhadap harta ibu. Pada fase ini menurut hukum adat Minangkabau matrilineal harta pencaharian ayah tidak diwarisi oleh anak kandung, berhubung karena dia tidak termasuk anggota kaum dari perut ayah.Keadaan seperti ini berlangsung ratusan tahun sampai ada keberatan dari pihak anak itu.

2. Anak-anak dapat harta ayah karena adanya hibah dari ayah semasa ayah masih hidup.

Perubahan ini terjadi lebih kurang seratus tahun kemudian, dimana orang Minangkabau mulai meninggalkan rumah gadang di kampung dan terbentuklah keluarga-keluarga baru, dapat dilihat proses kasus penolakan gugatan mamak kepala waris terhadap harta kemenakan, karena kemenakan menghibahkan hartanya pada anak dan istrinya sebelum dia meninggal (kasus Dokter Muchtar tahun 1927 yang menghibahkan harta pada anak istrinya). Para ahli hukum adat dan arrest peradilan berpendapat bahwa sudah terjadi perubahan sistem kewarisan di masyarakat Minangkabau. Sejak zaman itu terjadi perubahan pendirian yurisprudensi bahwa suami tidak lagi dianggap orang asing.Hubungan istri dan suami bertambah besar, harta bersama dinilai sebagai harta yang didapat oleh suami dan istri dengan usahanya bersama-sama untuk kepentingan keluarganya.

3. Anak-anak mewarisi sebagian dari harta ayah.

Pada periode ini sudah semakin maju, hak anak terhadap harta pencaharian ayahnya sudah mencapai lima puluh persen. Dalam beberapa yurisprudensi sudah terbaca bahwa hak anak atas harta ayahnya sudah diakui oleh kemenakan – kemenakan walaupun sebagian.

Suatu putusan Raad van Justitutie di Padang 30 Maret 1939 menetapkan bahwa untuk membantu perkembangan hukum adat dan untuk lebih mendekatkan hubungan ayah dengan anak-anaknya diputuskan bahwa setelah meninggalnya seorang ayah maka harta peninggalannya tidak dibagi. Akan tetapi usahanya diteruskan dengan ketentuan semua kemenakan dikepalai oleh seorang mamak

6 Suardi Mahyudin, Dinamika Sistem Hukum Adat Minangkabau dalam Yurisprudensi

(20)

menerima andil sebanyak 50 (lima puluh) lembar sedangkan sisanya diwarisi oleh anak.

4. Anak berhak atas harta pencaharian ayah.

Fase ini sudah semakin jelas bahwa kedudukan anak lebih kuat dari kemenakan terhadap harta pencaharian ayahnya.Sudah banyak putusan- putusan Landraad di Minangkabau yang menetapkan bahwa anak berhak atas harta peninggalan dari ayahnya, kemenakan tidak mewarisnya lagi.

Misalnya Putusan Landraad Padang Panjang 24 Mei 1932 Reg. 22/31 bahwa seorang ayah memagang sepiring sawah yang dikuasai oleh dua orang kemenakannya.Setelah ayah meninggal sawah ini oleh Landraad diserahkan kepada anaknya yang menuntut harta warisan.

Berdasarkan fase ke-2 (dua) dari perkembangan hak anak atas harta ayah karena adanya hibah, maka syarat hibah menghibahkan harta benda hutan-tanah, sawah ladang menurut sepanjang adat, adalah seperti berikut :7

1. Setiap orang yang akan menghibahkan harta itu kepada orang lain,yang bukan ahli warisnya, wajib baginya lebih dahulu bermufakat dengan segala ahli warisnya laki-laki perempuan, seorangpun tidak boleh ditinggalkan dalam mufakat itu. Bila ada salah seorang saja diantara warisnya itu tidak menyetujui, maka tiadalah boleh yang akan menghibahkan itu melanjutkan pekerjaannya. Warisnya yang wajib menerima lebih dahulu, kalau sekiranya orang dalam sekaum yang menghibahkan itu punah.

2. Tiap-tiap menghibahkan itu wajib dihadapan segala penghulu yang sepayung atau yang sesuku dari orang yang menghibahkan itu, dan orang-orang tua disana, begitu pula segala orang menjadi jihat (batas) dengan harta yang akan dihibahkan itu.

3. Pekerjaanmenghibahkan itu wajib dilakukan siang hari dengan berjamu minum makan dihadapan segala orang yang tersebut di atas, dan hibah itu tidak boleh dilakukan pada waktu malam hari, dan tidak boleh di sembarang tempat saja, melainkan wajib pada tempat orang yang akan menghibahkan dan warisnya. 4. Kalau ada salah seorang waris yang tidak datang menghadiri pekerjaan hibah itu,

wajiblah penghulu dan orang cerdik pandai yang hadir meyakini kepada yang hendak menghibahkan itu dan warisnya, apa penyebab yang bersangkutan tidak hadir pada pertemuan itu.Apabila ketidakhadiran itu disebabkan karena ia tidak menyetujuinya, maka segala orang-orang yang hadir wajib ke luar dari pertemuan itu. Demikian pula sekiranya salah seorang dari waris itu menyatakan ketidaksetujuannya dengan hibah tersebut, maka wajiblah orang-orang yang ada 7Ibrahim Dt. Sanggoeno Diradjo, Tambo Alam Minangkabau: Tatanan Adat Warisan Nenek

(21)

di situ ke luar semuanya dari tempat itu supaya pekerjaan itu tidak menjadi, dan tiada wajib bagi yang hadir di situ menanya waris yang tidak suka.

5. Barang siapa yang menserikati atau menghadapi pekerjaan hibah orang yang tidak disukai oleh waris itu, maka jatuhlah salah padanya yakni sengaja menolong menghilangkan harta orang lain, memecah orang berkaum, artinya dia sengaja membuat kusut orang di dalam kampung.

6. Adapun waris yang berhak membatalkan atau melarang hibah itu dibagi atas dua bagian :

a. segala waris yang kandung namanya, yakni orang yang sama-sama sekaum atau seindu, yang luas belum dikeping, panjang belum berkerat, yaitu orang seharta benda namanya;

b. segala orang yang akan menjadi waris daripada orang yang akan menghibahkan itu.

Lembaga hibah merupakan suatu cara yang kompromistis antara hukum adat dan hukum Islam yang menjadi panutan masyarakat. Secara falsafah adat hibah bertentangan dengan struktur dan sistem masyarakat yang komunal. Hal ini disebabkan karena hibah secara berangsur-angsur akan mengubah sistem kolektif menjadi sistem individual dalam pemilikan harta. Namun masyarakat Minangkabau yang teguh menganut agamanya tidak mampu menghalangi perubahan tersebut.8

Lembaga hibah merupakan perwujudan dari rasa tanggung jawab ayah

terhadap kelangsungan ekonomi dan pendidikan anak-anaknya. Agar yang

dilakukannya tidak menyinggung perasaan kebudayaan Minangkabau itu sendiri, dan sekaligus untuk menghindarkan silang sengketa setelah ia (si ayah) meninggal dunia, maka hibah merupakan suatu jalan kompromi yang sering dilakukan si ayah untuk anak – anaknya.Pelaksanaan hibah dipelopori oleh para ulama yang memperoleh kekayaan dari zakat yang diserahkan para pengikutnya. Sebagai ulama yang harus melaksanakan hukum Islam, maka pewarisan atas harta yang diperolehnya dengan

(22)

sendirinya akan disesuaikan dengan hukum faraidh. Namun sebagai orang yang bijaksana ini lebih baik dilakukan secara kompromistis.9

Menurut penelitian Franz Von Benda Beckmann, seorang warga Belanda yang meneliti adat dan keislaman, menyatakan bahwa sejak tahun 1960-an terdapat kecenderungan dalam pelaksanaan waris, bahwa harta pencaharian ayah diwarisi oleh anak-anaknya. Pendapatnya ini juga didasari dengan putusan Mahkamah Agung RI Nomor 39 K/Sip/1968, yang mengadili di tingkat kasasi atas putusan Pengadilan Tinggi Bukittinggi nomor 46/Pdt/BT tahun 1967, dan putusan Pengadilan Negeri Padang Panjang Nomor 11/Pdt/1962, putusan kasasi mana menyatakan bahwa kemenakan tidak lagi mewarisi harta pencaharian dari mamaknya Alm. Dt. Md, atas sebuah kincir padi yang dibuat mamaknya sebelum meninggal bersama istrinya, tetapi merupakan hak waris dari anak-anak dan istrinya Alm. Dt. Md.10

Berkaitan dengan hibah orang tua kepada anak terhadap harta benda hasil pencaharian berupa sebidang tanah pertanian menimbulkan permasalahan yang berujung pada sengketa dengan pihak lain karena peralihan tanah pertanian sebagai objek hibah tidak terdaftar di Badan Pertanahan Nasional. Hal ini menyebabkan adanya gugatan dari penerima hibah (anak pewaris) atas tanah pertanian tersebut sampai ke tingkat kasasi dengan kronologi perkara sebagai berikut :

Orang tua Penggugat (MYdan R) telah menghibahkan harta pencahariannya berupa sebidang tanah pertanian seluas 3 ha (tiga hektar) yang terdiri dari kebun

9Ibid.

(23)

getahkepada anak-anaknya (Penggugat), berdasarkan surat hibah bersegel tanggal 24 November 1935 yang dilakukan dalam suatu kerapatan adat dihadiri dan ditandatangi oleh penghulu-penghulu adat dan syarak nagari/desa Tanjung Beringin Lubuk Sikaping dan termasuk juga ditandatangani oleh kerabat dan ahli waris orang tua Penggugat/penerima hibah.

Berhubung penerima hibah banyak yang menetap di rantau, mengingat ada hubungan baik dalam keluarga maka orang tua penggugat mempercayakan tergugat untuk mengurus kebun tersebut . Setelah kedua orang tua penggugat meninggal dunia tahun 1975 pengurusan kebun tetap dilanjutkan oleh tergugat.

Pada tahun 1990, penggugat menjual sebagian kebun getah seluas

15.520(lima belas ribu lima ratus dua puluh) m2 dengan Akta Jual Beli Nomor 18/C/VIII/1990.Tanah yang dijual penggugat ini merupakan satu kesatuan dari kebun getah yang menjadi obyek sengketa. Dengan penjualan seluas 15.520(lima belas ribu lima ratus dua puluh) m2, maka sisa tanah hibah menjadi lebih kurang 14.000 (empat belas ribu) m2.

Pada tahun 2007, Tergugat meninggal dunia dan ahli warisnya mengajukan permohonan sertifikat Prona atas tanah seluas 25.477 (duapuluh lima ribu empat ratus tujuh puluh tujuh) m2dengan memasukkan sisa tanah hibahmilik Penggugat lebih kurang 14.000(empat belas ribu) m2ke dalam tanah milik tergugat berdasarkan data fisik dan atau data yuridis peta bidang tanah Nomor. 263/BPN-2007 tanggal 11 Juli 2007 yang diumumkan oleh Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Pasaman.

(24)

Disinilah Penggugatmengetahui bahwa tanah milik penggugat seluas lebih kurang 14.000(empat belas ribu) m2 tersebut sudah beralih ke pihak ketiga dan akan disertifikatkan oleh ahli waris tergugat berdasarkan Surat Pernyataan Pemilikan Tanahyang berasal dari tanah ulayat Nomor 77/2007 tanggal 26 Juli 2007.

Mengetahui tindakan ahli waris tergugat tersebut maka pihak penggugat (penerima hibah) mengajukan keberatan berdasarkan bukti kepemilikan atas peralihan tanah pertanian dalam bentuk Surat Hibah tertanggal 24 November 1935 yang menyebutkan sebidang kebun getah seluas 3 (tiga) hektar menurut surat izin nomor 5 tanggal 24 September 1927 yang letaknya dibahagian Tanjung Baringin Lubuk Sikaping Kabupaten Pasaman dengan batas-batas yang disebutkan dan Akta Jual Beli Nomor 18/c/VIII/1990 tertanggal 15 Agustus 1990kepada Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Pasaman. Kemudian berdasarkan bukti-bukti tersebut Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Pasaman mengembalikan berkas permohonan hak milik atas nama tergugat melalu Wali Nagari Tanjung Beringin agar diselesaikan secara musyawarah namun tidak menghasilkan kata mufakat sehingga penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan.

Pertimbangan hakim di Tingkat Banding Pengadilan Tinggi Padang No.108/PDT/2009/PT.PDG menyatakan surat hibahatas peralihan tanah pertanian yang dibuat di atas kertas segel zaman Belanda pada tanggal 24 November 1935 hanya dapat dipandang sebagai surat biasa yang merupakan permulaan bukti tertulis.

(25)

Maka perlu dilakukan pengkajian dan analisa tentangkekuatan hukum pembuktian surat hibahatas peralihan tanah pertanian sebagai alas hak pengajuan pendaftaran peralihannya ke Badan Pertanahan Nasional untuk menjamin kepastian

hukum bagi pemegang hak-nya yakni ahli waris penerima hibah dengan

judulpenelitian:“Kekuatan Hukum Pembuktian Surat Hibah Atas PeralihanTanah Pertanian (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 2771K/PDT/2010)”.

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, terdapat beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini, yaitu :

1. Bagaimana kekuatan pembuktian surat hibah atas peralihan tanah pertanian terkait Putusan Mahkamah Agung Nomor 2771 K/PDT/2010?

2. Bagaimana akibat hukumsurat hibah tanah pertanian yang tidak terdaftar di Badan Pertanahan Nasional bagi ahli waris penerima hibahterkait Putusan Mahkamah Agung Nomor 2771 K/PDT/2010?

3. Bagaimana upaya ahli waris penerima hibah tanah pertanian agar mendapatkan kepastian hukum Pasca Putusan Mahkamah Agung Nomor 2771K/PDT/2010?

C. Tujuan Penelitian

Berpedoman pada wacana penelitian dan permasalahan yang disampaikan, maka tujuan yang hendak dicapai pada penelitian ini adalah :

(26)

1. Untuk mengetahui dan menganalisis kekuatan pembuktian surat hibah atas peralihan tanah pertanian terkait putusan Mahkamah Agung Nomor 2771 K/PDT/2010.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum surat hibah tanah pertanian yang tidak terdaftar di Badan Pertanahan Nasional bagi ahli waris penerima hibahterkait Putusan Mahkamah Agung Nomor 2771 K/PDT/2010.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis upaya yang dapat dilakukanahli waris penerima hibah tanah pertanian agar mendapatkan kepastian hukum Pasca Putusan Mahkamah Agung Nomor 2771 K/PDT/2010.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberi manfaat secara teoritis dan praktis, yaitu: 1. Secara teoritis, penelitian diharapkan dapat menambah pemahaman dan

pengetahuan mengenai pentingnya hukum pendaftaran tanah terhadap suatu objek hibah berupa tanah pertanian pada masyarakat adat Minangkabau khususnya di Nagari Tanjung Beringin Kecamatan Lubuk Sikaping, Kabupaten Pasaman-Sumatera Barat,PascaPutusan MA Nomor 2771 K/PDT/2010 sehingga dapat memberi kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi ahli waris penerima hibah.

2. Secara Praktis,hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan masukan dan pertimbangan bagi pengambil keputusan baik di lingkungan Lembaga Peradilan

(27)

Nagari(KAN) dan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau LKAAM) dalam merujuk suatu kepemilikan tanah berdasarkan bukti konkrit berupa surat hibah tanah pertanian kepada ahli waris yang dibuat pada tahun 1935 secara hukum adat Minangkabau, khususnya di Nagari Tanjung Beringin Kecamatan Lubuk Sikaping, Kabupaten Pasaman-Sumatera Barat.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang ada di lingkungan Universitas Sumatera

Utara, khususnya pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas

HukumUniversitas Sumatera Utara, menunjukkan bahwa tesis dengan judul “Kekuatan Hukum Pembuktian Surat Hibah Atas Peralihan Tanah Pertanian : Studi Putusan MA Nomor 2771/K/PDT/2010”, belum ada yang membahasnya sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya secara akademis. Namun demikian terdapat peneliti-peneliti terdahulu yang pernah melakukan penelitian terkait penguasaan tanah tanpa hak , secara judul dan substansi berbeda dengan penelitian ini . Adapun penelitian yang berkaitan dengan penguasaan tanah tanpa hak tersebut yang pernah dilakukan adalah :

1. Nur Afni Damanik, NIM: 077011049, dengan judul “Tinjauan Yuridis Penguasaan Tanah Tanpa Hak Oleh Masyarakat (Studi pada Penguasaan Tanah Aset PT. Kereta Api di Pancur Batu), rumusan masalah yang dibahas :

a. Bagaimana timbulnya penguasaan tanah tanpa hak oleh masyarakat pada tanah asset PT. Kereta Api di Pancur Batu?

(28)

b. Bagaimana akibat hukum jika terjadi penguasaan tanah tanpa hak yang dilakukan oleh masyarakat di Pancur Batu?

c. Bagaimana perlindungan hukum bagi masyarakat yang menduduki tanah asset PT. Kereta Api di Pancur Batu yang tidak dapat membuktikan alas haknya? 2. Lisbet Tampubolon, NIM: 077011039, dengan judul “Pelaksanaan Inventarisasi

Dan Registrasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, Dan Pemanfaatan Tanah (P4T) Di Kantor Pertanahan Toba Samosir, rumusan masalah yang dibahas: a. Bagaimanakah pelaksanaan inventarisasi dan registrasi penguasaan,

pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah (P4T) Di Kantor Pertanahan Kabupaten Toba Samosir?

b. Apakah kendala dalam pelaksanaan inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah (P4T) di Kantor Pertanahan Kabupaten Toba Samosir?

c. Bagaimanakah upaya atau kebijakan yang dilakukan dalam mengatasi kendala yang ditemui dalam pelaksanaan inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, pengggunaan, dan pemanfaatan Tanah (P4T) di Kantor Pertanahan Kabupaten Toba Samosir?

3. Muaz Effendi, NIM: 077011043, dengan judul “Peralihan Hak Atas Tanah Yang Belum Bersertifikat Di Kecamatan Medan Johor Dan Pendaftaran Hak-nya Di Kantor Pertanahan Medan”, rumusan masalah yang dibahas :

(29)

a) Mengapa terjadi ketidakseragaman atas peralihan hakatas tanah yang belum bersertifikat di Kecamatan Medan Johor?

b) Bagaimana bentuk-bentuk surat peralihan hakatas tanah sebagai landasan pengalihan hak atas tanah yang belum bersertifikat?

c) Bagaimana pelaksanaan pendaftaran tanah yang belum bersertifikat serta kendala-kendala apa yang umumnya dihadapi masyarakat dalam pendaftaran tanah pada Kantor Pertanahan Medan?

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan atau pegangan teoritis dalam penelitian.11

Teori merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan dalam pengalaman empiris, sehingga teori tentang ilmu merupakan penjelasan rasional yang sesuai dengan objek penelitian dijelaskannya dan untuk mendapat verifikasi, maka harus didukung oleh data empiris yang membantu dalam mengungkapkan kebenaran.12

Di dalam suatu teori sedikitnya terdapat tiga unsur, yakni :13

a. Penjelasan mengenai hubungan antara berbagai unsur dalam suatu teori.

11M. Solly Lubis, Filsafat ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 80. 12Ibid.,hal. 27.

13Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum;Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, (Jakarta: PT.

(30)

b. Teori menganut sistem deduktif, yaitu bertolak dari suatu yang umum dan abstrak menuju suatu yang khusus dan nyata.

c. Teori memberikan penjelasan atau gejala yang dikemukakannya.

Fungsi teori dalam suatu penelitian adalah untuk memberikan pengarahan kepada penelitian yang akan dilakukan. Hukum merupakan sarana untuk mengatur kehidupan sosial. Tujuan hukum adalah mewujudkan keadilan (rechtsgerechtigheid), kemanfaatan (rechtsutiliteit) dan kepastian hukum(rechtszekerheid).14

Dilihat dari segi fungsinya maka menurut Snelbecker teori berfungsi untuk mensistematiskan penemuan-penemuan penelitian, menjadi pendorong untuk menyusus hipotesis dan dengan hipotesis membimbing untuk mencari jawaban, membuat dasar penemuan dan menyajikan penjelasan untuk menjawab pertanyaan mengapa.15

Kerangka teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini merujuk kepada 2 (dua) teori yaitu : Teori Pembuktian dan Teori Kepastian Hukum. a. Teori Pembuktian

Pembuktian dalam pembahasan hukum acara dikenal mempunyai arti yuridis. Menurut Sudikno Mertokusumo dalam bukunya Hukum Acara Perdata Indonesia, membuktikan berarti memberi dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Bila dalam tujuan pembuktian ilmiah adalah semata – mata untuk

14Ibid.

15Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi, (Bandung: Remaja Rosda

(31)

mengambil kesimpulan, tujuan pembuktian yuridis adalah untuk mengambil keputusan yang bersifat definitif, yakni keputusan yang pasti, dan tidak meragukan serta mempunyai keputusan hukum. Putusan Pengadilan harus objektif sehingga tidak ada pihak yang merasakan terlalu rendah kadar keadilannya dari pihak lainnya.16

Lebih dalam mengenai hukum pembuktian positif, dalam acara perdata diatur dalam Herzien Indonesis Reglement (HIR)dan Rechtsreglement Buitengewesten (RBg), serta dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) buku IV. Tercantum dalam HIR dan Rbg adalah hukum pembuktian yang materiil maupun formil.Yang mencari kebenaran dan menetapkan peristiwa adalah hakim lalu yang wajib membuktikan atau mengajukan alat-alat bukti adalah yang berkepentingan dalam perkara atau sengketa, berkepentingan bahwa gugatannya dikabulkan atau ditolak.17

Sesuai pasal 283 HIR “Barangsiapa beranggapan mempunyai suatu hakatas suatu keadaan untuk menguatkan hak nya atau menyangkal hak orang lain harus membuktikan hak atau keadaan itu (KUHPerdata 1685 ; HIR. 163).18

Mengenai alat pembuktian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berkaitan dengan objek penelitian diantaranya :

Pasal 1867 KUHPerdata menyebutkan : “ pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan di bawah tangan “.

16Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, Edisi VII),

hal. 137.

17Ibid.,hal. 139. 18Ibid.,hal. 47.

(32)

Pasal 1682 KUHPerdata menyebutkan :“ Tiada suatu hibah, kecuali yang disebutkan dalam pasal 1687KUHPerdata, dapat, atas ancaman batal, dilakukan selainnya dengan suatu akta notaris, yang aslinya disimpan oleh notaris itu “.

Pembuktian dengan tulisan-tulisan otentik yang dimaksud oleh Pasal 1867 KUHPerdata dikaitkan dengan surat hibah yang dibuat pada tahun 1935 di atas kertas “segel” yang telah memenuhi syarat hibah menurut Hukum Adat Minangkabau dan dinyatakan sebagai bukti permulaan tertulis, setelah keluarnya Undang - Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960: LN Nomor 104 pada tanggal 24 September 1960, yang menetapkan Pasal 19 ayat (1) sebagai dasar pelaksanaan pendaftaran tanah di Indonesia yang menyebutkan untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah, maka surat hibah tersebut merupakan bukti awal adanya hak penerima hibah atas peralihan tanah pertanian yang menjadi objek sengketa.

Lembaga Kerapatan Adat Nagari mempunyai peranan yang besar dan menentukan dalam pembuktian hak atas tanah yang mengikat semua pihak. Pemerintah Nagari di Minangkabau (Sumatera Barat) telah ada sebelum kemerdekaan Republik Indonesia.Kerapatan Adat Nagari (KAN) merupakan lembaga adat tertinggi yang bertugas menyelesaikan masalah-masalah adat beserta hukum adat dalam suatu nagari. Ninik Mamak atau penghulu yang terhimpun di dalam lembaga ini

(33)

mempunyai kedudukan dan wewenang serta mempunyai hak yang sama untuk menentukan hidup dan perkembangan hukum adat.19

b. Teori Kepastian Hukum

Teori Kepastian Hukum mengandung pengertian yaitu adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh dan perbuatan apa yang tidak boleh dilakukan , dan berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena adanya aturan hukum yang bersifat umum sehingga individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.20

Tugas Kaidah-kaidah Hukum adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum. Dengan adanya pemahaman kaidah-kaidah hukum tersebut, masyarakat sungguh-sungguh menyadari bahwa kehidupan bersama akan tertib apabila terwujud kepastian hukum dalam hubungan sesama manusia,21sesuai dengan pendapat Roscoe Pound yang menyatakan bahwa:22

Hukum akan bermakna sebagai tertib hukum apabila mempunyai subjek, hubungan individual antar manusia satu sama lain dan perilaku individual yang mempengaruhi individu lain atau mempengaruhi tata sosial atau tata ekonomi, sedangkan hukum dalam makna kumpulan dasar-dasar kewenangan dari Putusan Pengadilan dan tindakan administratif mempunyai subjek berupa harapan-harapan atau tuntutan-tuntutan oleh manusia sebagai individu ataupun kelompok-kelompok manusia yang mempengaruhi hubungan mereka atau menentukan perilaku mereka.

19Helmy Panuh, Peranan Kerapatan Adat Nagari dalam Proses Pendaftaran Tanah Adat di

Sumatera Barat, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012),hal. 5.

20J.B Daiyo, Pengantar Ilmu Hukum,(Jakarta: Prennahlindo, 2001), hal. 120. 21Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Rieneka Cipta, 1995), hal. 49.

22 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (legal theory) dan Teori Peradilan (Judical

(34)

Jan Michael Otto berpandanganbahwa yang perlu diperhatikan dalam kajian kepastian hukum bukan hanya sekedar adanya kepastian hukum (legal certainty) itu, melainkan perlu lebih spesifik kepada aspek yang disebutnya “kepastian hukum yang nyata” (real legal certainty). Menurut Otto, kepastian hukum yang nyata tersebut juga bukan hanya sebatas adanya kepastian hukum yuridis, melainkan lebih dari yang mencakup hal - hal sebagai berikut:23

1) Tersedianya aturan-aturan hukum yang jelas, konsisten dan mudah diperoleh (accessible), diterbitkan oleh atau diakui karena (kekuasaan) Negara;

2) Instansi-instansi pemerintah menerapkan aturan-aturan hukum itu secara konsisten dan juga tunduk dan taat terhadapnya;

3) Pada prinsipnya bagian terbesar atau mayoritas dari warga negara menyetujui muatan isi dan karena itu menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan – aturan tersebut;

4) Bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak (independent and impartial judges) menerapkan aturan - aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan sengketa hukum yang di bawa kehadapan mereka;

5) Keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.

Persoalan penyelenggaraan pendaftaran tanah mengenai tanah-tanah Indonesia baru mendapat penyelesaian secara prinsipil dengan diundangnya Undang-Undang Pokok Agraria (UU Nomor 5 Tahun 1960; LN Nomor 104) pada tanggal 24 September 1960, yang menetapkan Pasal 19 ayat (1) sebagai dasar pelaksanaan pendaftaran tanah di Indonesia yang menyebutkan untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.24

23Jan Michael Otto, Kepastian Hukum yang Nyata di Negara Berkembang. Bab 8 dalam buku

Kajian Sosio-legal, Sulistyowati Irianto, dkk. (penulis), (Pustaka Larasan bekerjasama dengan Universitas Indonesia, Universitas Leiden, dan Universitas Groningen, 2012), hal. 122 - 123.

24 Mhd. Yamin Lubis, dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Edisi revisi,

(35)

Penunjukan Hukum Adat sebagai dasar utama dalam pembentukan Hukum Agraria Nasional dapat disimpulkan dalam Konsiderans UUPA di bawah perkataan “Berpendapat” huruf a, yaitu : “bahwa berhubungan dengan apa yang disebut dalam pertimbangan-pertimbangan di atas perlu adanya Hukum Agraria Nasional, yang berdasarkan atas Hukum Adat tentang tanah , yang sederhana, dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”.25

Ketentuan pelaksanaan dari pasal 19 ayat (1) UUPA, diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Pendaftaran tanah tersebut tetap dalam kerangka dan prinsip-prinsip yang termuat dalam Pasal 19 UUPA.26

Setelah Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tersebut pada tahun 1997 pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah sebagai penyempurnaan peraturan pemerintah terdahulu. Ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tersebut Pemerintah pada 1 Oktober 1997 mengeluarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997.27

Dalam kaitannya dengan surat hibah sebagai permulaan bukti tertulis maka menurut Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menyatakan

25 Urip Santoso, Hukum Agraria, Kajian Komprehensif, (Jakarta: Kencana Prenadamedia,

2012) hal. 67.

26Mhd. Yamin Lubis, dan Abd. Rahim Lubis, Op. Cit., hal. 84. 27Helmy Panuh, Op. Cit., hal. 4.

(36)

“untuk keperluan pendaftaran hak, hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam Pendaftaran Tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik, dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya”.

2. Konsepsi

Konsepsi adalah suatu bagian terpenting dari teori. Peranan konsepsi dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi antara abstraksi dan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal - hal yang khusus yang disebut dengan definisi operasional.28

Menghindari kesimpangsiuran dalam menafsirkan istilah – istilah yang digunakan dalam penelitian ini, dikemukakan beberapa definisi operasional sebagai berikut :

a. Hibah adalah pemberian dari seorang yang secara sah memiliki suatu benda atau harta kepada orang lain yang disukainya secara sukarela, berdasarkan ketentuan agama Islam.29

28Sumardi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998),

hal. 3.

(37)

b. Pusaka Rendah yaitu segala harta pusaka yang diperdapat dari hasil usaha pekerjaan dan pencaharian sendiri, yang boleh dijual dan digadaikan menurut keperluan dengan sepakat ahli waris.30

c. Harta Pencaharian merupakan harta yang didapat oleh seseorang sebagai hasil usahanya sendiri, yang dapat dibedakan dalam dua bentuk:31

1) Hasil tembilang besi yaitu harta atau tanah yang didapat dari hasil teruko (pembukaan lahan) dari tanah ulayat kaum

2) Hasil tembilang emas yaitu harta atau tanah yang didapat dengan cara membeli atau dari pegang gadai, yang uangnya berasal dari usaha sendiri. d. Tanah Ulayat adalah sebidang tanah yang menjadi hak milik bersama dari

kelompok masyarakat tertentu terutama di daerah-daerah pedesaan.32

e. Mamak Kepala Waris adalah pemimpin informal dalam kaum yang mengurus dan mengatur peruntukan harta pusaka dalam suatu kaum.33

f. Tanah adalah salah satu bagian dari bumi, disamping ditanam di bumi ataupun di tubuh bumi.34

g. Bidang Tanah adalah bagian permukaan bumi yang merupakan satuan bidang yang terbatas, dan itu saja yang merupakan objek dari pendaftaran tanah di Indonesia.35

h. Ranji adalah silsilah keturunan.36

30

Mochtar Naim, Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris Minangkabau, (Padang: Sri Dharma NV, 1968), hal. 122.

31Edison Piliang, dan Nasrun Dt. Marajo Sungut, Op.Cit, hal. 270. 32Ibid.,hal. 277.

33Ibid.,hal. 309.

34 A.P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2009),

hal.20.

(38)

i. KAN (Kerapatan Adat Nagari) adalah suatu lembaga tertinggi, yang telah ada dan diwarisi secara turun-temurun sepanjang adat dan berkembang di tengah- tengah masyarakat nagari di Sumatera Barat selama ini.37

j. Ahli waris atau disebut juga warits dalam istilah fikih adalah orang yang berhak atas harta warisan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal karena adanya hubungan kekerabatan atau hubungan perkawinan.38

k. Sako adalah warisan berupa gelar kebesaran.39

l. Pusako adalah warisan berupa harta pusaka tinggi yang diterima secara turun temurun menurut garis keturunan ibu.40

m. Hak ulayat adalah hak sekelompok atau segolongan penduduk (masyarakat) atas sebidang tanah.41

n. Penghulu menurut adat Minangkabau adalah sebutan kepada ninik mamak pemangku adat yang bergelar datuk.42

G. Metode Penelitian

Secara etimologi, metode diartikan sebagai “jalan atau cara melakukan atau mengerjakan sesuatu”, metode berasal dari bahasa Yunani “methodos” yang artinya

36Amir M.S, Panduan Pengelolaan Suku Dan Nagari Di Minangkabau, (Jakarta: Citra Harta

Prima, 2012), hal. 35.

37Ibid.,hal. 68.

38Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2012), hal. 212.

39 Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau, Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi

Kitabullah : Pedoman Hidup Banagari, (Padang: Surya Citra Offset, 2012), hal. 64.

40Ibid.,hal.68.

41Edison Piliang, Nasrun Dt. Marajo Sungut, Op. Cit., hal. 279. 42Ibrahim Dt. Sanggoeno Diradjo, Op. Cit., hal. 177.

(39)

“jalan menuju” bagi kepentingan ilmu pengetahuan, metode merupakan titik awal menuju proposisi-proposisi akhir dalam bidang pengetahuan tertentu.43

Metode penelitian merupakan cara dan prosedur yang sistematis dan terorganisir untuk menemukan solusi atas masalah, sehingga dapat diketahui bahwa metode penelitian merupakan keseluruhan langkah ilmiah yang digunakan untuk menemukan solusi atas suatu masalah.44

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya, disamping itu juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.45

Pemilihan suatu metodologi yang baik untuk suatu penelitian tergantung kepada sasaran penelitian, bahan yang tersedia, kondisi yang meliputi kegiatan penelitian, dan terutama jenis informasi yang diperlukan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang dipergunakan adalah dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif. “Metode penelitian yuridis normatif dipergunakan untuk

43

Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2008), hal. 13. 44

Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, (Bandung; PT. Refika Aditama, 2009), hal. 13.

(40)

mempelajari peraturan perundang-undangan”46juga mengacu kepada norma yang terdapat dalam peraturan-peraturan, kaedah-kaedah hukum maupun putusan pengadilan yang berkaitan dengan kekuatan hukum pembuktian surat hibah atas peralihan tanah pertanian terkait putusan Mahkamah Agung Nomor 2771 K/PDT/2010, sehingga dapat diketahui apakah landasan legalitas yang telah memadai

untuk menggambarkan tentang pertimbangan-pertimbangan hakim dalam

menjatuhkan putusan.

Penelitian bersifat deskriptif analisis yaitu penelitian yang menggambarkan secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang diteliti, berdasarkan suatu analisis kualitatif terhadap objek kajian.47

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kasus (case approach) dan pendekatan perundang-undangan (statute approach).48

Pendekatan tersebut digunakan untuk membangun argumentasi hukum guna memecahkan masalah – masalah yang menyangkut dengan penelitian tersebut. Pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus – kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Yang menjadi kajian dalam

46Ibid.,hal. 48.

47 Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung:

Alumni, 1994), hal. 101.

(41)

pendekatan kasus adalah ratio decidendi atau reasoning yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai kepada satu putusan.49

Khususnya terkait dengan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi ahli waris pemegang surat hibah yang dibuat pada tahun 1935 sebagai bukti kepemilikan atas objek hibah berupa tanah pertanian yang tidak terdaftar di Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Pasaman Sumatera Barat, serta pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilakukan dengan menelaah Undang – undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang diteliti.50

Pendekatan undang-undang dilakukan untuk melihat apakah pembuktian surat

hibah atas peralihan tanah pertanian terkait Putusan MA Nomor

2771/K/PDT/2010sudah menjamin kepastian hukum bagi pemiliknya yaitu para ahli waris apabila dihadapkan pada persoalan hukum tentang status kepemilikan atas tanah yang menjadi sengketa, karena setelah lahirnya UUPA Nomor 5 Tahun 1960,

dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanahdiwajibkan kepada masyarakat untuk mendaftarkan hak atas tanah yang dimiliki guna menjamin kepastian hukum dan perlindungan hukum terhadap pemegang hak atas suatu bidang tanah.

3. SumberData

Pengumpulan data mempunyai hubungan erat dengan sumber data, karena dengan pengumpulan data akan diperoleh data yang diperlukan untuk selanjutnya

49Ibid. 50Ibid.,hal. 93.

(42)

dianalisis sesuai kehendak yang diharapkan. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data kepustakaan atau library research.

Sumber data dalam penelitian ini diperoleh melalui data sekunder, yaitu data yang dikumpulkan melalui studi dokumen terhadap bahan kepustakaan yang terdiri dari :

a. Bahan Hukum Primer,51yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini diantaranya adalahKitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 13 Tahun1983.

b. Bahan Hukum Sekunder, sebagai bahan hukum yang tidak mengikat tetapi menjelaskan mengenai bahan hukum primeryang merupakan hasil olahan pendapat atau pikiran para pakar atau ahli yang mempelajari suatu bidang tertentu secara khusus yang akan memberikan petunjuk kemana peneliti akan mengarah. Yang dimaksuddengan bahan sekunder disini adalah doktrin-doktrin yang ada di dalam buku, jurnal hukum dan internet.52

c. Bahan Hukum Tersier,53 yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan

51Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia

Indonesia, 1990), hal. 53.

52Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit., hal. 90.

53Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,

(43)

hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah kamus hukum, surat kabar, ensiklopedia, makalah yang berkaitan dengan objek penelitian.

Penelitian ini juga didukung dengan data primer untuk memperkuat hasil penelitian melalui wawancara dengan informen.

4. Teknik dan Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan mengadakan studi dokumen/kepustakaan (library research) dan pedoman wawancara (field research) ;

a. Studi dokumen/kepustakaan yaitu dengan menelaah bahan hukum kepustakaan yang terkait dengan permasalahan yang diajukan untuk meneliti lebih jauh, guna memperoleh data sekunder berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

b. Pedoman wawancara yaitu menghimpun data dengan melakukan tanya jawab antara peneliti dengan nara sumber untuk mendapatkan informasi. Guna menambah dan melengkapi data sekunder yang diperoleh akan dilakukan wawancara dengan nara sumber yaitu 1 (satu) orang dari pihak penggugat, 1 (satu) orang Hakim Pengadilan Negeri Lubuk Sikaping, 1 (satu) orang dariLembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM), dan 1 (satu) orang dari Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Pasaman - Sumatera Barat.

(44)

Analisa data sangat diperlukan dalam suatu penelitian, hal ini berguna untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisa data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian dengan menggunakan metode kualitatif bertolak dari asumsi tentang realitas atau fenomena sosial yang bersifat unik dan kompleks. Padanya terdapat regularitas atau pola tertentu, namun penuh dengan variasi (keragaman).54

Selanjutnya, data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) dianalisa dengan menggunakan metode kualitatif sehingga diperoleh gambaran secara menyeluruh tentang gejala dan fakta yang terdapat dalam masalah kekuatan hukum pembuktian surat hibah atas peralihan tanah pertanian terkait putusan MA Nomor 2771/K/PDT/2010. Kemudian ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode berpikir deduktif, yaitu cara berpikir yang dimulai dari hal-hal yang umum untuk selanjutnya ditarik hal-hal yang khusus, dengan menggunakan ketentuan berdasarkan pengetahuan umum seperti teori-teori, dalil-dalil, atau prinsip-prinsip dalam bentuk proposisi-proposisi untuk menarik kesimpulan terhadap fakta-fakta yang bersifat khusus,55 guna menjawab permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini.

54 Burhan Bungin, Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis Dan

Metodologis Ke Arah Penguasaan Modal Aplikasi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 53.

55Mukti Fajar, dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,

(45)

BAB II

KEKUATAN PEMBUKTIAN SURAT HIBAH ATAS PERALIHAN TANAH PERTANIAN TERKAIT PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2771

K/PDT/2010

A. Hibah Menurut Hukum Adat Minangkabau 1. Hibah dalam Hukum Islam

Manusia hidup tidaklah lepas dari kecintaan terhadap harta sebagai motivasi hajat hidupnya di dunia. Islam sebagai agama yang mutlak akan segala kebenaran memperbolehkan manusia untuk mencari dan memperoleh harta benda sebanyak-banyaknya, yaitu dengan tata cara yang baik dan tidak bertentangan dengan aturan.56

Penguasaan harta benda terjadi dengan adanya suatu bentuk akad atau perjanjian pemindahan milik dari seseorang kepada orang lain, seperti persetujuan timbal balik, yaitu persetujuan yang menimbulkan kewajiban pokok kepada kedua belah pihak, seperti jual beli, dan sewa menyewa. Adapun persetujuan sepihak adalah persetujuan dimana hanya terdapat kewajiban pada salah satu pihak saja misalnya hibah. Di dalam hukum Islam, hibah berarti akad yang pokoknya adalah pemberian harta milik seseorang kepada orang lain di waktu ia masih hidup tanpa adanya imbalan apapun.57

Hibah dapat dilakukan oleh siapa saja yang memiliki kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum tanpa ada paksaan dari pihak lain. Hukum hibah adalah diperbolehkan, bahkan dianjurkan. Berdasarkan firman Allah SWT dalam Q.S.

al-56 Sjafa‟at, Pengantar Studi Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1964), hal. 102.

(46)

Baqarah ayat 177 yang artinya ...dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta…58

Agama Islam telah mengatur tata cara manusia bermuamalah, sedikitnya ada empat macam produk pemikiran hukum Islam yang dapat dijadikan pedoman atau acuan dalam menyelesaikan problematik kehidupan kemasyarakatan, khususnya dalam hal hibah, adapun produk dari hukum Islam itu sendiri yaitu: Kitab-kitab fiqih, fatwa-fatwa ulama, keputusan-keputusan pengadilan, dan peraturan perundangan di negeri-negeri muslim.59

Berdasarkan pendapat Muhammad Ibnu Hasan, yang dikutip Said Sabiq dalam karangannya Fiqh as-Sunnah, bahwa seseorang boleh menghibahkan hartanya kepada orang lain selain ahli waris, namun tidak sah jika ia menghibahkan seluruh hartanya walaupun untuk kebaikan.60

Said Sabiq berpendapat hibah dinyatakan sah dengan adanya ijab dan qabuldengan ungkapan apapun yang bermakna penyerahan kepemilikan harta tanpa imbalan. Yaitu pihak yang bermakna memberikan hibah mengucapkan; aku hibahkan kepadamu, atau aku memberikan kepadamu, dan ungkapan semacamnya. Dan pihak yang menerimanya mengucapkan, aku terima. Malik dan Syafi’i berpendapat bahwa dengan penerimaan maka hibah sudah dapat dinyatakan sah.61

58Departemen Agama RI., Al-Quran & Terjemahnya, (Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2006) 59Ahmad Azhar Basyir,Asas-Asas Mu‟amalah dalam Hukum Perdata Islam, (Yogyakarta:

Bina Cipta, 1998), hal. 40.

60Said Sabiq.Fikih Sunnah, (Bandung: Pena Pundit Aksara, 1988), hal. 174. 61Said Sabiq, Op.Cit., hal. 550.

(47)

Sebagian penganut mazhab Hanafi berpendapat bahwa ijab saja sudah cukup. Inilah pendapat yang paling sahih. Penganut mazhab Hambali mengatakan, “hibah dinyatakan sah dengan adanya pemberian dan penerimaan yang menunjukkan maksud hibah. Sebab, Rasulullah SAW memberi hadiah dan menerima hadiah, demikian pula yang dilakukan para sahabat beliau (tanpa ungkapan ijab dan qabul). Tidak ada riwayat mereka yang menyatakan bahwa mereka menetapkan syarat ijab dan qabul serta syarat semacamnya.62

Hibah terjadi dengan adanya pihak yang memberi, pihak yang menerima hibah, dan barang yang dihibahkan. Masing-masing dari nilai semua memiliki syarat-syarat sebagai berikut :63

1. Shigat hibah, ialah kata-kata yang diucapkan oleh orang-orang yang melakukan hibah. Karena hibah semacam akad, maka shigat hibah terdiri atas ijab dan qabul. Ijab ialah kata-kata yang diucapkan oleh penghibah, sedangkan qabul diucapkan oleh orang yang menerima hibah. Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa setiap hibah harus ada ijab dan qabulnya, tidak sah suatu hibah tanpa ada kedua macam shigat hibah itu.

2. Syarat-syarat yang berkaitan dengan pemberi hibah

Pemberi hibah, adalah pemilik sah barang yang dihibahkan yang pada saat pemberian itu dilakukan dalam keadaan sehat, baik sehat jasmani dan rohani. Barang yang dapat dihibahkan ialah segala sesuatu yang dapat dimiliki. Oleh

62Ibid.

63Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Juz 3, Terjemahan, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), hal.

(48)

sebab itu, hukum Islam mengatur persyaratan bagi pemberi hibah yang diantaranya sebagai berikut:64

a. Pemberi hibah harus sebagai pemilik barang yang dihibahkan.

b. Dia tidak berada dalam kondisi dibatasi kewenangannya lantaran suatu sebab yang menjadikan kewenangannya dibatasi.

c. Dia harus berusia baliq, karena anak kecil belum layak untuk melakukan akad hibah.

3. Syarat-syarat yang berkaitan dengan penerima hibah

Penerima hibah adalah setiap orang, baik perorangan maupun badan hukum serta layak untuk memiliki barang yang dihibahkan. Terhadap pihak yang menerima hibah, ditetapkan syarat-syarat sebagai berikut:65

a. Penerima hibah harus benar-benar ada secara fisik saat pemberian hibah. Jika secara fisik dia tidak ada di tempat atau dia dinyatakan ada tetapi masih dalam keadaan prediksi, yaitu misalnya dia masih berupa janin, maka hibah tidak sah.

b. Pihak yang diberi hadiah ada di tempat pada saat pemberian hibah. Namun dia masih dikategorikan sebagai anak kecil, atau gila, maka walinya atau orang yang mendapat wasiat darinya, atau orang yang mengasuhnya, meskipun dia pihak lain (yang tidak terikat hubungan kekerabatan), maka orang itu boleh mewakilinya untuk menerima hadiah.

4. Syarat-syarat yang berkaitan dengan barang yang dihibahkan

Barang hibah sesuatu atau harta yang dihibahkan, syarat-syaratnya ialah:66

a. Barang hibah itu telah ada dalam arti yang sebenarnya waktu hibah itu dilaksanakan.

b. Barang yang dihibahkan itu adalah barang yang boleh dimiliki secara sah oleh ajaran Islam.

c. Harta yang dihibahkan itu dalam keadaan tidak terikat pada suatu perjanjian dengan pihak lain, seperti harta itu dalam keadaan digadaikan atau dibankkan.

64Said Sabiq, Op.Cit., hal. 553. 65Ibid. hal. 554

(49)

d. Harta yang dihibahkan itu telah terpisah dari harta penghibah, seperti penghibah mempunyai sebidang tanah, yang akan dihibahkan adalah seperempat dari seluruh tanah itu. Di waktu menghibahkan tanah yang seperempat itu telah dipecah atau ditentukan tempatnya.

e. Barang itu telah menjadi milik sah dari penghibah dalam arti yang sebenarnya. Tidak boleh dihibahkan barang yang belum jelas pemiliknya, seperti menghibahkan ikan dalam sungai dan burung yang masih berterbangan di udara.

5. Syarat lain, adanya saksi dalam hibah juga menjadi syarat dalam sahnya hibah. Hubungan hibah dengan waris tergambar dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 211 yaitu, hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan. Pengertian “dapat” dalam pasal tersebut bukan berarti imperatif (harus), tetapi merupakan salah satu alternatif yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa warisan.67 Pemberian hibah orang tua kepada anaknya berpegang kepada prinsip pembagian yang sama antara semua anak tanpa membeda-bedakan satu dengan yang lainnya, sebagaimana yang diajarkan Rasulullah SAW kepada sahabatnya terdahulu.

Suatu hal yang dapat dipastikan adalah bahwa hukum kewarisan Islam selama ini yang bernama fikih mawaris atau faraid menjadi salah satu sumber utama dari kompilasi.68

Hibah sebagai salah satu jalan keluar pembagian harta peninggalan untuk menghindari dari konflik yang terjadi dalam pembagian warisan karena adanya kalangan yang terhalangi menerima harta warisan disebabkan beda agama, anak

67Dede Ibin, Hibah, Fungsi Dan Korelasinya Dengan Kewarisan, (tulisan ini diambil dalam

bentuk pdf. Penulis adalah Wakil Ketua PA Rangkasbitung), hal. 5.

(50)

angkat, atau disebabkan perbedaan bagian dari masing-masing ahli waris yang dipandang oleh sebagian masyarakat melambangkan ketidak adilan.69

2. Hibah dalam Hukum Adat Minangkabau

Hibah adalah istilah hukum Islam yang terpakai secara luas dan menjadi istilah hukum dalam hukum adat di Minangkabau. Dalam istilah hukum Islam hibah berarti “penyerahan hak milik kepada orang lain selagi hidup yang mempunyai hak tanpa ada suatu imbalan”.70

Bila diperhatikan hakikat hibah sebagaimana dijelaskan di atas dan

dibandingkan dengan pengertian hibah yang berlaku di lingkungan adat

Minangkabau, maka akan jelas bahwa yang berlaku di Minangkabau adalah hibah yang terdapat dalam hukum Islam. Hal ini berarti bahwa hibah yang telah melembaga

dalam lingkungan adat Minangkabau adalah pengaruh Islam, yang dalam

pelaksanaannya disesuaikan dengan keadaan yang berlaku di Minangkabau. Tentang sejauh mana penyesuaian hibah dalam lingkungan adat Minangkabau dapat diketahui dari prinsip hibah menurut hukum Islam dan bagaimana yang berlaku dalam kenyataan.71

Pengaruh hukum Islam yang mengharuskan seorang ayah bertanggung jawab terhadap anak dan istrinya, belum dapat mengalahkan hubungan tanggung jawab

69Dede Ibin, Op. Cit., hal. 6.

70 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat

Minangkabau, (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1984), hal. 252.

Referensi

Dokumen terkait