• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KASUS ATAS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 189 PK/PDT/2009 TENTANG KEABSAHAN KEPEMILIKAN DAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH TESIS OLEH :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS KASUS ATAS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 189 PK/PDT/2009 TENTANG KEABSAHAN KEPEMILIKAN DAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH TESIS OLEH :"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KASUS ATAS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 189 PK/PDT/2009 TENTANG KEABSAHAN KEPEMILIKAN

DAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH

TESIS

OLEH :

EDWIN ROLIN TAMPUBOLON 147011076/M.Kn

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2016

(2)

ANALISIS KASUS ATAS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 189 PK/PDT/2009 TENTANG KEABSAHAN KEPEMILIKAN

DAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultass Hukum

Universitas Sumatera Utara

OLEH :

EDWIN ROLIN TAMPUBOLON 147011076/M.Kn

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2016

(3)

Telah diuji pada

Tanggal : 25 Agustus 2016

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH., MS., CN Anggota : 1. Dr. Edi Ikhsan, SH., MA

2. Dr. Pendastaren Tarigan, SH., MS

3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH., CN., M.Hum

4. Dr. Faisal Akbar Nasution, SH., M.Hum

(4)

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : EDWIN ROLIN TAMPUBOLON Nim : 147011076

Program Studi : Magister Kenotariatan

Judul Tesis : ANALISIS KASUS ATAS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 189 PK/PDT/2009 TENTANG KEABSAHAN KEPEMILIKAN DAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan, 25 Agustus 2016 Yang membuat pernyataan

Nama : EDWIN ROLIN TAMPUBOLON

Nim : 147011076

(5)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

Nama : EDWIN ROLIN TAMPUBOLON

TEMPAT/Tgl.. Lahir : Medan / 12 Nopember 1986 Jenis Kelamin : Laki-laki

Status : Menikah

Alamat : Dusun IV Jl. Binjai Km. 10,8 Gg. Sama No. 24

II. KELUARGA

Ayah : Drs. Edward Tampubolon

Ibu : Roslen Simangunsong, BA

Saudara Kandung : 1. Poppy Tampubolon, SH, Sp. N 2. Evi Rosanna Tampubolon (+) 3. Pamela Tampubolon, Am.K 4. Lusy Tampubolon, SE

5. Erika Tampubolon, S. Sos., M.Pd 6. Desy Adelina Tampubolon, SE 7. Roma Ito Tampubolon, SP 8. Sri Astuti Tampubolon, SE 9. Dedy Iswardy Tampubolon, SE

III. PENDIDIKAN

SD Swasta Methodist 6 Medan : Lulus Tahun 1998

SMP Swasta Methodist 6 Medan : Lulus Tahun 2001

SMA Swasta St. Thomas 3 Medan : Lulus Tahun 2004

S1 Universitas Katolik St. Thomas Sumatera Utara : Lulus Tahun 2011

S2 Program Studi Magister Kenotariatan FH-USU : Lulus Tahun 2016

(6)

ABSTRAK

Dewasa ini banyak terjadi kepemilikan ganda atas tanah yaitu dimiliki oleh dua orang yang berbeda atau dua badan hukum yang berbeda secara bersamaan sehingga segala kegiatan pembangunan dihentikan dan terbengkalai karena menjadi konflik sebelum terdapat kepemilikan secara pasti atas tanah tersebut, dimana kedua pemilik mengakui telah memiliki bukti kepemilikan atas sebidang tanah yang sama. Hal tersebut dapat dilihat sebagaimana dalam kasus yang tertuang dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 189 PK/PDT/2009.

Permasalahan yang diangkat pada penelitian ini adalah pertama : bagaimana peranan hakim dalam memutuskan perkara keabsahan Kepemilikan Hak Atas Tanah. Kedua : bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara gugatan penggugat dalam Putusan Mahkamah Agung No. 189 PK/PDT/2009.

Ketiga : bagaimana akibat hukum perdata dari Putusan Mahkamah Agung No.

189 PK/PDT/2009.

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analisis dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif atau disebut juga penelitian hukum kepustakaan. Data yang telah diperoleh akan dianalisa secara kualitatif dan ditarik kesimpulan dengan metode dedukatif.

Hasil penelitian diketahui bahwa Peranan Hakim dalam memutuskan perkara keabsahan kepemilikan atas tanah yaitu dengan menimbang novum yang dimunculkan oleh pemohon PK dan atas dasar itu hakim menimbang bahwa novum yang dimunculkan oleh pemohon PK tidak relevan atas pokok putusan kasasi Nomor 2510 K/Pdt/2006 sehingga majelis hakim PK menguatkan putusan kasasi tersebut. Dasar Pertimbangan Hakim dalam memutuskan perkara gugatan Nomor 189 PK/PDT/2009 ialah adanya dua transaksi yang dilakukan oleh Ny.

Nelly Moeljono terhadap SHM 897/Cilandak dimana SHM 897/Cilandak telah dialihkan sebagaimana akte nomor 16 dan akte nomor 17 yang kemudian direkayasa untuk memohon SHM terbaru (SHM 6036/Cilandak) dengan alasan SHM 897/Cilandak hilang, dan Ny. Nelly Moeljono melakukan transaksi lagi terhadap tanah yang sama kepada pemohon PK sehingga transaksi tersebut tidak sah dan novum yang diajukan oleh pemohon PK tidak relevan. Akibat hukum putusan Mahkamah Agung Nomor 189 PK/PDT/2009 adalah menguatkan putusan kasasi sehingga Sertipikat Hak Milik Nomor 6036/Cilandak yang dimiliki penggugat tersebut dinyatakan batal oleh hakim dan penggugat tidak berhak atas kepemilikan tanah tersebut dan akibat putusan tersebut terhadap tergugat sertipikat yang sah adalah Sertipikat Hak Milik Nomor 897/Cilandak yang dimiliki tergugat dan tergugat berhak menguasai dan memiliki tanah tersebut berdasarkan Peninjauan Kembali yang diajukan tergugat ke Mahkamah Agung.

Kata kunci : Peralihan Hak Atas Tanah, Sertipikat Ganda, Putusan

(7)

ABSTRACT

Nowadays a land title, possessed simultaneously by two different persons or corporations, is frequently found so that all construction work has to be stopped and abandoned because until the land title is certain, it will remain a conflict. The conflict is resulted from both owners who acknowledge having the proof of the title of a same plot of land. Such conflict can be observed in a case mentioned in the the Supreme Court’s Ruling No.189 PK/PDT/2009. The problems of this research were how the role of the judge was in handing down the verdict on the case of the Land Title validity; secondly, how the judge’s considerations were in settling the case of the claim in the Supreme Court’s Ruling No.189 PK/PDT/2009; and thirdly, how the legal consequence of the Supreme Court’s Ruling No.189 PK/PDT/2009 is.

The research was a descriptive analysis using judicial normative method or legal library research.

The results found that the role of the Judge in settling the case of the land title validity was to carry out his function and authority honestly and fairly, in which he had to be able to interpret the prevailing law actually and he also had to be brave to create a new law as a legal form. A Judge, in his verdict, managed to settle the land title case based on the prevailing principles and law applied in the court. Based on the Judge’ consideration in the Verdict No.189 PK/PDT/2009, it was pronounced that SHM 6036 Cilandak was void because SHM 897/Cilandak had been transferred in Deed 16 and Deed 17. SHM 897 was taken by the owner.

It was manipulated to be declared missing, reported to the Police and requested to be reissued with a new SHM, namely SHM 6036/Cilandak. The foundation of the trade between Mrs. Moeljono Soebandi and the Judicial Review claimant was void because the former transaction had not yet been annulled and the SHM 6036/Cilandak did not clarify that it was the replacement of SHM No.897 which was considered missing. Consequently, by the objection of the Judge of the Supreme Court in the Ruling No.189 PK/PDT/2009, the Title Certificate No.

6036/Cilandak possessed by the claimant was annulled and he lost his right over the land. The significance of the Verdict on the defendant was that the Certificate No.897/Cilandak possessed by the defendant was pronounced valid and he has the right to occupy and own the land based on the Judicial Review requested by the defendant to the Supreme Court.

Keywords: Land Title Transfer, Double Title, Ruling

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan Kepada Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Pengasih dan penuh Anugrah, karena atas kasih dan karunia-Nya jugalah Penulis dapat menyelesaikan sebuah karya ilmiah berbentuk Tesis dengan judul ” ANALISIS KASUS ATAS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 189 PK/PDT/2009 TENTANG KEABSAHAN KEPEMILIKAN DAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH”. Penulisan tesis ini merupakan suatu syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (MKn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat:

Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH., MS., CN., selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara dan Komisi Pembimbing yang telah tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan serta kemudahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil sampai pada tahap ujian tesis sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah.

Bapak Dr. Edi Ikhsan, SH., MA., selaku Komisi Pembimbing yang telah

tulus ikhlas memberikan bimbingan, arahan, saran dan kritik yang membangun

untuk kesempurnaan penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil

(9)

sampai pada tahap ujian tesis sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah.

Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH., MS., selaku Komisi Pembimbing yang telah tulus ikhlas memberikan bimbingan, arahan dan motivasi untuk kesempurnaan penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil sampai pada tahap ujian tesis sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah.

Selanjutnya di dalam penelitian tesis ini penulis banyak memperoleh bantuan baik berupa pengajaran, bimbingan, arahan dan bahan informasi dari semua pihak. Untuk itu pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Bapak Prof. DR. Runtung Sitepu, SH., M.Hum., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Pascasarjana Magister Kenotariatan (MKn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. DR. Budiman Ginting, SH., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan yang diberikan kepada peneliti untuk dapat menjadi mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu DR. T. Keizerina Devi Azwar, SH., CN., M.Hum., selaku Sekretaris

Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Sumatera

Utara dan selaku penguji dalam penelitian tesis ini, atas segala dedikasi

dan pengarahan serta masukan yang diberikan kepada penulis selama

(10)

menuntut ilmu pengetahuan di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak DR. Faisal Akbar Nasution, SH., M.Hum., selaku penguji dalam penelitian tesis ini, atas segala dedikasi dan pengarahan serta masukan yang diberikan kepada penulis selama menuntut ilmu pengetahuan di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu Dosen serta segenap civitas akademis Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Kedua Orang Tua saya, Bapak Saya St. Drs. Edward Tampubolon dan Ibu Saya Roslen Simangunsong, BA, Istri saya tercinta Noristracya Biveny Sellinta Tarigan Tua, SE., Kakak Saya Notaris Poppy Tampubolon, SH., Sp.N., Evi Rosanna Tampubolon (+), Pamela Tampubolon, Am.K., Lusy Tampubolon, SE., Erika Tampubolon, S.Sos., M.Pd., Dessy Adelina Tampubolon, SE., Romaito Tampubolon, SP., Sri Astuti Tampubolon, SE., dan Abang Saya Dedy Iswardi Tampubolon, SE., atas segala doa, dukungan Materi dan motivasi yang terbaik selama menempuh pendidikan Magister Kenotariatan di USU Medan dan tak henti-hentinya diberikan untuk kelancaran penelitian.

7. Teman-teman saya Eko Permana Dalimunthe, SH., M.Kn, Taufiq

Mustakim, SH., M.Kn., Irveb Imanuel Tarigan, SH., M.Kn., Abza

Karanesa, SH., Maulana Syahputra, SH., Samuel Tarigan, SH., Edi

Sukelsi, SH., Jones Cristoper Simanjuntak, SH., Audi Yulian Mahdi,

(11)

SH., M. IqbaL, SH., M.Kn., serta teman-teman Grup B, A dan C Fakultas Hukum, Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara (USU) tahun 2014.

Di samping itu, penulis juga menyadari bahwa masih banyak teman, kerabat dan pihak-pihak lain yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah mendukung dan mendoakan keberhasilan penulis dalam menyelesaikan studi ini, semoga Tuhan Yang Maha Pengasih memberkati dan membalas semua budi baik mereka semuanya.

Akhirnya penulis juga menyadari, dalam penulisan tesis ini masih banyak kekurangan di sana-sini, dan karena itu kritik dan saran selalu ditunggu sebagai masukan guna memperbaiki tulisan ini.

Medan, Agustus 2016 Penulis

Edwin Rolin Tampubolon

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. ... L atar Belakang Masalah... 1

B. ... P erumusan Masalah ... 12

C. ... T ujuan Penelitian ... 12

D. ... M anfaat Penelitian ... 13

E. ... K easlian Penelitian ... 14

F. ... K erangka Teori dan Kerangka Konsepsi ... 15

1. ... K erangka Teori ... 15

2. ... K onsepsi ... 18

G. ... M etode Penelitian... 20

1. ... S pesifikasi Penelitian ... 21

2. ... S

umber Data ... 22

(13)

3. ... T eknik Pengumpulan Data ... 23 4. ... A

lat Pengumpulan Data ... 23 5. ... A

nalisa Data ... 24

BAB II PERANAN HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA

KEABSAHAN KEPEMILIKAN ATAS TANAH ... 25 A. ... T

eori Tentang Tanah ... 25 1. ... H

ak Penguasaan Atas Tanah ... 25 2. ... T

ata Cara Memperoleh Tanah ... 28 3. ... T

ata Cara Memperoleh Hak Atas Tanah ... 42

(14)

B. ... P roseddur Penerbitan Sertipikat Pengganti... 46 1. ... P

engertian Sertipikat Pengganti ... 46 2. ... P

rosedur Penerbitan Sertipikat Pengganti... 47 C. ... P

eranan Hakim Dalam Memutuskan Perkara Keabsahan

Kepemilikan Atas Tanah ... 52 1. ... P

eranan Hakim ... 52 2. ... A

sas Yang Digunakan Dalam Menentukan Kepemilikan ... 57

BAB III DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM

MEMUTUSKAN PERKARA GUGATAN PENGGUGAT DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR

189 PK/PDT/2009 ... 64 A. ... K

ewenangan Badan Pertanahan Nasional dan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Dalam Penerbitan Sertipikat

Pengganti ... 64 B. ... D

asar Pertimbangan Hakim Dalam Memutuskan Perkara ... 72 1. ... K

asus Posisi ... 72 2. ... D

asar Pertimbangan Hakim ... 80 C. ... A

nalisis Hukum Terhadap Dasar Pertimbangan Hakim ... 83

(15)

BAB IV AKIBAT HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG

NOMOR 189 PK/PDT/2009 ... 87 A. ... A

kibat Hukum Dari Putusan Mahkamah Agung Nomor

189 PK/PDT/2009 ... 87 B. ... A

kibat Hukum Perdata Terhadap Para Pihak ... 90

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 99

A. ... K esimpulan ... 99 B. ... S

aran ... 100

DAFTAR PUSTAKA

(16)

ABSTRAK

Dewasa ini banyak terjadi kepemilikan ganda atas tanah yaitu dimiliki oleh dua orang yang berbeda atau dua badan hukum yang berbeda secara bersamaan sehingga segala kegiatan pembangunan dihentikan dan terbengkalai karena menjadi konflik sebelum terdapat kepemilikan secara pasti atas tanah tersebut, dimana kedua pemilik mengakui telah memiliki bukti kepemilikan atas sebidang tanah yang sama. Hal tersebut dapat dilihat sebagaimana dalam kasus yang tertuang dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 189 PK/PDT/2009.

Permasalahan yang diangkat pada penelitian ini adalah pertama : bagaimana peranan hakim dalam memutuskan perkara keabsahan Kepemilikan Hak Atas Tanah. Kedua : bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara gugatan penggugat dalam Putusan Mahkamah Agung No. 189 PK/PDT/2009.

Ketiga : bagaimana akibat hukum perdata dari Putusan Mahkamah Agung No.

189 PK/PDT/2009.

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analisis dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif atau disebut juga penelitian hukum kepustakaan. Data yang telah diperoleh akan dianalisa secara kualitatif dan ditarik kesimpulan dengan metode dedukatif.

Hasil penelitian diketahui bahwa Peranan Hakim dalam memutuskan perkara keabsahan kepemilikan atas tanah yaitu dengan menimbang novum yang dimunculkan oleh pemohon PK dan atas dasar itu hakim menimbang bahwa novum yang dimunculkan oleh pemohon PK tidak relevan atas pokok putusan kasasi Nomor 2510 K/Pdt/2006 sehingga majelis hakim PK menguatkan putusan kasasi tersebut. Dasar Pertimbangan Hakim dalam memutuskan perkara gugatan Nomor 189 PK/PDT/2009 ialah adanya dua transaksi yang dilakukan oleh Ny.

Nelly Moeljono terhadap SHM 897/Cilandak dimana SHM 897/Cilandak telah dialihkan sebagaimana akte nomor 16 dan akte nomor 17 yang kemudian direkayasa untuk memohon SHM terbaru (SHM 6036/Cilandak) dengan alasan SHM 897/Cilandak hilang, dan Ny. Nelly Moeljono melakukan transaksi lagi terhadap tanah yang sama kepada pemohon PK sehingga transaksi tersebut tidak sah dan novum yang diajukan oleh pemohon PK tidak relevan. Akibat hukum putusan Mahkamah Agung Nomor 189 PK/PDT/2009 adalah menguatkan putusan kasasi sehingga Sertipikat Hak Milik Nomor 6036/Cilandak yang dimiliki penggugat tersebut dinyatakan batal oleh hakim dan penggugat tidak berhak atas kepemilikan tanah tersebut dan akibat putusan tersebut terhadap tergugat sertipikat yang sah adalah Sertipikat Hak Milik Nomor 897/Cilandak yang dimiliki tergugat dan tergugat berhak menguasai dan memiliki tanah tersebut berdasarkan Peninjauan Kembali yang diajukan tergugat ke Mahkamah Agung.

Kata kunci : Peralihan Hak Atas Tanah, Sertipikat Ganda, Putusan

(17)

ABSTRACT

Nowadays a land title, possessed simultaneously by two different persons or corporations, is frequently found so that all construction work has to be stopped and abandoned because until the land title is certain, it will remain a conflict. The conflict is resulted from both owners who acknowledge having the proof of the title of a same plot of land. Such conflict can be observed in a case mentioned in the the Supreme Court’s Ruling No.189 PK/PDT/2009. The problems of this research were how the role of the judge was in handing down the verdict on the case of the Land Title validity; secondly, how the judge’s considerations were in settling the case of the claim in the Supreme Court’s Ruling No.189 PK/PDT/2009; and thirdly, how the legal consequence of the Supreme Court’s Ruling No.189 PK/PDT/2009 is.

The research was a descriptive analysis using judicial normative method or legal library research.

The results found that the role of the Judge in settling the case of the land title validity was to carry out his function and authority honestly and fairly, in which he had to be able to interpret the prevailing law actually and he also had to be brave to create a new law as a legal form. A Judge, in his verdict, managed to settle the land title case based on the prevailing principles and law applied in the court. Based on the Judge’ consideration in the Verdict No.189 PK/PDT/2009, it was pronounced that SHM 6036 Cilandak was void because SHM 897/Cilandak had been transferred in Deed 16 and Deed 17. SHM 897 was taken by the owner.

It was manipulated to be declared missing, reported to the Police and requested to be reissued with a new SHM, namely SHM 6036/Cilandak. The foundation of the trade between Mrs. Moeljono Soebandi and the Judicial Review claimant was void because the former transaction had not yet been annulled and the SHM 6036/Cilandak did not clarify that it was the replacement of SHM No.897 which was considered missing. Consequently, by the objection of the Judge of the Supreme Court in the Ruling No.189 PK/PDT/2009, the Title Certificate No.

6036/Cilandak possessed by the claimant was annulled and he lost his right over the land. The significance of the Verdict on the defendant was that the Certificate No.897/Cilandak possessed by the defendant was pronounced valid and he has the right to occupy and own the land based on the Judicial Review requested by the defendant to the Supreme Court.

Keywords: Land Title Transfer, Double Title, Ruling

(18)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dewasa ini banyak terjadi kepemilikan ganda atas tanah yaitu dimiliki oleh dua orang yang berbeda atau dua badan hukum yang berbeda secara bersamaan sehingga segala kegiatan pembangunan dihentikan dan terbengkalai karena menjadi konflik sebelum terdapat kepemilikan secara pasti atas tanah tersebut, dimana kedua pemilik mengakui telah memiliki bukti kepemilikan atas sebidang tanah yang sama.

Salah satu contoh kasus dapat kita lihat dalam Putusan Mahkamah Agung

No. 189 PK/PDT/2009. Dalam putusan tersebut duduk perkaranya adalah bahwa

pada awal tahun 2000 Bapak dan Ibu Moeljono Soebandi berniat menjual

sebidang tanah beserta bangunan rumah di atasnya dengan sertipikat hak milik

No. 897 yang terletak di Jl. Lebak Bulus II/21, RT. 02/04, seluas 728 M2 dan

salah satu peminatnya adalah Bapak Heru Setia Budi, yang pada akhirnya antara

Bapak Moeljono Soebandi dan Bapak Heru Setia Budi sepakat untuk melakukan

perjanjian jual beli. Kemudian kedua belah pihak dimaksud menghadap Notaris

BRAy. Mahyastoety Notonagoro, SH., selanjutnya dibuatkan Perjanjian Jual Beli

No. 16, tanggal 3 Agustus 2000 dan Perjanjian No. 17, tanggal 3 Agustus 2000

tentang cara pembayaran. Bahwa setelah 1 bulan penandatanganan kedua akta

dimaksud ternyata tidak ada realisasi pembayaran sesuai perjanjian dimaksud

maka Bapak Moeljono Soebandi bermaksud membatalkan perjanjian tersebut,

(19)

untuk kepentingan langsung berhubungan dengan penggunaan tanah dalam batas- batas menurut UUPA dan peraturan yang lebih tinggi.

1

Adapun tujuan dari Undang-Undang Pokok Agraria adalah:

a. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional;

b. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan;

c. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

2

Salah satu tujuan pembentukan Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, selanjutnya disebut UUPA adalah meletakkan dasar-dasar untuk memberikan jaminan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dalam rangka menjamin kepastian hak dan kepastian hukum atas tanah, UUPA telah menggariskan adanya keharusan untuk melaksanakan pendaftaran tanah di seluruh Indonesia, sebagaimana diamanatkan Pasal 19 UUPA. Pasal tersebut mencantumkan ketentuan-ketentuan umum dari pendaftaran tanah di Indonesia, yaitu:

1. Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

2. Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 Pasal ini meliputi : a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah;

b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;

1

Ali Achmad Chomzah, Hukum Pertanahan , Prestasi Pustaka Jakarta,2002 hal. 111

2

Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria

(20)

c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

3. Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria.

4. Dalam peraturan pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termaksud dalam ayat (2) diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.

Ketentuan dalam Pasal 19 ayat (1) UUPA tersebut merupakan ketentuan yang ditujukan kepada pemerintah untuk menyelenggarakan pendaftaran tanah di seluruh Indonesia, yang sekaligus juga merupakan dasar hukum bagi pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka memperoleh surat tanda bukti hak atas tanah yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

Untuk menindaklanjuti hal tersebut, telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, sebagai penyempurnaan dari Peraturan Pemerintah sebelumnya. Penyelenggaran pendaftaran tanah dalam masyarakat merupakan tugas Negara yang diselenggarakan oleh Pemerintah bagi kepentingan rakyat, dalam rangka memberikan status hak atas tanah di Indonesia.

M. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis dalam Buku Pendaftaran Tanah

menyebutkan bahwa pentingnya kepastian hukum dalam pendaftaran tanah untuk

menjamin perlindungan hukum bagi masyarakat, artinya masih di anggap tidak

(21)

ada kepastian hukum dari adanya pendaftaran tanah di negara ini, sebab sertipikat belum menjamin sepenuhnya hak atas tanah seseorang.

3

Pendaftaran tanah menerapkan sistem negatif yang bukan murni tetapi sistem negatif berunsur positif. Sistem ini memberi makna sebagai berikut:

1. Negara tidak menjamin kebenaran data 100%

2. Pengumpulan data dilakukan dengan secermat-cermatnya sehingga didapatkan data yang akurat.

3. Data yang diperoleh sedemikian rupa diuji kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi/Kepala Kantor Pertanahan.

4. Data yang dikumpulkan itu diumumkan untuk menjaring pendapat public tentang kebenaran data dan tujuan pendaftarannya.

5. Dibuka peluang bagi public untuk mengajukan keberatan/gugatan atas data dan tujuan pendaftaran tanah yang bersangkutan.

4

Sesuai dengan amanat Pasal 19 UUPA maka setiap tanah harus didaftarkan pada kantor pertanahan setempat. Dengan adanya pendaftaran tanah tersebut seseorang dapat dengan mudah memperoleh keterangan berkenaan dengan sebidang tanah, seperti hak apa yang dipunyai, berapa luas lokasi tanah, apakah dibebani hak tanggungan dan yang terpenting adalah tanah tersebut akan mendapatkan sertipikat sebagai alat bukti hak.

3

Mhd.Yamin Lubis dan Abd.Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju, Bandung, 2008, hal. 178

4

Tampil Ansari Siregar, Pendaftaran Tanah Kepastian Hak, Multi Grafik, Medan, 2007,

hal . 235

(22)

Kewajiban mendaftarkan tanah menurut UUPA adalah sebagai berikut :

1. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah.

2. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut.

3. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

Dengan demikian maka pendaftaran ini akan menghasilkan peta-peta pendaftaran, surat-surat ukur (untuk kepastian tentang letak, batas dan luas tanah), keterangan dan subjek yang bersangkutan, status haknya, serta beban-beban apa yang berada diatas tanah hak tersebut dan yang terakhir menghasilkan sertipikat (sebagai alat pembuktian yang kuat).

5

Dalam rangka penyelenggaraan pengelolaan tanah khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan penguasaan dan hak-hak atas tanah dan pengaturan dalam rangka membangun kehidupan masyarakat yang aman dan adil, diperlukan lembaga yang berhak memberikan jaminan kepastian hukum terhadap hak atas tanah dan pelayanan untuk urusan-urusan yang berkaitan dengan tanah. Lembaga yang dimaksud adalah Badan Pertanahan Nasional (BPN). Badan Pertanahan Nasional dibentuk dalam rangka melaksanakan tugas pemerintahan dibidang pertanahan, melaui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2006 Tanggal 11 April 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional, dimana dalam Perpres tersebut BPN merupakan Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) yang merupakan

5

Sudargo Gautama, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria, Alumni, Bandung, 1981,

hal. 41-42

(23)

instansi vertikal. Berdasarkan Perpres tersebut BPN diberikan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral.

Salah satu tugas pemerintahan yang diemban oleh BPN adalah melaksanakan pendaftaran tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yaitu melaksanakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Indonesia dalam rangka menjamin kepastian hukum mengenai letak, batas dan luas tanah, status tanah dan subyek yang berhak atas tanah dan pemberian surat berupa sertipikat yang dilakukan terhadap obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar.

Selain UUPA juga diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah jo Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP Nomor 24 Tahun 1997.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tersebut, maka

dapat diringkas bahwa Kepastian Hukum mengenai hak-hak atas tanah

sebagaimana yang diamanatkan UUPA mengandung dua dimensi yaitu kepastian

obyek hak atas tanah dan kepastian subyek hak atas tanah. Salah satu indikasi

kepastian obyek hak atas tanah ditunjukkan oleh kepastian letak bidang tanah

yang berkoordinat georeferensi dalam suatu peta pendaftaran tanah, sedangkan

kepastian subyek diindikasikan dari nama pemegang hak atas tanah tercantum

dalam buku pendaftaran tanah pada instansi pertanahan. Secara ringkas, salinan

dari peta dan buku pendaftaran tanah tersebut dikenal dengan sebutan sertipikat

(24)

tanah. Namun demikian dalam prakteknya, kepastian hukum hak atas tanah ini kadangkala tidak terjamin sebagaimana yang diharapkan.

Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah: Penjualan, tukar menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain selain Pemerintah guna pelaksanaan pembangunan termasuk pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan khusus.

Ada 2 (dua) cara dalam mendapatkan ataupun memperoleh hak milik, yakni :

1. Dengan pengalihan, yang meliputi beralih dan dialihkan. Dalam hal ini berarti ada pihak yang kehilangan yaitu pemilik semula dan pihak lain yang mendapatkan suatu hak milik.

2. Terjadinya hak milik sesuai dengan Undang–Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 pada Pasal 22, yaitu:

a. Terjadinya hak milik menurut hukum adat yang diatur dengan Peraturan

Pemerintah. Dalam hal ini berarti terjadinya hak milik tesebut, diawali

dengan hak seorang warga untuk membuka hutan dalam lingkungan

wilayah masyarakat hukum adat dengan persetujuan Kepala Desa. Dengan

dibukanya tanah tesebut, belum berarti orang tersebut langsung

memperoleh hak milik. Hak milik akan dapat tercipta jika orang tersebut

memanfaatkan tanah yang telah dibukanya, menanami dan memelihara

tanah tersebut secara terus menerus dalam waktu yang sangat lama. Dari

sinilah hak milik dapat tercipta, yang sekarang diakui sebagai hak milik

(25)

menurut UUPA. Terjadinya hak milik dengan cara ini memerlukan waktu yang cukup lama dan tentunya memerlukan penegasan yang berupa pengakuan dari pemerintah.

b. Terjadinya hak milik karena penetapan pemerintah, yaitu yang diberikan oleh pemerintah dengan suatu penetapan menurut cara dan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah. Dalam hal ini berarti pemerintah memberikan hak milik yang baru sama sekali. Pemerintah juga dapat memberikan hak milik berdasarkan perubahan dari suatu hak yang sudah ada. Misalnya dengan peningkatan dari Hak Guna Usaha menjadi Hak Milik, Hak Guna Bangunan menjadi Hak Milik, Hak Pakai menjadi Hak Milik.

Tanah sering menjadi masalah perselisihan hukum dalam masyarakat, ada

yang mengakui pemilikan terhadap sebidang tanah, dan ada pula yang datang

membantah pernyataan tersebut. Untuk itu dibutuhkan suatu kepastian hukum

dalam pelaksanaanya bagi pemegang hak agar dapat membuktikan

kepemilikannya atas sebidang tanah. Seiring dengan berkembangnya zaman, daya

berpikir masyarakat pun meningkat dengan membentuk suatu pembagian dalam

pemerintahan dengan peraturan perundang-undangan untuk mengatur segala hal

secara khusus berkaitan dengan tanah tersebut, diamana pelaksanaanya

dilaksanakan dalam pembangunan jangka panjang dan secara merata di seluruh

wilayah sesuai dengaan cita-cita bangsa Indonesia yang bertujuan menciptakan

kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

(26)

Melihat maraknya permasalahan yang berkaitan dengan jual beli dan kepemilikan tanah maka penulis mengangkat tesis tentang “ANALISIS KASUS ATAS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 189 PK/PDT/2009 TENTANG KEABSAHAN KEPEMILIKAN DAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana peranan hakim dalam memutuskan perkara Keabsahan Kepemilikan Hak Atas Tanah?

2. Bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara gugatan penggugat dalam Putusan Mahkamah Agung No. 189 PK/PDT/2009?

3. Bagaimana akibat hukum perdata dari Putusan Mahkamah Agung No. 189 PK/PDT/2009?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang tersebut diatas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah;

1. Untuk mengetahui peranan hakim dalam menentukan keabsahan kepemilikan atas tanah.

2. Untuk mengetahui dasar pertimbangan Hakim dalam memutuskan perkara

gugatan penggugat dalam Putusan Mahkamah Agung No. 189 PK/PDT/2009.

(27)

3. Untuk mengetahui akibat hukum dari Putusan Mahkamah Agung No. 189 PK/PDT/2009.

D. Manfaat Penelitian

Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi kegunaan baik secara teoritis maupun praktis yaitu :

1. Secara Teoritis

a. Diharapkan dapat memberikan jawaban terhadap permasalahan yang sedang diteliti.

b. Diharapkan dapat digunakan sebagai sumbangan pemikiran dan pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum agraria pada khususnya dan penelitian ini dapat menambah bahan terutama mengenai sertipikat ganda.

c. Diharapkan dapat menambah referensi/literature sebagai bahan acuan bagi penelitian yang akan datang apabila melakukan penelitian dibidang yang sama dengan bahan yang telah diteliti.

2. Secara Praktis

a. Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam penelitian ini.

b. Diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat umum dan

menambah pengetahuan penelitian yang berkaitan dengan keabsahan

kepemilikan dan peralihan hak atas tanah.

(28)

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran sementara dan pemeriksaan yang telah penulis lakukan baik di kepustakaan penulisan karya ilmiah Magister Hukum, maupun di Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dan sejauh yang diketahui, penelitian tentang “ANALISIS KASUS ATAS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 189 PK/PDT/2009 TENTANG KEABSAHAN KEPEMILIKAN DAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH”, belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini adalah asli. Artinya secara akademik penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan kemurniannya, karena belum ada yang melakukan penelitian yang sama dengan judul penelitian ini. dan berdasarkan Penelusuran kepustakaan tersebut menunjukkan bahwa Penelitian dengan beberapa Judul tesis yang berhubungan dengan Judul topik dalam tesis ini antara lain :

1. Penelitian dengan Judul Analisis Hukum terhadap Sengketa akibat peralihan hak atas tanah (studi mengenai akta yang dibuat PPAT di Kota Banda Aceh), oleh : HUSNA, NIP : 002111020

2. Penelitian dengan judul Akibat Hukum Pendaftaran hak tanggungan yang

objek dan subjeknya satu sertipikat namun kemudian bermasalah karena

sertipikatnya ganda, oleh : JULI ASTUTI, NIP : 117011151

(29)

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.

6

Dalam penelitian suatu permasalahan hukum, maka relevan apabila pembahasan di kaji menggunakan teori-teori hukum, konsep-konsep hukum dan asas asas hukum. Teori hukum dapat digunakan untuk menganalisis dan menerangkan pengertian hukum dan konsep yuridis, yang relevan untuk menjawab permasalahan yang muncul dalam penelitian hukum.

7

Teori adalah menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi, suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya. Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.

8

Teori merupakan generalisasi yang dicapai setelah mengedepankan pengujian dan hasilnya mencakup ruang lingkup dan fakta yang luas.

9

6

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80.

Sedangkan fungsi teori dalam penelitian adalah untuk mensistematiskan penemuan-penemuan penelitian, membuat ramalan atau prediksi atas dasar penemuan dan menyajikan penjelasan yang dalam hal ini untuk menjawab pertanyaan. Artinya teori merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang dijelaskan dan harus didukung oleh fakta

7

Salim H. S, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, (Rajawali Pers : Jakarta, 2010 ), hal. 54.

8

JJ. Wuisman, Penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu Sosial, Jilid 1, (Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1996), hal. 203.

9

Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia Press,

1986), hal. 126.

(30)

empiris untuk dapat dinyatakan benar.

10

Peter Mahmud Marzuki mengatakan bahwa penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori, atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.

11

Adapun teori yang digunakan dengan permasalahan dalam penelitian ini adalah teori kepastian hukum. Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.

12

Menurut Soerjono Soekanto bagi kepastian hukum yang penting adalah peraturan dan di laksanakan peraturan itu sebagaimana yang di tentukan. Apakah peraturan itu harus adil dan mempunyai kegunaan bagi masyarakat adalah di luar pengutamaan kepastian hukum. dengan tersedianya perangkat hukum yang Kepastian hukum bermuara pada ketertiban secara sosial. Dalam kehidupan sosial, kepastian adalah mensamaratakan kedudukan subjek hukum dalam suatu perbuatan dan peristiwa hukum. Dalam paham positivisme, kepastian di berikan oleh negara sebagai pencipta hukum dalam bentuk undang undang. pelaksanaan kepastian di konkritkan dalam bentuk lembaga yudikatif yang berwenang mengadili atau menjadi wasit yang yang memberikan kepastian bagi setiap subjek hukum.

10

M. Solly Lubis (I), Op Cit, hal. 17.

11

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2005, hal. 35.

12

Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Penerbit Citra Aditya

Bakti,Bandung, 1999, hal. 23.

(31)

tertulis, siapa pun yang berkepentingan akan mudah mengetahui kemungkinan apa yang tersedia baginya untuk menguasai dan menggunakan tanah yang di perlukannya, bagaimana cara memperolehnya, hak-hak dan kewajiban serta larangan-larangan apa yang ada di dalam.

13

Ajaran kepastian hukum ini berasal dari ajaran Yuridis-Dogmatik yang didasarkan pada aliran pemikiran positivistis di dunia hukum, yang cenderung melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom, yang mandiri, karena bagi penganut pemikiran ini, hukum tak lain hanya kumpulan aturan. Bagi penganut aliran ini, tujuan hukum tidak lain dari sekedar menjamin terwujudnya Kepastian hukum.

Kepastian hukum itu diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan hukum yang bersifat umum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian.

14

Teori lain yang di gunakan dalam penelitian ini adalah teori keadilan, hukum harus mengandung nilai keadilan bagi semua orang. Mengartikan keadilan memang tidak mudah. Keadilan diartikan begitu beragam, Ulpianus mengatakan keadilan adalah kemauan yang bersifat terus menerus untuk memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya dimiliki. Aristoteles mengartikan keadilan dengan memberikan kepada seseorang apa yang menjadi haknya (due) atau sesuatu yang menjadi miliknya. Menurut Hart keadilan dan moralitas adalah sebagai berdampingan (koeksistensif), meskipun fakta berbicara bahwa keadilan

13

Soerjono Soekanto, Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Masalah-Masalah Sosial, (Bandung, Alumni, 1982), hal. 21.

14

Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Penerbit

Toko Gunung Agung, Jakarta, 2002, hal. 82-83.

(32)

adalah bagian tersendiri dari moralitas. Sedangkan David Hume menyatakan bahwa keadilan adalah aturan aturan di mana barang barang materil (kepemilikan/kemakmuran) ditujukan kepada individu individu, dan moralitas keadilan terlihat dengan menghormati kepemilikan itu tanpa melakukan tindakan tindakan memperoleh barang orang yang diperoleh secara tidak sah dan dikembalikan kepada pemiliknya.

15

2. Konsepsi

Dalam bahasa Latin, kata conceptio (didalam bahasa Belanda : begrip) atau pengertian merupakan hal yang dimengerti. Pengertian bukanlah merupakan

”definisi” yang didalam bahasa Latin adalah definitio. Defenisi tersebut berarti perumusan (didalam bahasa Belanda : “omschrijving”) yang pada hakikatnya merupakan suatu bentuk ungkapan pengertian disamping aneka bentuk lain yang dikenal didalam epistemologi atau teori ilmu pengetahuan.

16

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Karena konsep adalah sebagai penghubung yang menerangkan sesuatu yang sebelumnya hanya baru ada dalam pikiran. Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas.

17

Dengan demikian konsepsi dapat diartikan pula sebagai saran untuk mengetahui gambaran umum pokok penelitian yang akan dibahas sebelum memulai penelitian masalah yang akan diteliti. Konsep diartikan pula sebagai kata

15

Hari Chand, Modern Jurisprudence, International Law Book Service, Kuala Lumpur, 1994, hal. 225

16

Soerjono Soekanto, Op. Cit, hal. 6.

17

Masri Singarimbun dkk, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: LP3ES, 1999, hal. 34

(33)

yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal khusus yang disebut definisi operasional.

18

Suatu konsep atau suatu kerangka konsepsionil pada hakikatnya merupakan suatu pengarah, atau pedoman yagn lebih konkrit dari pada kerangka teoritis yang seringkali masih bersifat abstrak. Namun demikian, suatu kerangka konsepsionil, kadang-kadang dirasakan masih juga abstrak, sehingga diperlukan definisi-definisi operasional yang akan dapat pegangan konkrit didalam proses penelitian.

19

Konsepsi merupakan definisi operasional dari intisari objek penelitian yang akan dilaksanakan. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian dan penafsiran dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian ini.

Kerangka konsepsional dalam merumuskan atau membentuk pengertian pengertian hukum, kegunaannya tidak hanya terbatas pada penyusunan kerangka konsepsional saja, akan tetapi bahkan pada usaha merumuskan definisi-definisi operasional di luar peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, konsep merupakan unsur pokok dari suatu penelitian.

20

18

Sumadi Surya Brata, Metodologi Penelitian, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1998, hal.

28

Pentingnya defenisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu untuk menjawab

19

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta,1986, hal. 133

20

Koentjaraningrat, 1997, Metode Penelitian Masyarahat (Gramedia Pustaka

Utama,Jakarta), hal. 24.

(34)

permasalahan dalam penelitian ini harus dibuat beberapa defenisi konsep dasar sebagai acuan agar penelitian ini sesuai dengan yang diharapkan, yaitu :

a. Keabsahan adalah keadaan yang sesuai dengan hukum yang berlaku.

21

b. Kepemilikan adalah kekuasaan yang didukung secara sosial untuk memegang kontrol terhadap sesuatu yang dimiliki secara eksklusif dan menggunakannya untuk tujuan pribadi.

22

c. Peralihan adalah suatu perbuatan hukum yang bertujuan memindahkan hak dari suatu pihak ke pihak lain.

23

d. Tanah merupakan sumber daya alam yang penting untuk kelangsungan hidup umat manusia, hubungan manusia dengan tanah bukan hanya sekedar tempat hidup, tetapi lebih dari itu tanah merupakan tempat dimana manusia hidup dan berkembang, tanah menjadi sumber bagi segala kepentingan hidup manusia.

G. Metode Penelitian

Metode adalah cara yang berfungsi untuk mencapai tujuan. Metode merupakan suatu cara tertentu yang di dalamnya mengandung suatu teknik yang berfungsi sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

24

Penelitian (research) sesuai dengan tujuannya dapat didefinisikan sebagai usaha untuk menentukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu

21

http://educ4study.com/pengertian-keabsahan/, terakhir diakses tanggal 30 Maret 2016, jam 15.50 WIB

22

https://ericklatumeten.wordpress.com/2010/11/05/pengertian-kepemilikan/, terakhir diakses tanggal 30 Maret 2016, jam 15.40 WIB

23

https://denyelfarug.wordpress.com/peralihan-hak-atas-tanah-melalui-jual-beli/, terkhir diakses tanggal 15 Maret 2016, jam 17.45 WIB

24

Arief Furchan, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif, (Surabaya : Usaha Nasional,

1997), hal. 11.

(35)

pengetahuan.

25

Usaha mana dilakukan dengan metode-metode ilmiah yang disebut dengan metodologi penelitian.

26

Suatu penelitian ilmiah, harus melalui rangkaian kegiatan penelitian yang dimulai dari pengumpulan data sampai pada analisis data dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah ilmiah sebagai berikut :

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian merupakan suatu pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi, hal ini disebabkan karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis, dan konsisten melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah.

27

Sifat dari penelitian ini adalah bersifat deskriptif analisis, artinya dalam penelitian akan menguraikan/memaparkan sekaligus menganalisa tentang pembatalan akta perdamaian secara sepihak. Penelitian ini merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.

Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai penelitian dengan metode penulisan dengan pendekatan yuridis normatif (penelitian hukum normatif), yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang

25

Muslam Abdurrahman, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, UMM Press, Malang, 2009, hal. 91

26

Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM, Yogyakarta, 1973, hal. 5

27

Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 1

(36)

terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebagai pijakan normatif, yang berawal dari premis umum kemudian berakhir pada suatu kesimpulan khusus. Hal ini dimaksudkan untuk menemukan kebenaran-kebenaran baru (suatu tesis) dan kebenaran-kebenaran induk (teoritis).

Penelitian yuridis normatif menurut Ronald Dworkin disebut juga dengan penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu suatu “penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law as it written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan

(law as it is decided by the judge trough judicial process)”.

28

2. Sumber Data

Data dalam penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Data sekunder adalah data yang dikumpulkan melalui studi dokumen terhadap bahan kepustakaan dan data yang dikumpulkan melalui dokumen dan wawancara. Dalam penelitian ini bahan dasar penelitian hukum normatif dari sudut kekuatan mengikatnya dibedakan atas 3 (tiga) bagian, yaitu:

1. Bahan hukum primer, yang terdiri dari :

a. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan ketentuan Keabsahan Kepemilikan dan Peralihan Hak Atas Tanah

b. Teori hukum Keabsahan Kepemilikan dan Peralihan Tanah.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang berkaitan dengan bahan hukum primer, misalnya buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan,

28

Ronald Dworkin, sebagaimana dikutip oleh Bismar Nasution, Metode Penelitian

Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Makalah disampaikan pada Dialog Interaktif tentang

Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara, 18 Februari 2003, hal. 1

(37)

tulisan para ahli, makalah, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan peneltian ini.

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang bersifat menunjang bahan huku primer dan sekunder untuk memberikan informasi tentang bahan hukum sekunder, misalnya majalah, surat kabar, kamus hukum, kamus bahasa Indonesia. Selain itu, juga dilakukan penelitian lapangan (field research) dimaksudkan untuk memperoleh data sekunder yang tidak diperoleh dalam penelitian kepustakaan dan data primer untuk mendukung analisis permasalahan yang telah dirumuskan.

3. Teknik Pengumpulan Data

Adapun untuk memperoleh data yang relevan dengan permasalahan yang diteliti dan dikaitkan dengan jenis penelitian hukum yang bersifat normatif maka teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan melakukan penelitian kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan bertujuan untuk memperoleh data sekunder yang dilakukan dengan pengumpulan data atau dengan cara menghimpun data yang berasal dari kepustakaan, berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku, atau literatur, jurnal ilmiah, majalah- majalah, artikel, putusan pengadilan yang ada kaitannya dengan masalah yang diteliti serta tulisan-tulisan ilmiah yang ada hubungannya dengan permasalahan yang akan diteliti.

4. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data akan sangat menentukan hasil penelitian sehingga

apa yang menjadi tujuan penelitian ini dapat tercapai. Untuk mendapatkan hasil

(38)

penelitian yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat dipertanggung jawabkan hasilnya, maka dalam penelitian akan dipergunakan alat pengumpulan data. Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen.

Studi dokumen yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan-bahan kepustakaan yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. “Langkah- langkah ditempuh untuk melakukan studi dokumen di maksud di mulai dari studi dokumen terhadap bahan hukum primer, baru kemudian bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier”.

29

5. Analisa Data

Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan suatu hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.

30

Mengingat sifat penelitian maupun objek penelitian, maka semua data yang diperoleh akan dianalisa secara kualitatif, dengan cara data yang telah terkumpul dipisah-pisahkan menurut katagori masing-masing dan kemudian ditafsirkan dalam usaha untuk mencari jawaban terhadap masalah penelitian.

Dengan menggunakan metode dedukatif ditarik suatu kesimpulan dari data yang telah selesai diolah tersebut yang merupakan hasil penelitian.

29

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.Cit., hal. 13-14.

30

Snelbecker dalam Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung,

Remaja Rosdakarya, 2002, hal. 101

(39)

BAB II

PERANAN HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA KEABSAHAN KEPEMILIKAN ATAS TANAH

A. Teori Tentang Tanah

Ruang lingkup bumi menurut UUPA adalah permukaan bumi, dan tubuh bumi dibawahnya serta yang berada di bawah air. Permukaan bumi sebagai bagian dari bumi juga disebut tanah. Tanah yang dimaksudkan disini bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya, yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang disebut hak-hak penguasaan atas tanah.

31

1. Hak Penguasaan Atas Tanah

Pengertian “Penguasaan” dapat dipakai dalam arti fisik, juga dalam arti yuridis; juga beraspek privat dan beraspek publik. Penguasaan dalam arti yuridis adalah penguasaan yang dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dan pada umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki. Ada penguasaan yuridis, yang biarpun memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang dihaki secara fisik, pada kenyataannya penguasaan fisiknya dilakukan oleh pihak lain, misalnya yang memiliki tanah tidak mempergunakan tanahnya sendiri akan tetapi disewakan kepada pihak lain.

Hak penguasaan atas tanah berisi serangkaian wewenang, kewajiban, dan atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang

31

Wayan Suhendra, Hukum Pertanahan Indonesia, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1994),

hal. 20

(40)

dihaki. Sesuatu yang boleh, wajib, atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriterium atau tolok ukur pembeda diantara hak- hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum Tanah.

32

Pengaturan hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah dibagi menjadi 2, yaitu :

33

1. Hak Penguasaan atas Tanah sebagai Lembaga Hukum.

Hak penguasaan atas tanah ini belum dihubungkan dengan tanah dan orang atau badan hukum tertentu sebagai pemegang haknya.

Ketentuan-ketentuan dalam Hak Penguasaan atas Tanah, adalah sebagai berikut:

a. Memberi nama pada hak penguasaan yang bersangkutan;

b. Menetapkan isinya, yaitu mengatur apa saja yang boleh, wajib, dan dilarang untuk diperbuat oleh pemegang hak nya serta jangka waktu penguasaannya;

c. Mengatur hal-hal mengenai subjeknya, siapa yang boleh menjadi pemegang haknya, dan syarat-syarat bagi penguasaannya;

d. Mengatur hal-hal mengenai tanahnya.

2. Hak atas tanah sebagai hubungan hukum yang konkret.

Hak Penguasaan atas Tanah ini sudah dihubungkan dengan tanah tertentu sebagai objeknya dan orang atau badan hukum tertentu sebagai subjek atau pemegang haknya.

32

Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Jakarta, Djambatan, 2008, hal 25

33

Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak atas Tanah, (Surabaya : Prenada Media

Group, 2005), hal. 73-75

(41)

Ketentuan-ketentuan dalam hak penguasaan atas tanah, adalah sebagai berikut:

a. Mengatur hal-hal mengenai penciptaannya menjadi suatu hubungan hukum yang konkret, dengan nama atau sebutan hak penguasaan atas tanah tertentu;

b. Mengatur hal-hal mengenai pembebanannya dengan hak-hak lain;

c. Mengatur hal-hal mengenai pemindahannya kepada pihak lain;

d. Mengatur hal-hal mengenai hapusnya;

e. Mengatur hal-hal mengenai pembuktiannya.

Dasar hukum ketentuan Hak-hak atas Tanah diatur dalam Pasal 4 ayat 1 UUPA, yaitu: “Atas dasar hak menguasai dari Negara atas tanah yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum”. Hak atas tanah bersumber dari hak menguasai dari Negara atas tanah dapat diberikan kepada: Perseorangan, baik Warga Negara Indonesia maupun Warga Negara Asing, sekelompok orang secara bersama-sama; dan Badan Hukum baik badan hukum privat maupun badan hukum publik.

Menurut Soedikno Mertokusumo, wewenang yang dipunyai oleh Pemegang Hak atas Tanah terhadap tanahnya dibagi menjadi 2, yaitu :

1. Wewenang Umum.

Wewenang yang bersifat umum yaitu: pemegang hak atas tanah

mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya, termasuk juga tubuh bumi

(42)

dan air dan ruang yang ada diatasnya sekadar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi (Pasal 4 ayat (2) UUPA).

2. Wewenang Khusus.

Wewenang yang bersifat khusus yaitu: pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya sesuai dengan macam hak atas tanahnya, misalnya wewenang pada tanah Hak Milik adalah dapat untuk kepentingan pertanian dan atau mendirikan bangunan, wewenang pada tanah Hak Guna Bangunan adalah menggunakan tanah hanya untuk mendirikan dan mempunyai bangunan diatas tanah yang bukan miliknya, wewenang pada tanah Hak Guna Usaha adalah menggunakan tanah hanya untuk kepentingan perusahaan di bidang pertanian, perikanan, peternakan, atau perkebunan.

34

2. Tata Cara Memperoleh Tanah

Dalam rangka memperoleh tanah harus diperhatikan mengenai Tata Cara untuk memperoleh Tanah yang tersedia, yang bergantung pada :

35

1. Status tanah yang tersedia.

Status tanah yang tersedia dapat dibedakan menjadi : a. Tanah Negara.

34

Soedikno Mertokusumo, Hukum dan Politik Agraria, (Jakarta : Universitas Terbuka Karunika, 1998), hal. 45.

35

Sunaryo Basuki, “Landasan Hukum Penguasaan dan Penggunaan Tanah”, Makalah,

(Jakarta : Fakultas Hukum Trisakti, 2005), hal. 2.

(43)

Tanah Negara dapat berasal dari bekas tanah partikelir, bekas tanah hak barat, bekas tanah hak maupun sejak semula merupakan tanah Negara yang tidak ada hak pihak tertentu selain Negara. Tanah hak juga dikuasai oleh Negara, tetapi penguasaannya tidak secara langsung, sebab ada terdapat hak pihak-pihak tertentu di atasnya. Bila hak pihak-pihak tertentu itu kemudian hapus, maka tanah itu menjadi tanah yang langsung dikuasai oleh Negara. Tanah hak dapat menjadi Tanah Negara karena hak yang ada di atas tanah itu dicabut oleh yang berwenang, dilepaskan secara sukarela oleh yang berhak, habis jangka waktunya dan karena pemegang hak bukan subjek hak .

36

Jika status tanah yang tersedia adalah tanah Negara, maka cara untuk memperoleh tanah adalah melalui permohonan hak.

b. Tanah Ulayat.

Jika status tanah yang tersedia adalah tanah ulayat, maka cara untuk memperoleh tanah adalah melalui pembebasan hak yang diikuti dengan permohonan hak.

c. Tanah Hak Pengelolaan.

Jika status tanah yang tersedia adalah tanah hak pengelolaan, maka cara untuk memperoleh tanah adalah melalui permohonan hak.

d. Tanah Hak Milik.

36

Effendi Perangin, Hukum Agraria Indonesia, Suatu Telaah dari Sudut Pandang

Praktisi Hukum, Jakarta : Raja Grafindo Persada , 1994, hlm. 6.

(44)

Jika status tanah yang tersedia adalah hak milik, maka cara untuk memperoleh tanah melalui peralihan hak dan pembebasan hak. Pemilik tanah hak milik juga dapat memberikan hak baru kepada pihak lain (hak atas tanah sekunder).

e. Tanah hak lainnya yaitu HGU, HGB, dan hak pakai. Perolehan hak atas tanah tersebut dapat dilakukan melalui peralihan hak.

2. Status dari para pihak.

Status para pihak dalam memperoleh hak atas tanah juga harus diperhatikan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UUPA. Hak milik atas tanah hanya dapat dimiliki oleh WNI. HGU dan HGB dapat diberikan kepada WNI dan badan hukum Indonesia. Hak pakai dapat diberikan kepada WNI, WNA, badan hukum Indonesia dan badan hukum asing. Jika syarat kepemilikan oleh para pihak tersebut tidak terpenuhi, maka pihak tersebut tidak dapat memperoleh tanah yang tidak sesuai dengan statusnya.

3. Ada atau tidaknya kesediaan dari pemilik tanah.

Jika tanah tersebut telah dimiliki oleh pihak tertentu, maka untuk memperoleh tanah yang telah dimiliki oleh orang lain itu harus ada kesediaan dari pemilik tanah untuk mengalihkan atau melepaskan hak yang dimilikinya. Jika pihak yang memiliki hak atas tanah tidak bersedia untuk melepaskan hak atas tanahnya maka perolehan hak atas tanah tidak dapat dilakukan, karena penguasaan tanah berdasarkan hak dilindungi oleh hukum terhadap gangguan pihak manapun.

Jika pemilik tanah tidak bersedia melepaskan tanah sedangkan tanah tersebut

diperlukan untuk penyelenggaraan kepentingan umum dan tidak dapat

(45)

dipindahkan ke tempat lain maka oleh pemerintah sebagai pihak yang berwenang dapat melakukan pencabutan hak atas tanah disertai dengan pemberian ganti rugi.

Dalam hukum tanah nasional terdapat berbagai cara untuk memperoleh tanah yang diperlukan baik untuk keperluan pribadi maupun untuk keperluan kegiatan usaha dan pembangunan. Adapun cara yang disediakan oleh hukum tanah nasional untuk memperoleh tanah, yaitu :

37

1. Permohonan hak atas Tanah

Permohonan hak adalah: cara yang harus digunakan bagi perorangan, yaitu orang sebagai individu atau badan hukum untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah Negara.

Tata cara untuk memperoleh hak atas tanah melalui permohonan hak atas tanah digunakan untuk memperoleh hak atas tanah apabila yang tersedia adalah tanah Negara atau tanah hak pengelolaan. Peraturan yang mengatur tata cara tersebut adalah Peraturan Menteri Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, yang mulai berlaku tanggal 24 Oktober 1999, sebagai pengganti dari Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1973 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1977 tentang Tata Cara Permohonan dan Penyelesaian Pemberian Hak atas Bagian-Bagian Tanah Hak Pengelolaan serta Pendaftarannya.

37

Irene eka Sihombing, Segi-Segi Hukum Tanah Dalam Pengadaan Tanah Untuk

Pembangunan, (Jakarta, Trisakti, 2005), hal. 48.

(46)

Pasal 2 Ayat (1) PMNA / Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 menyatakan bahwa Permohonan hak atas tanah dilakukan dalam rangka pemberian hak atas tanah yang primer, yaitu pemberian hak atas tanah yang terdiri dari hak milik, HGU, HGB, hak pakai dan hak pengelolaan. Pasal 2 Ayat (2) PMNA / Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 menyatakan bahwa pemberian hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat dilaksanakan dengan Keputusan pemberian hak secara individual atau kolektif atau secara umum.

Kewenangan pemberian dan pembatalan hak yang disebutkan dalam Pasal 2 PMNA/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 dilakukan oleh Menteri dan dapat dilimpahkan kewenangannya kepada Kepala Kantor Wilayah BPN, Kepala Kantor Pertanahan atau Pejabat yang ditunjuk sesuai dengan ketentuan menurut PMNA/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah Negara.

Pengajuan Permohonan Hak atas Tanah oleh pemohon hak disertai dengan data yuridis dan data fisik sebagai bukti penguasan tanah yang dimohonkan. Data yuridis adalah bukti-bukti atau dokumen penguasaan tanah, sedangkan data fisik adalah Surat Ukur dan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah atas tanah dimaksud.

Adapun data-data yang diperlukan untuk melakukan permohonan hak atas tanah adalah :

a. Data mengenai pemohon.

Data mengenai pemohon adalah keterangan mengenai subjek hokum yang melakukan permohonan hak atas tanah, baik perorangan maupun badan hukum.

Jika pemohon adalah pihak perorangan, maka data yang diberikan dapat berupa

Referensi

Dokumen terkait

”PengertianPendaftaran Tanah dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yaitu: “Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara

Tujuan dari pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah 24 Tahun 1997 Pasal 3 menyebutkan bahwa untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang

Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah (PP No.24 Tahun 1997) disebutkan, dalam Peraturan Pemerintah yang menyempurnakan Peraturan

Badan Pertanahan bertugas membantu Presiden dalam mengelola dan mengembangkan administrasi pertanahan baik berdasarkan Undang- Undang Pokok Agaria maupun peraturan

Ketentuan pendaftaran tanah di Indonesia diatur dalam UUPA Pasal 19 Jo Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

Tujuan dari pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah 24 Tahun 1997 Pasal 3 menyebutkan bahwa untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang

Kedua, tujuan dilakukannya pendaftaran tanah Pasal 3, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, adalah untuk memberi kepastian hukum dan perlindungan hukum

24 Tahun 1997 menguraikan bahwa pendaftaran tanah bertujuan untuk memberikan kepastian dan perlindungan kepada pemegang hak atas suatu tanah, suatu rumah dan hak-hak lain yang terdaftar