• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ikan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan patin yang mempunyai bobot awal rata-rata 1,84*0,02 g. Ikan uji diambil dari petani di daerah Cibanteng, Bogor. Jumlah benih ikan patin yang dibawa adalah 400 ekor.

Ikan uji tersebut dipelihara secara acak ke dalam 15 buah akuarium masing- masing berukuran 50x40~35 cm yang diisi air sampai ketinggian 30 cm dengan kepadatan 20 ekorlakuarium. Masing-masing akuarium dilengkapi dengan sistem resirkulasi dan diberikan penutup plastik agar ikan tidak keluar dari wadah pemeliharaan. Ikan uji tersebut kemudian diadaptasikan terhadap pakan uji, media hidup dan wadah pemeliharaan selama 2 (dua) hari. Setelah dilakukan aklimatisasi, ikan uji dipuasakan selama 24 jam untuk menghilangkan sisa pakan dalam saluran pencemaan ikan. Skema dan tata letak wadah perlakuan dapat diliiat pada Gambar 1.

I

FILTER

I

(b)

Gambar 1. Skema tata letak wadah perlakuan (a) dan situasi penelitian ikan patin (b).

Air yang digunakan untuk pemeliharaan terlebih dahulu diendapkan dan diaerasi minimal selama 24 jam dalam bak penampungan. Selama masa pemeliiaraan berlangsnng, dilakukan penyiponan setiap sekali dua hari pada tiap akuarium, yaitu pada pagi sebelum dilakukan pemberian pakan. Air yang terbuang sebanyak 25-50% dari total volume akuarium. Parameter kualitas air yang diamati

adalah suhu dan pH. Pengamatan terhadap kandungan oksigen terlarut (DO), alkalinitas, dan ammonia-N (NH3-N) dilakukan pada awal dan pertengahan penelitian. Data kualitas air yang diperoleh selama penelitian adalah suhu air berkisar antara 29-31 OC, pH 6-7, DO 6, 25-6,47 mg/L, alkalinitas 2,33 mg/L dan ammonia-N @H3-N) 0,001 mgIL.

Pemeliharaan ikan uji dilakukan selama 40 hari. Ikan tersebut diberi pakan uji secara at satiation (sekenyangnya) dengan frekuensi pemberian pakan sebanyalc 2 kali yakni pukul 08.00-09.00 dan 17.00-18.00 WIB. Jumlah pakan harian yang diberikan pada ikan selama penelitian dicatat untuk rnengetahui tingkat konsumsi pakan sebagai dasar menghitung efisiensi pakan, retensi protein dan retensi lemak.

Penimbangan bobot dilakuka pada awal dan akhir penelitian. Bobot yang diukur adalah biomasa ikan. Sebelum dilakukan penimbangan, ikan terlebih dahulu dipuasakan selama 24 jam. Pengukuran bobot bertujuan untuk mengetahui tingkat peitumbuhan. Sedangkan ikan yang mati selama periode pengamatan dihitung dan ditimbang, selanjutnya digunakan dalam penghitungan keefisiensi penggunaan pakan.

Pada awal dan akhir penelitian, masing-masing sebanyak 10 dan 8 ekor ikan pada setiap akuarium dikorbankan. Caranya adalah dengan memingsankan ikan. Selanjutnya, ikan tersebut digunakan sebagai bahan analisis proksimat.

3.4 Analisis Kimia

Analisis proksimat terdiri atas protein, lemak, serat kasar, abu, Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (BETN), dan kadar air dari masing-masing bahan antara lain: bahan pakan uji, pakan uji, tubuh ikan serta daging. Metoda analisis proksimat mengikuti prosedur sesuai dengan Takeuchi (1988). Kandungan kadar protein ditentukan dengan metoda Kjedahl, lemak dengan metoda ekstraksi dengan alat Sokhlet dan Folch, kadar abu melalui pemanasan sampel dalam tanur pada suhu 400-600 OC, kadar serat kasar dengan metoda pelarutan sampel dalam asam dan basa kuat serta pemanasan dan kadar air dengan metoda pemanasan dalam oven pada suhu 105-1 10 OC.

Analisis proksimat bahan penyusun pakan dan pakan uji dilakukan pada awal penelitian. Analisis proksimat tubuh ikan dilakukan pada awal dan akhir penelitian. Pada awal penelitian, 10 ekor ikan diambil secara acak dari stok dan pada althir penelitian diambil 8 ekor ikan pada setiap perlakuan dan ulangan.

Prosedur analisis terhadap bahan baku pakan, pakan uji, daging dan tubuh ikan disajikan pada Lampiran 1-5.

3.5 Analisis Statistilta

Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan lima perlakuan dan tiga ulangan. Untuk nlengetahui pengaruh perlakuan terhadap tingkat kelangsungan hidup, pertumbuhan relatif, retensi protein, retensi lemak dan efisiensi pakan digunakan analisis sidik ragam (uji F) pada tingkat lcepercayaan 95% dan dilanjutkan dengan uji lanjut uji Duncan menggunaltan program SPPS ver 11.5. Cara perhitungan paramater yang diuji pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

Tingkat Kelangsungan Hidup (Survivnl Rate, SR) jumlah total ikan akhir (ekor) SR(%) =

jumlah total ikan awal (ekor) x 100%

Pertumbuhan Relatif (PR)

Notasi : W, = biomasa akhir pemeliharaan (g) Wo = biomasa awal pemeliharaan (g) PR = pertumbuhan relatif (%)

Retensi Proten (RP)

Notasi : F = jumlah protein tubuh pada akhir pemeliharaan (g) I = jumlah protein tubuh pada awal pemeliharaan (g) P = jumlah protein pakan yang dikonsumsi ikan (g)

-

Retensi Lemak (RL)

Notasi : F = jumlah lemak tubuh pada akhir pemeliharaan I = jumlah lemak tubuh pada awal pemeliharaan L = jumlah lemak pakan yang dikonsumsi ikan

Efisiensi Pakan (EP)

Notasi : W, = bobot total ikan pada akhir pemeliharaan (g) Wo = bobot total ikan pada awal pemeliharaan (g)

Wd = bobot total ikan yang mati selama pemeliharaan (g) F = jumlah pakan yang diberikan (g)

IV. HASZC DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Hasil pengamatan pemberian pakan dengan rasio energi-protein pakan yang berbeda pada ikan patin yang dipelihara dalam 15 akuarium masing-masing dengan kepadatan 20 ekor per akuarium selama 40 hari menunjukkan bahwa berat rata-rata ikan meningkat dari awal hiigga akhii pemeliharaan (Gambar 2).

Sedangkan data biomasa rata-rata ikan pada setiap rasio energi-protein dan ulangan selama penelitian dapat diiihat pada Lampiran 7.

18.00

Gambar 2. Berat rata-rata ikan patin pada awal dan akhii penelitian.

Berdasarkan gambar di atas dapat dilihat bahwa berat rata-rata ikan tertinggi terjadi pada rasio 9,O kkaWg protein yakni sebesar 16,6 dan diikuti pada rasio 8,5 kkaVg protein sebesar 15,2 g, rasio 9,5 kkaVg protein sebesar 14,5 g, rasio 10,O kkaVg protein sebesar 14,O g, dan terendah pada rasio 10,5 kkaWg protein protein protein sebesar 13,2 g. Selama masa pemeliharaan, kematian ikan tidak ditemukan.

Pemberian pakan dengan rasio energi-protein yang berbeda dalam pakan dapat mempengaruhi tingkat konsumsi pakan, pertumbuhan relatif, retensi protein, retensi lemak dan efisiensi pakan, sedangkan pada tingkat kelangsungan hidup tidak berpengaruh. Data mengenai kinerja pertumbuhau disajikan pada Tabel 4 dan Lampiran 7 dan 8.

Tabel 4. Kinerja pertumbuhan benih ikan patin yang diberi pakan uji selama 40 2.KP(g) 335,7+10,7~ 366,3+6,6' 303,0+10,5' 305,4+9,6a 289,316,4' 3. RP (%) 56,72~2,9~ 65,5+2,2b 60,3+5,Ia 50,0+2,4"3,7*5,7"

4. R L (%) 124,1+7,3~ 92,4*6,7' 78,5+1,9"3,9+9,3~~ 66,4*1,3"

5. PR(%) 724,7*18,6~ 800,0+28,5C 653,8*17,6a 666,4+35,4" 616,2+3 1,s"

6. EP (%) 79,7=2,9' 80,4t2:2" 80,6=4,2" -- 79,8+2,0"8,4=2,3"

Kctcrangan: I-luruf dibelakan: srandar dcviasi yang berbeda dalam baris yang ~ - sama menunjukkan perbedaan yang nyata (PC 0,05) (Lampiran 9-13);

SR (Tingkat Kelangsungan Hidup); I<P (Konsumsi Pakan); RP (Retensi Protein); RL (Retensi Lemak); PR (Pertumbuhan Relatif); EP (Efisiensi Pakan).

Konsumsi pakan pada ikan patin tertinggi dicapai pada pakan 9,O kkaltg protein, kemudian diikuti oleh 8,5. Namun konsumsi pakan pada 8,5 Wiallg protein lebih tinggi dari perlakuan 9,5-10,5.

Adanya perbedaan jumlah pakan yang dikonsumsi sebagai akibat perbedaan rasio energi-protein pakan memberi pola kepada penyimpanan nutrien dalam tubuh ikan patin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terlihat perbedaan nilai retensi protein pada ikan patin yang diberi pakan dengan rasio energiprotein yang berbeda. Retensi protein tertinggi diamati pada pakan 9,O kkallg protein (65,5%), sedangkan nilai retensi protein perlakuan lainnya tidak berbeda yakni berkisar 50,O-60,3%.

Untuk retensi lemak, terjadi penurunan nilainya seiring dengan meningkatnya rasio energi-protein pakan. Retensi lemak tertinggi pada rasio energi-protein 8,5 yaitu sebesar 124,1%. Pemberian pakan dengan rasio energi- protein 9,O menghasilkan retensi lemak lebih tinggi daripada 9,5-10,5 kkallg protein.

Perbedaan rasio energi-protein dalam pakan memberikan pei'mmbuhan relatif yang berbeda pada ikan patin. Data menunjukkan bahwa pertuinbuhan relatif tei-tinggi terjadi pada pakan yang mengandung 9,O kkallg protein, kemudian diikuti dengan 8,5. Namun pertumbuhan relatif pada 8,5 kkallg protein lebih tinggi dari perlakuan 9,5-10,5. Tabel 5 menyajikan komposisi proksimat tubuh dan daging ikan patin.

Tabel 5. Komposisi proksimat tubuh dau daging (% bobot kering) benih ikan oatin

Rasio Energi-Protein Komposisi proksimat

(kkallg protein) Air Protein Lemak

Tubuh

Keterangan: Huruf dibelakang standar deviasi yang berbeda dalam baris yang sama menunjukan perbedaan yang nyata (P< 0,05) (Lampiran 15 - 20).

Komposisi proksimat tubuh ikan pada Tabel 5 menunjukkan bahwa pemberian pakan dengan rasio energi-protein yang berbeda memberikan kecendrungan penurunan kandungan air tubuh dengan naiknya rasio energi- protein pakan. Demikian juga pada kandungan protein tubuh naik sampai pada rasio energi-protein 9,O kkallg protein tetapi selanjutnya menurun kembali.

Kandungan lemak tubuh ikan mengalami peningkatan sejalan dengan naiknya rasio energi-protein pada pakan. Pada kandungan air daging menunjukkan nilai yang hampir sama pada rasio 8,5-9,5 kkallg protein namun mengalami penurunan pada rasio 10,O dan 10,5 kkallg protein. Sedangkan kandungan protein daging mengalami peningkatan sampai rasio 9,O kkallg protein namun selanjutnya menurun kembali. Kandungan lemak daging terjadi peningkatan sampai rasio energi-protein 10,O kkal/g protein tetapi pada rasio energi-protein 10,5 kkal/g protein mengalami penurunan kandungan lemak daging. Data lengkap setiap rasio dan ulangan hasil proksimat tubuh dan daging benih ikan patin disajikan pada (Lampiran 8 dan 9).

4.2 Pembahasan

Dalanl penelitian ini digunakan kadar protein pakan 30% dengan kadar rasio energi-protein yang berbeda, yaitu 8,5,9,0,9,5, 10,O dan 10,5 kkallg protein.

Dari hasil pemeliharaan benih ikan selama 40 hari, menunjukkan bahwa pemberian pakan dengan peningkatan rasio energi-protein yang berbeda mempengaruhi jumlah konsumsi pakan benih ikan patin akibat energi yang berbeda didalam pakan. Pada rasio 8,5 dan 9,O kkallg protein memiliki energi antara 2560,5-2691,3 kkal DE /kg pakan, sedangkan pada rasio 9,5-10,5 kkallg protein memiliki energi berkisar 2851,l-3143,7 kkal DE /kg pakan (Tabel 3).

Kedua kelompok energi ini bila dibandingkan terlihat bahwa konsumsi pakan rasio 9,5-10,5 Itkallg protein lebih rendah dibandingkan dengan rasio 8,5 dan 9,O kkallg protein Hal ini terjadi karena tingginya kadar lemak didalam pakan yang mengakibatkan energi tinggi sehingga ikan mengkonsumsi pakan rendah. NRC (1982) menyatakan bahwa pakan yang memiliki kelebihan energi dapat membatasi jumlah pakan yang dikonsumsi termasuk protein dan lemak sel-ta nutrien lainnya yang dibutuhkan oleh ikan. Rendahnya kons~imsi pakail menyebabkan rendalmya nutrien-nutrien pakan seperti protein dan lemak yang diserap oleh ikan. Terbukti dengan retensi protein dan lemak pada rasio 9,5-10,5 kkallg protein relatif lebih rendah dibandingkan pada rasio 8,5 dan 9,O kkallg protein. Kondisi ini menyebabkan pertumbuhan relatif rendah. Hal ini berbeda dari penelitian yang dikemukakan oleh Subamia dkk. (2003) bahwa pakan dengan kadar protein 35% dengan energi sebesar 2987,5 kkallkg protein memberikan kinerja pertumbuhan optimum pada benih ikan patin jambal siam.

Keseimbangan energi dan protein dalam pakan sangat berperan dalam menunjang pertumbuhan benih ikan patin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh energi yang berbeda di dalam pakan mengakibatkan adanya perbedaan retensi protein. Pada rasio 8,5 kkallg protein menunjukkan nilai retensi protein yang lebih rendah dibandingkan pada rasio 9,O kkallg protein. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan energi yang terkandung dalam pakan telah mencukupi kebutuhan energi ikan untuk rnainrenance tetapi energi untuk pertumbuhan masih lebih rendah dari rasio 9,O kkallg protein. Ini dapat terlihat bahwa kadar protein yang tersimpan dalam daging ikan dimana kadar proteilmya

lebih rendab dibandingkan pada kadar protein daging pada rasio 9,O kkallg protein. Tingginya retensi protein pada rasio 9,O kkallg protein diduga akibat benih ikan patin dapat menggunakan energi non protein (lemak dan karbohidrat) lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan metabolisme standar (bemapas dan bergerak) sehingga sebagian besar protein yang ada dapat disimpan untuk membangun jaringan tubuh.

Sementara itu pakan dengan rasio 10 dan 10,s kkallg protein menunjukkan nilai retensi protein yang lebih rendah dibandingkan dengan rasio energi-protein laimya. Hal ini diduga karena kadar energi yang tinggi di dalam pakan akibat tingginya kadar lemak (11,3 dan 15,5%) sehingga membatasi konsumsi pakan yang mengakibatkan jumlah protein yang dikonsumsi juga berkurang. Ini dapat dibuktikan dengan kadar protein tubuh pada rasio 10,O dan 10,5 kkallg protein lebih rendah. Akibatnya, retensi protein juga lebih rendah begitu juga dengan kadar protein dalam daging yang menghasilkan pe~tumbuhan relatif rendah.

Kadar lemak tubuh dan daging ikan patin pada pakan dengan rasio energi- protein 8,s kkallg protein adalah rendah, namun retensi lemaknya tertinggi di atas 100% (Tabel 4). Hal ini menunjukkan bahwa kandugan lemak pakan pada rasio tersebut belum memenuhi kebutuhan ikan sehingga diduga terjadinya sintesis lemak dari bahan non lemak (karbohidrat dan protein). Pada rasio energi-protein 9,O kkallg protein, kadar lemak tubuh dan daging mengalami peningkatan, namun retensi lemalc pada rasio tersebut mengalami penurunan dibandingkan dengall pakan dengan rasio energi-protein 8,5 kkallg protein. Sedangkan untuk rasio energi protein di atas 9,O kkallg protein, kadar lemak tubuh dan daging serta retensi lemak lebih rendah. Keadaan ini menunjukkan bahwa benih ikan patin dapat memanfaatkan energi yang berasal dari lemak daripada karbohidrat.

Adanya kadar protein tubuh dan daging serta retensi protein tertinggi pada rasio energi-protein 9,O kkallg protein menyebabkan pertumbuhan relatif yang tinggi, yaitu 800rt28,5%. Sedangkan pada rasio 9,s-10,5 kkal/g protein, walaupun ikan memanfaatkan lemak pakan lebih efisien tetapi karena terbatasnya jumlah pakan yang dikonsumsi malca pada rasio energi-protein tersebut menghasilkan kadar protein tnbuh dan daging serta retensi protein yang lebih rendah dan sebaliknya kadar lemak tubuh yang lebih tinggi dibandingkan rasio energi-protein

9,O kkallg protein. Selanjutnya, rasio energi-protein tersebut akan menghasilkan pertumbuhan relatif yang rendah. Dari hasil penelitian Subamia dkk. (2003), pakan yang mengandung 35% protein, 4% lemak dan 43,86% karborhidrat menghasilkan pertumbuhan relatif sebesar 320,4% pada benih patin berukuran 1,52 g dengan masa pemeliharaan 6 minggu. Bila dibandingkan dengan perturnbuhan relatif hasil penilitian ini, benih ikan patin berukuran 1,84 g didapatkan pertumbuhan relatif lebih tinggi (800,0*28,5%) dibandingkan penelitian tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kadar protein pakan dapat diturunkan apabila rasio energi-protein yang terkandung dalam pakan ditingkatkan.

Konsumsi pakan yang tinggi pada pakan dengan rasio energi-protein 9,O Ickallg protein diimbangi oleh pertumbuhan yang tinggi pula. Pada rasio energi- protein yang lain, konsumsi pakan yang lebih rendah dan diimbangi dengan pertumbuhan yang rendah pula. Dengan demikian menyebabkan efisiensi pakan yang relatif hampir sama antar rasio energi-protein (Tabel 4).

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pada kadar protein pakan 30% dengan rasio energi-protein 9,O kkal DE/g protein dapat menghasilkan ltinerja pertumbuhan optimum bagi benih ikan patin.

5.2 Saran

Untuk meningkatkan produksi benih ikan disarankan memberikan pakan dengan lcadar protein 30% dan rasio 9,O kkal DE/g protein dengan teknik pemberian pakan sekenyangnya pada pagi dan sore hari.

DAFTAR PUSTAKA

Aizam, Z., A.S. Che Roos and H.A. Shaar. 1983. The growth of ikan patin (Pangasius sutchi) fingerlings fed with varying dietary protein levels. Fac.

Fisher. Mar. Sci. University Pertanian Malasyia, 6pp.

Brett, J.R. and D.D. Grovers. 1979. Physiological energetic, p. 279-351. In W.S.

Hoar. D. J. Randall and J. R. Breet (Eds). Fish physiology Vol. VIII. Acad.

Press. New York.

Chuapoehuk, W. 1987. Protein requirements of walking catfish (Clarias batrachus) (Linneus) fry. Aquaculture, 63:215-219.

Chuapoehuk, W and T. Pothsoong. 1985. Protein requirement of catfish fiy, Pangasius sutchi Flower, p. 103-106. In Cho, C.Y. Cowey C.B. and Watanabe T. 1985. Finfish nutrition in Asia. Methodological approaches to research and development. IDRC. Ottawa.

Church, D.C. and W.G. Pond. 1988. Basic animal nutrition and feeding. Third Edition. Jhon Wiley and Son. New York, p. 105-120.

Cho, C.Y., C.B. Cowey and T. Watanabe. 1985. Finfish Nutrition in Asia.

Methodological Approaches to Research and Development. IDRC.

Ottawa, 154pp.

Elliot, J.M. 1979. Energetics of freshwater teleosts, p. 29-62. In D.J. Miller (Ed).

Fish phenology: Anabolic adaptiveness in teleost. Acad. Press. London.

Furuichi, M. 1988. Dietary requirement, p. 8-78. In Watanabe. T. (Ed.). Fish nutrition and mariculture. Department of Aquatic Bioscience. University of Fisheries. JICA. Tokyo.

Harun, 2007. Pengauh kadar protein dan nisbah energi protein pakan berbeda terhadap kinerja pertumbuhan benih ikan batak (Labeobarbus soro). Tesis.

Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor, 36pp.

Halver, J.E. 1988. Fish nutrition. Academic Press Inc., London, 798pp.

Hastings, W.H. 1976. Fish nutrition and fish feed manufacture. Rep. From FAO.

FIR: AQlConfl761R. 73. Rome. Italy, 13pp.

Henken, A.M, M.A.M. Machiels, W. Dekker and H. Hogendorn. 1986. The effect of dietary protein and energy content on growth rate and feed utilization of The African Catfish Clarias gariepiewus (Burchell. 1982). Aquaculture, 58:55-74.

Hepher, B. 1988. Nutrition of pond fishes. University Press. Cambridge, New York, 388pp.

Jobling, M. 1983. A short review and critique of methodology used in fish growth and nutrition studies. J. Fish Biol. 23: 685-703.

Kurnia, A. 2002. Pengaruh pakan dengan kandungan protein dan rasio energi protein yang berbeda terhadap efisiensi pakan dan pertumbuhan benih ikan Baung (Mystus nemurus CV.). Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertania Bogor. Bogor. Bogor, 54pp.

Lovell, R.T. 1989. Nutrition and feeding of fish. New York Van Nostrand Reinhold, 2 17pp

NRC. 1982. Nutrient requirement of warmwater fishes and shellfishes (Rev. Ed).

Acad. Press. Washington D.C., 86pp.

Peres, H. and A.O. Teles. 1999. Effect of dietary lipid level on growth performance and feed utilization by European sea bass juvenil (Dicentrarchus labrax). Aquaculture, 179: 325-334.

Rabegnatar, I.N.S. dan W. Hidayat. 1992. Estimasi perbandingan optimal energi dan protein dalam pakan buatan untuk pembesaran benih ikan lele (Clarias bratachus) dalam keramba jaring apung, p. 19-28. Pros. Seminar Hasil Penelitian Perikanan Air Tawar. Balai Penenlitian Perikanan Air Tawar.

Bogor.

Subamia, LW., N. Suhenda, dan E. Tahapari. 2003. Pengaruh pemberian pakan buatan dengan kadar lemak yang berbeda terhadap pertumbuhan dan sintasan benih ikan jambal Siam (Pangasius hypophthalmus). Jurnal Pen.

Perik. Indonesia 9(1): 37-42.

Suhenda, N. dan S. Yanti. 2003. Penentuan kebutuhan nutrien @rotein dan lemak) benih ikan patin jambal (Pangasius hypophthalmus), p.1-15. Pros. Seminar Hasil Riset Perikanan Budidaya Air Tawar. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar. Bogor.

Suhenda, N., L. Setijaningsih, dan Y. Suryanti. 2003. Penentuan rasio antara kandungan karbohidrat dan lemak pada pakan benih ikan patin jambal (Pangasizrs sutchi). Jurnal Pen. Perik. Indonesia, 9(1): 21-29.

Suryanti, Y., A. Priyadi, dan H. Mundriyanto. 2003. Pengaruh rasio energi dan protein yang berbeda terhadap efisiensi pemanfaatan protein pada benih baung (Mystus nemurus C.V.). Jurnal Pen. Perik. Indonesia 9 (1): 31-36.

Sunarno, M.T.D. 1988. Pengaruh berbagai kandungan protein pakan isokalori terhadap pertumbuhan benih ikan jelawat (Leplobarbus hoaveni Blkr.).

Tesis. Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor, 69pp.

Suprayudi, M.A., M. Bintang, T. Takeuchi, I. Mokoginta and T. Sutardi. 1999.

Defatted soybean meal as an alternative source to substitute fish meal in the feed of giant gouramy (Osphronemus gournniy Lac.). Sanzoshoku, 47(4): 551-557.

Takeuchi, T. 1988. Laboratory work chemical evaluation of dietary nutrition, p.

179-229. In Watanabe T. Fish Nutrition and Mariculture. JICA Textbook the General Aquaculture Course. Tokyo: Kanagawa International Fisheries Training Center.

Yamada, R. 1983. Pond production system: Feed and feeding practice in warmwater fish pond, p. 117-144. In J.E. Lannan. R.O. Smitherman and G. Tchobanoglous (Eds). Principles and practices of pond aquaculture: A state of the art reviews. Oregon State Univ. Oregon.

Lampiran 1. Prosedur analisis kadar protein dengan metode semi mikro Kjedahl untuk bahan yang digunakan dalam penelitian (Takeuchi, 1988).

1. Sampel ditimbang sebanyak 0,s gram dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl dan salah satu labu digunakan sebagai blanko dimana labu tidak dimasukkan sampel

2. Ke dalam labu no 1 ditambahkan 3 gram katalis (KzS04+CuS04.5H20) dengan rasio 9: 1 dan ditambahkan 10 ml HzS04.

3. Labu no. 2 dipanaskan 3-4 jam sampai cairan dalam labu berwarna hijau bening.

4. Larutan didinginkan, lalu ditambahkan air destilasi 30 ml, kemudian larutan no. 2 dimasukkan ke labu t a k a dan ditambahkan larutan destilasi sampai volume larutan menjadi 100 ml.

5. Dilakukan proses destilasi untuk membebaskan kembali NH3 yang berasal dari proses destruksi pada no. 4.

6. Erlenmeyer diisi 10 ml H2S04 0,OS N dan ditambahkan 2 tetes indikator methyl red diletakkan di bawah pipa pembuangan kondensor dengan cara dimiringkan sehingga ujung pipa tenggelam dalam cairan.

7. Sebanyak 5 ml larutan sampel dimasukkan ke dalam tabung destilasi melalui corong, kemudian dibilas dengan akuades dan ditambahkan 10 ml NaOH 30%, lalu dimasuklcan melalui corong tersebut dan ditutup.

8. Pemanasan dengan uap terhadap labu destilasi dilakukan minimal 10 menit setelah kondensasi uap terlihat pada kondensor.

9. Larutan hasil destilasi ditritasi dengan larutan NaOH 0,05 N.

10. Prosedur yang sama juga dilakukan pada blanko.

0,0007

*

x(Vb - Vs)xFx6,25

*

*x20

* * *

Kadar Protein (%) =

S

Keterangan : Vb =Volume hasil titrasi blanko (ml) Vs =Volume hasil titrasi sampel (ml) S = Bobot salnpel (grain)

*

= Setiap ml0,OS NaOH ekivalen dengan 0.0007 gram Nitrogen

**

= Faktor Nitrogen

Lampiran 2. Prosedur analisis kadar lemak untuk bahan yang digunakan dalarn penelitian (Takeuchi, 1988)

Metode ekstraksi solchlet (analisa lemak untuk bahan pakan dan pakan uji)

1. Labu ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu llO°C selama 1 jam, kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang bobot labu tersebut (XI)

2. Sekitar 3-5 gram sampel ditimbang (A), dimasukkan ke dalam selongsong tabung filter dan kemudian dimasukkan ke dalam soxhlet dan pemberat diletakkan di atasnya.

3. N-hexan 100-150 ml dimasukkan ke dalam soxhlet sampai selongsong terendam dan sisa N-hexan dimasukkan ke dalam labu.

4. Labu yang telah dihubungkan dengan soxhlet dipanaskan di atas water bath sampai cairan yang merendam sampel dalam soxhlet berwarna bening.

5. Labu dilepaskan dan tetap dipanaskan hingga N-hexan menguap.

6. Labu dall lemak yang tersisa dipanakan dalam oven selama 15-60 menit, kemudian didinginkan dalam desikator selama 15-30 menit dan ditimbang (X2).

Metode Folch (analisa lemak untuk tubuh dan daging ikan uji)

1. Labu silinder dioven terlebih dahulu pada suhu 110°C selama 1 jam, didinginkan dalam desikaotr selalna 30 menit kemudian ditimbang (XI).

2. Sampel ditimbang sebanyak 2-3 gram (A) dan dimasukkan ke dalam gelas homogenize dan ditambahkan larutan kloroform/methanol (20xA), sebagian disisakan untuk membilas pada saat penyaringan. silinder kemudian dievaporator sampai kering. Sisa kloroformlmethanol yang terdpat dalam labu ditiup dengan menggunakan vacuum setelah itu ditimbang (X2).

x2- X I

% lemak = x 100%

A

Lampiran 3. Prosedur analisis kadar abu untuk bahan yang digunakan dalam penelitian (Takeuchi, 1988)

1. Cawan dipanaskan dalam oven pada suhu 100°C selama 1 jam dan kemudian dimasukkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang (XI).

2. Bahan ditimbang 2-3 gram (A).

3. Cawan dan bahan dipanaskan ke dalam tanur pada suhu 600°C sampai menjadi abu kemudian dimasukkan dalam desikator selam 30 menit dan ditimbang (X2).

x2 - XI

% abu = x 100%

A

Lampiran 4. Prosedur analisis kadar air untuk bahan yang digunaltan dalam penelitian (Takeuchi, 1988)

1. Cawan dipanaskan dalam oven pada suhu 100 OC selama 1 jam dan kemudian dimasultkan dalam dessikator selama 30 menit dan ditimbang (XI).

2. Bahan ditimbang 2-3 gram (A).

3. Cawan dan bahan dipanaskan dalam oven pada suhu 110 OC selama 4 jam

3. Cawan dan bahan dipanaskan dalam oven pada suhu 110 OC selama 4 jam

Dokumen terkait