• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.8. Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis onikomikosis, diperlukan pemeriksaan penunjang. Saat ini

dikenal beberapa metode pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis onikomikosis antara lain pemeriksan mikroskopis dengan KOH 20%,

pemeriksaan histopatologi dengan pewarnaan PAS (Periodic Acid Schiff),

pemeriksaan mikroskopik imunofloresensi dengan pewarnaan calcoflour,

pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction) dan metode kultur.28-30

Namun pemeriksaan yang biasanya tersedia dalam praktik klinis sehari-hari adalah pemeriksaan KOH 20%, metode pewarnaan PAS dan kultur.14-17,28,29,30

Diagnosis laboratorium yang baik ditentukan oleh cara pengambilan bahan pemeriksaan.16,17,28-30

1. Mikroskopi Langsung

Pemeriksaan mikroskopi langsung dengan kalium hidroksida (KOH) murah dan mudah dilaksanakan, namun memiliki keterbatasan. Akurasi hasil pemeriksaan KOH 20% sangat tergantung dari beberapa faktor yaitu tempat pengambilan spesimen, faktor matriks kuku, gelembung udara maupun bintik lemak yang dapat menyerupai bentuk materi jamur yang bisa menimbulkan

kesalahan interpretasi pada saat pemeriksaan.16,17Pemeriksaan ini hanya

berfungsi sebagai penyaring ada atau tidaknya infeksi, tetapi tidak dapat

menentukan spesies penyebabnya.3,16,17 Sebelum diperiksa di bawah

mikroskop, kuku dilunakkan dan dijernihkan dalam larutan KOH 20-30%. Dimetil sulfoksida (DMSO) 40% juga dapat dipakai untuk melunakkan kuku. Larutan KOH diteteskan pada objek glass, kemudian spesimen diletakkan di atasnya. Setelah ditutup dengan deck objek penutup, dilewatkan di atas api

bunsen untuk mempercepat proses penghancuran keratin sekaligus menghilangkan gelembung udara pada objek glass. Lalu diamati di bawah mikroskop maka akan terlihat elemen-elemen jamur seperti hifa dan spora. Gambaran jamur dapat diperjelas menggunakan tinta parker biru yaitu

Chlorazol black E. Tinta parker paling sering digunakan karena mudah didapatkan. Spesimen diperiksa untuk identifikasi elemen-elemen jamur, yakni hifa atau artospora jamur. Terdapatnya sejumlah besar filamen dalam lempeng kuku, terutama bila berupa artospora memiliki arti diagnostik untuk dermatofita. Adanya pseudofilamen dan filamen disertai ragi di dalam nail bed memberi petunjuk onikomikosis oleh Candida spp. Terdapatnya filamen-filamen tipis dan tebal, dengan bermacam-macam ukuran, bentuk dan arah di

dalam nail bed yang sama memberi kesan infeksi campuran beberapa jamur

patogen.3,28,29

2. Kultur

Kultur merupakan pemeriksaan jamur, meskipun hasil pemeriksaan dengan mikroskopis langsung negatif. Melalui kultur, spesies jamur patogen dapat diidentifikasi. Kegagalan pertumbuhan jamur pada medium ditemukan bila pasien telah mendapat terapi topikal atau sistemik. Kegagalan tumbuh ini juga lebih banyak pada bahan kuku dibanding kulit karena kebanyakan bahan diambil dari distal kuku dimana kebanyakan jamur sudah tua dan mati. Oleh karena itu dianjurkan untuk mengikutsertakan bahan kulit atau potongan kuku untuk pembiakan jamur pada media. Spesimen yang dikumpulkan di cawan petri diambil dengan sengkelit yang telah disterilkan di atas api bunsen, kemudian bahan kuku ditanam pada dua media.

Media I : terdiri dari media yang mengandung antibiotik dan anti jamur (Mycobitotic/mycocel), media II: yang tidak mengandung antibiotik dan anti

jamur PDA (Potato Dextrose Agar)/SDA (Sabouraud’s Dextrose Agar).

Media diinokulasikan dalam keadaan steril, lalu diinkubasi pada suhu 24°- 28°C selama 4-6 minggu. Koloni dermatofita akan tampak setelah 2 minggu, sedangkan non dermatofita terlihat dalam seminggu, hasil negatif jika tidak tampak pertumbuhan setelah 3-6 minggu.3,16,17,28,29

3. Histopatologi

Pemeriksaan histopatologi dilakukan jika hasil pemeriksaan mikroskopi langsung dan kultur meragukan.28,29,36 Dengan pemeriksaan histopatologi

dapat ditentukan apakah jamur tersebut invasif pada lempeng kuku atau daerah subungual disamping itu kedalaman penetrasi jamur dapat dilihat.28,29

Bahan untuk pemeriksaan histopatologi dapat diperoleh melalui lempeng kuku

yang banyak mengandung debris dan potongan kuku.28,29,36 Bahan

pemeriksaan histopatologi dapat langsung dimasukkan dalam parafin, atau terlebih dahulu dalam larutan formalin 10% semalaman agar jamur terfiksasi dengan baik, kemudian blok parafin dipotong tipis hingga ketebalan 4 -10 µ

dengan menggunakan mikrotom dan dilakukan pewarnaan PAS, dan dapat dilihat adanya hifa dan atau spora dengan menggunakan mikroskop.3,28,29,36

4. Pemeriksaan PCR

PCR adalah suatu teknik sintesis dan amplifikasi DNA secara invitro. Metode

ini pertama kali dikembangkan oleh Karry Mullis pada tahun 1985.18,19

Beberapa tahun yang lalu metode molekular ini telah dilakukan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi dermatofita secara langsung dari kulit,

rambut dan kuku.20 Metode ini berkembang dikarenakan metode konvensional

dikatakan lambat dan kurang spesifik.14,37-39 Penelitian sebelumnya telah

dilakukan dengan mengevaluasi penggunaan PCR pada onikomikosis dan didapatkan spesifikasi yang cepat dan langsung.24-26 PCR dapat digunakan

untuk mengamplifikasi segmen DNA dalam jumlah jutaan kali hanya dalam beberapa jam. PCR merupakan suatu tehnik yang melibatkan beberapa tahap yang berulang (siklus) dan pada setiap siklus terjadi duplikasi jumlah target DNA double stranded.18 Komponen-komponen yang diperlukan pada proses

PCR adalah cetakan DNA; sepasang primer yaitu suatu oligonukleotida

pendek (potongan pendek) yang mempunyai urutan nukleotida yang sesuai

dengan urutan nukleotida DNA cetakan; deoxynucleotide triphosphates

(dNTPs); buffer PCR; magnesium klorida (MgCl2) dan enzim DNA

polymerase.18,19 Di dalam mesin PCR terjadi sintesis dan amplifikasi yang terdiri dari 3 tahap yaitu (1) denaturasi DNA cetakan; (2) penempelan primer

pada cetakan (annealing) dan (3) pemanjangan primer (extention). Tahap ini merupakan tahap berulang (siklus), dimana pada setiap siklus terjadi duplikasi jumlah DNA.15,16 Pada tahap denaturasi, reaksi PCR terjadi pada suhu tinggi

(+ 94 0C) selama 30-60 detik sehingga DNA double stranded terdenaturasi

atau terpisah menjadi dua single stranded kemudian didinginkan hingga

mencapai suhu tertentu untuk memberikan waktu pada primer menempel

(anneal primers) pada daerah tertentu dari target DNA.18,19

Tahap awal sintesis sekuen spesifik DNA secara in vitro dimulai pada tahap

annealing, dimana primer akan menempel pada sekuen komplementer single stranded DNA cetakan. Hal ini dilakukan pada suhu 45-60oC selama 60-120

detik. Sintesis DNA ini berlangsung dari arah 5’ ke 3’.16Agar sintesis DNA

dapat berlangsung dengan baik maka reaksi tersebut memerlukan adanya enzim DNA polymerase, misalnya thermus aquaticus(tag)polymerase dan

MgCl2, sementara kebutuhan energi dan nukleotida terpenuhi dari dNTPs

(terdiri dari: deoxythymin triphosphates (dTTP), deoxyguanin triphosphates

(dGTP), deoxyadenin triphosphates (dATP) dan deoxycystein triphosphates

(dCTP)).15,16Aksi sintesis DNA pada tahap ini tergantung pada suhu annealing

dari primer yang digunakan. Suhu annealing primer tersebut ditentukan

diantaranya dari ukuran panjang primer dan kandungan basa (G+C) dari

primer yang digunakan.18

Pada tahap extention, umumnya terjadi pada suhu 72 0C selama 60-120 detik,

proses sintesis yang telah dimulai dari tempat penempelan primer, terus

berlanjut sampai bertemu dengan sintesis DNA yang dilakukan oleh primer

lainnya dengan arah yang berlawanan pada komplemen stranded DNA

template, sehingga terbentuklah DNA double stranded yang baru.18,19

Sintesis DNA tersebut akan terus berlanjut melalui tiga tahapan tersebut di atas secara berulang. Pada akhirnya maka akan diperoleh produk PCR, berupa sekuen DNA yang diinginkan dalam jumlah yang berlipat ganda. Selanjutnya

produk PCR yang diperoleh dapat disimpan pada suhu 4 0C, sampai saatnya

Gambar 2.7 Bagan Proses Tehnik PCR

Untuk melihat hasil amplifikasi DNA tersebut, maka produk PCR yang diperoleh, dimigrasikan pada gel agarose (elektroforesis).14,18

Gambar 2.8 Elektroforesis Gel Agarose untuk Amplifikasi Hasil PCR dalam Menemukan Elemen Jamur pada Onikomikosis

Dikutip dari Kepustakaan No 14 sesuai aslinya

Umumnya hasil amplifikasi DNA dengan PCR ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kualitas dan kuantitas DNA, temperatur annealing primer,

kualitas dan konsentrasi primer, konsentrasi MgCl2, dNTP, enzim DNA

polymerase, dan jumlah siklus PCR yang dilakukan.18

Terdapat beberapa metode yang sering dibutuhkan sebagai tindakan tambahan pada PCR salah satunya adalah restriction endonuclease digestion.9 Metode restriction endonuclease digestion atau restriction fragment length polymorphism (RFLP) merupakan metode PCR dengan penambahan enzim setelah amplifikasi sehingga memungkinkan hasil yang lebih spesifik. Pada salah satu penelitian, yang menggunakan metode PCR-RFLP untuk identifikasi spesies dermatofita, didapati hasil yang cukup baik dan konsisten untuk beberapa spesies.25,40

Gambar 2.9 Bentuk Elektroforesis ITS-RFLP untuk Identifikasi Jamur Dermatofita

Dikutip sesuai Kepustakaan No 42 sesuai aslinya

Pada penelitian Gwozdz dkk (2011) dikatakan PCR-RFLP merupakan metode yang cepat dan tepat dalam identifikasi jamur dermatofita yaitu

Trichphyton rubrum, hampir 90% jamur penyebab onikomikosis adalah jamur dermatofita.40

Pemeriksaan dengan metode KOH 20% dan kultur jamur yang digunakan untuk menegakkan diagnosis onikomikosis bisa memberikan hasil positif palsu

atau negatif palsu dan untuk pemeriksaan kultur jamur membutuhkan waktu yang lama untuk mengetahui agen jamur penyebab infeksi sehingga direkomendasikan pemeriksaan dengan tehnik PCR yang memungkinkan untuk identifikasi dini dan akurat agen jamur penyebab onikomikomikosis.14-17

Gambar 2.10 Strategi Pemeriksaan Agen Jamur Penyebab Infeksi

Dokumen terkait