• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemerintah Berdasarkan Sistem Konstitusional

BAB VIII HAL KEUANGAN

7 KUNCI POKOK SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA MENURUT UUD

B. Sistem Konstitusional 1 Pengertian Konstitus

2. Pemerintah Berdasarkan Sistem Konstitusional

Konstitusi sebagai satu kerangka kehidupan politik telah lama dikenal yaitu sejak zaman yunani yang memiliki beberapa kumpulan hukum (semacam kitab hukum pada 624 – 404 SM) sehingga, sebagai Negara hukum Indonesia memiliki konstitusi yang dikenal sebagai UUD 1945 yang telah dirancang sejak 29 Mei 1945 sampai 16 Juli 1945 oleh badan penyelidik usaha-usaha persiapan kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang mana tugas pokok badan ini sebenarnya menyusun rancangan UUD. Namun dalam praktik persidangannya berjalan berkepanjangan khususnya pada saat membahas masalah dasar Negara.

Diakhir sidang I BPUPKI berhasil membentuk panitia kecil yang disebut panitia sembilan, panitia ini pada tanggal 22 juni 1945 berhasil mencapai kompromi untuk menyetujui sebuah piagam jakarta yang menjadi naskah pembukaan UUD yaitu menghilangkan kalimat “dengan kewajiban menjalankan syari’ah islam bagi pemeluk-pemeluknya” yang kemudian diterima dalam siding II BPUPKI tanggal 11 Julu 1945.

Setelah itu Ir. Soekarno membentuk panitia kecil pada tanggal 16 juli 1945 yang diketuai oleh Soepomo dengan tugas menyusun rancangan UUD dan membentuk panitia persiapan kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang beranggotakan 21 orang. Sehingga UUD atau konstitusi Negara Republik Indonesia disatukan ditetapkan oleh PPKI pada hari sabtu tanggal 18 Agustus 1945. Pengesahan UUD 1945 dikukuhkan oleh komite nasional indonesia pusat (KNIP) pada tanggal 29 Agustus 1945. Dengan demikian sejak itu Indonesia telah menjadi suatu Negara modern karena telah memiliki suatu sistem ketatanegaraan yaitu dalam UUD 1945.

Dalam perjalanan sejarah, konstitusi Indonesia telah mengalami beberapa kali pergantian baik nama maupun subtansi materi yang dikandungnya, yaitu : a. UUD 1945 yang masa berlakunya sejak 18 Agustus 1945 sampai 27

b. Konstitusi republic Indonesia serikat yang lazim dikenal dengan sebutan konstitusi RIS (17 Desember 1949 – 17 Agustus 1950).

c. UUD 1950 (17 Agustus 1950 – 05 Juli 1959).

d. UUD 1945 yang merupakan pemberlakuan kembali konstitusi pertama Indonesia dengan masa berlakunya sejak Dekrit Presiden pada 05 Juli 1959-1966

Pada masa itu terdapat berbagai penyimpangan UUD 1945, diantaranya:

a. Presiden mengangkat ketua dan wakil ketua MPR/DPR dan MA serta wakil ketua DPA menjadi menteri Negara.

b. MPRS menetapkan soekarno sebagai presiden seumur hidup.

c. Setelah itu pada masa Orde Baru (1966-1998) pemerintah menyatakan akan menjalankan UUD 1945 dan pancasila secara murni dan konsekuen, pada masa ini konstitusi menjadi sangat sakral, diantaranya melalui sejumlah peraturan:

 Ketetapan MPR nomor I/MPR 1983 yang menyatakan bahwa MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak akan melakukan perubahan terhadapnya.

 Ketetapan MPR nomor IV/MPR/1983 tentang referendum yang antara lain menyatakan bahwa bila MPR berkehendak merubah UUD 1945, terlebih dahulu harus minta pendapat rakyat melalui referendum.  UU no 5 tahun 1985 tentang referendum yang merupakan pelaksanaan

TAP MPR nomor IV/MPR/1983

Salah satu tuntutan reformasi 1998 adalah dilakukanya perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang perubahan itu antara lain karena pada masa orde baru kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataanya bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu luwes sehingga menimbulkan multitafsir.

Selanjutnya Pada masa reformasi, UUD 1945 mengalami perubahan (Amandemen) berturut turut pada tahun 1999, 2000, 2001, 2002 dengan menggunakan naskah yang berlaku mulai 5 Juli 1959 sebagai standar dalam melakukan perubahan di luar teks yang kemudian di jadikan lampiran yang tak terpisahkan dari naskah UUD 1945.

Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi, negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan diantaranya tidak mengubah pembukuan UUD 1945, tetap mempertahankan susunan kenegaraan, kesatuan, atau lebih dikenal sebagai negara kesatuan republik indonesia (NKRI), serta mempertegas sistem pemerintahan presidensil.

Perumusan UUD yang baru, baik dalam bentuk amandemen sekarang ini apalagi kalau bisa perubahan menyeluruh dan mendasar, haruslah mengacu kepada konsep pemerintahan konstitusional karena memang sudah menjadi aspirasi dari perjuangan kemerdekaan bangsa. Hal ini nampak bukan saja dari sejarah perjuangan pra kemerdekaan, periode revolusi, maupun selama tahun 1950-an, bahkan mencapai puncaknya pada perdebatan majelis konstituante yang memang diberi mandat oleh rakyat Indonesia untuk merumuskan UUD baru yang definitif.

Namun demikian, untuk dapat merumuskan UUD yang benar-benar mengacu kepada pemerintahan konstitusional, maka semua pikiran-pikiran lama yang bersumber pada paham (konsep) negara integralistik dari Prof. Soepomo harus dibersihkan dari benak kepala kita. Kerancuan yang terjadi selama ini disebabkan karena masih adanya dualisme dalam konsep pemikiran ketatanegaraan kita.

Di satu pihak, ada keinginan yang kuat untuk memajukan kehidupan bernegara modern yang mengacu kepada prinsip-prinsip universal tentang demokrasi konstitusionalisme, the rule of law, maupun jaminan hak asasi

manusia. Akan tetapi celakanya secara sadar ataupun tidak, sengaja ataupun tidak, kita sering kembali kepada pikiran-pikiran partikularistik yang menjadi ciri negara integralistik.

Yang dimaksudkan di sini adalah pikiran-pikiran yang menghendaki misalnya negara persatuan dalam pengertian sebagai satu kesatuan dari seluruh rakyat Indonesia dan negaranya dari Sabang sampai Merauke. Artinya, persatuan Indonesia ditafsirkan secara ketat, monolitik, solid, atau manunggal ibarat tubuh manusia antara kepala dan badan dari Sabang sampai Merauke. Sehingga, segala pikiran atau gagasan untuk mencari alternatif bentuk lainnya lebih terbuka dan luwes. Jangankan federasi, bahkan otonomi yang seluas- luasnya pun dikhawatirkan akan memecah belah Indonesia atau merobek-robek bangsa.

Pemikiran yang keliru lainnya adalah dalam hal pembagian kekuasaan negara. Seharusnya, pembagian ini lebih tegas dan definitif sesuai asas trias politika. Kekuasaaan yudikatif, termasuk Mahkamah Agung sebagai puncak peradilan, seharusnya independen, bebas, mandiri, dan tidak memihak. Namun, pernah ada pikiran bahwa Mahkamah Agung wajib memberikan pertanggungjawaban kepada MPR.

Yang paling parah, kedaulatan rakyat yang di manapun di dalam sistem demokrasi senantiasa dipegang oleh rakyat dan tidak pernah diserahkan sepenuhnya kepada orang lain atau cabang kekuasaan lainnya (eksekutif, legislative dan yudikatif), di Indonesia masih saja dipersepsikan seolah-olah dengan adanya lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), maka MPR lah yang menjalankan sepenuhnya kedaulatan rakyat. Sehingga, rakyat tidak lagi berdaulat, kecuali lima tahun sekali menyerahkan hak suaranya melalui Pemilu kepada DPR/MPR.

(Sumber : Inet 2013 http://Makalahmakalahkonstitusinegara.Htm