• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada masa pemerintahan Orde Baru, kembali peraturan perundang- undangan mengenai desa mengalami perubahan yang ditandai dengan terbitnya UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Berbeda dengan pengaturan berdasarkan IGO dan UU No. 16 Tahun 1965, menurut UU 5 Tahun 1979, pengaturan yang tidak menyeragamkan pemerintahan desa kadang-kadang merupakan hambatan untuk melaksanakan pembinaan dan pengendalian yang

"#

intensif guna peningkatan taraf hidup masyarakat. Oleh karena itulah secara tegas dinyatakan di dalam UU ini bahwa kebijakan mengenai desa diarahkan pada penyeragaman bentuk dan susunan pemerintahan desa dengan corak nasional. Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1979, desa adalah suatu wilayah yang ditempati sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hak menyelenggarakan rumah tangganya dalam pengertian ini bukanlah merupakan hak otonomi, sehingga dapat dikatakan bahwa dengan UU No. 5 tahun 1979 administrasi desa dipisahkan dari hak adat istiadat dan hak asal usul. Desa diharuskan mengikuti pola yang baku dan seragam sedangkan hak otonominya yaitu hak untuk mengatur diri sendiri, ditiadakan. Desa sekedar satuan administratif dalam tatanan pemerintah (Sekretaris Direktorat Jenderal Otonomi Daerah, 2006).

Dari pengertian ini jelas bahwa secara struktural dengan ditempatkannya desa sebagai organisasi pemerintahan langsung di bawah camat menunjukkan bahwa hubungan antar desa dengan supra desa bersifat hierarkis sampai ke tingkat pusat. Hal ini dikarenakan posisi camat sebagai kepala wilayah yang menjalankan asas dekonsentrasi atau merupakan unsur Pemerintah Pusat yang ada di daerah. Karena pola hubungan yang bersifat hierarkis maka seluruh peraturan perundang- undangan yang mengatur tentang desa dibuat oleh Pemerintah Pusat dan diberlakukan sama secara nasional.

Sementara itu, di Sumatera Barat UU No. 5 tahun 1979 efektif dilaksanakan pada tanggal 1 Agustus 1983. Menurut Asnan (2006), salah satu keputusan Pemda Sumbar yang menarik dalam kaitannya dengan pembentukan Pemerintahan Desa adalah merubah status jorong (bagian dari nagari) menjadi desa, Nagari IV Koto Palembayan yang terdiri dari tujuh (7) jorong kemudian dipecah menjadi 5 desa, yaitu:

a. Desa Pasar Palembayan b. Desa Piladang

c. Desa Ladang Makmur d. Desa Palembayan Tangah

"$

e. Desa Bamban Koto Tinggi

Kepala desa tidak harus dipilih dari ninik mamak, dari kelima desa tersebut dua diantaranya dijabat oleh bukan ninik mamak bahkan kepala desa palembayan adalah seorang yang berstatus pendatang. Sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat kepala desa tidak memiliki kewenangan untuk membuat peraturan sendiri, kewenangannya terbatas pada hal-hal yang telah ditetapkan dari pusat. Pada masa ini berakhirlah kekuasaan ninik mamak. Ninik mamak hanya sebatas simbol yang kehadirannya terutama pada acara-acara seremonial seperti perkawinan.

Dimasa pemerintahan desa itu berbagai persoalan seolah menjadi urusan kepala desa. Pada masa ini nagari masih tetap dipertahankan, cuma statusnya hanya sebagai kesatuan masyarakat adat. Sementara itu kelembagaan KAN fungsinya diatur berdasarkan Keputusan Gubernur No. 347/GSB/1984 dalam kenyataannya KAN tidak memainkan fungsi penting.

Pemecahan nagari ke dalam beberapa desa ditengarai hanya karena keinginan untuk mendapatkan uang Bandes. Dalam perjalanannya masyarakat kemudian menjadi terkotak-kotak dan semangat kerja sama diantara masyarakat yang telah terpisah ke dalam desa-desa yang berbeda menjadi semakin hilang (wawancara dengan ketua KAN, 26 Februari 2009).

Meskipun demikian, dalam bidang administrasi pemerintahan, pemerintahan desa lebih bisa menjalankan fungsi administrasi pemerintahan dengan efisien. Hal ini dapat terlaksana karena wilayah kerja yang relatif sempit (dibanding wilayah nagari). Masyarakat yang akan mengurus hal-hal yang bersifat kedinasan dapat lansung menemui kepala desa (di rumahnya).

UU No 5 tahun 1979 sebagai dasar pembentukan pemerintahan desa yang seragam dan bercorak nasional diarahkan untuk menjamin terwujudnya demokrasi Pancasila secara nyata dengan menyalurkan pendapat masyarakat dalam wadah yang disebut Lembaga Musyawarah Desa (LMD). Semestinya LMD menjadi wadah permusyawaratan dari pemuka-pemuka masyarakat yang ada di desa dan di dalam mengambil keputusannya ditetapkan secara musyawarah dan mufakat dengan memperhatikan kenyataan yang ada dalam masyarakat. Namun dalam

"%

kenyataannya semua itu tidak terwujud, semua anggota LMD langsung ditunjuk oleh kepala desa (lebih jauh lihat Widjaja, 2003).

Di samping LMD, terdapat Lembaga Ketahan Masyarakat Desa yang merupakan utusan dari masyarakat. Meskipun dalam lembaga ini juga terdapat unsur ninik mamak, namun nyaris tidak berfungsi. Karena desa hanya menjalankan semua program yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Di samping itu LKMD juga tidak menjalankan fungsi pengawasan terhadap kinerja pemerintah desa karena kepala desa juga menjadi ketua dalam lembaga ini. Dengan demikian kepala desa menjadi penguasa tunggal dalam pemerintahan desa. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Pan (tokoh masyarakat setempat), tidak ada demokrasi dalam pemerintahan desa, baik LMD maupun LKMD semua anggotanya ditunjuk dan langsung diketuai oleh kepala desa.

Mencermati hegemoni negara yang demikian dominan Abdul Wahab (1999), yang juga mengutip pendapat Schmitter menjelaskan bahwa organisasi- organisasi bentukan pemerintah pada hakekatnya secara politis dan praktis telah terkooptasi, sehingga organisasi-organisasi tersebut bersifat monolitik, hirarkis laiknya birokrasi pemerintah. Bentangan kekuasaan semacam inilah yang disebut dengan korporatisme. Singkatnya, untuk menghindari instabilitas politik yang membahayakan, maka negara meredam potensi-potensi revolusioner dalam masyarakat dan melemahkan potensi-potensi progresif pembaharuan melalui organisasi-organisasi yang berwatak korporatif. Negara dalam membentangkan dominasinya menciptakan “perluasan birokrasi pemerintah pada tingkat lokal”, sehingga negara bersifat otoriter dan sangat mengandalkan birokrasi sebagai alat untuk mencapai tujuannya (Budiman, 1991 dalam Yunus, 2000).

Partisipasi masyarakat dibendung dan masyarakat itu sendiri dibelenggu dari proses politik dan pembangunan yang dilakukan secara top-down dan bercorak teknokratis-birokratis, artinya menurut Yunus (2000) yang mengutip pendapat Santoso, negara menempatkan birokrasi sebagai satu-satunya agen utama modernisasi. Oleh sebab itu tidak ada perbedaan yang berarti antara masa kolonial dengan masa pasca kolonial. Seperti pada masa pemerintahan Orde Baru peran negara dan aparatnya juga otoriter dan sentralistik dalam pelaksanaan kebijaksanaan.

"&

Lembaga lain yang ada dalam sebuah desa adalah karang taruna dan PKK. Karang taruna beranggotakan pemuda. PKK merupakan program pemerintah yang organisasinya ada hingga ketingkat pusat. Istri dari kepala desa secara otomatis menjadi ketua bagi PKK. Program PKK telah ditetapkan dari pusat dan dilaksanakan sesuai dengan kondisi masyarakat setempat.

Karena semua program dilaksanakan secara top down, lama kelamaan hal ini mematikan inisiatif dan partisipasi masyarakat dalam membangun daerahnya. Seperti yang diakui oleh Bapak Sai, seorang mantan kepala desa,

“Pada masa pemerinahan desa dulu, untuk bergotong royong saja harus menyebarkan undangan dan masyarakat yang bergotong royong diberi imbalan. Walaupun nagari masih ada dan diakui sebagai kesatuan wilayah adat (sesui dengan SK Gubernur Propinsi Sumatera Barat No 347/GSB/1984) namun rasa persatuan sesama anak nagari mulai hilang, mereka tidak mau lagi membantu masyarakat di desa sebelah (masih satu nagari). Pada masa nagari dulu (sebelum dirobah menjadi desa) cukup dengan membunyikan cenang, maka masyarakat akan berdatangan secara sukarela untuk bergotong royong”.

Hal yang sama seperti yang diungkapkan oleh ketua Kerapatan Adat Nagari IV Koto Palembayan.

“Pada saat nagari pecah menjadi desa-desa karena mengharapkan dana bantuan desa (bandes), keuntungannya banyak dana yang masuk, namun kelemahannya: membuat hubungan masyarakat dalam nagari menjadi pecah (renggang), tidak lagi mau peduli dengan warga desa yang lain,. pembangunan kurang terlaksana. Pada masa desa tokoh masyarakat (adat) kurang terlibat. Kalau dulu meskipun nagari tetap ada (diakui sebagai kesatuan masyarakat adat) namun dalam pemerintahan tidak terlibat karena yang diakui secara formal adalah pemerintahan desa. (pemisahan urusan adat dan administrasi pemerintahan) sehingga mereka tidak terlalu terlibat dalam setiap program pemerintahan (pembangunan). Hubungan ninik mamak dan anak kemenakan juga menjadi renggang”.

Pemerintahan desa berjalan dari tahun 1983 hingga tahun 2001 atau sekitar 18 tahun. Suatu masa yang cukup untuk meporak-porandakan sendi-sendi tradisi di Minangkabau secara umum, Nagari IV Koto Palembayan secara khusus. Dominasi pemerintah sangat terasa pada masa ini sangat terasa. Masyarakat kehilangan inisiatifnya, semua kegiatan seolah-olah menunggu program dari atas (pemerintah).

Seperti yang diungkapkan oleh Widjaja (2003), kepada setiap desa di seluruh Indonesia oleh Depdagri setiap setahun sekali diberi sumbangan sebagai rangsangan pembangunan desa dan setiap tahun sumbangan itu semakin

"'

meningkat dan bertambah, sesuai dengan instruksi sebagian dari sumbangan itu diberikan kepada PKK di desa. Lambat laun desa-desa kehabisan kreativitas untuk menciptakan proyek pembangunan baru. Uang sumbangan itu kemudian dimanfaatkan untuk tambahan penghasilan/pendapatan kepala desa dan perangkat desa.

Sebagaimana yang penulis temui di Jorong Koto Tinggi dan Lambeh (dulunya dua buah desa) sepertinya pada masa pemerintahan desa tidak ada pembangunan fisik disini. Tempat ini cukup sulit untuk ditempuh karena kondisi jalan yang sangat buruk. Jika pemerintah pada zaman desa mengeluarkan dana pembangunan tiap tahun, lantas kemana perginya dana-dana itu? Secara umum di Nagari IV Koto Palembayan, kondisi jalan yang bagus hanya di sekitar pusat nagari saja (yang juga merupakan pusat kecamatan).

Pada zaman pemerintahan desa inilah terjadi perubahan besar dalam struktur kepemimpinan. Ninik mamak sebagai penghulu (pemimpin) dalam masyarakat benar-benar kehilangkan kekuasaannya digantikan oleh pemimpin formal yang bersifat legal-formal. Institusi tradisional tidak lagi berperan nyata dalam pembangunan masyarakat desa. Keseragaman model pemerintahan adalah perubahan yang diharapkan oleh pemerintah sebagai perencana perubahan. Di samping perubahan yang diharapkan juga terdapat perubahan yang tidak diharapkan, seperti yang terungkap dari hasil wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat mengenai sistem pemerintahan desa, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Masyarakat kehilangan rasa memiliki untuk membangun desa, karena semuanya ditentukan dari pusat.

2. Masyarakat kehilangan rasa persatuan seiring terkotak-kotannya masyarakat ke dalam desa-desa.

3. Mobilisasi yang dilakukan oleh pemerintah mematikan kreatifitas masyarakat. 4. Munculnya sikap ketergantungan masyarakat terhadap program yang datang

dari atas (pemerintah).

Program pembangunan desa merupakan penetrasi negara dalam kehidupan desa melalui dukungan berbagai bentuk jaringan administrasi. Selama Orde Baru program pembangunan desa berdasarkan UU No. 5/1979 mempunyai tujuan

"(

ganda yaitu melibatkan masyarakat agar berperan serta dalam pembangunan secara umum melalui proses memasukkan desa ke dalam negara, dan proses memasukkan negara ke dalam desa (Mas’oed ,1997 dalam Yasril Yunus, 2000). Tabel 12. Perbandingan nagari dan desa

No Perbandingan Nagari (bentuk asli) Desa

1 Struktur pemerintahan Kerapatan adat Kerapatan suku Kerapatan Kaum

Kepala Desa LMD

2 Unsur pimpinan Kelompok genealogis Kelompok individu

3 Sistem pemilihan

pemimpin

Musyawarah Pilkades

4 Model Kepemimpinan Tradisional legal rasional

5 Unsur adat Terdapat disemua lembaga

dalam nagari

Tergabung dalam KAN 6 Sistem pengaturan

kehidupan sosial

Berdasarkan norma adat dan institusi sosial

Berdasarkan peraturan formal

Sumber: diolah dari data primer dan sekunder

Pada masa pemerintahan desa, kelompok genealogis tersingkir dari pemerintahan desa, sejalan dengan itu muncul para pemimpin yang berasal dari luar kelompok genealogis. Mengutip dari pendapat Kemal (2009), orang-orang yang berkuasa pada saat pemerintahan desa orang-orang yang berasal dari kelompok individu. Pemerintahan nagari yang ditopang oleh keberadaan extended family bergeser menjadi pemerintahan desa dan menguatnya keberadaan “nuclear family”. Dalam pelaksanaan kegiatan apa pun dalam desa yang berhak mewakili keluarga adalah bapak bukan lagi Mamak Kapalo Waris.

4.6 Ikhtisar

Sebagai sebuah unit pemerintahan terendah, Nagari IV Koto Palembayan memiliki struktur yang telah baku sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sebagian besar wilayah merupakan areal pertanian (terutama perkebunan) yang subur dan sebagai daerah pertanian, nagari ini terutama menjadi pemasok hasil- hasil perkebunan untuk Propinsi Sumatera Barat seperti Coklat dan terutama kulit manis. Penduduknya mempunyai tingkat pendidikan relatif masih rendah yaitu sebagian besar hanya SMP ke bawah. Kondisi lingkungan yang mendukung berupa lahan yang subur, membuat banyak masyarakat banyak berprofesi sebagai petani. Selain areal pertanian yang subur, nagari memiliki sumberdaya lain yaitu

"

pertambangan pasir, batu bara dan bahan baku pembuat pupuk yang masih belum dikelola.

Nagari IV Koto Palembayan mempunyai tipe masyarakat petani padi pinggir hutan. Hal ini disebabkan karena wilayah ini yang memang berada dipinggir hutan dengan mata pencarian masyarakat yang utama bercocok tanam padi sawah selain juga berkebun. Pendidikan masyarakat sebagian besar (74%) adalah SMP ke bawah, ini menunjukan ketersediaan tenaga kerja yang tidak terampil, sehingga tidak heran jika pertanian dan sektor informal menjadi pilihan utama untuk bekerja.

Pada awalnya pemerintahan nagari dalam bentuk asli mempunyai ciri yaitu pemerintahan kolektif. Perubahan bentuk pemerintahan terjadi sejak campur tangan pemerintah Hindia Belanda yang mulai memanfaatkan pemimpin nagari untuk kepentingan Hindia Belanda. Berubahan terus terjadi ketika zaman kemerdekaan, lembaga dalam nagari mulai bertambah yaitu dengan dibentuknya lembaga-lembaga seperti DHN, DPRN/DPN, Bamus yang memainkan fungsi legislasi dan penamaan pemimpin dalam nagari dengan sebutan Wali Nagari. Munculnya lembaga-lembaga baru ini membuka peluang bagi kelompok individu untuk terlibat dalam pemerintahan nagari (Gambar 7).

Dominasi kelompok genelaogis berakhir dengan pecahnya nagari ke bentuk desa berdasarkan UU No 5 tahun 1979. Pada masa ini ruang bagi kelompok individu untuk menjadi pemimpin dalam nagari terbuka lebar. Perubahan dari nagari ke desa secara tepat dikatakan oleh Naim M (2007), bahwa nagari dan desa sesungguhnya merupakan dua bentuk yang saling bertolak belakang. Pemerintahan nagari bercirikan egaliter, mandiri dan berorientasi pada masyarakat. Sementara desa adalah cermin dari pemerintahan yang feodalistis, sentralistis dan top down. Perubahan pemerintahan dari nagari ke desa tidak saja hanya sekedar perubahan nama, tetapi juga sistem, orientasi dan filosofinya. Perubahan ke dalam bentuk pemerintahan desa telah merubah sendi-sendi pemerintahan nagari menjadi hirarkis yang berorientasi dan tergantung kepada pejabat serta menghilangkan peran dari lembaga-lembaga tradisional.

Ilustrasi perubahan nagari dari bentuk asli hingga kebentuk desa, dapat dilihat pada gambar berikut ini.

" Pemerintahan Nagari: * Pemerintahan Nagari: Pemerintahan Nagari: + Pemerintahan Nagari: , Pemerintahan wilayah - , Nagari Nagari Nagari Wilayah berotonomi tahun Pemerintahan

Nagari: .

Pemerintahan di tangan/didominasi kelompok

Nagari Nagari Zaman

Nagari tahun Nagari tahun Nagari tahun Tahun 1968 Pemerintahan Nagari: Nagari tahun 1974

Pemerintahan di tangan/didominasi kelompok

Gambar 7. Evolusi nagari dari bentuk asli kebentuk desa Pemerintahan desa / / 01 Pemerintahan desa / / 01 Pemerintahan desa / / 01 N a g a r i Desa Desa Desa Nagari tahun

"!

V. TRANSFORMASI DARI DESA KE NAGARI

Kesempatan untuk menghidupkan kembali identitas lokal dan partisipasi masyarakat terbuka dengan dikeluarkannya UU No. 22 tahun 1999. Pemerintahan nagari yang sebelumnya hanya diakui sebagai kesatuan wilayah adat sekarang dihidupkan kembali dan diakui sebagai organisasi pemerintahan terendah. Pemerintahan desa yang telah memporak-porandakan struktur sosial dalam masyarakat Minang dihapuskan dan dengan demikian diharapkan dengan menghidupakan kembali bentuk pemerintahan asli di Sumatera Barat, partisipasi masyarakat untuk membangun nagari dapat ditumbuhkan lagi seiring dengan pengakuan otonomi nagari.

Dokumen terkait