• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemerintahan Marga

B. Jagat Besemah: Konstruksi Sejarah, Sosial Budaya dan Ekonomi

3. Pemerintahan Marga

33

merupakan dasar utama dalam menjaga kerukunan masayarakat Besemah. Sehingga setiap kali besewide dalam balay harus dipertimbangkan terlebih dahulu dan dibicarakan secara cermat agar keputusan yang dihasilkan bisa diterima semua pihak. Sewide

diputuskan dengan seghepat dalam kecupatan, lengitlah yang mucuk rias. Karena hasil keputusan ini akan disampaikan kembali di balay disumbay bukan untuk dibahas ulang, akan tetapi untuk diketahui oleh juray sumbay, sebagaiman tercermin dalam ungkapan, cupat dalam berasan, seghendi dalam perasanan (seia-sekata, selaras dan tuntas).

3.Pemerintahan Marga

Ditaklukannya Kesultanan Palembang oleh pemerintah kolonial Belanda serta dihapuskan secra resmi status kesultanan pada tahun 1823, maka status Besemah sebagai daerah yang menyandang status

sindang Merdike secara otomatis ikut terhapus. Demikian pula sistem pemerintahan Lampik Mpat Mardike Duwe di Besemah diganti sistem pemrintahan marga oleh Belanda.

Pengertian marga pertama kali diperkenalkan oleh Kesultanan Palembnag, yakni pada masa pemerintahan Sultan Abdurrahman Cinde Walang (1662-1706). Menurut J.K.L. Swaab dalam buku Prof.

Dr. G.A.W. Wilken, menyatakan bahwa istilah ‘marga’ berasal dari bahasa Sanskrit, yakni ‘varga’ yang mengandung makna suatu daerah

territorial tertentu (afdeeling territoir) maupun rumpun keluarga (genealogis). Swaab memberikan pengertian marga sebagai himpunan atau perserikatan dari dusun-dusun yang berasal dari satu rumpun.58 Sedangkan pengertian marga pada masa pemerintahan kolonial Belanda di Sumatera Selatan, adalah masyarakat hukum adat yang berfungsi sebagai kesatuan wilayah pemerintahan terdepan dalam birokrasi kolonial. Sistem marga diterapkan oleh J. Walland, seorang asisten residen Belanda di Palembang termasuk di Besemah.59

Kekuasaan kolonial Belanda tidak hanya menghapuskan sistem

pemerintahan tradisional ‘Lampik Mpat Mardike Due’, akan tetapi

juga menerapkan Undang-Undang Simbur Cahaya yang telah

58

Amrah Muslimin, op.cit., hal. 14-15.

59

34

dimodifikasi oleh Van Bossche, seorang kontrolir Belanda atas perintah residen De Brauw pada tahun 1853.60 Secara umum pemerintahan Belanda mempengaruhi pemerintahan marga setidaknya dalam tiga hal, yakni;

1. Penyeragaman cara-cara pemerintahan menuju pada usaha unifikasi.

2. Memperkuat peraturan-peraturan adat sepanjang berjalan sesuai kepetingan Belanda.

3. Mengadakan perubahan-perubahan seperlunya.61

Dikarenakan keadaan beberapa bagian wilayah yang memiliki perbedaan, maka tindakan penyeragaman kadang kala mengakibatkan adanya perubahan pada keadaan yang berjalan, maka pemerintahan kolonial Belanda di Sumatera Selatan mengambil beberapa tindakan antara lain;

1. Menetapkan semua kesatuan-kesatuan pemerintahan yang bersifat territorial serupa dengan marga yang ada di daerah Kepungutan yang dahulunya merupakan wilayah Kesultanan Palembang, yang diperintah oleh langsung Belanda pasca dihapuskannya pemerintahan kesultanan.

2. Menetapkan satu macam serta cara peradilan dalam setiap wilayah dikuasai .

3. Mengatur pungutan menurut adat secara lebih rasional. 4. Menjalankan usaha-usaha kodifikasi dari hukum adat.62

Selanjutnya pemerintahan kolonial Belanda melakukan beberapa perubahan untuk menghapuskan keadaan-keadaan yang timpang dan penyelewengan- penyelewengan, dengan cara sebagai berikut:

1. Mengadakan pengaturan kembali terhadap sistem pajak dan rodi yang dibuat oleh sultan-sultan.

2. Usaha-usaha penghapusan marga-marga sebagai kesatuan masyarakat hukum, dimana semula pemrintah Belanda ingin menghapus, tetapi kemudian membatalkannya kembali.

3. Penyatuan dan pemecahan (pemekaran) marga-marga.

60

Jeroen Peters, op.cit., hal. 90

61

Amrah Muslimin, op.cit., hal. 24.

62

35

4. Pembentukan kas-kas (dana) marga. 5. Pembentukan dewan-dewan marga.

6. Pernyataan pemilikan (domeinverklaring) atas tanah-tanah oleh pemerintahan Belanda.

7. Mengatur peruntukan dan pembagian hasil dari hutan. 8. Mengatur hukum tanah.

9. Pembentukan kesatuan-kesatuan pemerintahan wilayah administrasi meliputi secara hierarki kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat tersebut, yakni kedalam distrik dan

onderdistrict.63

Di daerah Besemah, dimana ikatan kekerabatan masih kuat, dimana dusun-dusun yang merupakan rumpun-rumpun dari sumbay

berbaur satu sama lain, maka Belanda menetapkan marga berdasarkan batas-batas geografis. Sehingga Belanda membentuk kesatuan-kesatuan pemerintahan berdasarkan pendekatan territorial, dengan mengabaikan adanya ikatan-ikatan genealogis yang selama ini berjalan. Tujuan utama sebenarnya adalah untuk membentuk pemerintahan yang efektif dan menyempurnakan administrasi marga.64

Marga yang terdiri dari beberapa dusun yang disatukan menjadi satu wilayah (marga) yang dipimpin oleh seorang pasirah

yang bergelar depati. Dengan pemerintahan marga di daerah Besemah, secara kultural terjadi pergeseran legimitasi dari yang bersifat religio-magis (garis puyang) ke pemberian ‘besluit’ dan

tongkat komando oleh pemerintah Belanda kepada elit pribumi, yakni depati dan pangeran. Simbol pengakuan seorang depati dilekatkan dengan pemberian kepala tongkat perrak, sedangkan untuk pangeran dengan tongkat berkepala emas. Di Besemah terdapat empat kepala sumbay yang bergelar pangeran dan ada beberapa kepala dusun yang kadang-kadang memakai gelar

pangeran.65

Sejak Belanda menguasai Besemah, keberadaan sumbay-sumbay yang memiliki ikatan genealogis kemudian dipecah-pecah

63 Ibid., hal. 25. 64 Ibid., hal. 26-27. 65

36

oleh Belanda dan menggantinya dengan pendekatan territorial, maka orang Besemah dipisahkan secara adminsitrasi. Untuk mengetahui batas-batas geografis antara daerah satu dengan daerah lainnya, maka digunakan tanda yang mudah dikenali, yang biasanya merupakan batas alam, seperti bukit, sungai atau lembah serta tanda alam lainnya. Beberapa batas marga yang menggunakan penanda ini misalanya, batas antara Marga Tanjungkurung dengan Marga Lubukbuntak yakni Ayik Ndikat, batas Marga Alundua dengan Marga Pajarbulan ialah Ayik Kundugh yang berhulu di Gunung Dempo. Dengan begitu kekuasaan marga mudah dikenali oleh pimpinan mereka (pesirah).66

Perangkat marga dipimpin oleh Pesirah, dibantu oleh para perangkatnya seperti pembarap (kepala dusun), pengulu (kepala urusan agama), juru tulis marga, paruwatin-proatin- (keriye dan

penggawe). Selain itu dibentuk pula dewan marga (raad marga), dimana sebagai ketuanya dijabat oleh pesirah dengan anggotanya semua keriye dan penggawe dalam marga itu. Kantor marga berkedudukan di balay marga, meskipun hal tersebut bersifat simbolis. Sebab perangkat pesirah seperti pembarap dan juru tulis

lebih banyak berada di kantor marga. Karena kedua jabatan ini merupakan pelaksana harian pemerintahan marga. Kedudukan

pembarap dan juru tulis diangkat berdasarkan ‘besluit’ , yang

berbeda dengan pesirah yang dipilih oleh masyarakatnya.

Selain pembarap perangkat marga lainnya yang membantu tugas pesirah adalah pengulu dan dewan marga. Pesirah dan keriye

dianggap sebagai pemangku adat (diangkat oleh penguasa). Sebab pemangku adat yang sebenarnya adalah juraytuwe. Tugas pembarap, keriye, penghulu dan dewan marga yakni bertindak sebagai penasehat pesirah dalam menjalankan pemerintahan di marga. Dalam prakteknya penghulu jarang dilibatkan dalam kegiatan pemerintahan, sedangkan pendapat atau usulan dewan marga hanya bersifat rekomendasi, sedangkan keputusan tetap ditangan pesirah. Anggota dewan marga yang semula dijabat oleh pembarap, keriye dan

penggawe, pada perkembangannya selanjutnya dipilih oleh lingkungan dusunnya, termasuk pula ketua dewan marga yang semula otomatis dipegang oleh pesirah, pada perkembangan

66

37

kemudian dipilih oleh lingkungan dusunnya, mekipun kedudukannya tetap dibawah pesirah. 67

Masa jabatan pesirah bisa berjalan selama 2 periode, yakni 10 tahun, jika dianggap berhasil, ia diangkat menjadi pengiran. Dan seandainya ia meninggal pada masa jabatannya, kekuasaan dapat diteruskan kepada anaknya, sebelum dipilihnya pesirah yang baru. Akan tetapi jabatan seorang tidak bisa diwariskan ataupun keturunannya dilarang untuk ikut pemilihan pesirah, jika pesirah tersebut melanggar atau dijatuhi sanksi hingga dipecat dari jabatannya sebagai pesirah.

Pada pertengahan abad ke19, pemerintah kolonial pada satu sisi memperkuat posisi kekuasaan pesirah, akan tetapi sisi lain juga berkepentingan menetapkan bahwa jabatan pesirah lowong karena suatu hal, baik karena pemecatan atau kematian untuk memilih pasirah baru oleh warga dusunnya. Sehingga semua pria yang tercatat dalam daftar pajak diperbolehkan mengikuti pemilihan pesirah dibawah pengawasan kontrolir. Mengingat bagian terbesar penduduk desa yang masih buta huruf, maka cara penentuan suara dilakukan yakni calon pesirah berdiri pada posisi yang lebih tinggi, dan bagi warga dusun yang mendukungnya diharuskan berdiri dibelakang pasiarah. Posisi genealogi berperan penting untuk legimitasi kekuasaan pesirah. Karena mayoritas penduduk cenderung mengukuhkan jabatan kepada putra bekas pasirah.68

Keberadaan dewan marga secara simbolis merupakan wakil rakyat, akan tetapi dalam praktiknya merupakan kepanjangan dari pemerintahan kolonial untuk melaksanakan kepentingan politik dan ekonominya, seperti melakukan pemungutan pajak (belasting), kuli jalan untuk ke dusun pasirah ataupun membuat kantor atau rumah pasirah. Selain itu mereka juga menjadi alat pemerintah kolonial untuk membuka konsensi perkebunan (onderneming) seprti kopi, karet, teh dan kina.

Setelah kesultanan Palembang dikuasai oleh Belanda, status Besemah tidak lagi dibawah pengaruh kesultanan maupun Belanda, tetapi menjadi daerah merdeka. Untuk memasukkan Besemah sebagai bagian dari administrasi kolonial, maka pemerintah Belanda

67

Ibid., hal. 79-80.

68

38

mengirimkan ekspedisi militer untuk menaklukkan Besemah. Akibatnya timbul perlawanan rakyat Besemah kepada Belanda yang dsebut dengan istilah mapak perang melawan Belande (1828-1868). Setelah Besemah berada dibawah kekuasaan Belanda, maka mulai 20 Mei 1869, Belanda membentuk onderafdeeling Pasemahlanden dalam

afdeeling Palembangsche Bovenlanden. Marga yang semula merupakan ikatan genalogis berubah menjadi marga yang bersifat territorial 69, antara lain sebagai berikut: