• Tidak ada hasil yang ditemukan

Oleh pendiri Jama’ah telah ditetapkan 6 prinsip yang menjadi asas da’wahnya, yaitu:

1. Kalimah agung. 2. Menegakkan shalat. 3. Ilmu dan dzikir.

4. Memuliakan setiap Muslim. 5. Ikhlas.

6. Berjuang fi sabilillah.

Proses umum da’wah jama’ah tabligh menempuh jalan berikut:

1. Sebuah kelompok dari kalangan Jama’ah, dengan kesadaran sendiri, bertugas melakukan da’wah kepada penduduk setempat yang dijadikan objek da’wah. Masing-masing anggota kelompok tersebut membawa

peralatan hidup sederhana dan bekal serta uang secukupnya. Hidup sederhana merupakan ciri khasnya.

2. Begitu mereka sampai ke sebuah negeri atau kampung yang hendak dida’wahi, mereka mengatur dirinya sendiri. Sebagian ada yang membersihakan tempat yang akan ditiggalinya dan sebagian lagi keluar mengunjungi kota, kampung, pasar, dan warung-warung, sambil berdzikir kepada Allah. Mereka mengajak orang-orang mendengarkan ceramah atau

bayan (menurut istilah Jama’ah).

3. Jika saat bayan tiba, mereka semua berkumpul untuk mendengarkannya. Setelah bayan selesai, para hadirin dibagi menjadi beberapa kelompok. Setiap kelompok dipimpin oleh seorang da’i dari Jama’ah. Kemudian para da’i tersebut mulai mengajari cara berwudhu, membaca fatihah, sahalat, atau membaca al’Quran. Mereka membuat halaqah-halaqah seperti itu dan diulanginya berkali-kali dalam beberapa hari.

4. Sebelum mereka meninggalkan tempat da’wah, masyarakat setempat diajak keluar bersama untuk menyampaikan da’wah ke tempat lain. Beberapa orang secara sukarela menemani mereka selama satu sampai tiga hari atau sepekan, bahkan ada yang sampai satu bulan. Semua itu dilakukan sesuai dengan kemampuan masing-masing sebagai relasi firman Allah: “Kalian adalah sebaik-baik ummat yang ditampilkan ke tengah- tengah manusia.” (Q.S, Ali’Imran : 110).

5. Mereka menolak undangan Walimah (kenduri) yang diselenggarakan penduduk setempat. Tujuannya agar tidak terganggu oleh masalah-

masalah di luar da’wah dan dzikir serta amal perbuatan mereka tulus karen Allah semata.

6. Dalam materi da’wah, mereka tidak memasukkan ide penghapusan kemungkaran. Sebab, mereka meyakini bahwa sekarang ini masih berada dalam tahap pembentukan kondisi yang islami. Perbuatan mendobrak kemungkaran, selain menimbulkan kendala dalam perjalanan da’wah mereka juga membuat orang lari.

7. Mereka berkeyakinan, jika pribadi-pribadi diperbaiki satu persatu, maka secara otomatis kemungkaran akan hilang.

8. Keluar, tabligh dan da’wah merupakan pendidikan praktis untuk menempa seorang Da’i. Sebab seorang da’i harus dapat menjadi qudwah dan harus konsisten dengan da’wahnya.

Mereka memandang taqlid kepada madzhab tertentu adalah wajib. Konsekuensinya mereka melarang ijtihad dengan alasan sekarang ini tidak ada ulama yang memenuhi syarat sebagai seorang Mujtahid.

Dalam beberapa hal mereka terpengaruh oleh cara-cara sufisme yang tersebar di India. Karena itu mereka menerapkan praktek-praktek sufistik seperti berikut:

1. Setiap pengikutnya diharuskan melakukan bai’at kepada Syaiknya. Barang siapa meninggal, dan ditengkuknya tidak ada bai’at maka ia mati dalam keadaan jahiliyyah. Sering bai’at kepada Syaikh ini dilakukan di tempat umum dengan cara membeberkan selendang-selendang lebar yang saling terkait sambil mengumandangkan bai’at secara serentak. Bai’at semacam ini sering pula dilakukan di hadapan massa wanita.

2. Sangat berlebihan dalam mencintai Syaikh. Apalagi kepada Rasulullah SAW, mereka melakukan hal-hal yang diluar tata kerama yang harus diiltizami dalam menghormati Rasullulah.

3. Menjadikan mimpi-mimpi menduduki kenyataan-kenyataan kebenaran sehingga mimpi-mimpi tersebut dijadikan landasan beberapa masalah yang mempengaruhi perjalanan da’wahnya.

4. Meyakini tashawwauf sebagai jalan terdekat mewujudkan rasa manisnya iman di dalam kalbu.

5. Senantiasa menyebut-nyebut nama tokoh-tokoh tashawwuf seperti Abdulqadir Jailani (Lahir di Jailan tahun 470 H), Suhrahwardi, Abu Manshur Maturidi (Wafat tahun 332 H) dan Jalaludin al-Rumi (Lahir tahun 604 H) pengarang kitab Al-Matsani.

Metode da’wah mereka berpijak kepada tabligh dalam bentuk targhib (memberi kabar gembira) dan tarhib (mengancam) serta sentuhan-sentuhan emosi. Mereka telah berhasil menarik banyak orang ke pangkuan iman. Terutama orang- orang yang tenggelam kelezatan dan dosa. Orang-orang tersebut diudah kedalam kehidupan penuh ibadah, dzikir dan baca Qur’an.

Jama’ah Tabligh selalu menjauhi pembicaraan masalah politik. Bahkan anggita jama’ahnya dilarang keras terjun ke gelanggang politik. Setiap orang yang terjun ke politik mereka kecam. Barang kali inilah pokok perbedaan yang mendasar antara Jama’ah Tabligh dengan Jama’ah Islamiyyah yang memandang perlu berkonfrontasi menentang musuh-musuh Islam di Anak Benua tersebut.

Mereka memperluas diri secara horizontal-kuantitatif. Tetapi mereka lemah dalam mencapai keunggulan kualitatif. Sebab mencapai keunggulan

kualitatif memerlukan pemeliharaan dan ketekunan yang berkesinambungan. Inilah yang tidak di miliki Jama’ah Tabligh. Sebab, orang yang mereka da’wahi hari ini belum tentu akan mereka jumpai sekali lagi. Malah tidak jarang orang yang telah mereka da’wahi kembali lagi kedalam kehidupan semula yang penuh gemerlap dan kemewahan.

Orang-orang yang mereka da’wahi tidak diikat dalam satu struktur organisasi yang rapi. Ikatan lebih dititik beratkan kepada semacam kotak antar pribadi dengan da’I yang berlandaskan saling pengertian dan cinta kasih.

Dalam kontek penegakan hukum Islam dalam kehidupan nyata dan dalam menghadapi aliran-aliran berfikir yang telah mengerahkan segala potensi dan kemampuan untuk merusak dan memerangi Islam dan ummatnya, gerakan mereka sama sekali tidak memadai.

Pengaruh da’wahnya lebih membekas secara jelas kepada para pengurus Masjid. Sedangkan kepada orang-orang yang sudah mempunyai pemikiran dan idiolgi tertentu, hampir-hampir pengaruhnya tidak ada.

Dapat juga dikatakan bahwa mereka mengambil Islam sebagian dan meninggalkan sebagiannya. Memilah-milah hakikat Islam jelas bertentangan dengan watak Islam yang utuh.

Dokumen terkait